SISTEM SEWA TANAH (LANDRENTE) MASA RAFFLES

AINIL HAYATI / A / SI3
Kemenangan Inggris dalam perang melawan Belanda-Prancis, menandai berakhirnya kekuasaan Belanda di Nusantara. Kekuasaan Inggris di Indonesia mencakup Jawa, Palembang, Banjarmasin, Makassar, Madura, dan Sunda Kecil. Pusat pemerintahan Inggris atas Indonesia berkedudukan di Madras, India dengan Lord Minto sebagai gubernur jenderal. Daerah bekas jajahan Belanda dipimpin oleh seorang letnan gubernur yang bernama Stamford Raffles (1811-1816).
Selama pemerintahannya Raffles banyak melakukan pembaharuan yang bersifat liberal di Indonesia. Pembaharuan yang dilakukan Raffles di Indonesia secara teoritis mirip dengan pemikiran Dirk van Hogendorp pada tahun 1799. Inti dari pemikiran kedua orang tersebut adalah kebebasan berusaha bagi setiap orang, dan pemerintahan hanya berhak menarik pajak tanah dari penggarap. Pemerintahan dijalankan untuk mencapai kesejahteraan umum, dan kesadaran baru bahwa baik serikat dagang, terlebih kekuasaan negara tidak mungkin bertahan hidup dengan memeras masyarakatnya.
Gagasan Raffles mengenai sewa tanah ini dilatar belakangi oleh keadaan Jawa yang tidak memuaskan dan tidak adanya kebebasan berusaha. Gagasan dan cita-cita Raffles merupakan pengaruh dari Revolusi Perancis yaitu prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan yang semula tidak ada pada masa Belanda. Pada masa pemerintahan Belanda, para pedagang pribumi dan Eropa mengalami kesulitan dalam hal berdagang. Hal ini disebabkan oleh adanya sistem monopoli yang diterapkan pemerintah Belanda. Sistem monopoli yang diterapkan oleh pemerintahan Belanda ini pada masa Raffles diganti dengan perdagangan bebas.
Selain itu adanya paksaan dari pemerintah Belanda kepada para petani untuk menyediakan barang dan jasa sesuai kebutuhan Belanda, mengakibatkan matinya daya usaha rakyat. Oleh karena itu, pada masa Raffles inilah masyarakat diberi kebebasan bekerja, bertanam, dan penggunaan hasil usahanya sendiri. Pada masa Raffles para petani diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam.
Tidak adanya kepastian hukum pada masa pemerintahan Belanda, telah mengakibatkan terjadinya kekacauan di berbagai daerah. Tidak adanya perlindungan hukum untuk para para penduduk mengakibatkan adanya sikap sewenang-wenang para penguasa pribumi. Tidak adanya jaminan bagi para petani mengakibatkan hilangnya dorongan untuk maju. Sesuai pernyataan Hogendorf, ia tidak percaya pendapat orang-orang Eropa tentang kemalasan orang Jawa, karena apabila diberi kebebasan menanam dan menjual hasilnya, petani-petani Jawa akan terdorong untuk menghasilkan lebih banyak dari pada yang dicapai dibawah masa Belanda.
Jika kebebasan dan kepastian hukum dapat diwujudkan, untuk mencapai kemakmuran orang-orang Jawa yang dahulunya tertindas akan dapat berkembang. Masyarakat pun dengan keinginannya sendiri akan menanam tanaman-tanaman yang diperlukan oleh perdagangan di Eropa. Semua ini pada akhirnya juga akan menguntungkan bagi perekonomian pihak Inggris.
Stelsel yang diterapkan pemerintah Belanda sangat ditentang oleh Raffles, hal ini dikarenakan munculnya penindasan dan menghilangkan dorongan untuk mengembangkan kerajinan. Secara makro kondisi ini akan menyebabkan rendahnya pendapatan negara atau negara mengalami kerugian. Pada hakikatnya pemerintahan Raffles menginginkan terciptanya suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan yang dahulu melekat pada sistem penyerahan paksa dan pekerjaan rodi yang dijalankan pemerintah Belanda.Dalam pemerintahannya, Raffles menghendaki adanya sistem sewa tanah atau dikenal jugadengan sistem pajak bumi dengan istilah landrente.
PELAKSANAAN SEWA TANAH
Sewa tanah diperkenalkan di Jawa semasa pemerintahan peralihan Inggris (1811-1816) oleh Gubernur Jenderal Stamford Raffles, yang banyak menghimpun gagasan sewa tanah dari sistem pendapatan dari tanah India-Inggris. Sewa tanah didasarkan pada pemikiran pokok mengenai hak penguasa sebagai pemilik semua tanah yang ada. Thomas Stamford Raffles menyebut Sistem Sewa tanah dengan istilah landrente. Peter Boomgard (2004:57) menyatakan bahwa: Kita perlu membedakan antara landrente sebagai suatu pajak bumi atau lebihtepat pajak hasil tanah, yang diperkenalkan tahun 1813 dan masih terus dipungut pada akhir periode colonial, dan andrente sebagai suatu sistem (Belanda: Landrente Stelsel), yang berlaku antara tahun 1813 sampai 1830.
Dalam usahanya untuk melaksanakan sistem sewa tanah ini Raffles berpegang pada tiga azas, yaitu:
  1. Segala bentuk dan jenis penyerahan wajib maupun pekerjaan rodi perlu dihapuskan dan rakyat tidak dipaksa untuk menanam satu jenis tanaman, melainkan mereka diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam.
  2. Pengawasan tertinggi dan langsung dilakukan oleh pemerintah atas tanah-tanah dengan menarik pendapatan atas tanah-tanah dengan menarik pendapatan dan sewanya tanpa perantara bupati-bupati, yang dikerjakan selanjutnya bagi mereka adalah terbatas pada pekerjaan-pekerjaan umum
