PERJUANGAN NYI AGENG SERANG “AHLI TAKTIK JITU”


KEVIN REZA / SI3 – A
            Nyi Ageng Serang bernama asli Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi. Beliau lahir di Serang, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah pada tahun 1762. Beliau adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Beliau adalah putri bungsu dari Bupati Serang, Panembahan Natapraja yang menguasai wilayah terpencil dari kerajaan Mataram tepatnya di Serang yang sekarang wilayah perbatasan Purwodadi - Sragen. Setelah ayahnya wafat, Nyi Ageng Serang menggantikan kedudukan ayahnya. Nyi Ngeng Serang adalah salah satu keturunan Sunan Kalijaga, ia juga mempunyai keturunan seorang pahlawan nasional yaitu Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara. Ia dimakamkan di Kalibawang, Kulon Progo. Beliau pahlawan nasional yang hampir terlupakan, mungkin karena namanya tak sepopuler RA Kartini atau Cut Nyak Dien, tetapi beliau sangat berjasa bagi negeri ini. Warga Kulonprogo mengabadikan monumen beliau di tengah kota Wates berupa patung beliau sedang menaiki kuda dengan gagah berani membawa tombak.
Meski merupakan putri bangsawan, namun sejak kecil Nyi Ageng Serang dikenal dekat dengan rakyat. Setelah dewasa dia juga tampil sebagai salah satu panglima perang melawan penjajah. Semangatnya untuk bangkit selain untuk membela rakyat, juga dipicu kematian kakaknya saat membela Pangeran Mangkubumi melawan Paku Buwana I yang dibantu Belanda.
Yang sangat menonjol dari sejarah perilaku dan perjuangan Pahlawan Wanita ini antara lain ialah kemahirannya dalam krida perang, kepemimpinan yang arif bijaksana sehingga menjadi suri tauladan bagi penganut-penganutnya. Tekadnya keras untuk lebih maju dalam berbagai bidang, dengan jiwa patriotisme dan anti penjajahan yang kuat dan konsekuen. Imannya teguh terhadap Allah SWT dan terampil dalam menjalankan peran gandanya sebagai pejuang sekalligus istri/ibu rumah tangga dan pendidik utama putra-putranya.
Sebutan Nyi Ageng Serang dikaitkan dengan kota tempat kelahirannya yaitu kota Serang yang terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur (bukan kota Serang, Banten). Kota Serang menjadi terkenal, semula karena menjadi Markas Besar perjuangan Natapraja atau Penembahan Natapraja, yaitu rekan perjuangan Mangkubumi dalam Perang Giyanti tersebut.
Nyi Ageng Serang mewarisi jiwa dan sifat ayahandanya yang sangat benci kepada penjajahan Belanda (VOC) dan memiliki patriotisme yang tinggi. Menyimpang dari adat kebiasaan yang masih kuat mengingat kaum wanita masa itu, Nyi Ageng Serang mengikuti latihan-latihan kemiliteran dan siasat perang bersama-bersama dengan para prajurit pria. Keberaniannya sangat mengagumkan, dalam kehidupannya sehari-hari beliau sangat berdisiplin dan pandai mengatur serta memanfaatkan waktu untuk kegiatan-kegatan yang bermanfaat. Pandangannya sangat tajam dan menjangkau jauh ke depan. Menurut keyakinannya, selama ada penjajahan di bumi pertiwi, selama itu pula rakyat harus siap tempur untuk melawan dan mengusir penjajah. Karena itu rakyat terutama pemudanya dilatih terus-menerus dalam hal kemahiran berperang.
Hal itu rupanya dapat diketahui oleh penjajah Belanda. Karenanya pada suatu ketika mereka mengadakan penyerbuan secara mendadak terhadap kubu pertahanan Pangeran Natapraja bersama putra-putrinya itu, dengan kekuatan tentara yang besar. Karena usianya sudah lanjut, pemimpin pertahanan Serang di serahkan kepada nyi Ageng Serang bersama putranya laki-laki. Walaupun diserang dengan mendadak dan dengan jumlah dan kekuatan tentara besar, pasukan Serang tetap berjuang dengan gigih dan melakukan perlawanan mati-matian. Dalam suatu pertempuran yang sangat sengit putra Penembahan Natapraja, saudara laki-laki nyi Ageng Serang, gugur. Pimpinan dipegang langsung sendiri oleh Nyi Ageng Serang dan berjuang terus dengan gagah berani.
Namun demikian, karena jumlah dan kekuatan musuh memang jauh lebih besar, sedangkan rekan seperjuangannya yaitu Pangeran Mangkubumi tidak membantu lagi karena mengadakan perdamaian dengan Belanda berdasarkan perjanjian Giyanti. (13 Februari 1755), maka akhirnya pasukan Serang terdesak, dan banyak yang gugur sehingga tidak mungkin melanjutkan perlawan lagi. Walaupun Nyi Ageng Serang tidak mau menyerahkan diri, akhirnya tertangkap juga dan menjadi tawanan Belanda. Panembahan Natapraja sudah makin lanjut usia dan menderita batin yang mendalam dengan terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut. Akhirnya beliau jatuh sakit dan wafat.
Selama Nyi Ageng Serang dalam tahanan Belanda, terjadi perubahan-perubahan pending di Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwono I telah diganti Sultan Hamengkubuwono II. Bertepatan dengan Upacara Penobatan Sultan Hamengkubuwono II itu, Nyi Ageng Serang dibebaskan dari tahanan Belanda dan bahkan diantarkan ke Yogyakarta untuk diserahkan kepada Sri Sultan.
Entah apa latar belakang yang sesungguhnya sehingga hal itu terjadi. Yang dapat diketahui dengan jelas ialah bahwa kedatangan Nyi Ageng Serang di Yogyakarta disambut secara besar-besaran dengan tata cara penghormatan yang tinggi sesuai adat keraton. Upacara itu dilakukan mengingat jasa dan patriotisme almarhum Panembahan Natapraja dan Nyi Ageng Serang serta keharuman nama Pahlawan Nasional Wanita itu sendiri.
Tetapi kehormatan dan kemuliaan yang diterimanya di Keraton Yogyakarta itu tidak dapat mengurangi prinsip pendiriannya yang anti penjajahan. Jiwa patriotisme tetap berkembang subur. Cita-citanya untuk mengusir penjajahan Belanda tetap menggelora.
