PERJUANGAN TUANKU IMAM BONJOL

Annasrul - SI 3 / A

            Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia 1772 - wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864), adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803-1838. Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.
            Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, yang lahir di Bonjol pada tahun 1772. Dia merupakan putra dari pasangan Bayanuddin (ayah) dan Hamatun (ibu). Ayahnya, Khatib Bayanuddin, merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota. Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Muhammad Shahab memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.
            Tak dapat dimungkiri, Perang Padri meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 18 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berperang adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam (bid'ah).
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia-Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang, sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang waktu itu.
Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang, Dalam hal ini Kompeni melibatkan diri dalam perang karena "diundang" oleh kaum Adat.
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro.
            B. Perjuangan Tuanku Imam Bonjol
          Setelah berakhirnya perang Diponegoro & pulihnya kekuatan Belanda di Jawa, Pemerintah Hindia-Belanda kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Hal ini sangat didasari oleh keinginan kuat untuk penguasaan penanaman kopi yg sedang meluas di kawasan pedalaman Minangkabau [darek]. Sampai abad ke-19, komoditas perdagangan kopi merupaken salah satu produk andalan Belanda di Eropa.
Christine Dobbin menyebutnya lebih kepada perang dagang, hal ini seiring dengan dinamika perubahan sosial masyarakat Minangkabau dlm liku-liku perdagangan di pedalaman & pesisir pantai barat atau pantai timur. Sementara Belanda pada satu sisi ingin mengambil alih atau monopoli. Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian yg telah dibuat sebelumnya dengan menyerang nagari Pandai Sikek yg merupaken salah satu kawasan yg mampu memproduksi mesiu & senjata api. Kemudian untuk memperkuat kedudukannya, Belanda membangun benteng di Bukittinggi yg dikenal dengan nama Fort de Kock.
Pada awal bulan Agustus 1831 Lintau berhasil ditaklukkan, menjadikan Luhak Tanah Datar berada dlm kendali Belanda. Namun Tuanku Lintau masih tetap melakukan perlawanan dari kawasan Luhak Limo Puluah. Sementara ketika Letnan Kolonel Elout melakukan berbagai serangan terhadap Kaum Padri antara tahun 1831-1832, ia memperoleh tambahan kekuatan dari pasukan Sentot Prawirodirdjo salah seorang panglima pasukan Pangeran Diponegoro yg telah membelot & berdinas pada Pemerintah Hindia-Belanda sesudah usai perang di Jawa. Namun kemudian Letnan Kolonel Elout berpendapat, kehadiran Sentot yg ditempatkan di Lintau justru menimbulkan masalah baru. Beberapa dokumen-dokumen resmi Belanda membuktikan kesalahan Sentot yg telah melakukan persekongkolan dengan Kaum Padri sehingga kemudian Sentot & legiunnya dikembalikan ke Pulau Jawa. Di Jawa, Sentot juga tak berhasil menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap dirinya, & Belanda pun juga tak ingin ia tetap berada di Jawa & mengirimnya kembali ke Sumatera. Namun di tengah perjalanan, Sentot diturunkan & ditahan di Bengkulu, lalu ditinggal sampai mati sebagai orang buangan. Sedangkan pasukannya dibubarkan kemudian direkrut kembali menjadi tentara Belanda.
Sentot Prawirodirdjo, yg diilustrasikan oleh G. Kepper.
Pada bulan Juli 1832, dari Jakarta dikirim pasukan infantri dlm jumlah besar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P. Vermeulen Krieger, untuk mempercepat penyelesaian peperangan. Dengan tambahan pasukan tersebut pada bulan Oktober 1832, Luhak Limo Puluah telah berada dlm kekuasaan Belanda bersamaan dengan meninggalnya Tuanku Lintau. Kemudian Kaum Padri terus melakukan konsolidasi & berkubu di Kamang, namun seluruh kekuatan Kaum Padri di Luhak Agam juga dapat ditaklukkan Belanda sesudah jatuhnya Kamang pada akhir tahun 1832, sehingga kembali Kaum Padri terpaksa mundur dari kawasan luhak & bertahan di Bonjol.
Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur'an)).
Rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Padri atas sesama orang Minang, Mandailing dan Batak, terefleksi dalam ucapannya Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian? (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?).
