SISTEM SEWA TANAH

Rezky Aditiya/b/SI3

Latarbelakang Sistem Sewa Tanah
Pada tahun 1811, Inggris menduduki Pulau Jawa. Pendudukan Inggris ditanah Jawa ini hanya berlangsung 5 tahun, antara tahun 1811 dan 1816. Tetapi walaupun dengan waktu sesingkat itu pemerintahan Inggris telah mampu meletakkan dasar-dasar kebijakan ekonomi. Suatu kebijakan ekonomi yang mampu memberikan pengaruh ke sifat dan arah kebijakan pemerintahan colonial Belanda yang menggantikan pemerintahan Inggris setelah tahun 1816.
Pemerintahan Inggris dipimpin oleh Gubenur Jenderal Raffles. Raffles kemudian mengenalkan tentang sistem sewa tanah kepada rakyat, khususnya para petani di Pulau Jawa.Raffles memandang semua tanah sebagai milik raja-raja Jawa. Karena raja telah mengakui kedaulatan Inggris, maka tanah menjadi kepunyaan negara. Teori ini menjadi dasar untuk penerapan sistem sewa tanah di Jawa. Gagasan ini datang dari pengalaman Inggris di India. Pada masa pemerintahannya Raffles ingin menciptakan suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan yang dahulu melekat pada system penyerahan paksa dan pekerjaan rodi yang dijalankan oleh Kompeni Belanda (VOC) dalam rangka kerjasama dengan raja-raja dan para bupati. Raffles pun memberikan kepastian hokum dan kebebasan berusaha kepada para petani.
Raffles dalam hal ini sangat dipengaruhi oleh cita-cita revolusi Prancis dengan semboyannya mengenai "kebebasan, persamaan, dan persaudaraan"bagi setiap warga, walaupun ia tentu menyadari pula dalam konstelasi keadaan yang berlaku di Jawa. Pandangan Raffles dalam hal ini sama dengan pandangan seorang pejabat Belanda dari akhir zaman VOC yang bernama Dirk Van Hogendorp. Dirk Van Hogendorp pernah melakukan pengamatan di Indonesia, dan ia menyimpulkan bahwa sistem feodal yang terdapat di Indonesia pada waktu itu dan yang telah berhasil dimanfaatkan oleh VOC mematikan segala daya usaha rakyat Indonesia.
Untuk mencapai tujuannya dalam memperoleh hasil-hasil bumi Indonesia, VOC telah mempergunakan raja-raja dan para bupati sebagai alat dalam kebijakan dagangnya. Sebagai pengganti sistem paksa , Van Hogendorp menganjurkan agar para petani diberikan kebebasan penuh dalam menentukan tanaman-tanaman apa yang hendak ditanam mereka maupun dalam menentukan bagaimana hasil panen mereka hendak digunakan. Bahkan Raffles sendiri menentang sistem VOC karena keyakinan-keyakinan politiknya, yaitu politik liberal. Selain daripada itu ia juga berpendapat bahwa sistem eksploitasi seperti yang telah dipraktekkan oleh VOC tidak menguntungkan. Ia berpendapat tentang pengganti sistem VOC adalah suatu sistem pertanian dimana para petani atas kehendak sendiri menanam tanaman dagangan (cash crops) yang dapat diekspor keluar negeri. Pemerintah kolonial berkewajiban untuk menciptakan segala pasaran yang diperlukan guna merangsang para petani untuk menanam tanaman-tanaman ekspor yang paling menguntungkan.
Sewa tanah inilah yang dijadikan dasar kebijaksanaan ekonomi pemerintah Inggris di bawah Raffles dan kemudian dari pemerintah Belanda sampai tahun 1830. Sistem sewa tanah ini kemudian dikenal dengan nama landelijk stelsel bukan saja diharapkan dapat memberikan kebebasan dan kepastian hukum kepada para petani dan merangsang juga arus pendapatan negara yang mantap.
 
Pembahasan
Sudan lazim setiap datang penguasa baru, hukum dan peraturan baru pun muncul pula. Demikian pula dalam pelaksanaannya, terjadi perbedaan-perbedaan dan penyimpangan-penyimpangan, meskipun dalam artikel 5 proklamasi 11 September 1811 telah ditentukan bahwa segala macam kekuatiran akan terjadinya perubahan besar-besaran akan dihindarkan. Akan tetapi peraturan-peraturan dasar yang menguntungkan bagi Belanda juga dilanjutkan oleh Inggris.
Sewa tanah diperkenalkan di Jawa semasa pemerintahan peralihan Inggris(1811-1816) oleh Gubernur Jenderal Stamford Raffles, yang banyak menghinpungagasan sewa tanah dari sistem pendapatan dari tanah India-Inggris. Sistem pajak tanah yang diperkenalkan oleh Raffles pada masa ia berkuasa di Indonesia, merupakan salah satu realisasi dari gagasan pembaharuan kaum liberal dalam kebijaksanakan politik di tanah jajahan, yang besar pengaruhnya terhadap perubahan masyarakat tanah jajahan pada masa kemudian. Kebijakan Gubernur Jenderal Stamford Raffles ini, pada dasarnya dipengaruhi oleh semboyan revolusi Perancis dengan semboyannya mengenai Libertie (kebebasan), Egalitie (persamaan), dan Franternitie (persaudaraan).
Pengenalan sistem pajak tanah yang dilancarkan Raffles, merupakan bagian integral dari gagasan pembaharuannya tentang sistem sewa tanah di tanah jajahan. Gagasannya itu timbul dari upayanya untuk memperbaiki sistem paksa dari Kumpeni (VOC), yang dianggap memberatkan dan merugikan penduduk. Menurut Raffles sistem penyerahan wajib dan kerja paksa atau rodi, akan memberikan peluang tindakan penindasan, dan tidak akan mendorong semangat kerja penduduk, karena itu merugikan pendapatan negara. Maka dari itu Raffles menghendaki perubahan sistem penyerahan paksa dengan sistem pemungutan pajak tanah, yang dianggap akan menguntungkan kedua belah pihak baik negara maupun penduduk.