Namun beliau sebagai ahli krida dan siasat perang tahu benar bahwa saatnya masih belum tepat untuk melanjutkan lagi perjuangannya. Dan selama waktu menunggu saat yang baik itu, beliau memanfaatkan waktunya untuk memperkuat potensi rohaniah/spiritualnya dengan cara samadi/tirakat mendekatkan diri lahir-batin kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Maka timbullah kemudian keinginannya untuk kembali ke Serang yaitu kota tumpah darahnya dan yang mempunyai arti khusus baginya. Permohonannya untuk kembali ke kota tersebut dikabulkan oleh Sultan Hamengkubuwono II dan kepergiannya bahkan diantarkan dengan penghormatan dan kebesaran.
Nyi Ageng kemudian menikah dengan seorang pangeran bernama Kusumawijaya yang ternyata sangat membahagiakannya. Bukan karena pangeran itu membawakan harta-kekayaan yang banyak, tetapi justru karena suaminya itu memiliki jiwa cinta tanah air yang tidak kalah kuatnya. Dari perkawinan ini Nyi Ageng dikaruniai seorang putra dan seorang putri.
Dalam perkembangan waktu berikutnya makin terungkap bahwa Sultan Hamengkubuwono II itu ternyata adalah juga patriot tangguh. Melihat sikap dan tingkah laku penjajah Belanda yang makin hari makin menyinggung perasaan dan menyakitkan hati itu, makin meningkatkan rasa bencinya terhadap Belanda.
Di samping itu makin meningkatnya pula rasa kagum dan penghargaannya terhadap sikap dan pendirian serta perjuangan almarhum Panembahan Natapraja dan Nyi Ageng Serang. Timbullah hasrat Sri Sultan untuk mempererat tali persahabatan dengan anak keturunan Natapraja itu.
Atas kesepakatan kedua pihak maka putra laki-laki Sultan Hamengkubuwono II dinikahkan dengan putri Nyi Ageng Serang dan Pangeran Kusumawijaya. Dari perkawinan itu Nyi Ageng memperoleh cucu laki-laki yang diberi nama raden Mas Papak (disebut pula Pangeran Aria Papak).
Hubungan yang tidak selaras-serasi antara pihak Sultan dengan pihak Belanda itu makin memuncak dan gawat setelah diangkatnya Daendels menjadi Gubernur Jendral Pemerintah Belanda di Indonesia. Daendels watak dan tingkah lakunya keras dan congkak, juga terhadap Kesultanan. Dia antara lain tidak mau mengikuti adat tata cara yang berlaku bagi tamu-tamu di Keraton bahkan melancarkan intrik-intrik memecah belah persatuan di lingkungan keraton. Kemurkaan Sri Sultan Hamengkubuwono II tak dapat tertahan lagi dan timbullah bentrokan terbuka antara Sultan dan Belanda.
Rupanyan "jarum-jarum" pemecah belah yang disusupkan oleh pihak Belanda menemui sasarannya juga, sehingga timbullah pengkhianat-pengkhianat dalam lingkungan keraton, dengan akibat Sultan Hamengkubuwono II dapat dipaksa turun takhta oleh Belanda dan Sekutu dalamnya dan digantikan oleh Pangeran Adipati Anom (Pangeran Makhkota yang masih muda dan lemah pendiriannya) yang diangkat oleh Daendels menjadi Sultan Hamengkubuwono III.
Kekacauan timbul yang makin menjadi berlarut-larut dan tak terkendalikan, hingga akhirnya terjadilah peristiwa bersejarah yang menyebabkan pecahnya perang Diponegoro yang terkenal itu.
Semangat patriot dan rasa bencinya Nyi Ageng Serang terhadap Belanda yang sangat mendalam selama waktu itu terpendam dengan terjadinya peristiwa tersebut. Bagaikan bara api yang tersiram minyak, sehingga kembali berkobar lagi. Nyi Ageng Serang bangkit serentak bersama suami dan pengikut-pengikutnya langsung mengambil sikap nyata memihak kepada Pangeran Diponegoro dan melancarkan perlawanan terhadap Belanda. Suaminya gugur dalam pertempuran, besannya yaitu (bekas) Sultan Hamengkubuwono II dibuang oleh Belanda ke Penang, anak menantunya ialah Pangeran Aria Mangkudiningrat (putra Sultan Hamengkubuwono II) juga dibuang ke Penang. Sebelum itu Nyi Ageng Serang telah kehilangan ayahandanya, saudara laki-lakinya dan suaminya yang semuanya gugur di medan perang.
Sungguh berat pengorbanan dan derita batin yang harus dipikul oleh Nyi Ageng Serang. Namun semuanya itu beliau hadapi dengan tabah. Semangat dan tekadnya untuk melawan penjajah tidak kendor seujung rambut pun. Harapannya tercurah pada cucunya yaitu Raden Mas Papak. Nyi Ageng Serang mendidik dan menggemblengnya dengan semangat patriot sejati, serta melatihnya dalam hal ketrampilan serta sisat dan taktik keprajuritan dengan penuh disiplin.
Kemudian sang nenek beserta cucu terjun kembali ke medan perang bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro. Karena usianya sudah lanjut (73 tahun) Nyi Ageng Serang diangkat Pangeran Diponegoro menjadi penasihat bersama paman Pangeran Diponegoro sendiri, yaitu Pangeran Mangkubumi. Namun demikian Nyi Ageng Serang selalu ada di tengah-tengah para prajurit di garis depan. Berkat petunjuk dan nasihat Nyi Ageng Serang, pasukan Belanda selalu dapat dikalahkan dan diporak-porandakan.
Disamping itu Pangeran Papak juga telah membuktikan kemahirannya sebagai komandan pasukan. Sebagai hasil didikan dan gemblengan sang nenek, pasukan yang dipimpinnya selalu memperoleh kemenangan-kemenangan dalam berbagai peperangan.
Perlu diketahui bahwa Nyi Ageng Serang bersama Pangeran Papak pada waktu itu sudah menggunakan panji-panji yang berwarna merah putih yang disebut Panji Gula Kelapa(Gula yang dibuat dari buah kelapa berwarna merah, sedangkan daging kelapanya sendiri berwarna putih).
Panji merah putih dililitkan pada senjata tombak warisan almarhum Panembahan Natapraja. Disamping panji merah putih dililitkan pula Slendang Pusaka yang merupakan lambang patriotisme Nyi Ageng Serang. Pasukan Papak terkenal juga sebagai Pasukan Natapraja, dan mempunyai daerah pertempuran meliputi wilayah Serang Purwodadi, Gundih, Demak, Semarang, Kudus, Salatiga, Boyolali, Klaten, dan Magelang.
