PERJANJIAN ROEM ROYEM

Ujang Sudrajat/PIS

Pada pukul 17.00 tanggal 7 Mei 1949 telah tercapai suatu persetujuan antara pemerintah Indonesia dengan Belanda yang disebut Persetujuan Roem-Royen Persetujuan Roem-Royen merupakan salah satu peristiwa penting dari serangkaian perundingan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia menuju pengakuan kedaulatan dalam Konferensi Meja Bundar pada tanggal 27 Desember 1949.
perjanjian Roem-Royen diawali dengan perundingan REPUBLIK INDONESIA-BELANDA pada tanggal 17 April 1949 atas inisiatif Komisi PBB untuk Indonesia. Perundingan diadakan di Hotel Des Indes Jakarta dipimpin oleh Merle Cochran. Delegasi
Indonesia diketuai oleh Mr. Moh. Roem dan wakilnya adalah Mr. Ali Sastroamidjojo.
Adapun anggotanya adalah sebagai berikut ini
dr. Leimena
Ir. Djuanda
Prof. Dr. Mr. Supomo
Mr. Latuharhary
Yang disertai dengan lima orang penasihat.
sedangkan Belanda diketuai oleh Dr. J.H. van Royen dan anggotanya adalah sebagai berikut ini
Mr. N.S. Blom
Mr. A. Jacob
Dr. J.J. van der Velde
dan empat orang penasihat.
Wakil republik indonesia dalam pidatonya menuntut agar perundingan ini lebih dahulu menyetujui pengembalian pemerintah republik indonesia ke Yogyakarta setelah itu baru akan dibahas mengenai soal-soal lainnya. Pihak Belanda bersedia mendahulukan perundingan mengenai syarat-syarat untuk kemungkinan kembalinya pemerintah republik indonesia ke Yogyakarta, namun tiap kewajiban yang mengikat yang mungkin timbul dalam perundingan harus ditunda hingga dicapainya kesepakatan tentang penghentian perang gerilya dan perjanjian pelaksanaan KMB.
Kedua belah pihak tetap teguh pada pendirian masing-masing sehingga perundingan berjalan amat lambat. Pihak republik indonesia sebenarnya bukanlah menuntut pengembalian Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta dari pengasingan ke Yogyakarta, tetapi menuntut pengembalian pemerintah republik indonesia disertai dengan pengakuan kedaulatan atas wilayah tertentu dari pihak Belanda.
Hal tersebut dilakukan karena pihak Belanda terus-menerus menggerogoti wilayah republik indonesia yang diakui secara de facto dalam Persetujuan Linggajati dengan mendirikan negara-negara boneka di wilayah yang dikuasainya. Untuk menghindari kebuntuan dalam perundingan, pihak republik indonesia melakukan langkah lain. Wakil Presiden Moh. Hatta pada tanggal 24 April 1949 datang ke Jakarta untuk melakukan perundingan informal dan langsung dengan pihak Belanda disaksikan oleh Merle Cochran
Keesokan harinya perundingan itu dimulai. Hatta menyatakan bahwa perundingan itu untuk membantu memberikan penjelasan kepada wakil Belanda mengenai tuntutan republik indonesia. Perundingan lanjutan pun dilakukan sebanyak dua kali, tanggal 28 April dan 4-5 Mei 1949. Pemerintah Belanda akhirnya dapat menyetujui pengembalian pemerintah indonesia ke Yogyakarta, dengan syarat penghentian perang gerilya. Namun, Belanda hanya mengakui wilayah republik indonesia seluas lima mil persegi. Hal tersebut menimbulkan keberatan pihak republik indonesia karena wilayah seluas lima mil persegi adalah sangat berbahaya bagi keamanan. Pihak indonesia menuntut daerah seluas Yogyakarta termasuk lapangan terbang Maguwo dan batas selatan Samudra Indonesia.