  3. Menyewakan tanah-tanah yang diawasi pemerintah secara langsung dalam persil-persil besar atau kecil, menurut keadaan setempat, berdasarkan kontrak-kontrak untuk waktu yang terbatas.
Untuk menentukan besarnya pajak, tanah dibagi menjadi tiga kelas,yaitu:
1.    Kelas I, yaitu tanah yang subur, dikenakan pajak setengah dari hasil bruto.
2.    Kelas II, yaitu tanah setengah subur, dikenakan pajak sepertiga darihasil bruto.
3.    Kelas III, yaitu tanah tandus, dikenakan pajak dua per lima dari hasil bruto.
Tanah disewakan kepada kepala-kepala desa di seluruh Jawa yang pada gilirannya bertanggungjawab membagi tanah dan memungut sewa tanah tersebut. sistem sewa tanah ini pada mulanya dapat dibayar dengan uang atau barang, tetapi selanjutnya pembayarannya menggunakan uang. Gubernur Jenderal Stamford Raffles ingin menciptakan suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan, dan dalam rangka kerjasama dengan raja-raja dan para bupati.
Kepada para petani, Gubernur Jenderal Stamford Raffles ingin memberikan kepastian hukum dan kebebasan berusaha melalui sistem sewa tanah tersebut. Kebijakan Gubernur Jenderal Stamford Raffles ini, pada dasarnya dipengaruhi oleh semboyan revolusi Perancis dengan semboyannya mengenai "Libertie (kebebasan), Egaliie (persamaan), dan Franternitie (persaudaraan)". Hal tersebut membuat sistem liberal diterapkan dalam sewa tanah, di mana unsur-unsur kerjasama dengan raja-raja dan para bupati mulai diminimalisir keberadaannya.
Sehingga hal tersebut berpengaruh pada perangkat pelaksana dalam sewa tanah, di mana Gubernur Jenderal Stamford Raffles banyak memanfaatkan colonial (Inggris) sebagai perangkat (struktur pelaksana) sewa tanah, dari pemungutan sampai pada pengadministrasian sewa tanah. Meskipun keberadaan dari para bupati sebagai pemungut pajak telah dihapuskan, namun sebagai penggantinya mereka dijadikan bagian integral (struktur) dari pemerintahan colonial, dengan melaksanakan proyek-proyek pekerjaan umum untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Tiga aspek pelaksanaan sistem sewa tanah:Penyelenggaraan sistem pemerintahan atas dasar modern, Pelaksanaan pemungutan sewa, Pananaman tanaman dagangan untuk dieksport. Hal yang inin dicapai oleh Raffles dalam sistem sewa tanah ini adalah : Memberikan kebebasan berusaha kepada para petani Jawa melalui pajak tanah dan mengaktifkan sistem administrasi Eropa yang berarti penduduk pribumi akan mengenal ide-ide Eropa mengenai kejujuran, ekonomi, dan keadilan.
TANAMAN DAN SISTEM PERDAGANGAN SEWA TANAH
Pada sistem sewa tanah, petani diberi kebebasan untuk menanam apapun yang mereka kehendaki. Namun gantinya rakyat mulai dibebani dengan sistem pajak. Kebebasan untuk menanam tanaman tersebut tidak dapat dilaksanakan di semua daerah di pulau Jawa. Daerah-daerah milik swasta atau tanah partikelir dan daerah Parahyangan masih menggunakan sistem tanam wajib. Pelaksanaannya di Parahyangan, Inggris enggan untuk mengganti penanaman kopi karena merupakan sumber keuntungan bagi kas negara. Tanaman yang dianjurakan untuk ditanam adalah tanaman ekspor seperti kopi dan tebu.
PENYEBAB KEGAGALAN SISTEM SEWA TANAH
1.    Keuangan negara yang terbatas, memberikan dampak pada minimnya pengembangan pertanian.
2.    Pegawai-pegawai negara yang cakap jumlahnya cukup sedikit, selain karena hanya diduduki oleh para kalangan pemerinah Inggris sendiri, pegawai yang jumlahnya sedikit tersebut kurang berpengalaman dalam mengelola sistem sewa tanah tersebut.
3.    Masyarakat Indonesia pada masa itu belum mengenal perdagangan eksport seperti India yang pernah mengalami sistem sewa tanah dari penjajahan Inggris. Dimana pada abad ke-9, masyarakat Jawa masih mengenal sistem pertanian sederhana, dan hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Sehingga penerapan sistem sewa tanah sulit diberlakukan karena motifasi masyarakat untuk meningkatkan produksifitas pertaniannya dalam penjualan ke pasar bebas belum disadari betul.
4.    Masyarakat Indonesia terutama di desa masih terikat dengan feodalisme dan belum mengenal ekonomi uang, sehingga motifasi masyarakat untuk memperoleh keuntungan dari produksifitas hasil pertanian belum disadari betul.
5.    Pajak tanah yang terlalu tinggi, sehingga banyak tanah yang terlantar tidak di garap, dan dapat menurunkan produksifitas hasil pertanian.
6.    Adanya pegawai yang bertindak sewenang-wenang dan korup.
7.    Singkatnya masa jabatan Raffles yang hanya bertahan lima tahun, sehingga ia belum sempat memperbaiki kelemahan dan penyimpangan dalam sistem sewa tanah.
Daftar Pustaka
Aziz, Maliha dan Asril. Sejarah Indonesia III. Pekanbaru: Cendikia Insani
Yuzar, Muhammad, dkk. 2006. Sejarah Untuk SMA Kelas XI IPS dan Sederajat.Yogyakarta: Amara.