Walaupun terpaksa harus dipikul memakai tandu, dalam pertempuran-pertempuran besar Nyi Ageng Serang selalu ada di tengah-tengah prajurit untuk menggugah dan tetap menyalakan semangat, dan dimana perlu langsung memberikan komando.
Nyi Ageng Serang juga terkenal dengan siasat Daun Lumbu-nya (rumpun dioscorea, berwarna hijau, lebar, agak tebal tetapi lemas). Kegunaan daun unu ganda yaitu, untuk menutup/pelindung diri sehingga tidak nampak dari jarak yang agak jauh oleh musuh, sebagai payung kalau hujan, dan sebagai pelindung terhadap panas terik matahari.
Siasat Daun Lumbu ini sering mengacaubalaukan musuh dengan serangan-serangannya yang tak terduga dan mendadak, karena tentera musuh tidak dapat mengetahui sebelumnya bahwa di sekitarnya ada pasukan Nyi Ageng Serang, karena tidak nampak sebab terlindung oleh daun-daun lumbu itu.
Berhubung dengan itu maka pasukan Nyi Ageng Serang atau Pasukan Natapraja ini terkenal dengan sebutan Pasukan Hantu, dan sangat ditakuti oleh tentara Belanda.
Sebagaimana kita telah mengetahui, Perang Diponegoro ini berlangsung berlarut-larut untuk waktu yang cukup lama, sedangkan Nyi Ageng Serang makin hari makin mendekati titik akhir dari hayatnya. Menjelang usia 76 tahun, karena beban tugas bercampur derita lahir-batin yang berat dan bertubi-tubi datangnya, kesehatan Nyi Ageng Serang makin mundur, walaupun semangat juangnya masih tetap tinggi. Akhirnya beliau jatuh sakit dan kemudian wafat ditahun 1828. Beliau dimakamkan di Dusun Beku, Pagerarjo, Kalibawang, Kulonprogo. Makam ini terletak di atas bukit kurang lebih 6 km dari jalan Dekso-Muntilan. Jarak dari Yogyakarta ± 32 km, dari kota Wates ± 30 km.
Makam ini dipugar pada 1983 dengan bangunan berbentuk joglo. Pada saat dipugar, makam suami, ibu, cucu dan yang telah dimakamkan di desa Nglorong, Kabupaten Sragen di pindahkan di tempat ini.
Nyi Ageng Serang memberi teladan akan keuletan dan militansi dalam mengejar suatu tujuan. Banyak orang memiliki kehendak baik dan kemampuan namun tidak memiliki mental dan kehendak yang kuat untuk mencapainya.
Atas jasa-jasanya pada negara, Nyi Ageng Serang diberi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 084/TK/Tahun 1974, tanggal 13 Desember 1974.
DAFTAR PUSTAKA
S. Soetomo dan Wongso, Honggo. Perjuangan wanita sejagat menuntut hak politik.  1990. Jakarta: Balai Pustaka.
Sudarmanto, J. B. (2007). Jejak-Jejak Pahlawan: Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Ajisaka, Arya (2008). Mengenal Pahlawan Indonesia. Jakarta: Kawan Pustaka.
Komandoko, Gamal (2006). Kisah 124 Pahlawan dan Pejuang Nusantara. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
www.google.com

SEJARAH PERJUANGAN SULTAN HASANUDDIN


ANNASRUL / SI3 - A

Nusantara kita terdiri dari ribuan pulau dengan kekayaan alam yang berlimpah ruah. Diantara pulau-pulau itu, ada sebuah pulau yang bentuknya menyerupai huruf K. Pulau itu tidak lain adalah Pulau Sulawesi. Dahulu, pada abad ke-15 sampai abad ke-17, di bagian pulau sulawesi terletak sebuah kerajaan yang besar dan disegani bernama kerajaan gowa. Menurut catatan para ahli, kerajaan gowa ini didirikan pada sekitar tahun 1300 Masehi dan dikenal serta disegani oleh bangsa Eropa kerena kebesaran dan kekuatan armada perangnnya. Salah satu raja yang memerintah kerajaan gowa itu adalah I Mallombasi Daeng Mattawang, Karaeng Bonto Mangape, Sultan Hasanuddin, Tumenanga ri Ballapangkana (yang meninggal di istananya yang indah). Beliau dikenal sebagai Sultan Hasanuddin, yang dijuluki "Ayam Jantan Dari Timur". Raja Gowa ke-16 yang memerintah kerajaan gowa tahun 1653-1669 menggantikan ayahnya Sultan Malikussaid yang memerintah pada tahun 1639-1653.
I Mallombasi, nama kecil dari Sultan Hasanuddin yang dilahirkan pada tanggal 12 Januari 1631. Ayahnya bernama I Manuntungi Daeng Mattola, Karaeng Lakiung yang bergelar Sultan Malikussaid dan ibunya bernama I Sabbe To'mo Lakuntu, Putri bangsawan Laikang adalah salah seorang istri Sultan Malikussaid. Sultan Hasanuddin atau I Mallombasi mempunyai seorang saudara perempuan yang bernama I Sani atau I Patimang Daeng Nisaking Karaeng Bonto Je'ne yang kemudian menjadi permaisuri Sultan Bima, Ambela Abul Chair Sirajuddin.
Masa Kelahiran Dan Remaja
Pada saat kelahiran dan masa kecil I Mallombasi Sultan Hasanuddin Ayahnya belum menjadi raja Gowa. Sejak kecil Sultan Hasanuddin telah menunjukan kelebihannya dari saudara-saudaranya yang lain. Kecerdasan dan kerajinannya dalam belajar sangat menonjol. Walaupun Hasanuddin adalah putra bangsawan, pada masa kecilnya sangat rendah hati dan perbuatannya selalu jujur. Dia sangat disayangi karena sifatnya itu. Pendidikannya di Pusat Pendidikan dan Pengajaran Islam di Mesjid Bontoala membentuk Hasanuddin menjadi pemuda yang beragama dan memiliki semangat perjuangan.
Pada umur 8 tahun, Sultan Alauddin Mangkat setelah memerintah selama 46 tahun. Hasanuddin merasa sangat sedih sekali. Kemudian ayahnya yang mengantikan kakek Beliau menjadi raja Gowa ke-15. Beliau dilantik pada tanggal 15 Juni 1639. Masa remaja Hasanuddin diisi dengan kesibukan belajar dan bergaul dengan kawan-kawannya dan juga dengan putra-putra raja Bone yang waktu itu menjadi tawanan kerajaan Gowa.