Dalam pengaturan pajak tanah, Raffles dihadapkan pada pemilihan antara penetapan pajak secara sedesa dan secara perseorangan. Sebelumnya pengumpulan hasil tanaman, terutama dari sawah yaitu beras dilakukan melalui sistem penyerahan wajib melalui penguasa pribumi, dan dikenakan secara kesatuan desa. Dalam hal ini para bupati dan kepala desa memiliki keleluasaan untuk mengaturnya. Akan tetapi Raffles tidak menyukai cara ini, karena penetapan pajak per desa akan mengakibatkan ketergantungan penduduk kepada kemurahan para penguasa pribumi, dan penindasan terhadap rakyat tidak dapat dihindarkan, Maka dan itu, Raffles lebih suka memilih penetapan pajak secara perseorangan, karena akan lebih menentukan kepastian hukum dalam bidang perpajakan, sekalipun tidak mudah.
Seperti yang telah disebutkan diatas, isi pokok sistem pajak tanah yang diperkenalkan Raffles pada pokoknya berpangkal pada peraturan tentang pemungutan semua hasil penanaman baik di lahan sawah maupun di lahan tegal. Penetapan pajak tanah tersebut didasarkan pada klasifikasi kesuburan tanah masing-masing, dan terbagi atas tiga klasifikasi, yaitu terbaik (I), sedang (II), dan kurang (III). Rincian penetapan pajak itu sebagai berikut :
1)      Pajak Tanah Sawah :
Golongan           I,          1/2        Hasil Panenan
Golongan           II,         1/3       Hasil Panenan
Golongan           III,        2/5       Hasil Panenan
2)      Pajak Tanah Tegal :
Golongan           I,          2/5        Hasil Panenan
Golongan           II,         1/3        Hasil Panenan
Golongan           III,        1/4        Hasil Panenan
Pajak dibayarkan dalam bentuk uang tunai atau dalam bentuk padi atau beras, yang ditarik secara perseorangan dari penduduk tanah jajahan. Penarikan pajak dilakukan oleh petugas pemungut pajak. Pelaksanaan pemungutan pajak tanah dilakukan secara bertahap. Pertama-tama dilakukan percobaan penetapan pajak per distrik di Banten. Kemudian pada tahun 1813 dilanjutkan dengan penetapan pajak per desa, dan baru pada tahun 1814 diperintahkan untuk dilakukan penetapan pajak secara perseorangan.
Apabila dirinci, terdapat tiga aspek pelaksanaan sistem sewa tanah/pajak tanah :
1.       Penyelenggaraan sistem pemerintahan atas dasar modern
Pergantian dari sistem pemerintahan-pemerintahan yang tidak langsungyangdulu dilaksanakan oleh para raja-raja dan kepala desa digantikan dengan pemerintahan modern yang tentu saja lebih mendekati kepada liberal karena raflessendiri adalah seorang liberal. Penggantian pemerintahan tersebut berarti bahwakekuasaan tradisional raja-raja dan kepala tradisional sangat dikurangi dansumber-sumber penghasilan tradisional mereka dikurangi ataupun ditiadakan.Kemudian fungsi para pemimpin tradisional tersebut digantikan oleh para pegawai-pegawai Eropa.
2.       Pelaksanaan pemungutan sewa
Pelaksanaan pemungutan sewa selama pada masa VOC adalah pajak kolektif, dalam artian pajak tersebut dipungut bukan dasar perhitungan perorangantapi seluruh desa. Dalam mengatur pemungutan ini tiap-tipa kepala desadiberikan kebebaskan oleh VOC untuk menentukan berapa besar pajak yang harusdibayarkan oleh tiap-tiap kepala keluarga. Pada masa sewa tanah hal inidigantikan menjadi pajak adalah kewajiban tiap-tiap orang bukan seluruh desa.
3.       Pananaman tanaman dagangan untuk dieksport
Pada masa sewa tanah ini terjadi penurunan dari sisi ekspor, misalnyatanaman kopi yang merupakan komoditas ekspor pada awal abad ke-19 pada masasistem sewa tanah mengalami kegagalan, hal ini karena kurangnya pengalaman para petani dalam menjual tanaman-tanaman merekadi pasar bebas, karena para petani dibebaskan menjual sendiri tanaman yang mereka tanam. Dua hal yang ingin dicapai oleh Raffles melalui sistem sewa tanah ini adalah :
a.      Memberikan kebebasan berusaha kepada para petani Jawa melalui pajak tanah.
b.      Mengefektifkan sistem administrasi Eropa yang berarti penduduk pribumiakan mengenal ide-ide Eropa mengenai kejujuran, ekonomi, dan keadilan.
Dalam usahanya untuk menegakkan suatu kebijakan sistem sewa tanah, Raffles berpatokan pada tiga azas:
Segala bentuk dan jenis penyerahan wajib maupun pekerjaan rodi perlu dihapuskan dan rakyat tidak dipaksa untuk menanam satu jenis tanaman, melainkan mereka diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam.
Pengawasan tertinggi dan langsung dilakukan oleh pemerintah atas tanah-tanah dengan menarik pendapatan atas tanah-tanah dengan menarik pendapatan dan sewanya tanpa perantara bupati-bupati, yang dikerjakan selanjutnya bagi mereka adalah terbatas pada pekerjaan-pekerjaan umum
Menyewakan tanah-tanah yang diawasi pemerintah secara langsung dalam persil-persil besar atau kecil, menurut keadaan setempat, berdasarkan kontrak-kontrak untuk waktu yang terbatas.
Adanya suatu aparatur pemerintahan yang terdiri dari orang-orang Eropa dan mengesampingkan peranan penguasa pribumi (para bupati), menurut Raffles hal ini adalah salah satu tindakan penghapusan feodalisme Jawa. Para bupati dialih fungsinya menjadi pengawas ketertiban dan tidak boleh ikut dalam pemungutan pajak tanah. Tentang persewaan tanah, menurut Raffles pemerintah sebagai pengganti raja-raja Indonesia merupakan pemilik semua tanah-tanah sehingga dengan demikian mereka boleh menyewakan tanah-tanah tersebut, yaitu dengan menuntut sewa tanah berupa pajak tanah maka pendapat negara akan baik.