PRIANGAN DALAM ABAD XVIII

AINIL HAYATI / A / SI3

            Daerah Priangan yang diperoleh oleh VOC dari Mataram pada tahun 1677 dan 1705 menjadi sebuah daerah langsung yang berada dibawah pengawasan kekuasaan VOC. Dengan demikian tujuan politik-politik VOC tercapai, yaitu tujuan untuk membentuk daerah pemisah antara dua kerajaan, dimana dua kerajaan ini merupakan lawan yang sangat berkuasa yaitu Banten dan Mataram. Disamping itu, tujuan pokok VOC bukanlah melakukan pemerintahan langsung tetapi lebih banyak untuk memungut hasil daerah untuk perdagangannya. Jadi, pemerintahan diserahkan kepada para bupati-bupati yang telah turun-temurun menjalankan pemerintahan di wilayahnya. Jika sebelum tahun1677 para bupati ini memerintah atas nama Sunan, maka sejak kedatangan VOC menjadi atas nama VOC, dan berstatus sebagai pegawai. VOV tidak ikut campur dalam hal pemerintahan, tetapi hanya dalam hal perdagangan saja.
            Politik kolonial dengan sistem pemerintahan tak langsung itu memang sesuai dengan kepentingan VOC. Meskipun begitu sistem penyerahan hasil tanaman yang dikenal sebagai sistem Sistem Priangan (Prianger stelsel) mempunyai dampak besar bagi masyarakat Priangan. Perubahan sistem tanaman kopi dari sistem bebas ke  tanam paksa tahun 1723 membuat beban orang pribumi bertambah. Untuk menghindari beban itu, timbulah mobilitas penduduk, sehingga banyak yang keluar dari kampung halaman mereka. Diluar sistem wajib tanam kopi, campur tangan VOC yang lain adalah dalam bidang pengadilan dan pengangkatan pejabat.
            Sejak tahun 1706 pengangkatan patih dilakukan oleh Gubernur Jenderal dan sejak tahun 1790 pengangkatan distrik perlu mendapat persetujuan komisaris VOC. Lama kelamaan kekuasaan Bupati mulai dibatasi. Karena bupati tidak digaji VOC dan hanya menerima imbalan dari penyerahan kopi, maka banyak bupati yang berhutang khususnya berhutang kepada komisaris. Dari imbalan itu, bupati haru menghadapi bukan hanya keluarga tetapi juga bawahannya juga. Bupatijuga mendapat pendapatan dari pemungutan pajak dan dari setiap panen memperoleh sepersepuluh atau seperduapuluh dari hasil panen. Berbicara tentang komisaris VOC, meski tidak memperoleh gaji ( sejak tahun 1799), tapi dia tetap bisa hidup dari bunga yuang yang dipinjamkan kepada Bupati. Komisaris lebih banyak yang tinggal di Batavia, "sersan kopi" adalah agen VOC yang ditempatkan di ibu kota kabupaten untuk mengawasi tanaman kopi dan juga sebagai mata-mata VOC, dan sangat ditakuti.
            Sejak akhir tujuh puluhan, abad XVIII timbul keresahan di sekitar pemerintahan Gubernur-Jenderal serta wakilnya didaerah. Keadaan VOC waktu itu sangat parah, lalu kemudian mulai dilakukan reformasi pada masa pemerintahan Daendels. Menurut traktat 1677 Amangkurat II menyerahkan kepada VOC daerah antara Cisadane (untung jawa) dan Citarum (Krawang), sedangkan menurut traktat 1705 P.B.I menyerahkan daerah Limbangan, Sukapura, dan Galuh. Tahun 1681 para bupati Priangan telah mengucapkan sumpah setia kepada sunan dan VOC di Cirebon, yaitu dari Sumedang, Galuh, Sukapura, Parakanmuncang, dan Bandung. Para Bupati dingkat VOC sebagai pegawai VOC dan bertugas menjaga keamanan dan ketertiban wilayahnya serta menyerahkan hasil tanaman. VOC selalu menghindari menyebut para Bupati itu sebagai pegawai karena tidak digaji. Lambat laun peraturan-peraturan VOC semakin jelas menentukan tugas dan kewajiban para Bupati maka pada akhir abad XVIII VOC sudah menjalankan kekuasaannya untuk memindahkan, menghentikan, dan menghukum mereka. Pada tahun 1798, kebupaten Pagaden digabung dengan Pamanukan, dan pada tahun 1802 Batulayang dimasukkan ke dalam kabupaten Bandung.