Pada usia 16 tahun Hasanuddin kerap kali hadir menyertai ayahnya dalam perundingan-perundingan penting. Dalam kesempatan itulah I Mallombasi Sultan Hasanuddin mulai belajar ilmu pemerintahan, diplomasi dan ilmu perang. Kecakapan dalam bidang ini sudah menonjol, Hasanuddin juga banyak mendapat bimbingan dari ayahnya serta mangkubumi kerajaan Gowa Karaeng Pattingaloang tokoh yang paling berpengaruh dan cerdas. Pergaulan Hasanuddin tidak hanya dalam lingkungan bangsawan istana dan rakyatnya, tetapi meluas kepada orang asing, melayu, bangsa portugis dan inggris yang pada saat itu banyak berkunjung ke Makassar untuk berdagang.
Pada usia 20 tahun, Sultan Hasanuddin beberapa kali menjadi utusan mewakili ayahnya mengunjungi kerajaan nusantara yang bersahabat, membawa titah persatuan nusantara. Juga terutama pada daerah-daerah dalam gabungan pengawalan kerajaan Gowa, Hasanuddin selalu mendapat tugas membawa amanat Raja Gowa yang tak lain adalah ayahnya sendri. Menjelang umurnya 21 tahun, Sultan Hasanuddin dipercaya untuk menjabat urusan Pertahanan Kerajaan Gowa dan banyak membantu ayahnya mengatur pertahanan guna menangkis serangan Belanda yang saat itu mulai dilancarkan.
Penobatan Sultan Hasanuddin Menjadi Raja Gowa Ke-16
I Mallombasi bukanlah putra mahkota yang mutlak menjadi pewaris kerajaan. Apalagi derajat kebangsawanan ibunya lebih rendah dari ayahnya. I Mallombasi diangkat menjadi raja karena adanya pesan dari ayahnya sebelum wafat. Mangkubumi Kerajaan Karaeng Pattingaloang juga mendukung keputusan almarhum Raja Gowa Malikussaid. Dukungan itu diberikan karena sifat-sifat Hasanuddin yang tegas dan berani. Juga kemampuan serta pengetahuan yang luas dan menonjol dari saudaranya yang lain. Kerajaan Gowa memang memerlukan Raja yang berani serta bijaksana menghadapi perang dengan penjajah Belanda.
I Mallombasi Daeng Mattawang dinobatkan menjadi Raja Gowa ke-16 dengan gelar Sultan Hasanuddin pada bulan Nopember 1653 menggantikan ayahnya pada saat beliau berusia 22 tahun. Dua tahun setelah dinobatkan Sultan Hasanuddin kemudian menikahi I Bate Daeng Tommi atau I lo'mo Tombong Karaeng Pabineang dan menjadi permaisurinya. I Bate Daeng Tommi adalah putri Mangngada' Cinna Daeng Sitaba, Karaeng Pattingaloang mangkubumi Kerajaan Gowa.
Masa Jaya Kerajaan Gowa
Lama sebelum Sultan Hasanuddin dilahirkan, Kerajaan Gowa adalah kerajaan yang besar. Pelabuhan Makassar ramai dikunjungi oleh para pedagang dari Portugis, Ingris dan Belanda. Pada masa Sultan Alauddin memerintah, Kerajaan Gowa telah tumbuh semangat persatuan nusantara dari kerajaan-kerajaan besar. Persahabatan akrab antara Raja Mataram di Pulau Jawa, Sultan Aceh di Sumatra, Sultan Ternate di Maluku, Sultan Banten di Jawa Barat dan lainnya.
Persaingan antara Portugis, Inggris, Spanyol dan Belanda menimbulkan ketegangan-ketegangan keren ketiga bangsa penjajah itu masing-masing mau memonopoli perdagangan rempah-rempah dari Maluku dan perdagangan di Malaka. Kekuatan armada perang Kerajaan Gowa sudah terkenal kemana-mana. Persahabatan dengan Ternate, Bima, Ambon dan kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi dan Maluku memberi kewajiban kepada armada perang Kerajaan Gowa untuk melindungi kerajaan itu dari serangan penjajah.
Sultan Muhammad Said ayah dari Sultan Hasanuddin terkenal sebagai seorang raja yang berani, bijaksana, hormat kepada orang tua, tahu membalas budi serta tidak mebeda-bedakan antara bangsawan dan orang kebanyakan. Pandai bergaul dengan sesamanya raja dan dipuji sebagai orang yang meperlakukan rakyatnya sebagai manusia. Dia bersahabat dengan Gubernur Spanyol di Manila, Raja Muda Portugis di Goa India, Presiden di Keling (Koromandel India), Saudagar di Masulipatan (India). Bersahabat dengan Raja Ingris, Raja Portugal, Raja Kastilia (Spanyol) dan dengan Mufti di Mekah. Mufti inilah yang mula-mula meberi gelar "Sultan Muhammad Said" Karena memang nama Arabnya adalah Malikussaid.
 Awal Masa Perang
Perang pertama dengan Belanda terjadi pada saat Hasnuddin berumur 3 tahun. Tahun 1631 sampai 1634 armada Gowa dan Ternate saling serang dengan armada Belanda di perairan Maluku. Tahun 1634 Raja Gowa mengirim armada terdiri dari 100 perahu perang ke Ambon membantu rakyat Ambon melawan Belanda yang memusnahkan pohon-pohon cengkeh dan pala di Maluku.
Raja Gowa berkewajiban melindungi kerajaan sekutunya di Ambon. Perang itu dikenal dengan nama perang Hongi. Setahun sesudah itu belanda mengirim 12 kapal ke perairan Makassar dan memulai menembaki benteng galesong. Untunglah setahun sebelumnya benteng yang terbuat dari tanah itu sudah diubah dan dibuat dari batu, sedangkan perahu dan kapal perang armada Gowa sudah meninggalkan perairan Makassar sebagai taktik untuk menghindari bentrokan. Serangan Belanda ini gagal total.
Keinginan Kompeni Belanda untuk mengusai dan menaklukkan Gowa makin kuat. Berbagai cara dipergunakan. Pada bulan Juni 1637 Kompeni Belanda yang dipimpin Gubernur Jendral Anthony Van Diemen berhasil membuat perjanjian dengan Kerajaan Gowa. Van Diemen meminta agar Raja Gowa melarang Portugis dan inggris berdagang di Makassar, tetapi permintaan itu ditolak oleh Sultan Alauddin. Orang Belanda belum diluaskan untuk tinggal dan menetap di Makassar. Pada waktu itu Raja Gowa menerima tamu-tamu asing di istananya yang terdapat di dalam benteng Somba Opu.