Kegagalan Sistem Sewa Tanah
Pelaksanaan sistem sewa tanah yang dilakukan Gubernur Jendral Thomas Stamford Raffles pada sistem pertanahan di Indonesia menemui beberapa kegagalan. Sistem sewa tanah yang diberlakukan ternyata memiliki kecenderungan tidak cocok bagi pertanahan milik penduduk pribumi di Indonesia. Sistem sewa tanah tersebut tidak berjalan lama, hal itu di sebabkan beberapa faktor dan mendorong sistem tersebut untuk tumbang kemudian gagal dalam peranannya mengembangkan kejayaan kolonisasi Inggris di Indonesia. Beberapa faktor kegagalan sistem sewa tanah antara lain ialah:
1.     Keuangan negara yang terbatas, memberikan dampak pada minimnya pengembangan pertanian.
2.    Pegawai-pegawai negara yang cakap jumlahnya cukup sedikit, selain karena hanya diduduki oleh para kalangan pemerinah Inggris sendiri, pegawai yang jumlahnya sedikit tersebut kurang berpengalaman dalam mengelola sistem sewa tanah tersebut.
3.    Masyarakat Indonesia pada masa itu belum mengenal perdagangan eksport seperti India yang pernah mengalami sistem sewa tanah dari penjajahan Inggris. Dimana pada abad ke-9, masyarakat Jawa masih mengenal sistem pertanian sederhana, dan hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Sehingga penerapan sistem sewa tanah sulit diberlakukan karena motifasi masyarakat untuk meningkatkan produksifitas pertaniannya dalam penjualan ke pasar bebas belum disadari betul.
4.    Masyarakat Indonesia terutama di desa masih terikat dengan feodalisme dan belum mengenal ekonomi uang, sehingga motifasi masyarakat untuk memperoleh keuntungan dari produksifitas hasil pertanian belum disadari betul.
5.    Pajak tanah yang terlalu tinggi, sehingga banyak tanah yang terlantar tidak di garap, dan dapat menurunkan produksifitas hasil pertanian.
6.      Adanya pegawai yang bertindak sewenang-wenang dan korup.
7.      Singkatnya masa jabatan Raffles yang hanya bertahan lima tahun, sehingga ia belum sempat memperbaiki kelemahan dan penyimpangan dalam sistem sewa tanah.
Secara garis besar kegagalan Raffles dalam sistem sewa tanah di Jawa terkendala akan susunan kebiasaan masyarakat Indonesia sendiri. Dimana Raffles memberlakukan sistem yang sama antara India yang lebih maju dalam perekonomiannya pada Indonesia yang masa itu masi cukup sederhana dimana sifat ekonomi desa di Jawa yang bersifat self suffcient. Dalam pelaksanaannya, sistem pemungutan pajak tanah ini, tidak semua dapat dilakukan menurut gagasannya, karena banyak menghadapi kesulitan dan hambatan yang timbul dari kondisi di tanah jajahan. Malahan praktek pemungutan pajak tanah banyak menimbulkan kericuhan dan penyelewengan. Belum adanya pengukuran luas tanah yang tepat, kepastian hukum dalam hak milik tanah belum ada, hukum adat masih kuat, penduduk belum mengenal ekonomi uang dan sulit memperoleh uang menyebabkan pelaksanaan pemungutan pajak yang dilancarkan Raffles tidak berhasil dan banyak menimbulkan penyelewengan. Keinginan Raffles untuk memperbaiki kebijakannya ini terhalang oleh terjadinya perubahan politik di Eropa yang membuatnya terpaksa meninggalkan Indonesia.
Kurang berhasilnya sistem pemungutan pajak tanah yang dilancarkan Raffles, menyebabkan pemerintah Belanda yang menerima pengembalian tanah jajahan dari Inggris pada tahun 1816, ragu dalam memilih antara sistem pajak dan sistem paksa. Dihadapkan tuntutan negeri induk yang mendesak pertimbangan terhadap sistem yang lebih menguntungkan negeri induk cenderung selalu yang dipilih. Demikian pula, yang dihadapi para penguasa kolonial pada masa 1816-1830.
Walaupun Inggris hanya berkuasa singkat namun Raffles meninggalkan karya yang bermanfaat bagi rakyat Indonesia, diantaranya menulis buku History of Java, merintis pembuatan Kebun Raya Bogor dan penemuan bunga Bangkai (Rafflesia arnoldi).
Kesimpulan
Selama pemerintahannya (1811-1816), Raffles banyak melakukan pembaharuan yang bersifat liberal di Indonesia. Pada masa Raffles masyarakat diberi kebebasan bekerja, bertanam, dan penggunaan hasil usahanya sendiri. Pada masa Raffles para petani diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam. Dalam pemerintahannya, Raffles menghendaki adanya sistem sewa tanah atau dikenal juga dengan sistem pajak bumi dengan istilah landrente. Isi pokok sistem pajak tanah yang diperkenalkan Raffles pada pokoknya berpangkal pada peraturan tentang pemungutan semua hasil penanaman baik di lahan sawah maupun di lahan tegal. Pelaksanaan sistem sewa tanah yang diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal Stamford Raffles mengandung tujuan yaitu diantaranya bagi para petani dapat menanam dan menjual hasil panennya secara bebas untuk memotivasi mereka agar bekerja lebih giat sehingga kesejahteraannya mejadi lebih baik, daya beli masyarakat semakin meningkat sehingga dapat membeli barang-barang industri Inggris, pemerintah kolonial mempunyai pemasukan negara secara tetap, memberikan kepastian hukum atas tanah yang dimiliki petani,secara bertahap untuk mengubah sistem ekonomi barang menjadi ekonomi uang. Akan tetapi Pelaksanaan sistem sewa tanah yang dilakukan Gubernur Jendral Thomas Stamford Raffles pada sistem pertanahan di Indonesia menemui beberapa kegagalan. Sistem sewa tanah yang diberlakukan ternyata memiliki kecenderungan tidak cocok bagi pertanahan milik penduduk pribumi di Indonesia.
Daftar Pustaka
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta : Depdikbud. 1982.
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta : Balai Pustaka. 1984.