Namun tuntutan indonesia itu ditolak Belanda. Kesepakatan akhirnya dicapai pada tanggal 7 Mei 1949. Ketua wakil Indonesia Mr. Moh. Roem atas nama Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta menyatakan kesanggupan untuk memudahkan  Pengeluaran perintah kepada pengikut indonesia yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya, Kerja sama dalam hal pengembalian perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan, Turut serta dalam KMB di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat.
Ketua wakil Belanda Dr. van Royen selanjutnya membacakan pernyataan yang antara lain berisi  wakil Belanda menyetujui pembentukan satu panitia bersama di bawah pengawasan Komisi PBB dengan tujuan untuk mengadakan penyelidikan dan persiapan yang perlu sebelum kembalinya pemerintah indonesia mempelajari dan memberikan nasihat tentang tindakan yang diambil dalam melaksanakan penghentian perang gerilya dan kerja sama mengembalikan perdamaian serta menjaga keamanan dan ketertiban.
Pemerintah Belanda setuju bahwa pemerintah indonesia harus bebas dan leluasa melakukan jabatan sepatutnya dalam satu daerah meliputi Keresidenan Yogyakarta. Pemerintah Belanda membebaskan tidak bersyarat pemimpin-pemimpin Indonesia dan tahanan politik yang tertangkap sejak tanggal 19 Desember 1948. Pemerintah Belanda menyetujui republik indonesia sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat (NIS).
Konferensi Meja Bundar di Den Haag akan dilaksanakan secepatnya setelah pemerintah indonesia dikembalikan ke Yogyakarta. Pada konferensi tersebut diadakan pembicaraan tentang bagaimana cara-cara mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat (NIS).


DAFTAR PUSTAKA
Wayan,I Badrika.2006.sejarah untuk SMA jilid 3 kelas XII program ips.jakarta.penerbit erlangga


SISTEM KEKERABATAN SUKU KUBU DI RIAU


Hayati Otari/SR
            Menurut bahasa Melayu pengertian Suku Kubu adalah memiliki 2 arti yaitu tempat persembunyian dan bodoh. Nama ini berasal dari desa yang bernama Kubu Kandang dan Pengabuan, yang berada di tepi Sungai Batanghari. Kemungkinan desa-desa tersebut merupakan perkampungan awal mereka.
            Pengertian Kubu yang berarti Bodoh, jelas tidak enak didengar, karena ada kesan merendahkan, oleh karena itu mereka enggan disebut sebagai orang Kubu, mereka lebih suka menyebut dirinya sebagai "Anak Dalam", "Orang Rimbo" atau "Orang Kelam", sedangkan orang desa disekitarnya disebut "Orang Terang".
            Kubu merupakan sebutan yang paling populer digunakan terutama oleh orang Melayu dan masyarakat Internasional. Kubu dalam bahasa Melayu memiliki makna peyorasi seperti primitif, bodoh, kafir, kotor dan menjijikan. Sebutan Kubu telah berlanjur populer terutama oleh berbagai tulisan pegawai kolonial dan etnografer pada awal abad ini.
Sistem kekerabatan orang Kubu adalah matrilineal yang sama dengan sistem kekerabatan budaya Minangkabau. Tempat hidup pasca pernikahan adalah uxorilokal, artinya saudara perempuan tetap tinggal didalam satu pekarangan sebagai sebuah keluarga luas uxorilokal sedangkan saudara laki-laki dari keluarga luas tersebut harus mencari istri diluar pekarangan tempat tinggal. Orang Kubu tidak diperbolehkan memanggil istri atau suami dengan namanya, demikian pula antara adik dengan kakak dan antara anak dengan orang tua. Mereka juga tidak menyebut nama orang yang sudah meninggal dunia. Sebenarnya menyebut nama seseorang dianggap tabu oleh orang Kubu. Sebelum menikah tidak ada tradisi berpacaran, gadis dan pemuda laki-laki saling menjaga jarak. Waktu seorang anak laki-laki beranjak remaja atau dewasa, sekitar umur 14-16 tahun, bila tertarik kepada seorang gadis, akan mengatakan hal tersebut kepada orang tuanya. Lalu orang-tuanya akan menyampaikan keinginan anak mereka kepada orang tua si gadis dan bersama-sama memutuskan apakah mereka cocok. Pernikahan yang terjadi antara orang desa dan orang Rimba, sama dengan antara anak kelompok Kubu dan kelompok Kubu lain.