Benteng Pertahanan
Pengepungan beberapa kali oleh kompeni Belanda terhadap pantai makassar menambah keyakinan bahwa kompeni Belanda pada suatu saat akan menyerbu dan melaksanakan niatnya untuk merebut dan menaklukkan kerajaan Gowa. Kompeni Belanda memang mau memonopoli perdagangan rempah dari maluku. Sultan Hasanuddin yang waktu itu telah sering menjadi duta dan mengurus pertahanan Kerajaan Gowa dengan dukungan Karaeng Pattingaloang Mangkubumi Kerajaan Gowa mulai memperkuat benteng di sepanjang pantai.
Ada tiga 3 Benteng yang diperkuat dan dipasangi meriam. Benteng Somba Opu yang menjadi pertahanan utama, dan menjadi kediaman Sultan, tebalnya 12 kaki.
Benteng ini dipasangi meriam besar yang dijuluki "Anak Mangkasara" dan ada lebih 270 meriam-meriam kecil lainnya. Meriam "Anak Mangkasara" ini dibuat pada tahun 1593 dengan panjang 3 meter dan garis tengah lubang mulutnya 41,5cm serta beratnya 500kg (11.000 Pound).
Selama perang antara Gowa dan Belanda berlangsung, tahun-tahun berikutnya Sultan Hasanuddin kemudian membangun lagi benteng Mariso, Anak Gowa dan kale Gowa serta beberapa benteng lagi di daerah Bantaeng dan juga sebuah parit yang panjangnya 3 setengah kilometer antara Binanga Beru dan Ujung Tanah.
Benteng yang memperkuat Pantai Kota Makassar itu berjajar dari utara keselatan : Tallo (Mangngara' Bombang), Benteng Ujungpandang atau Ford Rotterdam, Benteng Somba Opu dan Benteng Barombong. Antara Tallo dengan Ujungpandang terdapat Benteng kecil Ujung tanah, antara Benteng Ujungpandang dengan Benteng Somba Opu dan Benteng Barombong terdapat benteng kecil Panakkukang, yaitu sebuah kastil kecil tempat raja beristirahat.
Benteng Somba Opu, sebagai tempat kediaman Raja, dilindungi pula oleh sebuah benteng besar di sebelah timurnya yang bernama Anak Gowa, sedangkan di sebelah timur benteng Anak Gowa terdapat benteng Tamalate (Het Ringmuur Van Gowa).
Masa Perang Perlawanan
Sultan Hasanuddin sebagai Raja Gowa memiliki kewajiban untuk kerajaan sahabat-sahabat bawahannya, mulai dari sepanjang pesisir Pulau Sulawesi sampai Maluku. Satu-satunya halangan Belanda untuk menguasai perdagangan di Maluku adalah Kerajaan Gowa dan armadanya. Selama lebih dari 200 tahun kedua armada ini telah saling menyerang. Belanda memiliki kapal dan perlengkapan perang yang baik, sedangkan laskar dan pelaut armada Kerajaan Gowa memiliki semangat juang yang tinggi dan tidak takut mati ini karena budaya siri' na pacce telah berakar dihati sanubari para pejuang Kerajaan Gowa dan Aru atau sumpah setia para prajurit Kerajaan Gowa.
Tahun 1645 adalah tahun yang penuh cobaan bagi Sultan Hasanuddin, belum cukup setahun menduduki tahta, Mangkubumi yang berani dan bijaksana I Mangngada' Cinna Karaeng Pattingaloang wafat. Cobaan ini tidaklah menyurutkan tekad Sultan Hasanuddin, Karaeng Karunrung Putra Karaeng Pattingaloang naik menggantikan ayahnya sebagai mangkubumi kerajaan Gowa.
Perang dua hari dengan pasukan Belanda pada April 1655 di Buton yang dipimpin langsung oleh Sultan Hasanuddin. Benteng pertahanan Kompeni Belanda di Buton berhasil direbut dan 35 orang Belanda terbunuh dalam peperangan ini. Belanda menyadari bahwa perang dengan Sultan Hasanuddin telah menelan biaya yang dan kerugian yang besar, maka diutuslah duta ke somba opu mewakili gubernur jendral belanda di Batavia. Utusan itu bernama Willem Van der beek dan menerima perjanjian tanggal 28 Desember 1655 yang berisi: "Pasukan Makassar yang berada di Maluku di tarik kembali, tukar menukar tawanan perang. Belanda berjanji, bila kerajaan Gowa berperang dengan salah satu bangsa maka kompeni Belanda tidak boleh ikut campur. Musuh Belanda bukanlah musuh Kerajaan Gowa".
Tahun 1657 Belanda mengutus lagi Willem Bastingh karena tidak senang melihat perdagangan antara Hitu, Seram dan Makassar berjalan lancar, karena ingin memonopoli perdagangan. Utusan itu membawa ultimatum yang bersifat mengancam kepada Sultan Hasanuddin. Ultimatum itu dibalas dengan surat yang juga bernada keras. Sultan Hasanuddin tidak mau menyerah. Semangatnya semakin membara, setiap benteng diperlengkapi. Kompeni Belanda memilih perang, armada besar dipersiapkan 31 kapal perang dan 2700 tentara terlatih dipimpin oleh Johan van Dam dan dibantu oleh Johan Truytman. Peperangan ini berlangsung selama hampir 2 tahun lamanya. Pada tangal 12 Juni 1660 Benteng Panakkukang jatuh ketangan Belanda.
Dengan semangat lebih baik mati daripada menyerah kepada Belanda, pasukan Sultan Hasanuddin bertempur selama dua hari, lebih dari 2000 orang portugis diusir dari Makassar dan armadanya dihancurkan. Orang Portugis ini oleh Belanda dikirim ke Pulau Timor, dari kedua belah pihak berjatuhan banyak korban yang tewas dan luka.
Setelah itu gencatan senjata dilakukan. Perundingan damai dilaksanakan. Karaeng Popo dan sejumlah bangsawan kerajaan Gowa berangkat ke Batavia untuk berunding. Hasilnya, adalah sebuah perjanjian yang merugikan Kerajaan Gowa. Perjanjian itu bernama Perjanjian Batavia yang berisi:
    Makassar tidak boleh campur tangan soal Buton, Ternate dan Ambon.
    Banda, Buton, Maluku, Manado tidak boleh didatangi oleh orang-orang Makassar.
    Orang Portugis dilarang berdagang di Makassar.
    Belanda Boleh Menetap di Makassar.
Sultan Hasanuddin terpaksa menanda tangani perjanjian itu,. Namun, perjanjian ini tidak berlangsung lama.