Nasakom

Muhammad Hasbi / SIV

Nasakom adalah singkatan Nasionalis, Agama dan Komunis, dan merupakan konsep dasar Pancasila. Konsep ini diperkenalkan oleh Soekarno Presiden pertama Republik Indonesia yang menekankan adanya persatuan dari segala macam ideology Nusantara untuk melawan penjajahan, dan sebagai pemersatu Bangsa untuk Revolusi rakyat dalam upaya memberantas kolonialisme di bumi Indonesia. Dengan penyatuan tiga konsep ini (Nasionalis, Agamis dan Komunis) Soekarno berusaha untuk mengajak segala komponen bangsa tanpa melihat segala perbedaan yang ada. Baik itu perbedaan Religius maupun suku dan budaya. Bisa di katakan bahwa Nasakom adalah penjelmaan atau penerapan daripada Pancasila, terutama azas Bhineka Tunggal Ika.
Teori Nasakom, telah lahir dan di rumuskan oleh Sukarno Sejak tahun 1926, yang waktu itu di istilahkan dengan tiga hal pokok yakni "Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme. Yang pada intinya di persatukan dalam satu tujuan yaitu Gotong-royong (bekerja bersama-sama) untuk Revolusi Indonesia dalam melawan Imperialisme.
namun ideologi ini runtuh ketika tragedi 30 september yang diduga adalah rekayasa kudeta yang dilakukan rezim soeharto dengan memanfaatkan musuh politiknya (Partai Komunis Indonesia / PKI) yang kemudian di lakukan penghapusan pada partai tersebut dan di sertai dengan pembantaian rakyat indonesia yang terkait dengan partai tersebut yang di prediksi antara satu juta lebih jiwa yang terbantai pada peristiwa tersebut, dan merupakan pelanggaran HAM terberat sepanjang sejarah Indonesia.
Mendekontruksikan Nasakom
Konsep nasakom saya tempatkan sebagai bagian penting dalam makalah ini yang merupakan pemikiran sejati bung karno. Bahkan menurut saya, ajaran inilah yang layak untuk menjawab pertanyaan mengenai bagaimanakah pemikiran dan ajaran-ajaran bung karno. Obsesi untuk menyatukan aliran nasionalisme, agama, dan komunisme tampaknya adalah hal yang paling tepat untuk memahami pemikiran bung karno. Konsep itu di akhir tahun 1920-an telah melejitkan namanya, dan pada awal tahun 1960-an juga ditegaskannya kembali.
Nasionalisme, agama, dan komunisme ( nasakom ) tidak lebih dari ideology yang harus dipahami sebagai konsepsi pemikiran yang digunakan untuk melawan penjajahan dan penindasan atau imperialisme. Cara inilah menurut saya, yang paling tepat untuk memahami sejenis pemikiran apakah nasakom itu. Kalau kita jeli, ketiga ideology itu dalam cara pandang bung karno diekspresikan untuk membangun bangsa yang kuat, luas, yang dipilari pertama-tama oleh persatuan dan kemudian keadilan social yang diperoleh setelah upaya melawan penjajahan ( imperialism ) mencapai kemenangan.
Sebagai pemikiran politik, yang mulai ditangkap soekarno setelah pemberontakan radikal babak pertama ( dibawah pimpinan PKI akhir tahun 1926 dan awal tahun 1927 ) yang dapat diberangus oleh kolonialis belanda, maka pada akhir tahun 1920-an soekarno muncul sebagai aktivis gerakan yang memiliki kemampuan yang lihai dalam menangkap kehendak dan tuntutan rakyat akan kemerdekaan dari penjajahan. Artikelnya berjudul "Nasionalisme, Islam, dan Marxisme", yang ditulis tahun 1926 dalam " suluh Indonesia Muda",adalah cikal-bakal konsep Nasakom yang dilontarkan kembali pada pertengahan tahun 1960-an.
Bung karno hanya ingin membedakan bahwa pemikiran politiknya tidak sama dengan orang lain. Bung karno sendiri sering kali menyatakan bahwa kewpercayaannya untuk mencampurkan ketiga ideology itu merupakan Sesutu hal yang membedakan pemikirannya dengan orang lain, mungkin kita bias ideology soekarnoisme : nasakom sama dengan Soekarnoisme.
Soekarnoisme, tampaknya merupakan istilah yang dimaksudkan untuk mencirikan bahwa bung karno dapat secara mandiri menggagas hasil pemikirannya sendiri. Jika kita sepakat bahwa pemikiran seorang ideology tersebut, maka memang penting untuk memahami latar belakang tersebut, maka memang penting untuk memahami latar belakang kenapa bung karno menggulirkan gagasan ideologisnya itu.
Bung karno adalah ia yang mengambil semua hal yang dirasanya baik bagi persatuan Indonesia agarkesatuan bangsa yang terdiri dari pulau-pulau itu tetap bertahan. Tentu saja bukan semata-mata persatuan , tetapi persatuan yang diarahkan pada perlawanan terhadap penindasan. Karenanya, nasionalisme bung karno bukanlah nasioanalisme semu dimana rakyat hanya disuruh bersatu tanpa menunjukkkan adanya musuh-musuh yang kongkret.