Ada tiga jenis perkawinan, yaitu; pertama dengan mas kawin. Kedua, dengan prinsip pencurahan, yang artinya laki-laki sebelum menikah harus ikut mertua dan bekerja di ladang dan berburu untuk dia membuktikan dirinya. Ketiga, dengan pertukaran gadis, artinya gadis dari kelompok lain bisa ditukar dengan gadis dari kelompok tertentu sesuai dengan keinginan laki-laki dan gadis-gadis tersebut. Orang Kubu menganggap hubungan endogami keluarga inti (saudara seperut/suadara kandung)atau hubungan dengan orang satu darah, merupakan sesuatu yang tabu. Dengan kata lain, perbuatan sumbang (incest) dilarang, samahalnya dengan budaya Minangkabau. Mayoritas pernikahan adalah monogami, tetapi ada juga hubungan poligami atau lebih tepat poligini, yang kelihatannya untuk melestarikan asal suku. Sebenarnya, adalah alasan sosial lain, samping melindungi sumber anak adalah keinginan untuk memelihara janda atau perempuan mandul. Poligini jarang jadi di kelompok TemenggungTarib. Umur harapan hidup laki-laki lebih pendek daripada harapan hidup perempuan dan perempuan selalu diutamakan, pada umumnya pekerjaan berbahaya dilakukan oleh laki-laki. Kaum kerabat merupakan sumber semua bantuan.Kelompok
TemenggungTarib terdiri dari 28 pesakanatau Kepala Keluarga (KK) dengan jumlah kira-kira100 jiwa. Sebenarnya kelompok ini terbagi dua, yaitu di tempat Semapui yang berjumlah 9 KK dan di tempat dekat Paku Aji 19 KK. Temenggung Kelompok pertama, tinggal di hutan dibawah pemimpin Gera terdiri dari 6 KK saja. Kelompok kedua yang terdiri dari sekitar 12 KK sudah dibina, masuk Islam dan mendapat paket bantuan dari Depsos.Kebudayaan orang Rimba juga mengenal sistem pelapisan sosial. Temenggung Tarib adalah pemimpin utama dalam struktur kelompok, yang posisinya diwarisi sebagai hak lahir dari orang tua. Tetapi, jika pemimpin tidak sesuai atau disetujui oleh anggota kelompok, pemimpin bisa diganti melalui jalur "diskusi terbuka" atau forum yang bisa dilakukan dimana mana. Menurut TemenggungTarib, jumlah kelompok yang diwakili oleh Temenggung naik dari 3 kelompok pada tahun 1980an, sampai 6 kelompok yang di wakili oleh Temenggungdi Bukit Dua belas dewasa ini. Dulu ada kelompok Makekal, Kejasun dan Air Hitam, dewasa ini di daerah Makekal adalah kelompok yang di Temenggung olehTemenggun Mukir dan Temenggung Merah, daerah Kejasung dengan kelompok yang dipimpin oleh Temenggung Mijah, Marid, Kecik dan Jelita dan di daerah Air Hitam adalah kelompok Tarib dan Biring. Banyak interaksi dan lintas pernikahan (cross weddings) terjadi antar kelompok, misalnya istri
Temenggung Tarib punya darah Makakal dan orang kelompok Tarib nikah orang kelompok Biring. Hal tersebut mengakibatkan struktur dan komposisi organisasi sosial hampir sama dengan kelompok lain. Temenggung Biring setelah pindah keluar dan menganut agama Islam berganti nama dan sekarang dikenal dengan nama Pak Helmi. Sebenarnya anggota kelompok Biring serta anggota kelompok Tarib terpisah. Artinya, ada anggota yang tinggal di hutan secara tradisional dan ada anggota kelompok yang pindah keluar yang dapat bantuan dan merubah kepercayaan. Mungkin alasan memisahkan