Belum hilang bekas perang dengan Belanda, Raja Bone melakukan pemberontakan dengan mulai memerangi Kerajaan Gowa. La Tenri Tatta to Erung Bergelar Arung Palakka, sahabat sepermainan Sultan Hasanuddin semasa kecil yang memimpin pemberontakan itu. Namun, laskar kerajaan Gowa dapat mematahkan pemberontakan itu pada tanggal 11 Oktober 1660. Arung Palakka bersama 4000 orang pasukannya menyingkir ke Buton dan mendapat perlindungan di sana. karena pada saat itu Sultan Buton telah bersekutu dengan Belanda.
Politik Memecah Belah
Belanda punya cara menaklukkan lawan. Kerajaan-Kerajaan Nusantara yang terpecah-pecah diadu satu sama lain. Kedatangan Arung Palakka di Batavia disambut hangat oleh Kompeni Belanda. Kerugian yang diderita Belanda untuk menundukkan Sultan Hasanuddin cukup banyak dan sudah memakan waktu yang lama. Kesempatan menaklukkan Gowa sudah terbuka, Arung Palakka bisa diadu dengan Sultan Hasanuddin. Perang saudara bisa dilakukan.
Sambutan terhadap Arug Palakka sangat meriah. Daerah Angke di Batavia diberikan untuk tempat tinggal Arung Palakka bersama pengikutnya. Sultan Hasanuddin sangat sedih mendengarnya. Persiapan sudah dilakukan. Benteng-bentang sudah diperbaiki. Merian dan alat perang sudah ditambah, prajurit juga ditambah. Sementara itu Belanda sudah mempersiapkan suatu armada besar, pukulan terakgir untuk Kerajaan Gowa akan segera dilancarkan.
Pada tahun 1662 kapal Belanda De Walvis masuk ke perairan Makassar tanpa pemberitahuan. Pengawal pantai mencegat dan perangpun terjadi, 16 pucuk merian disita. Pihak Belanda menuntut pengembalian meriam itu. Belanda kemudian mulai meniupkan perang saudara. Tahun 1664, Sultan Ternate, Sultan Buton dan Arung Palakka dikumpulkan dalam suatu pertemuan di Batavia.
Mereka harus memerangi Sultan Hasanuddin, dan Belanda akan memberi bantuan. Sultan Hasanuddin sudah mengetahui cara Belanda itu, sikap lunak ditunjukkan karen aperang saudara harus dihindari.
Sultan Hasanuddin mau berdamai tetapi meminta Belanda agar Bone, Buton dan Seram tidak dianak emaskan. Akan tetapi Belanda sudah berniat untuk menghancurkan Kerajaan Gowa.
Untuk mempersiapkan perang besar melawan Belanda, Sultan Hasanuddin harus menundukkan kerajaan yang sudah berhasil dibujuk oleh Belanda. Buton harus dibebaskan terlebih dahulu, Sultan Hasanuddin memerintahkan untuk menyiapkan sebuah ekspedisi ke timur. 700 buah kapal perang dan 20.000 prajurit di bawah pimpinan Laksamana Alimuddin Karaeng Bontomarannu beserta Sultan Bima dan Raja Luwu yang telah diangkat menjadi laksamana muda kerajaan Gowa memimpin armada tersebut.
Akhir Oktober 1666 Buton berhasil diduduki oleh Laksamana Karaeng Bontomarannu, akan tetapi Buton dapat dibebaskan oleh armada Belanda yang dipimpin oleh Admiral Speelman dan Arung Palakka yang ikut dalam armada itu. Belanda telah berhasil mengadu domba antara kerajaan-kerajaan Nusantara di belahan timur sehingga saling menyerang.
Perang Terbuka
Rapat penguasa Kolonial Belanda di Batavia tanggal 5 Oktober 1666 memutuskan untuk segara menaklukkan Kerajaan Gowa dan merebut Makassar. Armada Belanda dipimpin oleh Cornelius Speelman dibantu oleh Arung Palakka dan Kapten Jongker dari Manipa dan sekutu-sekutu Belanda. Armada itu berangkat dari Batavia 24 Nopember 1666 dengankekuatan yang besarnya 21 buah kapal perang besar 600 orang tentara Belanda, 400 laskar Arung Palakka dan Kapten Jongker. Armada itu tiba di depan bentang Somba Opu tanggal 15 Desember 1666.
Di dalam Kota Makassar di pusat Ibu Kota Gowa dan daerah di sepanjang pantai menjadi tegang. Menunggu saat-saat penyerangan Belanda. Para pedagang asing yang bermukim disana menghentikan kegiatannya dan membuat perlindungan. Semua meriam dan pasukan di seluruh benteng sudah siap, bahan makanan sudah dipersiapkan untuk persiapan perang beberapa bulan, sepanjang pantai dari Tallo sampai Bantaeng pasukan perlawanan rakyat sudah dipersiapkan pula.
Satu-satunya yang dikhawatirkan Sultan Hasanuddin adalah pasukan Bone yang berada di dalam daerah pertahanan Gowa yang sudah memberontak, dan armada perangnya dengan 700 kapal di bawah pimpinan Laksamana Karaeng Bontomarannu yang masih berada di Buton.
Saat-saat tegang Speelman mengirim utusan menemui Sultan Hasanuddin, utusan itu membawa tuntutan agar Sultan Hasanuddin menyerah saja dan membayar kerugian Belanda dalam perang terdahulu. Tuntutan Speelman ini hanya alasan untuk memulai penyerangan. Sultan Hasanuddin menjawab surat itu dengan berkata "Bila kami diserang, maka kami akan mempertahankan diri dan menyerang kembali dengan segenap kemampuan yang ada. Kami berada dipihak yang benar. Kami ingin mempertahankan kebenaran dan kemerdekaan negeri kami."
Saat yang ditunggu akhirnya tiba. Pagi buta tanggal 21 Desember 1666 Bendera merah dikibarkan armada perang Speelman. Meriam-meriam Belanda mulai memuntahkan pelurunya, udarapun dipenuhi asap mesiu. Semangat perlawanan para prajurit Gowa terbakar dan menyala-nyala. Perahu kecil bersenjata menyerbu mendekati kapal perang Belanda. Dengan dilindungi oleh hujan yang sangat lebat armada semut perahu perang milik Kerajaan Gowa mulai menghantam dari dekat inti armada perang Speelman. Speelman menhgundurkan diri dari Somba Opu ke selatan meninggalkan pantai.
