PERKEMBANGAN PENDIDIKAN SENI DAN ARSITEKTUR DI PRANCIS ANTARA ABAD KE-10 SAMPAI KE-20


Nurlina/SP
Prancis merupakan salah satu negara di benua Eropa yang sangat terkenal keberadaannya. Prancis adalah negara yang terletak di Eropa Barat dan memiliki berbagai pulau yang terletak di benua lain. Prancis berbatasan dengan Belgia, Luksemburg, Jerman, Swiss, Italia, Monako, Andorra, dan Spanyol. Karena memiliki departemen seberang laut, Prancis juga berbagi perbatasan tanah dengan Brazil dan Suriname.
Prancis adalah negara maju, dengan ekonomi terbesar keenam (PDB nominal) atau kedelapan (PPP) terbesar di dunia. Prancis merupakan negara yang paling banyak dikunjungi di dunia, menerima 82 juta turis asing per tahun (termasuk pelancong bisnis, tapi tak termasuk orang yang menetap kurang dari 24 jam di Prancis). [1]
Selain terkenal dengan tempat-tempat wisata yang menakjubkan bagi para turis asing, Prancis juga terkenal dengan pendidikannya. Di Prancis, ada sekitar 300.000 mahasiswa asing dari berbagai negara, sehingga tidak heran negara Prancis menduduki peringkat keenam sebagai tujuan favorit pelajar Internasional. Prancis memilki sistem pendidikan tinggi untuk pemberian gelar dan kuliah yang rumit. Namun, kini gelar di Prancis distandarisasi menjadi Licence, Master, dan Doctorat. Hal ini sama dengan gelar Sarjana, Master, dan Doktor di Indonesia. Secara berturut-turut, pendidikan di tiga level ini membutuhkan waktu selama dua dan tiga tahun.
Salah satu pendidikan yang terkenal di Prancis adalah pendidikan Seni dan Arsitektur. Seni dan Arsitektur termasuk salah satu program pilihan dalam pendidikan tinggi di Prancis. Disini, sekolah Seni (terapan) adalah institusi negeri yang berkualitas tinggi yang mengeluarkan ijazah nasional setelah tiga atau lima tahun masa studi. Ada juga sekolah swasta yang mengeluarkan ijazah dari sekolah mereka sendiri. Baik sekolah negeri maupun swasta, mempunyai karakteristik yang sangat selektif dalam penerimaan mahasiswa.
Selain itu, sebanyak 20 sekolah Arsitektur Nasional dibawah naungan Departemen Kebudayaan, mengeluarkan ijazah khusus untuk pendidikan dalam bidang arsitektur selama 6 tahun masa pendidikan, dimana nantinya siswa dapat melakukan manajemen proyek dan berhak menandatanganinya atas nama sendiri. [2]
a.    Seni
Di Prancis seni ukir pada abad ke-10 dan ke-11 belum berkembang pesat dan tidak banyak digunakan dalam membuat bangunan gereja atau katedral. Sebagai contohnya seni ukir gaya fresco yang masih sangat sederhana. Karya-karyanya masih kaku, berbentuk kasar dan tidak menarik, belum banyak menggunakan warna, dan sebagian besar ukirannya berupa pepohonan dan gambar binatang.
Selain itu, seni lukis pada abad ke-12 dan ke-13 di Prancis banyak mengalami kemajuan pesat dalam sejarahnya. Lukisan banyak dijumpai pada kaca-kaca jendela katedral dan puri yang berwarna-warni. Salah satu contoh lukisan itu ada di istana Paus di kota Avignon. Lukisan itu bertemakan keindahan alam yang hijau, gambaran kehidupan kerajaan, serta bertemakan keagamaan.
Seni lukis pada saat itu sudah banyak mendapat ide dan teknik dari Italia, terutama dari kota Sienne, yang mulai menggunakan kanvas sebagai medianya. Pelukis terkenal pada saat itu adalah Jeanne-Puchele yang karyanya lebih mengutamakan kehalusan, kecantikan, bentuk, dan keindahan model.
Seni lukis dengan media kayu juga berkembang berkat pengaruh seniman-seniman Italia, terutama di kota Trecento. Lukisan-lukisan itu biasanya bertemakan kematian orang-orang yang sangat mengharukan.