diri adalah faktor ekonomi atau faktorakulturasi dengan budaya pasca tradisional. Menurut mantan Temenggung Biring, pak Helmi, struktur masyarakat terdiri dari:Temenggung adalah kepala suku. Ketika dia absen dia diwakili wakil Temenggung. Seorang yang bergelar Depati bertugas menyelesaikan hal-hal yang terkait dengan hukum dan keadilan. Seorang yang bergelar Debalang yang tugasnya terkait dengan stabilitas keamanan masyarakat dan seorang yang bergelar Mantiyang tugasnya memanggil masyarakat pada waktu tertentu. Pengulu adalah sebuah institusi sosial yang mengurus dan memimpin masyarakat orang Kubu. Ada juga yang bertugas seperti dukun, atau Tengganai dan Alimyang mengawasi dan melayani masyarakat dalam masalah spiritual dan di bidang kekeluargaan, nasehat adat dan sebagainya.
TemenggungTarib sangat aktif mengorganisir hubungan dengan dunia luar, supaya nasib orang Rimba diketahui.Masyarakat Adat Nusantara di Jakarta, 15-22 Maret 1999 dan wakil orang Kubu untuk Dewan Aliansi Daerah untuk Aliansi Masyarakat Daerah propinsi Riau dari periode 1999 sampai sekarang.Orang Kubu yang tinggal di pinggir Bukit Duabelas berinteraksi cukup sering dengan orang desa. Kelihatannya orang Kubu yang tinggal lebih didalam Bukit Duabelas tidak berinteraksi sama sekali. Orang Kubu sebenarnya sering memerlukan bantuan dari orang Kubu yang bermukim di pinggir hutan. Mereka minta bantuan untuk mendapat barang dari pasar. Maksudnya, orang Kubu yang tinggal didalam Bukit Duabelas memesan barang yang dijual di pasar kepada orang Kubu di pinggir hutan, dan diambil oleh mereka setelah barangnya sudah didapat.
Kini terdapat tiga kategori kelompok pemukiman Suku Anak Dalam.Pertama yang bermukim didalam hutan dan hidup berpindah-pindah.Kedua kelompok yang hidup didalam hutan dan menetap. Ketiga adalah kelompok yang pemukimnya bergandengan dengan pemukiman orang luar ( orang kebiasaan ).
Cara berpakaiannya pun kini bervariasi, yaitu: (1) bagi yang tinggal di hutan dan berpindah-pindah pakaiannya sederhana sekali, yaitu cukup menutupi bagian tertentu saja. (2) yang tinggal di hutan tetap menetap, di samping berpakaian sesuai dengan tradisinya, juga terkadang menggunakan pakaian seperti masyarakat umum seperti baju, sarung atau celana, (3) yang tinggal berdekatan dengan pemukiman masyarakat luar atau desa, berpakaian seperti masyarakat desa lainnya. Namun kebiasaannya tidak menggunakan baju seperti orang Melayu
Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, mereka memiliki sistem kepemimpinan yang berjenjang, seperti Temenggung, Depati, Mangku, Menti dan Jenang.Temenggung merupakan jabatan tertinggi, keputusan yang ditetapkan harus dipatuhi. Bagi mereka yang melanggar akan dijatuhi hukuman atau sangsi sesuai dengan tingkat kesalahannya.
Peran Temenggung sangat penting karena berfungsi sebagai: (1) Pimpinan tertinggi (sebagai Rajo),(2) Penegak hukum yang memutuskan perkara, (3) Pemimpin upacara ritual, (4) Orang yang memilki kemampuan dan kesaktian. Oleh sebab itu dalam menentukan siapa yang akan menjadi emenggung harus diperhatikan latar belakangnya, seperti keturunan dan kemampuan memimpin.