Selanjutnya pasukan Belanda mulai melakukan penyisiran pada beberapa kawasan yg masih menjadi basis Kaum Padri. Pada awal Januari 1833, pasukan Belanda membangun kubu pertahanan di Padang Mantinggi, namun sebelum mereka dapat memperkuat posisi, kubu pertahanan tersebut diserang oleh Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Rao yg mengakibatkan banyak korban di pihak Belanda. Namun dlm pertempuran di Air Bangis, pada tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao menderita luka berat akibat dihujani peluru. Kemudian ia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga jenazahnya kemudian dibuang ke laut oleh tentara Belanda.
Lamanya penyelesaian peperangan ini, memaksa Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Johannes van den Bosch pada tanggal 23 Agustus 1833 pergi ke Padang untuk melihat dari dekat proses operasi militer yg dilakukan oleh pasukan Belanda.
Sesampainya di Padang, ia melakukan perundingan dengan Komisaris Pesisir Barat Sumatera, Mayor Jenderal Riesz & Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol, pusat komando pasukan Padri. Riesz & Elout menerangkan bahwa belum datang saatnya yg baik untuk mengadakan serangan umum terhadap Benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Luhak Agam masih disangsikan & mereka sangat mungkin akan menyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi Van den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol paling lambat tanggal 10 September 1833, kedua opsir tersebut meminta tangguh enam hari sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833.
Taktik serangan gerilya yg diterapkan Kaum Padri kemudian berhasil memperlambat gerak laju serangan Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan dlm beberapa perlawanan hampir semua perlengkapan perang pasukan Belanda seperti meriam beserta perbekalannya dapat dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat membawa senjata & pakaian yg melekat di tangan & badannya. Sehingga pada tanggal 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal Hindia-Belanda digantikan oleh Jean Chrétien Baud, Van den Bosch membuat laporan bahwa penyerangan ke Bonjol gagal & sedang diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan selanjutnya.
Kemudian selama tahun 1834 Belanda hanya fokus pada pembuatan jalan & jembatan yg mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mobilitas pasukannya dlm menaklukkan Bonjol.
Selain itu pihak Belanda juga terus berusaha menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yg dekat dengan kubu pertahanannya. Pada tanggal 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk kembali mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol & sekitarnya. Operasi militer dimulai pada tanggal 21 April 1835, pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer, memecah pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian yg bergerak masing-masing dari Matur & Bamban. Pasukan ini mesti menyeberangi sungai yg saat itu tengah dilanda banjir, & terus masuk menyelusup ke dlm hutan rimba; mendaki gunung & menuruni lembah; guna membuka jalur baru menuju Bonjol.
Pada tanggal 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil mencapai tepi Batang Gantiang, kemudian menyeberanginya & berkumpul di Batusari. Dari sini hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yg masih dikuasai oleh Kaum Padri.
 Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri. Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak korban di kedua belah pihak. Akhirnya dengan kekuatan yg jauh tak sebanding, pasukan Kaum Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini meningkatkan moralitas pasukan Belanda, kemudian daerah ini dijadikan sebagai kubu pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.
Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban, hampir sebulan waktu yg diperlukan untuk dapat mendekati daerah Alahan Panjang. Sebagai front terdepan dari Alahan Panjang ialah daerah Padang Lawas yg secara penuh masih dikuasai oleh Kaum Padri. Namun pada tanggal 8 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil menguasai daerah ini. Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda kembali bergerak menuju sebelah timur Batang Alahan Panjang & membuat kubu pertahanan disana, sementara pasukan Kaum Padri tetap bersiaga di seberangnya.
Pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol dlm jarak kira-kira hanya 250 langkah pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835, kemudian mereka mencoba membuat kubu pertahanan. Selanjutnya dengan menggunakan houwitser, mortir & meriam, pasukan Belanda menembaki Benteng Bonjol. Namun Kaum Padri tak tinggal diam dengan menembakkan meriam pula dari Bukit Tajadi. Sehingga dengan posisi yg kurang menguntungkan, pasukan Belanda banyak menjadi korban.
Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan tambahan pasukan sebanyak 2000 orang yg dikirim oleh Residen Francis di Padang & pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yg besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Benteng Bonjol di Bukit Tajadi.
Melihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba melakukan blokade terhadap Bonjol dengan maksud untuk melumpuhkan suplai bahan makanan & senjata pasukan Padri. Blokade yg dilakukan ini ternyata tak efektif, karena justru kubu-kubu pertahanan pasukan Belanda & bahan perbekalannya yg banyak diserang oleh pasukan Kaum Padri secara gerilya. Disaat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai berdatangan dari daerah-daerah yg telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari berbagai negeri di Minangkabau & sekitarnya. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas besar Bonjol sampai titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati syahid.
Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan kembali sesudah bala bantuan tentara yg terdiri dari pasukan Bugis datang, maka pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yg berada di Bukit Tajadi, & pasukan Bugis ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dlm merebut satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yg berada disekitar Bukit Tajadi. Namun sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum berhasil menguasai Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September 1835, Kaum Padri keluar dari kubu pertahanannya menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yg dibuat sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri segera kembali masuk ke dlm Benteng Bonjol.
Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang dari arah Luhak Limo Puluah & Padang Bubus, namun hasilnya gagal, bahkan banyak menyebabkan kerugian pada pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer, salah seorang komandan pasukan Belanda menderita sakit & terpaksa dikirim ke Bukittinggi kemudian posisinya digantikan oleh Mayor Prager. Blokade yg berlarut-larut & keberanian Kaum Padri, membangkitkan semangat keberanian rakyat sekitarnya untuk memberontak & menyerang pasukan Belanda, sehingga pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat Simpang & Alahan Mati mengangkat senjata & menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda. Pasukan Belanda kewalahan mengatasi perlawanan ini. Namun sesudah datang bantuan dari serdadu-serdadu Madura yg berdinas pada pasukan Belanda, perlawanan ini dapat diatasi.
Hampir setahun mengepung Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap Benteng Bonjol, sebagai usaha terakhir untuk penaklukan Bonjol. Serangan dahsyat ini mampu menjebol sebagian Benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda dapat masuk menyerbu & berhasil membunuh beberapa keluarga Tuanku Imam Bonjol.
Tetapi dengan kegigihan & semangat juang yg tinggi Kaum Padri kembali berhasil memporak-porandakan musuh sehingga Belanda terusir & terpaksa kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan banyak sekali korban jiwa di masing-masing pihak.
 Kegagalan penaklukan ini benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di Jakarta yg waktu itu telah dipegang oleh Dominique Jacques de Eerens, kemudian pada awal tahun 1837 mengirimkan seorang panglima perangnya yg bernama Mayor Jenderal Cochius untuk memimpin langsung serangan besar-besaran ke Benteng Bonjol untuk kesekian kalinya. Cochius merupaken seorang perwira tinggi Belanda yg memiliki keahlian dlm strategi perang Benteng Stelsel.
Selanjutnya Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan [16 Maret-17 Agustus 1837] dipimpin oleh jenderal & beberapa perwira. Pasukan gabungan ini sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis & Ambon. Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1. 103 tentara Eropa, 4. 130 tentara pribumi, termasuk didalamnya Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen [pasukan pembantu Sumenap alias Madura]. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda tersebut di antaranya ialah Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Mayor Prager, Kapten MacLean, Letnan Satu van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz, & seterusnya. Kemudian ada juga nama Inlandsche [pribumi] seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero & lainnya.
Dari Jakarta didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, sejumlah orang Eropa & Sepoys, serdadu dari Afrika yg berdinas dlm tentara Belanda, direkrut dari Ghana & Mali, terdiri dari 1 sergeant, 4 korporaals & 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe. Serangan yg bergelombang serta bertubi-tubi & hujan peluru dari pasukan artileri yg bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang lebih 6 bulan lamanya, serta pasukan infantri & kavaleri yg terus berdatangan.
Pada tanggal 3 Agustus 1837 dipimpin oleh Letnan Kolonel Michiels sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit menguasai keadaan, & akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837, Bukit Tajadi jatuh, & pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara keseluruhan dapat ditaklukkan. Namun Tuanku Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari benteng dengan didampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju daerah Marapak.
Perundingan Tuanku Imam Bonjol
Dalam pelarian & persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yg telah bercerai-berai & lemah, namun karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit saja yg tinggal & masih siap untuk bertempur kembali.
Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen Francis di Padang untuk mengajak berunding. Kemudian Tuanku Imam Bonjol menyatakan kesediaannya melakukan perundingan. Perundingan itu dikatakan tak boleh lebih dari 14 hari lamanya. Selama 14 hari berkibar bendera putih & gencatan senjata berlaku.
Tuanku Imam Bonjol diminta untuk datang ke Palupuh, tempat perundingan, tanpa membawa senjata. Tapi hal itu cuma jebakan Belanda untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol, peristiwa itu terjadi di bulan Oktober 1837 & kemudian Tuanku Imam Bonjol dlm kondisi sakit langsung dibawa ke Bukittinggi kemudian terus dibawa ke Padang, untuk selanjutnya diasingkan. Namun pada tanggal 23 Januari 1838, ia dipindahkan ke Cianjur, & pada akhir tahun 1838, ia kembali dipindahkan ke Ambon. Kemudian pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali dipindahkan ke Menado, & di daerah inilah sesudah menjalani masa pembuangan selama 27 tahun lamanya, pada tanggal 8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol menghembuskan nafas terakhirnya.