            Dua bupati mempunyai kedudukan khusus ialah bupati Tangerang dan bupati Kampungbaru (Buitenzorg). Bupati pertama dari Tangerang berasal dari Banten dan karena loyalitasnya kepada VOC diangkat sebagai bupati serta diberi gaji bulanan. Dinyatakan bahwa VOC telah memberi tanah kedudukan sehingga dia dapat hidup dari hasil pungutannya. Jadi, Bupati ini berbeda dengan bupati lainnya yang sejak semula berkuasa didaerah masing-masing. Bupati kampungbaru sebelumnya adalah letnan kelompok Jawa Martakara. Pada tahun 1730 dia diangkat sebagai demang dan berkedudukan sebagai bupati. Kemudian beliau menjadi penyewa tanah Buitenzorg dan pemilik seluruh kabupaten kampungbaru.
            Ketika VOC menerima daerah Priangan yang berdasarkan oleh perjanjian traktat 1705, secara tidak langsung memasukkannya sebagai daerah yang berada langsung dibawah pemerintahan yang langsung diawasi oleh orang  Eropa, maka sebagai pengawas diangkatlah Aria Gede Adiwijaya alias Aburrahman Mohamad Kaharudin ( seorang saudara bungsu raja Cirebon ). Daerah kekuasaannya meliputi : Limbangan, Ciasam, Pamanukan, dan Pangaden. Tugasnya adalah :
1.      Menjaga perdamaian antara para bupati dan mencegah adanya perebutan penduduk
2.      Mendorong penanaman padi
3.      Mewajibkan penyerahan kapas, indigo, dan lada dengan suatu pembayaran
4.      Tidak memperbolehkan pengangkatan Patih tanpa persetujuannya dari residen di Cirebon. Pada tahun 1723, Pangeran Aria meninggal dan VOC tidak mencari penggantinya.
Pengangkatan-pengangkatan para bupatisecara resmi telah dilaksanakan oleh Jacob Couper, yaitu pangeran Sumedang sebagai bupati Sumedang, Angabei Wangsatanu sebagai bupati Pamanukan, Angabei Kartayuda sebagai bupati bupati Ciasem. T. Tanubaya sebagai bupati Parakanmuncang, T. Wiradadaha di Sukapura, Demang Timbanganten untuk Bandung, Kyai Dipati Imbanagara di galuh, Kiyai Sutananga di Gadu dan Kawesan dan Ngabei di Bojonglopang. Kepada mereka-mereka inilah telah disampaikan dokumen yang memuat tujuh buah peraturan dari Jacob Couper. Akte pengangkatan pertama telah diberikan pada tanggal 24 desember 1701 yaitu kepada Wangsatanu.
Telah menjadi kebijaksanaan VOC untuk menunujuk putra tertua sebagai pengganti bupati, akan tetapi sering terjadi penyimpangan, seperti : apabila putra tertua belum dewasa waktu ayahnya meninggal, maka saudara laki-laki bupati tersebut yang diangkat untuk sementara atau bahkan untuk selamanya. Sebagai contoh, pada kasus penggantian demang timbanganten, VOC mengangkat orang lain yang bukan dari keluarganya,  yaitu Wira Angon-angon, karena ia telah memihak Banten. VOC juga sering mengangkat para bupati yang berasal dari luar daerah. Telah menjadi sebuah kebiasaan bagi VOC menempatkan bupati kedaerah lain dan memberi gelar, seperti Demang, Tumenggung, Aria, dan Adipati. VOC juga tidak ragu-ragu untuk menindak bupati yang korup, sepertiyang terjadi dengan R. Janagara, bupati Pamanukan yang dipecat dan diasingkan ke Batavia.