Ada juga lukisan kanvas yang diilhami pelukis-pelukis dari Italia dan Flamnde yang sangat maju dan terkenal disetiap provinsi pada saat itu. Misalnya, La Pitie Divilleneuve-Les Avignon, Le Couronnement de la Vierge d'Eguerrand Charton, lukisan Raja Charles VI, Etienne Chevalier, Juneval d'Ursin, Vierge sous les traits d'Agnes Sorel. Semua itu karya Jean Fouquet. Juga le Maitre de Moulin dan le Rentable de la Katedral de Moulins karya Jean Perreal. [3]
Disamping seni lukis, seni tenun bersulam juga berkembang di Prancis, terutama di kota Ambouson dan Felin. Seni tenun bersulam mendominasi dalam dekorasi puri dan gereja. Karya besar yang terkenal saat itu adalah Apocalypse d'Angers yang berkembang di Paris, Arras Tourna dan Tours.
Sedangkan seni musik di Prancis yang berkembang pada abad ke-10 sampai ke-12 adalah musik Nova. Misalnya, karya Philipe de Vitry. Bahasanya halus, sensitif, dan dapat dirasakan. Biasanya lagu-lagu yang digubah menggunakan tangga nada mayor dan minor, pada nada ketiga dan keenam. Pada abad ke-12 lahir musik dengan teknik beberapa suara yang dikenal dengan istilah Polyphonie. Musik yang sangat sederhana ini menggunakan alat seperti seruling yang berkantung dan orgel (sejenis biola yang dimainkan dengan memetik senarnya) yang sangat mudah dibawa kemana-mana.
Seni Polyphonie ini diciptakan oleh Perotin dan diberi nama seni suara Antiqua, yang telah menumbangkan seni yang lahir pada abad ke-10, yitu seni Nova karya Philipe de Vitry. Kemudian musikus Guillaum mengembangkan seni Polyphonie dari tahun 1300 sampai 1377. Dia menciptakan lagu-lagu gereja dengan empat suara. Seni ini menyebar ke Prancis Utara, Bourgoignon, Atois, dan Flamand. Musisi terkenal pada saat itu antara lain Guillaum Dufay, Gilles Biscois, Jan Van Ockeyhem Jos Quin Des Pres, dan Jacob Obrecht. Mereka menciptakan beraneka ragam musik gereja seperti lagu-lagu Misa, Motets (lagu-lagu gereja dengan beberapa nada), dan Psarmes (syair Mazmur).
Selain seni Polyphonie, di Prancis juga muncul roman-roman yang bertemakan cinta, puisi-puisi satiris yang penuh sindiran, dan dongeng-dongeng binatang (Fabliaux). Kemidian, muncul juga lagu-lagu atau puisi yang dibawakan oleh para penyanyi jalanan. Para penyanyi jalanan yang terkenal antara lain Adam de la Halle dan Le Bossu yang mengarang lagu Jeu de Robin et de Marion. [4]
Seni sastra juga terkenal pada saat itu. Molier adalah penulis ternama dari Prancis. Para penulis lainnya adalah Perrout de Saint Cloude dan Francois Rabelais. Selama abad ke-17 muncul karya-karya Pierre Corneille, Jean Racine, Blaise Pascal, dan Rene Descartes yang memengaruhi aristokrasi dan meninggalkan warisan penting bagi penulis di masa yang akan datang. Pada abad ke-18 dan ke-19 literatur dan syair Prancis mencapai masa kejayaan. Sedangkan para penulis fiksi yang terkenal pada abad ke-19 lainnya adalah Emile Zola, Guy de Maupassant, Theophile Gautier, Stendhal, Paul Verlaine, dan Stephane Mallarm.
b.   Arsitektur
Prancis terkenal dengan gaya arsitekturnya yang unik dan kaya. Oleh karena itu, banyak sekolah-sekolah arsitektur di Prancis. Pendidikan dalam bidang arsitektur ini juga sangat diminati oleh para mahasiswa karena sangat kagum dengan arsitektur yang ada di Prancis sendiri.
Secara teknis, tidak ada arsitektur yang diberi nama Arsitektur Prancis. Nama lama arsitektur Gothic adalah arsitektur Prancis, sebutan "Ghotic" muncul sebagai bentuk bergaya dan digunakan secara luas.