Penangkapan Tuanku Imam Bonjol
Meskipun pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, & Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu & ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu [Rokan Hulu], yg waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838.
 Jatuhnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya, & akhirnya peperangan ini dianggap selesai kemudian Kerajaan Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari Pax Neerlandica & wilayah Padangse Bovenlanden telah berada di bawah pengawasan Pemerintah Hindia-Belanda.
Sikap Patriotisme Kepahlawanan
Pengaruh dari peperangan ini menumbuhkan sikap patriotisme kepahlawanan bagi masing-masing pihak yg terlibat. Selepas jatuhnya Benteng Bonjol, pemerintah Hindia-Belanda membangun sebuah monumen untuk mengenang kisah peperangan ini.
Kemudian sejak tahun 1913, beberapa lokasi tempat terjadi peperangan ini ditandai dengan tugu & dimasukan sebagai kawasan wisata di Minangkabau. Begitu juga selepas kemerdekaan Indonesia, pemerintah setempat juga membangun museum & monumen di Bonjol & dinamai dengan Museum & Monumen Tuanku Imam Bonjol. Perjuangan beberapa tokoh dlm Perang Padri ini, mendorong pemerintah Indonesia kemudian menetapkan Tuanku Imam Bonjol & Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional.
Selain itu nama Tuanku Imam Bonjol juga hadir di ruang publik bangsa sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan pada lembaran Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6 November 2001.


DAFTAR PUSTAKA
 Radjab, M., (1964). Perang Paderi di Sumatera Barat, 1803-1838. Balai Pustaka.
Direktorat Urusan Kepahlawanan dan Perintis Kemerdekaan, (1991), Wajah dan sejarah perjuangan pahlawan nasional, Vol. 3, Departemen Sosial R.I., Direktorat Urusan Kepahlawanan dan Perintis Kemerdekaan.
Muhammad Syamsu As, Ulama pembawa Islam di Indonesia dan sekitarnya, Lentera, 1996
G. Kepper, (1900), Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900, M.M. Cuvee, Den Haag.
Sjafnir Aboe Nain, , (2004), Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB), transl., Padang: PPIM.
G. Teitler, 2004, Het einde Padri Oorlog: Het beleg en de vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een bronnenpublicatie, Amsterdam: De Bataafsche Leeuw, 59-183.
Kompas 10/11/2007 Oleh Suryadi, Dosen dan Peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en Oceanië, Universiteit Leiden, Belanda
 www.tokohindonesia.com Imam Bonjol, Tuanku (diakses pada 23 Juli 2010)

SISTEM PEMERINTAHAN HINDIA - BELANDA

M. NUR/SI 3 B

Pemerintahan Hindia-Belanda berupaya menggunakan sistem pemerintahan desentralisasi untuk mengatur kekuasaan di wilayah jajahannya.Pada dasarnya pemerintahan desentralisasi hindia-Belanda bertujuan untuk membuka kemungkinan diadakannya daerah-daerah yang memiliki pemerintahan sendiri namun tetap memiliki tanggung jawab dan berada di bawah pengawasan pemerintah pusat.
Pada awalnya gubernur jenderal yang merupakan wakil ratu belanda memiliki kekuasaan yang sanagt luas, sehingga untuk melaksanakan tugasnya dibantu oleh organisasi-organisasi pemerintah yang diisi oleh pejabat-pejabat baik pusat maupun daerah.Namun kekuasaan yang tak terbatas menuai protes dari komunitas-komunitas pengusaha Belanda, karena mereka juga ingin menyuarakan pendapatnya dalam menentukan kebijakan.
Untuk mengatasi hal itu diusulkan untuk membentuk gewestelijk raden, yaitu suatu dewan dimana warga eropa dapat berbicara untuk menyuarakan isi hatinya. Inilah yang mengawali terbentukany decentralisatie wet, kurang lebih pasalnya berisi tentang pemerintah di daerah-daerah jajahan kerajaan Belanda.
Sebelum tahun 1900 (sebelum sistem politik Etis) sistem pemerintahan untuk daerah jajahan (Hindia Belanda) masih bersifat sentralistis. Dimana:
·         Tidak ada partisipasi dari perangkat lokal segala sesuatu diatur oleh pemerintah pusat.