Dari kebijaksanaan-kebijaksanaan yangditempuh seperti yang telah dijelaskan diatas, jelaslah bahwa kedudukan bupati adalah pegawai VOC, dan menjadi bawahan VOC. Pada masa pemerintahan Daendels diadakan peraturan-peraturan yang secara tegas membatasi hak-hak dan kewajiban Bupati, yang berlangsung pada tanggal 31 Maret 1809. Dalam pasal 20 secara khusus menyatakan bahwa bupati dilarang menerima hadiah-hadiah, kecuali hadiah-hadiah yang berupa hasil kebun, seperti buah-buahan, itik, ayam, dan lain sebagainya.
Hirarki dalam pemerintahan tersusun sebagai berikut: di bawah bupati ada seorang Patih. Sejak zaman dahulu para Kepala Cutak menjadi penguasa dan pelaksana dari perintah atasan. Pemerintahan daerahnya dilakukan oleh pembantu-pembantunya yaitu para camat. Unit teritorial yang mencakup lebih dari sepuluh keluarga dipimpin oleh paling banyak dua kepala, yaitu seorang Kuwu atau seorang Mantri dan seorang Petinggi atau Lurah. Unit berpenduduk dibawah sepuluh keluarga dikepalai oleh seorang Lurah.
Struktur pemerintahan di Priangan oleh VOC dipakai sebagai landasan bagi sistem pemerintahannya secara tidak langsung. Fungsinya yang dualistis dipertahankan oleh VOC karena penguasa pribumi sangat efektif dalam melakukan peranannya sebagai perantara dalam penyaluran hasil dagangan yang dibutuhkan oleh VOC, khususnya kopi. Bupati juga berfungsi sebagai leverancier hasil tersebut.
Pada tahun 1696, tanaman kopi pertama kali masuk ke Jawa, 11 tahun kemudian diserahkanlah tanaman kopi oleh G.J. Van Hoorn kepada Bupati dan pada tahu 1711 bupati Cianjur mendapat panen pertama. Pada awalnya kopi diperdagangkan secara bebas, kemudian ada penentuan harga secara sepihak oleh VOC dan akhirnya pada tahun 1740 diadakan peraturan contingenten (wajib setor dalam jumlah tertentu). Para bupati Cirebon wajib menyerahkan 12 ribu pikul setiap tahunnya, sedangkan untuk kabupaten Sumedang, Bandung, dan Parakanmuncang 20 ribu pikul. Kepentingan untuk perdagangan diutamakan, bila perlu diadakan tindakan untuk mempertahankan harga tinggi, antara lain menebang sebagian pohon-pohon kopi pada tahun 1735 dan 1738. Pada tahun 1759 dan 1763 produksi merosot karena kekurangan tenaga kerja sebagia akibat berjangkitnya wabah penyakit.
Orang-orang pribumi harus wajib kerja, maka untuk mencegah orang pribumi melarikan diri, maka pada tahun 1739 dibuat plakat larangan untuk pergi keluar daerah. Selain wajib tanam, VOC juga mulai memasukkan sistem pajak, antara lain untuk ternak, pembuatn garam, pasar dan lain-lainnya. Dalam pelaksanaan pemerintahan, komisaris mempunyai pengaruh besar atas para bupati, karena nasib bupati tergantung dari penilaian komisaris. Komisarris mencari keuntungan sendiri dan memperkaya diri mereka dengan meminjamkan uang kepada para pembesar pribumi, antara lain dengan pemberian persekot. Perhatian mereka pada rakyat sangat kurang dan bahkan tidak ada.
Daftar Pustaka
Kartodirdjo, Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 dari Emperium sampai Imperium Jilid 1. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Yuzar, Muhammad, dkk. 2006. Sejarah Untuk SMA Kelas XI IPS dan Sederajat.Yogyakarta: Amara