Sebelum munculnya arsitektur Gothic ini, Prancis telah menggunakan arsitektur Romawi seperti sebagian Eropa Barat (dengan pengecualian Semenanjung Iberia yang menggunakan arsitektur Moor). Beberapa contoh hebat gereja Romawi di Prancis adalah Basilika Saint Sernin di Toulouse dan reruntuhan Biara Cluny (hancur semasa Revolusi dan Perang Napoleon). [5]
Akhir perang seratus tahun menandakan tahap penting dalam perubahan arsitektur Prancis. Itulah masa Renaissans Prancis dan beberapa seniman dari Italia dan Spanyol di undang ke Prancis. Banyak istana kediaman, rancangan Italia, dibangun, terutama di Lembah Loire. Setelah Renaissans dan berakhirnya Abad Pertengahan, arsitektur Baroque menggantikan Ghotic. Tetapi di Prancis, arsitektur Baroque menuai kesuksesan besar dalam dominan sekuler daripada keagamaan. Dalam dominan sekuler, istana Versailles memiliki banyak fitur Baroque.
Setelah Revolusi Prancis, kaum republika memuja Neoklasikisme meskipun diperkenalkan sebelum revolusi dengan bangunan seperti Pantheon Paris atau Capitole de Toulouse. Dibangun selam kekaisaran Prancis, Arc de Triomphe dan Sainte Marie-Madeleine menampilkan tren ini sbagai yang terbaik.
Dibawah Napoleon III sebuah gelombang baru urbanisme dan arsitektur dilakukan. Bila beberapa bangunan menarik seperti Palais Garnier neo-baroque dibangun, maka perencanaan urban pada waktu itu sangat rapi dan hebat, misalnya, Baron Houssman membangun kembali Paris. Pada abad ke-19 Gustave Eiffel merancang banyak jembatan, antara lain Jembatan Gerabit, dan menjadi salah satu perancang  jembatan berpengaruh pada masa itu meskipun dia berhasil dikenang karena Menara Eiffel, yang sampai sekarang banyak dikunjungi oleh turis dari berbagai belahan dunia.
Dahulu, di Prancis setiap bangsawan yang berkuasa pada abad ke-10 dan ke-11 mempunyai puri yang sangat kuat terbuat dari batu sebagai benteng pertahanan dan tempat tinggal. Namun, pembangunan puri pada saat itu masih sangat sederhana, lembab, gelap, dan dingin karena hanya terdapat sedikit jendela. Sejalan dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknik, pembuatan puri pada abad ke-12 dan ke-13 sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan pembuatan puri pada abad ke-10 dan ke-11. Ruang-ruangnya tidak begitu gelap, tidak dingin, tidak lembab, dan banyak jendela. Contohnya, Chateau de Gailard dan Chateau de Coucy. Perabotannya juga lebih bagus, misalnya kursi-kursi yang bagus, peti, dan lemari berukir, dinding rumahnya dihiasi dengan kain renda yang bersulam dan lantainya dihiasi dengan permadani.
Berkat kemajuan pendidikan inilah , maka pada abad ke-13 Paris menjadi pusat kebudayaan dan seni di Eropa. Perkembangan ilmu matematika juga sangat mendukung perkembangan teknik arsitektur pada saat itu. Seni di Prancis pun semakin berkembang. Rasa seni yang tinggi telah mendorong rakyat Prancis untuk membangun katedral dengan gaya yang lain, yang sangat megah dan mengagumkan seperti digambarkan oleh seorang penulis terkenal Raoul Glaber.
Seluruh rakyat Prancis turut berpartisipasi dalam pembangunan katedral-katedral tersebut. Pembuatan katedral tersebut sering kali sangat lama. Misalnya pembangunan Katedral Notre Dame di Paris yang menghabiskan waktu selama 75 tahun (1160-1235). Arsitek-arsitek dari Prancis juga pergi ke luar negeri untuk membangun gereja dengan gaya Gothic di Inggris, Jerman, Spanyol, dan Italia.