DAFTAR PUSTAKA
Husein Ahmad.1991, Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI Di Minangkabau/Riau 1945-1950. Jakarta. Badan Pemurnian Sejarah Indonesia.
Sumber Internet
 

KEBUDAYAAN SUKU KUBU


Ibrahim Gani/SR/A
            Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatera, tepatnya di Provinsi Jambi. Mereka tersebar secara mengelompok di daerah pedalaman hutan pada beberapa kabupaten yang tergabung dalam wilayah provinsi Jambi, yakni : Bungo Tebo, Sarolangun Bangko dan Batanghari.  Suku Kubu termasuk ras mongoloid yang termasuk dalam migrasi manusia pertama dari proto melayu. Perawakannya rata-rata sedang, kulit sawo matang, rambut agak keriting, telapak kaki tebal, laki-laki dan perempuan dewasa banyak makan sirih.
            Sejarah Suku Kubu atau Suku Anak Dalam masih penuh dengan misteri, karena tidak ada yang dapat memastikan asal-usul mereka. Hanya beberapa teori dan carita dari mulut ke mulut para keturunan yang bisa menceritakan sejarah mereka. Secara lisan Suku Kubu selalu diturunkan oleh leluhur. Tengganai Ngembar (80), pemangku adat sekaligus warga tertua SAD yang tinggal di Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi, mendapat dua versi cerita mengenai sejarah Orang Rimba dari para terdahulu. Ia memperkirakan dua versi ini punya keterkaitan.Yang pertama, leluhur mereka adalah orang Maalau Sesat, yang meninggalkan keluarga dan lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Barisan. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Sedangkan versi kedua, penghuni rimba adalah masyarakat Pagaruyung, Sumatera Barat, yang bermigrasi mencari sumber-sumber penghidupan yang lebih baik. Diperkirakan karena kondisi keamanan tidak kondusif atau pasokan pangan tidak memadai di Pagaruyung, mereka pun menetap di hutan itu.
Versi kedua ini lebih banyak dikuatkan dari segi bahasa, karena terdapat sejumlah kesamaan antara bahasa rimba dan Minang. Orang Rimba juga menganut sistem matrilineal, sama dengan budaya Minang. Dan yang lebih mengejutkan, Orang Rimba mengenal Pucuk Undang Nang Delapan, terdiri atas hukum empat ke atas dan empat ke bawah, yang juga dikenal di ranah Minang. Di Kabupaten Tanah Datar sebagai pusat Kerajaan Pagaruyung sendiri, terdapat sebuah daerah, yaitu Kubu Kandang. Merekalah yang diperkirakan bermigrasi ke beberapa wilayah di Jambi bagian barat.
Mereka hidup seminomaden, karena kebiasaannya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Tujuannya, bisa jadi "melangun" atau pindah ketika ada warga meninggal, menghindari musuh, dan membuka ladang baru. Orang Rimba tinggal di pondok-pondok, yang disebut sesudungon, bangunan kayu hutan, berdinding kulit kayu, dan beratap daun serdang benal. Mereka juga berburu hewan untuk memenuhi kebutuhan dan meramu hasil hutan di sekelilingnnya. Kehidupan mereka terganggu  dengan hilangnya sumber daya hutan yang ada di Jambi dan proses marginalisasi yang di lakukan oleh pemerintah dan suku bangsa yang dominan. Mereka sehari-harinya tanpa baju, kecuali cawat penutup kemaluan. Rumahnya hanyalah beratap rumbia dan dinding dari kayu. Cara hidup dengan makan buah-buahan di hutan, berburu, dan mengonsumsi air dari sungai yang diambil dengan bonggol kayu. Makanan mereka bukan hewan ternak, tetapi kijang, ayam hutan, dan rusa.