TOKOH-TOKOH PENENTANG TANAM PAKSA DAMPAK TANAM PAKSA


DARMAWAN/A/SI3

          Golongan yang menentang tanam paksa di Indonesia sendiri terdiri atas golongan bawah yang merasa iba mendengar keadaan petani yang menderita akibat tanam paksa. Mereka menghendaki agar tanam paksa dihapuskan berdasarkan peri kemanusiaan. Kebanyakan dari mereka diilhami oleh ajaran agama. Sementara itu dari golongan menengah yang terdiri dari pengusaha dan pedagang swasta yang menghendaki agar perekonomian tidak saja dikuasai oleh pemerintah namun bebas kepada penanam modal. Tokoh Belanda yang menentang pelaksanaan Sistem tanam paksa di Indonesia, antara lain sebagai berikut.

1. Eduard Douwes Dekker (1820–1887)
Eduard Douwes Dekker atau Multatuli sebelumnya adalah seorang residen di Lebak, (Serang, Jawa Barat). Ia sangat sedih menyaksikan betapa buruknya nasib bangsa Indonesia akibat sistem tanam paksa dan berusaha membelanya. Ia mengarang sebuah buku yang berjudul Max Havelaar (lelang kopi perdagangan Belanda) dan terbit pada tahun 1860. Dalam buku tersebut, ia melukiskan penderitaan rakyat di Indonesia akibat pelaksanaan sistem tanam paksa. Selain itu, ia juga mencela pemerintah Hindia-Belanda atas segala kebijakannya di Indonesia. Eduard Douwes Dekker mendapat dukungan dari kaum liberal yang menghendaki kebebasan. Akibatnya, banyak orang Belanda yang mendukung penghapusan Sistem Tanam Paksa.

2. Baron van Hoevell (1812–1870)
Selama tinggal di Indonesia, Baron van Hoevell menyaksikan penderitaan bangsa Indonesia akibat sistem tanam paksa. Baron van Hoevell bersama Fransen van de Putte menentang sistem tanam paksa. Kedua tokoh itu juga berjuang keras menghapuskan sistem tanam paksa melalui parlemen Belanda.

3. Fransen van der Putte (1822-1902)
Fransen van der putte yang menulis 'Suiker Contracten' sebagai bentuk protes terhadap kegiatan tanam paksa.