Notes :
[1] Susilo, Taufik Adi (2009). Mengenal Benua Eropa. GARASI. Jogjakarta. Hal : 152
[2] http://www.lib.unair.ac.id/warungprancis/indeks.php/study/13-jenis-perguruan-tinggi-di-prancis-selain-univesitas-negeri
[3] Susilo, Taufik Adi (2009). Mengenal Benua Eropa. GARASI. Jogjakarta. Hal : 48
[4] Susilo, Taufik Adi (2009). Mengenal Benua Eropa. GARASI. Jogjakarta. Hal : 53
[5] http://adhityapunks76.blogspot.com/2010/05/arsitektur-prancis.html

LATAR BELAKANG KEBANGKITAN NASIONAL



SLAMET KABUL BUDIARTO / SIV
1.      Perkembangan Politik Etis
Ide keadilan, kemanusiaan, dan perlindungan rakyat koloni yang berkembang di Belanda telah mendorong munculnya berbagai kritik terhadap kebijakan pememerintah colonial Belanda. Salah satu tokoh yang mengkritik yang mengkritik kebijakan pemerintah colonial Belanda adalah Van Deventer. Dalam artikel "Een Eereschuld" atau "utang kehormatan" yang dimuat dalam majalah De Gids, Van Deventer menceritakan bahwa kekosongan kas Negara Belanda telah diisi oleh bangsa Indonesia. Dengan kata lain, bangsa Indonesia telah berjasa membantu pemerintah Belanda memulihkan resesi ekonomi Belanda meskipun dengan penuh pengorbanan. Menurut Van Deventer, utang budi tersebut harus dibayar dengan peningkatan kesejahteraan bangsa Indonesia melalui Edukasi, Migrasi, dan Irigasi. Dari berbagai kritik inilah kemudian pemerintah colonial Belanda menerapkan kebijakan yang disebut politik etis. [1]
Secara tidak langsung politik etis berhasil mengkristalkan rasa dendam bangsa Indonesia terhadap Belanda sejalan dengan kemajuan media, komunikasi, dan transportasi. Hal yang patut dicatat dalam politik etis adalah pembentukan Volksraad atau Dewan Rakyat. Melalui Volksraad kaum intelektual pribumi yang memwakili rakyat Indonesia dipersatukan dari berbagai daerah. Dengan demikian terbukalah kerja sama dan persatuan diantara mereka untuk memikirkan cita-cita nasional bersama yakni memperjuangkan kemerdekaan rakyat Indonesia. [2]
2.      Dr. Wahidin Soedirohoesodo
Dr. Wahidin Soedirohoesodo ( lahir di Mlati, Sleman, Yogyakarta, 7 Januari 1852- meninggal di Yogyakarta, 26 Mei 1917 pada umur 65 tahun ) adalah pembangkit semangat organisasi yang pertama. Sebagai seorang lulusan sekolah "Dokter Jawa" di Weltvreden ( yang sesudah tahun 1900 dinamakan STOVIA ), dia bekerja sebagai dokter pemerintah di Yogyakarta sampai tahun 1899. Pada tahun 1901 dia menjadi redaktur majalah Retnadhoemilah ( Ratna yang Berkilauan ) yang dicetak dalam bahasa Jawa dan Melayu untuk kalangan pembaca priyayi dan mencerminkan perhatian priyayi terhadap masalah-masalah dan status mereka.
Selain seorang yang berpendidikan Barat, wahidin adalah seorang pemain music jawa klasik ( gamelan) dan wayang yang berakat. Dia memandang bahwa kebudayaan jawa dilandasi oleh ilham Hindu-Budha, rupanya berpendapat bahwa sebagian penyebab kemerosotan masyarakat jawa adalah kedatangan agama islam, dan berusaha memperbaiki masyarakat jawa melalui pendidikan Belanda. Wahidin berusaha menghimpun beasiswa guna memberikan pendidikan Barat kepada golongan priyayi jawa. Akan tetapi, hanya segelintir pejabat-pejabat dari generasi tua atau kelas bupati yang bergairah. Pada tingkatan tertinggi masyarakat jawa, hanya seorang pengeran dari garis keturunan Pakualam di Yogyakartalah yang mendukungnya. [3]
Tahun 1906, Dokter Wahidin berkeliling pulau jawa. Ia mendatangi pembesar-pembesar pribumi terkemuka, seperti Bupati dan Priyayi kalangan atas, dan mengajaknya membangun organisasi. Namun hasilnya pun tak ada, ia merasa seperti pengembara berteriak-teriak di tengah padang pasir. Tak ada satu pun yang mendengar. Seruan-seruannya tidak nyambung dengan mentalitas umum priyayi: beku, rakus, gila hormat, dan korup. [4]