Hasil survei Kelompok Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tahun 2004 menyatakan, jumlah keseluruhan Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Barisan ada 1.542 jiwa. Mereka menempati hutan yang kemudian dinyatakan kawasanTaman Nasional Bukit Barisan, terletak di perbatasan empat kabupaten, yaitu Batanghari, Tebo, Merangin, dan Sarolangun. Hingga tahun 2006, paling sedikit terdapat 59 kelompok kecil Orang Rimba. Beberapa ada yang mulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan desa sekitarnya. Namun sebagian besar masih tinggal di hutan dan menerapkan hukum adat sebagaimana nenek moyang dahulu.
Selain di Taman Nasional Bukit Barisan, kelompok- kelompok Orang Rimba juga tersebar di tiga wilayah lain. Populasi terbesar terdapat di Bayung Lencir, Sumatera Selatan, sekitar 8.000 orang. Mereka hidup pada sepanjang aliran anak-anak sungai keempat (lebih kecil dari sungai tersier), seperti anak Sungai Bayung Lencir, Sungai Lilin, dan Sungai Bahar. Ada juga yang hidup di Kabupaten Sarolangun, sepanjang anak Sungai Limun, Batang Asai, Merangin, Tabir, Pelepak, dan Kembang Bungo, jumlahnya sekitar 1.200 orang. Kelompok lainnya menempati Taman Nasional Bukit Tigapuluh, sekitar 500 orang. Karena tidak dekat dengan peradaban dan hukum modern, Orang Rimba memiliki sendiri hukum rimba. Mereka menyebutnya seloka adat.
Kisah yang dituturkan Ngembar tak berbeda jauh dengan warga Suku Anak Dalam (SAD) di kawasan lain TNBD. Tumenggung Tarib, pimpinan di salah satu rombongan SAD, mengemukakan bahwa mereka adalah keturunan Kerajaan Pagaruyung (dharmacraya) yang merantau ke Jambi. Untuk sejarah lisan ini, menurut Tarib, diturunkan sampai enam generasi ke bawah. Menurut Johan Weintre, salah seorang peneliti antropologi asal Australia, yang juga pernah menetap di hutan rimba Taman Nasional Bukit Dua belas (TNBD), menuliskan, Kerajaan Sriwijaya menguasai Selat Malaka serta melakukan perniagaan dan memiliki hubungan sosial dengan mancanegara, termasuk Tiongkok dan Chola, sebuah kerajaan di India Selatan. Sekitar tahun 1025, Kerajaan Chola menyerang Kerajaan Sriwijaya dan menguasai daerahnya. Lalu sebagian penduduk yang tidak ingin dikuasai penjajah, mengungsi ke hutan. Mereka kemudian disebut kubu, membangun komunitas baru di daerah terpencil. Sebenarnya, masyarakat SAD tidak jauh berbeda dengan masyarakat lain di sekitarnya. Pengaruh Minang tidak hanya lekat di sana, namun juga pada daerah sekitarnya, wilayah Kabupaten Sarolangun, Merangin, Bungo, dan Muaro Tebo, yang mengitari kawasan TNBD.
Salah satu buktinya, masyarakat adat melayu kuno di Kuto Rayo, Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin, juga memegang hukum adat Pucuk Undang Nang Delapan dari Minang, dan menganut sistem matrilineal. Sejarah mereka juga kaum pelarian pada Perang Sriwijaya.Kehidupan Suku Anak Dalam sangat dipengaruhi oleh aturan-aturan hukum yang sudah diterapkan dalam bentuk seloko-seloko yang secara tegas dijadikan pedoman hukum oleh para pemimpin Suku, khususnya Tumenggung dalam membuat suatu keputusan. Orang Rimba memang tidak jauh dari Pucuk Undang Nang Delapan, yang dibawa dari minang. Aturan rimba sendiri melarang adanya pembunuhan, pencurian, dan pemerkosaan. Inilah larangan terberat, yang jika dilanggar akan dikenai hukuman 500 lembar kain. Jumlah kain sebanyak itu dinilai sangat berat, dan sangat sulit disanggupi, karenanya Orang Rimba berusaha untuk mematuhi. Seloko juga menjadi pedoman dalam bertutur kata dan bertingkah laku serta dalam kehidupan bermasyarakat Suku Anak Dalam. Bentuk seloko itu antara lain:
1.Bak emas dengan suasa .