Di Laikang pantai sebelah selatan Makassar, pasukan-pasukan pendarat Speelman dan Arung Palakka mencoba mengadakan pendaratan. Pasukan Gowa bersama rakyat telah menanti dengan semangat pantang menyerah. Pasukan penjajah dibuat kocar-kacir olehnya. Tanggal 24 Desember 1666, armada Speelman mundur dan meninggalkan pantai Laikang, berlayar ke selatan dan mendaratkan pasukannya di Bantaeng esok harinya. Perahu-perahu dagang yang ramai dipantai waktu itu dihantam dan ditenggelamkan. Bantaeng dan 30 desa di sekitarnya dibumihanguskan, tak luput pula lumbung beras Kerajaan Gowa ikut dibakar.
Laskar kerajaan Gowa menyerbu dan perangpun berkecamuk Perkelahian satu lawan satu terjadi. Korban berjatuhan dikedua belah pihak. Setelah bertempur sehari semalam Speelman mundur dan semua pasukannya ditarik naik ke kapal. Speelman memutuskan untuk menghadapkan Sultan Hasanuddin dengan pasukan Raja-raja Buton, Ternate dan Bone untuk mengurangi kerugian dipihak mereka.
Kabar dari mata-mata Speelman juga memberitahukan bahwa armada inti kerajaan Gowa dibawah pimpinann Laksamana Karaeng Bontomarannu masih berada di Buton dengan 700 kapal perangnnya. Inilah kesempatan menghancurkan kekuatan laut Sultan Hasanuddin.
Tanggal 1 Januari 1667 armada Speelman tiba di Buton dan langsung menghantam armada Karaeng Bontomarannu yang sudah kelelahan menghadapi pasukan Buton di darat. Akhirnya Karaeng Bontomarannu menyerah tanpa syarat kepada Speelman pada tanggal 4 januari 1667. Kemenangan ini dirayakan Speelman. Kepada Sultan Buton, pihak Belanda memberikan hadiah 100 ringgit setahun.
Armada Speelman berlayar ke Ternate. Arung Palakka mengirim pasukannnya sebanyak 2000 orang ke Bone untuk membentuk pasukan baru untuk persiapan menyarang Gowa. Bulan Juni 1667 Speelman bersama Sultan Mandarsyah yang membawa pasuka Ternate, Bacan dan Tidore bergabung dengan pasukan Arung Palakka dan Kapten Jongker. Perang pecah tanggal 7 Juli setelah sekitar 7000 orang pasukan Gowa menyerang tiba-tiba. Empat hari kemudian armada Belanda berlayar menuju pusat Kerajaan Gowa. tanggal 19 Juli perairan Makassar sudah dipenuhi oleh kapal perang Belanda. Benteng Somba Opu sudah dikepung dari laut.
Perang Menentukan
Perang yang menentukan telah tiba. Bau mesiu dan darah memenuhi udara. Benteng Somba Opu yang menjadi pusat pertahanan utam kerajaan Gowa langsung dipimpin oleh Sultan Hasanuddin dan Sultan Harun Al Rasyid Raja Tallo. Karaeng Bontosunggu memimpin benteng Ujungpandang dan Karaeng Popo memimpin pertahanan di benteng Panakkukang.
Tanggal 19 Agustus 1667 pagi hari, Benteng Galesong diserang oleh meriam pasukan Belanda, dalam serangan ini persedian beras kerajaan Gowa di Galesong berhasil dibakar Belanda. Hari demi hari perang berkecamuk. Diawal September 1667 Speelman memindahkan perhatiannya. Di daratan 6000 orang pasukan Arung Palakka bersama Kapten Poolman menyerang Galesong dan Barombong. Dengan meriam besar jarak jauh milik pasukan Gowa mengusir armada Speelman. Di darat pasukan Arung Palakka berhasil dipukul mundur.
Keadaan ini membuat Speelman meminta bantuan  dari Batavia. Belanda mengirim 5 kapal perang besar dibawah komando Kapten P. Dopun. Tanggal 22 Oktober 1667 Armada Speelman dan Dupon mengepung rapat Makassar. Dengan meriam-meriam besar, benteng Barombong dibobol. Pasukan Speelman didaratkan di Galesong dibantu Arung Palakka.
 Somba Opu dikepung dari laut maupun darat. Terjadi pertempuran yang sangat sengit antara Gowa dan pasukan Bone, Ternate, Buton dan Maluku, korban berjatuhan dari bangsa sendiri yang diadu oleh Belanda.
Kedua belah pihak sudah sangat kelelahan. Tanggal 5 Nopember 1667 Speelman melapor ke Batavia bahwa pasukannya sudah sangat lelah, semangat tempur merosot. 182 serdadu dan 95 matros jatuh sakit. Pasukan Buton, Ternate dan Bugis juga diserang sakit perut. Speelman minta dikirimi lagi perlengkapan dan prajurit. Pasukan Sultan Hasanuddin juga mengalami hal serupa. Pertempuran selama berbulan dan pengepungan benteng sangat mencemaskan dan merisaukan Sultan Hasanuddin. Setelah 4 hari bertempur, benteng Barombong direbut Belanda, tetapi semangat semangat prajurit Gowa masih membara. Sultan Hasanuddin masih mampu meneruskan perang.
Sultan Hasanuddin dikenal arif dan bijaksana. Beliau merasa sedih karena harus bertempur melawan keluarga sendiri. Arung Palakka La Tenri Tatta to Erung sudah seperti saudara kandung sendiri. Speelman kemudian mengusulkan perdamaian. Sultan Hasanuddin mempertimbangkan bahwa pertumpahan darah di kalangan orang Makassar dan Bugis harus segera dihentikan.
Meneruskan perang hanya akan menguntungkan Belanda. Perundingan antara Speelman dan Sultan Hasanuddin diadakan di Bungaya dekat benteng Barombong yang sudah direbut Belanda. Setalah berkali-kali berunding, maka pada hari Jum'at tanggal 18 November 1667, tercapailah suatu perjanjian perdamaian yang dikenal sebagai "Cappaya Ri Bungaya" atau perjanjian Bungaya. Perjanjian ini tidak berlangsung lama karena memberatkan kerajaan Gowa. Benteng Ujungpandang diserahkan kepada Speelman dan diganti namanya menjadi "Fort Rotterdam". Speelman juga mempersiapkan benteng ini untuk bertahan dan menyerang, karena keyakinannya bahwa perjanjian Bungaya akan segera batal.