Pada tahun 1907 Wahidin berkunjung ke STOVIA dan disana, disalah satu lembaga terpenting yang menghasilkan priyayi rendah jawa, dia melihat adanya tanggapan yang bersemangat dari murid-murid sekolah tersebut. [5]
Kali ini usaha Dokter Wahidin tidak sia-sia. Beberapa pemuda tergugah oleh penjelasan Dokter Wahidin seperti Soetomo dan dua bersaudara yaitu Goenawan Mangoenkoesoemo dan Tjipto Mangoenkoesoemo. "Suaranya yang jelas dan tenang membuka hati dan fikiran saya. Ia membawa gagasan-gagasan baru dan membuka dunia baru yang meliput saya yang terluka dan sakit," tulis Soetomo dalam bukunya, kenang-kenangan ( 1943 ), yang mengisahkan pertemuan itu. Soetomo yang ketika itu berumur 19 tahun langsung tergerak. Namun, ceramah Dokter Wahidin tidak hanya menggerakkan Soetomo. Seorang selajar STOVIA yang tak lulus, Tirto Adhisoerjo juga terbakar oleh ceramah Dokter Wahidin. Bahkan Tirto bergerak lebih duluan disbanding Soetomo. Tirto mendirikan organisasi bernama "Sarekat Priyayi". Boleh dikatakan, organisasi pribumi pertama adalah Sarekat Priyayi. Pramoedya Ananta Toer mendaulat Sarekat Priyayi sebagai tonggak kebangkitan nasional. Ia tidak setuju dengan penetapan  20 Mei 1908, tanggal lahirnya Budi Utomo, sebagai hari kebangkitan nasional, karena Budi Utomo sejak kelahirannya hingga berubah menjadi Partai Persatuan Bangsa Indonesia ( PBI ) tidak pernah beranjak dari statusnya sebagai organisasi kesukuan ( jawa ). [6]
Maka diambillah keputusan untuk membentuk  suatu organisasi pelajar guna memajukan kepentingan-kepentingan priyayi rendah. Dan pada tanggal 20 mei 1908 diselenggarakan suatu pertemuan yang melahirkan Budi Utomo. Nama jawa ini ( yang seharusnya dieja budi utama ) diterjemahkan kedalam bahasa Belanda oleh organisasi tersebut sebagai het schooner striven ( ikhtiar yang indah ), tetapi menurut konotasi-konotasi bahasa jawa yang beraneka ragam nama itu juga mengandung arti cendekiawan, watak, atau kebudayaan yang mulia. Pada pertemuan pertama itu para mahasiswa dari STOVIA, OSVIA, sekolah-sekolah guru, serta sekolah-sekolah pertanian dan kedokteran hewan terwakili. Cabang-cabangnya didirikan pada lembaga-lembaga tersebut dan pada bulan juli 1908 Budi Utomo sudah mempunyai anggota 650 orang. Mereka yang bukan mahasiswa juga menggabungkan diri, sehingga pengaruh mahasiswa mulai berkurang dan organisasi tersebut tumbuh menjadi partai priyayi rendah jawa pada umumnya. [7]
Budi Utomo pada dasarnya tetap merupakan suatu organisasi priyayi jawa. Organisai ini secara resmi menetapkan bahwa bidang perhatiannya meliputi penduduk jawa dan Madura; dengan demikian, mencerminkan kesatuan administrasi kedua pulau itu dan mencakup masyarakat sunda dan Madura yang kebudayaannya mempunyai kaitan erat dangan jawa. Bukan bahasa jawa melainkan bahsa melayu yang dipilih sebagai bahsa resmi Budi Utomo. Namun demikian, kalangan priyayi jawa dan ( sampai tingkat yang jauh lebih kecil ) sunda adalah yang menjadi inti dukungan Budi Utomo. Budi Utomo tidak pernah memperoleh landasan rakyat yang nyata diantara kelas-kelas bawah, dan mencapai jumlah keanggotaan tertinggi yaitu 10000 orang pada akhir tahun 1909. Pada bulan bulan Oktober 1908 Budi Utomo menyelenggarakan kongresnya yang pertama di Yogyakarta. Pada saat itu Wahidin hanya menjadi tokoh bapak saja, dan bermunculanlah suara-suara baru untuk mengatur organisasi tersebut. Suatu kelompok minoritas dipimpin oleh Tjipto Mangunkusumo ( 1885-1943 ) yang juga seorang dokter dan sifatnya radikal. Dia ingin agar Budi Utomo menjadi partai politik yang berjuan untuk mengangkat rakyat pada umumnya daripada hanya golongan priyayi, dan kegiatan-kegiatan lebih tersebar di seluruh Indonesia daripada terbatas hanya di jawa dan Madura saja. Tjipto juga tidak mengagumi kebudayaan jawa sebagai dasar bagi peremajaan kembali.