Boleh saja orang beranggapan bahwa nasionalisme, islam, dan marxisme-sosialisme-komunisme tak bisa disatukan. Mungkin orang yang memegang pandangan seperti itu tidak menguak secara lebih jauh potensi dari masing-masing ideology untuk dapat bersatu. Karenanya, perlu sekali untuk mengetahui bagaimana masing-masing ideology ( dalam nasakom ) sesuai dengan pandangan bung karno. Jika nasionalisme dipahami secara sempit, sebagaimana chauvinism ataupun rasionalisme kebangsaan, dia memang tidak akan dapat disambungkan dengan ideology lainnya, seperti marxisme dan islam yang tak mengenal ras dan suku bangsa ( pan-islamisme dan internasionalisme dalam sosialisme ). Karena itulah, untuk memahami nasakom, orang harus mengerti dulu pada sisi mana masing-masing ideology ( baik nasionalisme, islamisme, maupun komunisme ) secara baik dan benar. Untuk meyakini kebenaran nasakom, orang tak bias menjadi nasionalis sempit, islam sempit, atau marxisme salah kaprah. Saat
gagasan dituliskan pada tahun 1926, bung karno sudah mengingatkan seperti ini:
"Nasionalis yang sejati, yang cintanya pada tanah air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi-dunia dan riwayat, dan bukan semata-mata timbuil dari kesombongan bangsabelaka__nasionalis yang bukan chauvinis,tidak boleh tidak,haruslah menolak segala paham pengecualian yang sempit budi itu. Nasionalis yang sejati yang nasionalismenya itu bukan semata-mata suatu copy atau tiruan dari nasionalisme barat, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan_nasionalis yang menerima rasa nasionalismenya itu sebagai suatu wahyu dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bakti…baginya, maka rasa cinta bangsa itu adalah lebar dan luas,dengan memberi tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup"
Intinya, nasakom akan mudah diterima oleh mereka yang berpikiran luas dan lapang, orang yang berpengetahuan luas dan selalu menganalisis berdasarkan pengetahuan terhadap perkembangan atau "susunan" ekonomi dunia, serta memahami kontradiksi-kontradiksi yang berkembang didunia dengan pengaruhnya ke negaranya sendiri; dan dengan menganalisis corak produksi dan pemikiran masyarakat sendiri. Bung karno, sebagai penggagas nasakom, memang mengetahui susunan ekonomi dunia, sekaligus memahami perkembangan masyarakatnya sendiri. Dan ia melihat bahwa ideology-ideologi yang berkembang di masyarakatnya itu sebagai jawaban atau reaksi yang 'pas' untuk melawan penjajahan asing.
Singkatnya, nasakom bertemu dalam suatu proyek anti-penjajahan asing. Jadi, kaum nasionalis yang tidak anti-penjajahan asing, tak mungkin ia setuju dengan nasakom; islamis yang tak anti-penjajahan asing, mustahil ia akan pro-nasakom; dan komunis yang tak tahu bahwa semangat nasionalisme dan agama juga dapat digunakan untuk melawan imperialism, mustahil ia pro-nasakom. Tak heran jika sejak kelahirannya, nasakom diserang dan dimusuhi oleh islam sempit, nasionalis picik, atau marxis yang ke-kiri-kirian!
"apakah rasa nasionalisme, yang oleh kepercayaan akan diri sendiri itu, begitu gampang menjadi kesombongan bangsa, dan begitu gampang mendapat tingkatnya yang kedua, ialah kesombongan ras, walaupun paham ras (jenis) ada setinggi langit bedanya dangan paham bangsa oleh karena ras itu ada suatu paham biologis, sedang nasionalitas itu suatu paham sosiologi (ilmu pergaulan hidup)_apakah nasionalisme itu dalam perjuangan jajahan dapat bergandengan dengan islamisme yang dalam hakikatnya tiada bangsa, dan dalam lahirnya dipeluk oleh bermacam-macam bangsa dan bermacam-macam ras-apakah nasionalisme itu dalam politik colonial dapat rapat diri dengan marxisme yang internasional interracial itu?".

Daftar pustaka :
Wikipedia,
Soyomukti,Nurani.Soekarno&Nasakom.Jogyakarta:Garasi,2008

Fase-fase Pahlawan sebelum kebangkitan nasional


ABDURRAHMAN SI III / A

1.      Kapiten Pattimura
Lahir                : Saparua, Maluku, 8 Juni 1783
Wafat              : Ambon, 16 Desember 1817
Makam            : Ambon
                        Bernama asli Thomas Mattulessi, Pattimura pernah mengikuti pendidikan militer saat Inggris berkuasa di Maluku dan memperoleh pangkat sersan mayor. Namun, belanda kembali berkuasa di Maluku karena terikat pada Konvesi London (13 Agustus 1814), yaitu perjanjian yang mewajibka Inggris untk mengembalikan wilayah Nusantara kepada Belanda termasuk Maluku.
                        Pada tanggal 14 Mei 1817, seluruh rakyat Separua bersumpah setia mengangkat Thomas Mattulessi sebagai Kapiten Pattimurs untuk mrlakukan pemberontakan terhadap Belanda. Pada tanggal 16 Mei 1817, Pattimura berhasil merebut Benteng Duurstede dan menewaskan Residen Van den Berg. Perjuangan Kapiten Pattimura dibantu oleh Paulus Tiahahu dari Nusa Laut, Anthony Reebook wakilnya di Saparua, dan Kapiten Philip Latumahina.
                        Akibatnya pengkhianatan Raja Booi dan politik devide et empera, akhirnya pada tanggal 11 November 1817 Pattimura berhasil ditangkap oleh Belanda. Pattimura ditangkap bersama pemimpin-pemimpin lainnya dan dijatuhi hukuman mati.
                        Pada tanggal 16 Desember 1817, Kapiten Pattimura, Anthony Reebook, Philip Latumahina dan Said Parintah dihukum mati dengan cara digantung di depan benteng Nieuw Victoria di Ambon. Sementara itu Paulus Tiahahu dihukum tembak mati di depan rakyatnya di Nusa Laut.
                        Untuk menghormati jasa-jasa Kapiten Pattimura, berdasarkan surat keputusan Presiden RI. NO. 087 / TK /b1973, pemerintah menganugrahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya.
2.      Pangeran Antasari
Lahir                : Banjarmasin, 1797
Wafat              : Bayan Begak, 11 Oktober 1862
Makam            : Banjarmasin
Perlawanan rakyar Banjarmasin terhadap Belanda dimulai saat Belanda
mengangkat Tamjidillah sebagai sultan Banjar menggantikan Sultan Adam yang wafat. Rakyat Banjat dan Kesultanan Banjar termasuk pangeran Antasari menuntut agar Pangeran Hidayatullah sebagai pewaris sah tahta Kesultanan Banjar, harus menjadi Sultan Banjar. Sejak saat itulah rakyat Banjar dengan dipimpin oleh Pangeran Hidayatullah, Pangeran Antasari dan Demang Leman mengangkat senjata melawan Belanda.