Perang Terakhir
Raja Tallo Sultan Harun Al Rasyid, Karaeng Lengkese, dan Arung Matowa Wajo tidak menerima perjanjian Bungaya. Pasukannya ditarik, tekad mereka tetap. "Hanya Mayat yang bisa menyerah". Karaeng Karunrung mendesak Sultan Hasanuddin membatalkan Perjanjian Bungaya. Akhirnya perang pecah kembali tanggal 21 April 1668. Karaeng Karunrung menyerang benteng Ujungpandang (Fort Rotterdam). Hari demi hari bulan demi bulan perang terus berkecamuk.
Dalam catatan buku harian Speelman tertulis antara lain: "Pertempuran berlangsung sengit. Banyak orang Belanda mati atau luka, Arung Palakka juga menderita luka. Setiap hari 7 atau 8 orang serdadu Belanda dikuburkan. Speelman jatuh sakit. 5 orang dokter, 15 pandai besi tewas. Tenaga bantuan dari Batavia hanya 8 orang yang masih sehat. Dalam tempo 4 minggu, 139 orang mati dalam benteng Ford Rotterdam dan 52 orang tewas di kapal".
Sultan Hasanuddin memerintahkan untuk melakukan perbaikan kembali benteng yang rusak. Tanggal 5 Agustus 1668, Karaeng Karunrung membawa pasukannya menyerbu Fort Rotterdam. Pada serangan ini Arung Palakka nyaris tewas. Speelman meminta bantuan dari Batavia. Pasukan dan peralatan perang dari Batavia tiba pada bulan April 1669. Meriam besar dibuat dan larasnya diarahkan ke benteng Somba Opu. Parit-parit pertahanan ke benteng Somba Opu sudah dibuat, persiapan Belanda sudah matang.
Akhirnya pada tanggal 15 Juni 1669 pasukan Speelman menyerang benteng Somba Opu. Pertempuran berlangsung siang dan malam. Meriam Belanda menembakkan lebih 30.000 biji peluru ke benteng Somba Opu. Patriot kerajaan Gowa tetap memberikan perlawanan yang gigih atas serangan Belanda dan hujan peluru.
Setelah perang selama selama 10 hari siang dan malam, maka pada tanggal 24 Juni 1669 seluruh benteng Somba Opu dikuasai Belanda. Tdak kurang 272 pucuk meriam besar dan kecil termasu meriam keramat "Anak Mangkasara" dirampas Speelman. Sultan Hasanuddin mundur ke benteng Kale Gowa di Maccini Sombala dan Karaeng Karunrung meninggalkan istananya di Bontoala mundur ke Benteng Anak Gowa.
Benteng Somba Opu kemudian diratakan dengan tanah, beribu-ribu kilo amunisi meledakkan benteng yang tebalnya 12 kaki ini. Udara merona merah dan tanah seakan gempa. Mayat-mayat bergelimpangan dimana-mana. Hangus dibakar ledakan mesiu dan api yang menjilat. Seluruh Istana Somba Opu dihancurkan.
Sultan Hasanuddin kalah perang, tetapi menurut pengakuan Belanda, pertempuran inilah yang paling dahsyat dan terbesar serta memakan waktu yang paling lama dari yang pernah dialami Belanda dibumi Nusantara waktu itu. Sultan Hasanuddin dan Pasukannya dijuluki "Ayam Jantan Dari Timur" karena semangatnya yang pantang mundur.
Turun Tahta Dan Wafat
Setelah kekalahan yang diderita Kerajaan Gowa dan mundurnya Sultan Hasanuddin dari benteng Somba Opu ke benteng Kale Gowa, maka usaha Speelman memecah belah persatuan kerajaan Gowa terus dilancarkan. Usaha ini berhasil, setelah diadakan "pengampunan umum". Siapa yang mau menyerah diampuni Belanda. Beberapa pembesar kerajaan menyatakan menyerah. Karaeng Tallo dan Karaeng Lengkese menyatakan tunduk pada Perjanjian Bungaya.
Sultan Hasanuddin sudah bersumpah tidak akan sudi bekerja sama dengan penjajah Belanda. Pada tanggal 29 Juni 1669 Sultan Hasanuddin meletakkan jabatan sebagai Raja Gowa ke-16 setelah selama 16 tahun berperang melawan penjajah dan berusaha mempersatukan kerajaan Nusantara. Sebagai penggantinya ditunjuk putranya I Mappasomba Daeng Nguraga Bergelar Sultan Amir Hamzah. Sesudah turun tahta, Sultan Hasanuddin banyak mencurahkan waktunya sebagai pengajar Agama Islam dan berusaha menanamkan rasa kebangsaan dan persatuan.
Pada hari Kamis tanggal 12 Juni 1670 bertepatan dengan tanggal 23 Muharram 1081 Hijriah. Sultan Hasanuddin wafat dalam usia 39 tahun. Beliau dimakamkan disuatu bukit di pemakaman Raja-raja Gowa di dalam benteng Kale Gowa di Kampung Tamalate.
I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla'Pangkana telah tiada. Tetapi semangatnya tetap berkobar di dada setiap insan bangsa yang mendambakan perdamaian dan kebebasan di Bumi Pancasila ini.
Nama Sultan Hasanuddin abadi dalam dada. Menghormati jasanya dengan mengabadikan namanya menjadi nama jalan pada hampir disetiap Kota di Nusantara. Universitas Hasanuddin sebagai salah satu universitas terkemuka di INdonesia bagian Timur, mempergunakan namanya dan memakai lambangnya "Ayam Jantan Dari Timur". Komando Daerah Militer (KODAM) XIV Hasanuddin mengabadikan namanya dan menjadikan semboyannya "Abbatireng Ri Pollipukku" (setia pada Negeriku). Dan dengan keputusan Presiden RI No. 087/TK/1973 Tanggal 6 November 1973, Sultan Hasanuddin dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, untuk menghargai jasa-jasa kepahlawanannya.
DAFTAR PUSTAKA
Peranginangin,Marlon dkk,.(2007). Buku Pintar Pahlawan Nasional. Batam: Scientific Press.
Buku Riwayat Perjuangan Sultan Hasanuddin Raja Gowa XVI | Oleh Moh. Alwi | Penerbit Bhakti Baru
Sejarah Gowa - Abdurrazak Dg. Patunru | Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara
Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah | Prof. Dr. Mattulada | Bhakti Baru Berita Utama 1982
The Heritage Of Arung Palakka | Andaya, Leonard Y | The Hague Martinus NIJHOFF – 1981
Peristiwa Tahun-tahun Bersejarah Di Sulawesi Selatan dari Abad ke XIV s/d XIX | Team Pengolah dan Penerbit Kantor Cabang II Lembaga Sejarah dan Antropologi Ujung Pandang