Dr. Radjiman Wediodiningrat ( 1879-1951 ), seorang dokter jawa lain, mengemukakan ide-idenya pula. Dia dipengaruhi kebudayaan jawa, dialektika G.W.F. Hegel, subyektivisme I. Kant, dan anti rasionalisme H. Bergson, dan sudah menganut doktrin-doktrin mistik Teosofi sebagai perpaduan Timur dan Barat. Teosofi adalah salah satu diantara gerakan-gerakan yang menyatukan elite jawa, orang-orang Indo-Eropa, dan orang-orang Belanda pada masa itu, dan sangat berpengaruh di kalangan banyak anggota Budi Utomo. Akan tetapi, baik Tjipto maupun Radjiman tidak berhasil mendapatkan kemenangan. Tjipto tampaknya merupakan seorang radikal yang berbahaya dan Radjiman merupakan seorang reaksioner yang kaku. Dipilih suatu dewan pimpinan yang didominasii oleh para pejabat generasi tua yang mendukung pendidikan yang semakin luas bagi kaum priyayi dan mendorong kegiatan pengusaha jawa. Tjipto terpilih sebagai anggota dewan, tetapi mengundurkan diri pada tahun 1909 dan akhirnya bergabung dengan Indische Partij yang radikal. [8]
Gubernur Jenderal Van Heutsz menyambut baik Budi Utomo sebagai tanda keberhasilan politik Ethis. Memang itulah yang dikehendakinya: suatu organisasi pribumi yang progresif-moderat yang dikendalikan oleh para pejabat yang maju. Pejabat-pejabat Belanda mencurigai Budi Utomo atau semata-mata menganggapnya sebagai gangguan yang potensial, akan tetapi pada bulan Desember 1909 organisasi tersebut dinyatakan sebagai organisasi yang sah. Adanya sambutan yang hangat dari Batavia menyebabkan banyak orang Indonesia yang merasa tidak puas dengan pemerintah untuk mencurigai Budi Utomo itu. Sepanjang sejarahnya ( organisasi ini secara resmi dibubarkan pada tahun 1935 ) Budi Utomo sering kali tampak sebagai partai pemerintah yang seakan-akan resmi.
Pada umumnya Budi Utomo sudah mengalami kemunduran sejak awal permulaannya karena kekurangan dana dan kepemimpinan yang dinamis. Organisasi ini mendesak pemerintah untuk menyediakan lebih banyak pendidikan Barat, tetapi desakan itu hanya memainkan peran yang tidak begitu berarti dalam upaya-upaya perbaikan yang dibicarakan. Organisasi-organisasi yang lebih aktif dan penting segera berdiri. Beberapa diantaranya bersifat keagamaan, kebudayaan, pendidikan, dan beberapa lagi bersifat politik, dan ada pula yang bersifat keduanya. Organisasi-organisasi itu bergerak di kalangan masyarakat bawah dan untuk yang pertama kalinya terjalin hubungan antara rakyat desa dan elite-elite baru. Golongan priyayi rendah penting didalam beberapa gerakan tersebut, tetapi golongan ini merupakan cabang priyayi rendah yang berbeda dari periyayi yang aktif didalam Budi Utomo. Kalau anggota-anggota Budi Utomo sebagian besar mencetak karir mereka dalam dinas pemerintahan, maka mereka yang memimpin gerakan-gerakan yang lebih aktif tersebut hamper semuanya merupakan orang-orang yang telah berhasil menyelesaikan sekolah-sekolah Belanda, namun kemudian mengundurkan diri atau diberhentikan dari pekerjaan-pekerjaan pemerintahan. [9]
Notes :
[3] M.C. Ricklefs (1991). Sejarah Indonesia Modern. Gadjah Mada University Press.    Yogyakarta. Hal : 248
[5] M.C. Ricklefs (1991). Sejarah Indonesia Modern. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hal : 249
[7] M.C. Ricklefs (1991). Sejarah Indonesia Modern. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hal : 249
[8] M.C. Ricklefs (1991). Sejarah Indonesia Modern. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hal : 250
[9] M.C. Ricklefs (1991). Sejarah Indonesia Modern. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hal : 251