            Pangeran Antasari berhasil menyerang dan menguasai kedudukan Belanda di Gunung Jabuk. Pangeran Antasari juga menyerang tambang batubara Belanda di Pengaron. Pejuang-pejuang Banjar juga berhasil menggelamkan kapal Onrust beserta pemimpinnya, seperti Letnan Van der Velde dan Letnan Bangert. Peristiwa yang memalukan Belanda ini terjadi atas siasat Pangeran Antasari dan Tumenggung Suropati.
            Pada tahun 1861, Pangeran Hidayatullah berhasil ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Pangeran Antasari kemudian mengambil alih pimpinan utama. Ia diangkat oleh rakya sebagai Penembahan Amiruddin Khalifatul Mu'min sehingga kualitas peperangan menjadi semakin meningkat karena ada unsure agama. Sayang, Pangeran Antasari akhirnya wafat pada tanggal 11 oktobe 1862 karena penyakit cacar saat itu sedang mewabah di Kalimantan Selatan. Padahal, saat itu ia sedang menyiapkann serangan besar-besaran terhadap Belanda.
            Untuk menghormati jasa-jasa Pangeran Antasari berdasarkan keputusaan Presiden RI. NO. 06 / TK/ 1968, Pemerintah menganugrahkan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional kepadanya.
3.      Pangeran Diponegoro
Lahir                : Yohyakarta, 11 November 1785
Wafat              : Makassar, 8 Januari 1885
Makam            : Makassar                                                                      
Nama asli Pangeran Diponegoro adalah Raden Mas Ontowiryo. Ia juga bergelar "Sultan Abdul Hamid Herucokro Amirulmukmin". Pangeran Diponegoro adalah anak dari Pangeran Adipati Anom (Hamengkubuwono III) dari garwa ampeyan (selir). Perlawanan Pangeran Diponegoro dimulai ketika dia dengan berani mencabut tiang-tiang pencang pembangunan jalan oleh Belanda yang melewati rumah, masjid, dan makam leluhur Pangeran Diponegoro. Pembanguna jalan ini dilakukan atas inisiatif Patih Danurejo IV yang menjadi antek Belanda. Belanda yang dibantu Patih Danurejo IV kemudian menyerang kediaman Pangeran Diponegoro di Tagalrejo. Sejak saat itu, berkobarlah perang besar yang disebut Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830).
            Belanda sulit mengalahkan Pangeran Diponegoro yang menggunakan taktik gerilya. Dengan dibantu oleh Kyai Mojo (Surakarta), sentot Alibasya Prawirodirjo, Pangeran Suryo Mataram, Pangeran Pak-pak (Serang), Pangeran Diponegoro berhasil memberikan perlawanan yang hebat kjepada Belanda.
            Belanda telah menggunakan berbagai cara untuk menangkap Pangeran Diponegoro namun gagal. Sampai pada akhirnya digunakanlah siasat licik dengan berpura-pura mengajak berunding dan berjanji aka menjaga keselamatannya. Namun ternyata Belanda ingkar janji dan menangkap Pangeran Diponegoro pada tanggal 28 Maret 1830 saat terjadi perundingan di Magelang. Tanpa rasa malu Jenderal Hendrik de Kock menangkap Pangeran Diponegoro agar perang besar di pulau Jawa tersebut dapat segera diakhiri. Pangeran Diponegoro kemudian dibuang ke Manado dan ditempatkan di Benteng Amsterdam. Namun, empat tahun kemudian ia dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar hingga wafatnya dan dimakamkan di Kampung Melayu, Makassar.
            Untuk menghormati jasa-jasa Pangeran Diponegoro, berdasarkan surat keputusan Presiden RI. NO. 087/TK/1973, pemerintah menganugrahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya.
4.      Sisingamangaraja XII
Lahir                : Bakkara, Tapanuli, 1849
Wafat              : Simsim, 17 Juni 1907
Makam            : Pulau Samosir
            Nama aslinya adalah Patuan Besar Ompu Pulo Batu. Nama Sisingamangaraja baru dipakai pada tahun 1867, setelah ia diangkat menjadi raja menggantikan ayahnya yang mangkat. Sang ayah meninggal akibat serangan penyakit kolera.
            Februari 1878, Sisingamangaraja mulai melakukan perlawanan terhadap kekuasaan colonial Belanda. Ini dilakukannya untuk mempertahankann daerah kekuasaannya di Tapanuli yang dicaplok Belanda. Dimulai dari penyerangan pos-pos Belanda di Bakal Batu, Tarutung. Sejak itu penyerangan terhadap pos-pos Belanda lainnya terus berlangsung diantaranya sebagai berikut :
-          Mei 1883, pos Belanda di Ulun dan Balige diserang oleh pasukan Sisingamangaraja.
-          Tahun 1884, pos Belanda di Tangga Batu juga dihancurkan oleh pasukan Sisingamangaraja.
Tahun 1907, Belanda berhasil memperkuat pasukan dan persenjataan. Kondisi ini membuat pasukan Raja Batak ini semakin terdesak dan terkepung.pada pertempuran yang berlangsung di Pak-pak inilah Sisingamangaraja XII gugur tepatnya pada tanggal 17 juni 1907. Bersama-sama dengan putrinya (Lopian) dan dua prang putranya (Patuan Nagari dan Patuan Anggi).
      Sisingamangaraja kemudian dimakamkan di Balige dan selanjutnya kembali dipindahkan ke Pulau Samosir. Sisingamangaraja XII dianugrahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI NO.590/1961.
5.      Sultan Mahmud Badaruddin II
Lahir                : Palembang 1767
Wafat              : Ternate, 26 November 1852
Makam            : Ternate, Maluku Utara
            Semenjak ditunjuk sebagai Sultan Kerajaan Palembang menggantikan ayahnya Sultan Muhammad Baha'uddin, Mahmud Badaruddin melakukan perlawanan terhadap Inggris dan Belanda. Ketika Batavia berhasil disusuki Inggris pada tahun 1811, Sultan Mahmud justru berhasil membebaskan Palembang dari cengkraman Belanda pada tanggal 14 Mei 1811.
            Tahun 1812, peprangan dengan Inggris dimulai karena Sultan tidak mau mengakui kekuasaan Inggris di Palembang. Maret 1812, Inggris berhasil menguasai Palembang dan mengangkat Najamuddin menggantikan Sultan Mahmud Badaruddin II yang menyingkir ke Muara Rawas.