4. Golongan Pengusaha
      Golongan pengusaha menghendaki kebebasan berusaha, dengan alasan bahwa sistem tanam paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal. Akibat reaksi dari orang-orang Belanda yang didukung oleh kaum liberal mulai tahun 1865 sistem tanam paksa dihapuskan. Penghapusan sistem tanam paksa diawali dengan penghapusan kewajiban penanaman nila, teh, kayu manis (1965), tembakau (1866), tanaman tebu (1884) dan tanaman kopi (1916). Hasil dari perdebatan di parlemen Belanda adalah dihapuskannya cultuur stelsel secara bertahap mulai tanaman yang paling tidak laku sampai dengan tanaman yang laku keras di pasaran Eropa. Secara berangsur-angsur penghapusan cultuurstelsel adalah sebagai berikut.
  • Pada tahun 1860, penghapusan tanam paksa lada.
  • Pada tahun 1865, penghapusan tanam paksa untuk the dan nila.
  • Pada tahun 1870, hampir semua jenis tanam paksa telah dihapuskan.

       Karena banyaknya protes dan reaksi atas pelaksanaan sistem tanam paksa yang tidak berperikemanusiaan tidak hanya di negara Indonesia namun di negeri Belanda, maka sistem tanam paksa dihapuskan dan digantikan oleh politik liberal kolonial.
DAMPAK  TANAM PAKSA

1. Bagi Belanda
Positif
a)      Meningkatnya hasil tanaman ekspor dari negeri jajahan dan dijual Belanda di pasaran Eropa.
b)      Perusahaan pelayaran Belanda yang semula hampir mengalami kerugian, tetapi pada masa tanam paksa mendapatkan keuntungan.
c)      Belanda mendapatan keuntungan yang besar, keuntungantanam paksa pertama kali pada tahun 1834 sebesar 3 juta gulden, pada tahun berikutnya rata-rata sekitar 12 sampai 18 juta gulden.
d)     Kas belanda yang semula kosong dapat dipenuhi.
e)      Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja.
f)       Belanda tidak mengalami kesulitan keuangan lagi dan mampu melunasi utang-utang Indonesia.
g)      Menjadikan Amsterdam sebagai pusat perdagangan hasil tanaman tropis.
1.      Negative
h)      Meluasnya bentuk milik tanah bersama(komunal) tujuannya mempermudah menetapakan target yang harus dicapai oleh masing-masing desa sebagai satu keseluruhan. Hal ini berarti kepastian hukum individu telah lepas.
i)        Meluasnya kekuasaan bupati dan kepala desa yang digunakan pemerintah Belanda sebagai alat organisir masyarakat. Menimbulkan banyak penyelewengan salah satunya dari cultuurprocenten.
j)        Tanah tanah pertanian  yang harus dijadikan untuk tanaman dagang sering melebihi seperlima dari seluruh tanah pertanian di desa.
k)      Disintegrasi struktur sosial masyarakat desa.

II. Bagi Indonesia
1.      Positif
l)        Belanda menyuruh rakyat untuk menanam tanaman dagang yang bernilai jual untuk diekspor Belanda. Dengan ini rakyat mulai mengenal tanamn ekspor seperti kopi, nila, lada, tebu.
m)    Diperkenalkannya mata uang secara besar – besaran samapai lapisan terbawah masyarakat Jawa.
n)      Perluasan jaringan jalan raya. Meskipun tujuannya bukan untuk menaikan taraf hidup masyarakat Indonesia melainkan guna kepentingan pemerintah Belanda sendiri, tetapi hal ini mencipatakan kegiatan ekonomi baru orang Jawa dan memungkinkan pergerakan penduduk desa masuk ke dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan uang. 
o)      Berkembangnya industialisasi di pedesaan
2.      Negative
p)      Kemiskinan dan penderitaan fisik dan mental yang berkepanjangan.
q)      Beban pajak yang berat.
r)       Pertanian, khusunya padi banyak mengalami kegagalan panen.
s)       Kelaparan dan kematian terjadi di mana-mana.
t)       Pemaksaan bekerja sewenang-wenang kepada penduduk pribumi.
u)      Jumlah penduduk Indonesia menurun.
v)      Segi positifnya, rakyat Indonesia mengenal teknik menanam jenis-jenis tanaman baru.
w)    Rakyat Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang laku dipasaran ekspor Eropa.
x)      Memperkenalkan teknoligo multicrops dalam pertanian.


DAFTAR PUSTAKA

Ø  Aziz, ddk,2006.'sejarah Indonesia III. Pekanbaru.cendikia insane.
Ø  Parakitri T. simbolun.September 2006Menjadi Indonesia,pt, kompas mesia nusantara
Ø