2.Bak tali berpintal tigo
3.Yang tersurat dan tersirat
4.Mengaji di atas surat
5.Banyak daun tempat berteduh
6.Meratap di atas bangkai
7.Dak teubah anjing makan tai (kebiasaan yang sulit di ubah )
8.Dimano biawak terjun disitu anjing tetulung (dimano kita berbuat salah disitu adat yang dipakai).
9.Dimano bumi di pijak disitu langit di junjung (dimana kita berada, disitu adat yang kita junjung, kita menyesuaikan diri)
10.Bini sekato laki dan anak sekato Bapak (bahwa dalam urusan keluarga sangat menonjol peran seorang laki – laki atau Bapak )
11.Titian galling tenggung negeri (Tidak ke sini juga tidak kesana/labil)
Seloko-seloko adat ini menurut mereka tidak hilang dan tidak pernah berubah. Seloko-seloko adat dan cerita asal usul mereka adalah cerita Tumenggung Kecik Pagar Alam Ngunci 80 tahun lebih.
Selain itu Suku Kubu juga memiliki kebudayaan lain, yaitu besale. Asal kata besale sampai saat ini belum diketahui, namun demikian dapat diartikan secara harafiah duduk bersama untuk bersama-sama memohon kepada Yang Kuasa agar diberikan kesehatan, ketentraman dan dihindarkan dari mara bahaya. Besale dilaksanakan pada malam hari yang dipimpin oleh seorang tokoh yang disegani yang disebut dukun. Tokoh ini harus memiliki kemampuan lebih dan mampu berkomunikasi dengan dunia ghaib/arwah.
Sesajian disediakan untuk melengkapi upacara. Pada intinya upacara besale merupakan kegiatan sakral yang bertujuan untuk mengobati anggota yang sakit atau untuk menolak bala. Pelengkap besale lainnya berupa bunyi-bunyian dan tarian yang mengiringi proses pengobatan.
Sebagaimana suku-suku terasing lainya di Indonesia, Orang Rimba yang selama hidupnya dan segala aktifitas dilakukan di hutan, juga memiliki budaya dan kearifan yang khas dalam mengelola sumberdaya alam. Hutan, yang bagi mereka merupakan harta yang tidak ternilai harganya, tempat mereka hidup, beranak-pinak, sumber pangan, sampai pada tempat dilakukannya adat istiadat yang berlaku bagi mereka. Begitupula dengan sungai sebagai sumber air minum dan berbagai fungsi lainnya. Perlu kita cermati disini adalah bagaimana cara mereka memperlakukan sumberdaya alam tersebut secara lestari dan berkelanjutan.
Dalam pengelolaan sumberdaya hutan, Orang Rimba mengenal wilayah peruntukan seperti adanya Tanoh Peranokon, rimba, ladang, sesap, belukor dan benuaron. Peruntukan wilayah merupakan rotasi penggunaan tanah yang berurutan dan dapat dikatakan sebagai sistem suksesi sumber daya hutan mereka. Hutan yang disebut rimba oleh mereka, diolah sebagai ladang sebagai suplai makanan pokok (ubi kayu, padi ladang, ubi jalar), kemudian setelah ditinggalkan berubah menjadi sesap. Sesap merupakan ladang yang ditinggalkan yang masih menghasilkan sumber pangan bagi mereka. Selanjutnya setelah tidak menghasilkan sumber makanan pokok, sesap berganti menjadi belukor. Belukor meski tidak menghasilkan sumber makanan pokok, tetapi masih menyisakan tanaman buah-buahan dan berbagai tumbuhan yang bermanfaat bagi mereka seperti durian, duku, rambutan dan lain-lain.