            Berdasarkan Konvesi London tahun 1814, kekuasaan Belanda di Indonesia harus dipulihkan, tahun 1818 Inggri mengembalikan kekuasaan Palembang kepada Belanda. Selanjutnya Inggris juga kembali mengangkat Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai Raja Palembang.
            Namun sejak tahun itu pula perang antara Sultan Mahmud Badaruddin II dengan Belanda kembali berkobar. Tanggal 1 Juli 1821, kesultanan Palembang berhasil diduduki Belanda dan Sultan berhasil ditawan.Sultan Mahmud Badaruddin II kemudian dibuang ke Ternate, Maluku Utara hingga wafatnya. Sultan Mahmud Badaruddi II tercatat sebagai salah satu Pejuang Nasional yang melakukan perlawanan terhadap dua penjajah sekaligus yaitu Inggris dan Belanda.
            SK Presiden RI.NO063/TK/1984 menganugrahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya.
DAFTAR PUSTAKA
Arya Ajisaka,2004. Mengenal Pahlawan Indonesia.Depok:Kawan Pustaka
Kuncoro hadi dan Sustianingsih,2013. Pahlawan Nasional.Yogyakarta:Familia

Thomas Stamford Raffles

Abdurrahman/SI   III/ A

1.     Gubernur yang pertama berjiwa Libelarisme.
Setelah kekalahan Belanda dan Prancis, semua daerah kekuasaan Belanda di Nusantara pindah ketangan pemerintah Inggris pada tahun 1811 sampai 1816. Kekuasaan itu mencakup Jawa, Pelembang, Banjarmasin, Makassar,Madura, dan sunda kecil,dan pusat pemerintahannya berkedudukan di Madras India, dengan Lord Minto sebagai gubernur jendral. Pemerintahan di bekas daerah belanda itu di pimpin oleh seorang letnan gubernur Thomas Stamford raffles.
            Selama empat setengah tahun pemerintahannya, Raffles berusahan melaksanakan pembaruhaan yang bersifat liberal di Nusantara. Secara teoritis pembaruan itu mirip dengan usul-usul yang perrnah dikemukakan oleh Dirk van Hogendorp. Intinya, kebebasan berusaha bagi setiap orang, dan pemerintah yang berhak menarik pajak tanah dari penggarap. Pemerintahan dijalankan untuk mencapai kesejahteraan umum. Motifnya, kesadaran baru bahwa baik serikat dagang, terlebih lagi kekuasaan negara, tak mungkin bertahan hidup dengan memeras masyarakat.
            Dalam praktik, sedikit sekali cita-cita pembaruan itu dapat diwujudkan. Mengapa demikian? Pertanyaan ini dapat menjadi pokok bahasan yang menarik dan penting hingga jauh ke masa depan. Yang sudah pasti, hampir tak ada unsure dalam suasana kemasyarakatan di Nusantara waktu itu yang memudahkan terlaksananya rencana Raffles dalam waktu sedemikian singkat. Bahkan, pengetahuan yang cukup memadai tentang suasana itupun tidak dimiliki oleh Raffles.
            Tidaklah mengherankan bahwa seluruh rencana Raffles hanya dapat mengandalkan keahlian segelintir pejaba Belanda, terutama Herman Warner Muntinghe. Dia ini bekas Sekretaris Jendral dan Ketua Dewan Hindia dibawah Daendels. Namun demikian, ide yang terkandung dalam rencana itu diakui sangat berjasa dalam meletakkan ukuran pemerintahan demi kesejahteraan rakyat masa-masa selanjutnya.
            Cita-cita pembangunan itu diumumkan oleh Lord Minto sendiri dalam proklamasinya di tengah pertempuran, 11 September 1811. Ia menegaskan bahwa system monopoli Belanda yang merusak itu (vexatious system of monopoly) harus segera diganti dengan politik pemerintahan yang lebih menyejahterakan. Kepala Desa akan diberi kuasa mengatur penarikan pajak yang serendah mungkin dari penggarap.
            Selain itu dihapus pula hak pemerintah atas sebagian hasil bumi penduduk (contingenten) dan atas kerja rodi (herendiensten). Hal serupa dikenakan pula atas penguasa local (pantjendiensten). Kekuasaan local dibatasi hanya di bidang kepolisian. Penanaman kopi tidak lago dipaksakan, tetapi didorong, dan pemerintah akan membeli dari petani kelebihan hasil dengan harga tertinggi menurut pasar. Kebebasan berusaha dan berdagang dijamin. Hanya dalam penyediaan dan distribusi garam pemerintah bertanggung jawab. Itu pun akan dilakukan demi melindungi rakyat dari permainan harga yang sering tak terkendali.
            Pada 15 Oktober 1813. Dari istananya di Buitenzorg keluar pula proklamasi Raffles mengenai kaidah-kaidah perubahan itu (Proclamation, declaring the principles of the intended change of system). Dirinci dalam tujuh butir, secara umum kaidah-kaidah itu lebih mempertajam lagi proklamaso Lord Minto. Disebutkan, pemerintahan Raffles bertujuan "memperbaiki keadaan hidup penduduk dengan member perlindungan bagi kegiatan individu, yang akan menjamin pemanfaatan hasil keringat dengan tenang dan adil bagi setia kelompok dalam masyarakat.
          Yangpaling terkenal dalam pembaruan Raffles berdasarkan kaidah-kaidah itu adalah pelaksanaan pajak tanah (land-rent). Hal ini terkenal sebagian karena sama sekali berbeda dengan pola Belanda yang sebelumnya, yakni penyerahan hasil bumi secara paksa (contingenten) dari petani, sebagian lagi karena penguasa local, bahkan pejabat yang orang Eropa tak boleh ikut campur dalam pemungutan pajak tanah.
2.     Tangan Liberal yang Mendahului Zaman Land-rent
Namun demikian, sebelum kaidah-kaidah itu mulai dilaksanakan, Raffles harus mengikisi wibawa kekuasaan para pembesar Bumiputra tak ubahnya seperti yang dikerjakan oleh Daendles. Pengikisan wibawa itu menimpa Palembang, Cirebon, Jawa Tengah dan Makassar. Macam-macam dalih yang digunakan oleh Raffles untuk melemahkan raja-raja tersebut, tetapi alasan utamanya adalah mereka cenderung menonjolkan kedaulatan dan kemandirian. Setelah kekuasaan likal dikikis, Raffles membagi daerahnya menjadi 16 keresidenan, termasuk empat daerah kekuasaan Jawa Tengah.penguasaan daerah itu disebut resident menggantikan prefek, istilah ciptaan Daendles.
            Lalu tibalah saatnya, Oktober 1813, Raffles coba memperkenalkan sumber pendapatan pemerintahnya dari pajak tanah (land-rent). Pajak ini diharapkan dibayar dalam bentuk uang kontan. Hanya dalam keadaan terpaksa, rakyat boleh menggantikannya dengan hasil bumi, khususnya padi. Sehubung dengan itu dibedakan dua jenis mutu tanah dengan tingkat pajak yang berbeda pula, yaitu sawah dan tegalan. Hasil sawah kelas satu dibebani 50 persen pajak, kelas dua 40 persen, dan kelas tiga 33 persen. Hasil tagelan kelas satu kena pajak 40 persen, kelas dua 33 persen dan kelas tiga 25 persen.
            Kendati demikian, tak bisa disangkal unggulnya ideal pemerintahan yang diinginkan oleh Raffles dibanding pola Belanda. Penyerahan paksa hasil bumi membutuhkan kekuasaan perantara yang rumit. Kekuasaan perantaraan itu tidak hanya terdiri dari pejabar Belanda dan pembesar Bumiputra, tetapi juga orang-orang cina yang memborong tugas-tugas pemungutan (tax farming). Mereka tidak hanya mengambil lebih banyak untuk diri sendiri dari pada yang diterima oleh pemerintah, tetapi juga melemahkan masyarakat dengan pemerasan hasil dan tenaga rodi. Ideal pemerintahan Raffles mensyaratkan, tak ada pemerintahan yang bisa bertahan jika aparatnya rusak oleh korupsi dan masyarakat yang tak berdaya oleh beban yang terlalu menindih.
            Mudah membayangkan betapa kuat daya tarik system pajak tanah ini bagi Raffles. Masalahnya adalah cocok tidaknya pola itu dengan susunan masyarakat Nusantar, khususnya Jawa. Dalam hal ini, tampaknya Raffles berpendapat bahwa pola itu sesuai sekali. Dari apa yang didengarnya, sejak dahulu tanah di Nusantarra dianggap merupakan milik pengusaha yang berdaulat. Dalam hal ini, Raffles keliru, sebagaimana ternyata setelah penelitian pemerintah Hindia-Belanda selama 1867-1912.
            Kendati demikian, Raffles menganggap bahwa pola pemilikan tanah oleh penguasa, seperti yang didengarnya itu, patut juga berlaku dibawah kekuasaan Inggris. Perbedaannya, Raffles menganggap bahwa antara pemerinttah dan masyarakat penggarap tanah tak boleh ada kekuasaan lain yang turut campur untuk mengambil keuntungan buat diri sendiri. Bahkan pemerintahnya pun hanya berhak menerima pajak dari para penggarap.
            Agar penerimaan pajak tidak kembali menjadi sumber penyelewengan para pejabat, Raffles menegaskan terpisahnya fungsi pendapatan (revenue) dan fungsi peradilan (judicial) dalam wewenang pemerintahan. Ia tentu berharap bahwa dengan demikian aparatnya sendiri akan terhindar dari penyelewengan kekuasaan, sepeti mengambil secara paksa dari penduduk, baik hasil bumi (contingenten) maupun kerja rodi (herendiensten).
            Pada mulanya Raffles melaksanakan rencana fiskalnya dengan kepala desa sebagai wakil penggarap sesuai dengan dua proklamasi tersebut diatas. Setahun kemudian, 1814, ia berpendapat lain. Aparat pemungut pajak menurutnya harus langsung berhubungan dengan setiap orang yang menggarap tanah, bukan kepala desa. Dalam penjelasannya kepada Lord Minto, ia mengatakan telah memutuskan memilih apa yang dikenal denga India sebagai ryotwari(individu), bukan zamindari (kepala desa).
            Dalam pelaksanaan pola fiscal Raffles tersebut tidak sebagus rencananya.dengan hanya 12 orang tenaga inti, sekedar pengawasan pun sudah jelas susah dilaksanakan, apalagi pekerjaan yang begitu luas, rumit dan rinci. Pejabat yang orang eropa, termasuk residen, kebingungan karena tidak mengenal lapangan. Karena pengumpulan pajak tak mungkin ditunda sampai petugas mahir lapangan, pelaksanaan berlangsung seenaknya saja. Akibatnya, pencatatan kacau dan pola Belanda pun sering terpaksa dilakukan.
            Petugas Bumiputra sendiri tak bisa berbuat banyak. Hamper setiap kepala desa buta huruf, jangankan mencatat data dalam formulir, menghitungpun mereka susah. Masuk akal jika kepala desa lebih sering mengarang data, menggampangkan tugas dengan menggabungkan beberapa desa sekaligus, bahkan menyelewengkan kekuasaannya.
                        Hasil penelitian komisi jendral pada 1816, ketika kekuasaan Belanda dipulihkan, menunjukkan tiadanya pola yang jelas dalam pemungutan pajak. Di Cirebon misalnya, mula-mula taksiran pajak berjumlah 156.000 rupiah. Oleh pejabat yang baru dating taksiran naik menjadi 399.000 rupiah. Pajak yang nyata terkumpul cuma 89.000 rupiah. Di Surabaya, taksiran pajak bisa mengambil 80 persen hasil. Penduduk sering menolak membayar sehingga pejabat harus main paksa. Betapa tidak, penaksiran memang sering tidak tahu mutu tanah dari peri kehidupan penggarapan.
Daftar Pustaka
Aziz, Maliha dan Asril .2006.sejarah indonesia III.pekanbaru :Cendikia Insani Pekanbaru
 Simbolon Parakitri. 2007. Menjadi Indonesia. Jakarta: Penerbit Kompas