Suku Anak Dalam masih berpaham animisme. Mereka percaya bahwa alam semesta memiliki banyak jenis roh yang melindungi manusia. Jika ingin selamat, manusia harus menghormati roh dan tidak merusak unsur-unsur alam, seperti hutan, sungai, dan bumi. Kekayaan alam bisa dijadikan sumber mata pencarian untuk sekadar menyambung hidup dan tidak berlebihan.Hingga kini suku Anak Dalam masih mempertahankan beberapa etika khusus.
Komunitas adat terpencil Suku Anak Dalam pada umumnya mempunyai kepercayaan terhadap dewa, istilah ethnic mereka yakni dewo dewo. Mereka juga mempercayai roh roh sebagai sesuatu kekuatan gaib. Mereka mempercayai adanya dewa yang mendatangkan kebajikan jika mereka menjalankan aturannya dan sebaliknya akan mendatangkan petaka jika mereka melanggar aturan adat. Hal ini tercermin dari seloko mantera yang memiliki kepercayaan Sumpah Dewo Tunggal yang sangat mempengaruhi kehidupan mereka. Hidup beranyam kuaw, bekambing kijang, berkerbau ruso, rumah (Sudung) beatap sikai, badinding banir, balantai tanah yang berkelambu resam, suko berajo bejenang, babatin bapanghulu. Atinya: Mereka (Suku Anak Dalam) mempunyai larangan berupa pantang berkampung, pantang beratap seng, harus berumah beratap daun kayu hutan, tidak boleh beternak, dan menanam tanaman tertentu, karena mereka telah memiliki ternak kuaw (burung hutan) sebagai pengganti ayam, kijang, ruso, babi hutan sebagai pengganti kambing atau kerbau.
Jika warga Suku Anak Dalam melanggar adat pusaka persumpahan nenek moyang, maka hidup akan susah, berikut seloko adat yang diungkap oleh Tumenggung Njawat " Di bawah idak berakar, diatai idak bepucuk, kalo ditengah ditebuk kumbang, kalau kedarat diterkam rimau, ke air ditangkap buayo". Artinya: Jika Warga Suku Anak Dalam melanggar adat pusaka persumpahan nenek moyang mereka, maka hidupnya akan menderita atau mendapat bencana, kecelakaan, dan kesengsaraan. Kepercayaan tradisional Suku Anak Dalam di Propinsi Jambi adalah sejalan dengan faham pollytheisme yang bersifat animisme dan dinamisme. Mereka mempercayai roh-roh halus dan juga percaya kepada tempat-tempat tertentu yang dikeramatkan.
Budaya suku anak dalam itu ketika seorang anggota keluarganya meninggal dunia, itu merupakan peristiwa yang menyedihkan, terutama pihak keluarganya. Mereka yang berada disekitar rumah kematian akan pergi karena menganggap bahwa tempat tersebut tempat sial.kepercayaan tersebut bermula di dahulu kala semenjak mereka tinggal di dalam hutan.
Pada umumnya mereka percaya terhadap dewa-dewa, istilah ethnik yakni dewo-dewo.mereka yang percaya roh-roh sebagai sesuatu kekuatan gaib.sisitim kekerabatan orang rimba tidak boleh menyebut nama-nama mereka, dan tidak boleh juga menyebut orang yang telah meninggal dunia.sebelum menikah tidak ada tradisi berpacaran.kebudayaan suku anak dalam ini sangat berbeda dengan kebudayaan masyarakat modern seperti sekarang ini.

DAFTAR PUSTAKA
Dian Prihatini, 2007.  "Kebudayaan Suku Anak Dalam", Yogyakarta.
http ://uun-halimah.blogspot.com/2008/06/asal-usul-orang-kubu-provinsi-jambi.html
http ://id.wikepedia.org/wiki/Suku Kubu