·         Tidak ada sama sekali otonomi untuk mengatur sendiri rumah tangga daerah sesuai dengan kepentingan daerah.
Mengapa menerapkan sentralisasi?
·         Sentralisasi dipandang sebagai cara terbaik oleh pemerintah Belanda untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Oleh karena itu, dengan sentralisasi Belanda dapat mempertahankan tanah jajahannya.
·         Sentralisasi sebagai bentuk ketakutan Belanda untuk kehilangan tanah jajahannya sebagai "daerah keuntungan".
·         Bagi Belanda "kehilangan Indonesia berarti sebuah malapetaka".
Pada perkembangannya muncul tuntutan adanya desentralisasi sejak tahun 1854 dimana parlemen Belanda berhak mengawasi pelaksanaan pemerintahan di Hindia Belanda.Tuntutan tersebut secara perlahan terwujud diawali dengan adanya desentralisasi keuangan (1903), kemudian baru adanya pemerintahan daerah baru (1922). Berdasarkan Undang-undang Perubahan tahun 1922 Hindia Belanda dibagi dalam provinsi dan wilayah (gewest)
1. Provinsi memiliki otonomi.Tiap provinsi dikepalai oleh seorang gubernur.Ada 3 provinsi yaitu Jawa Barat (1926),Jawa Timur (1929), dan Jawa Tengah(1930).
2. Gewest (wilayah)Gewest tidak memiliki otonomi.
Sampai tahun 1938 Hindia Belanda terbagi menjadi 8 gewest yang terdiri dari:
·         3 Provinsi : Jawa Barat,Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
·         5 Gewesten : Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Gewest Sumatera, Gewest Kalimantan (Borneo), Gewest Timur Besar (Grote Oost) yang terdiri dari Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan Irian Barat.
·         Untuk Surakarta dan Yogyakarta termasuk Gubernemen yaitu wilayah yang langsung diperintah oleh pejabat-pejabat gubernemen.
Desentralisasi adalah pembagian wewenang atau urusan penyelenggaraan pemerintahan.Dengan adanya keinginan desentralisasi maka Belanda membutuhkan orang-orang pribumi bukan hanya sebagai penguasaan daerah tetapi juga untuk mengerjakan keperluan administrasi pemerintah.Belanda juga membutuhkan tenaga terlatih (tenaga kesehatan, kehutanan, kemiliteran, kepolisian). Orang-orang pribumi tersebut akan dijadikan pelaksana, pelayan pemerintah, serta perantara antara Belanda dan penguasa daerah. Tetapi untuk dapat bekerja di pemerintah maka mereka harus sekolah.Keinginan desentralisasi menyebabkan adanya desentralisasi antara negara induk (Belanda) dengan Hindia Belanda, antara pemerintah Batavia dengan daerah, dan antara Belanda dengan pribumi.Dengan adanya keinginan desentralisasi tersebut maka memerlukan adanya daerah otonom.
Akibat adanya desentralisasi:
· Munculnya kebebasan yang semakin besar dari penguasa kolonial.
·   Memunculkan proses Indonesianisasi (sistem kepengurusan Indonesia, sejauh mungkin dilakusanakan oleh orang Indonesia. Hingga lahirlah Volksraad (Dewan Rakyat).
Struktur Birokrasi Pemerintah Kolonial
Pemerintah VOC
1. Gubernur Jenderal Merupakan penguasa tertinggi di Hindia.Kekuasaannya menjadi sangat tak terbatas karena ada undang-undang yang khusus mengatur hak-hak dan kewajibannya.
2. Raad van Indie (Dewan Hindia)Merupakan pendampingan gubernur jenderal dalam melaksanakan pemerintahannya. (terdiri dari 6 orang anggota dan 2 orang anggota luar biasa dimana gubernur jenderal merangkap sebagai ketua).
Setiap laporan dikirim pada Heeren XVII sebagai pimpinan pusat VOC yang berkedudukan di Amsterdam.VOC lebih banyak melakukan pemerintahan tidak langsung, dimana kaum bumiputera tidak terlibat dalam struktur kepegawaian VOC. Meskipun terkadang mereka terlibat dalam pemerintahan tetapi stasus mereka bukan pegawai VOC dan tidak digaji secara tetap. Mereka hanya mitra dalam bekerja demi kepentingan VOC.

Setelah VOC bubar maka pemerintahan Indonesia di pegang oleh pemerintah Belanda.
Belanda lebih cenderung melakukan kolonialisme (negara menguasai rakyat dan sumber daya negara lainnya/pendudukan suatu wilayah oleh suatu negara lain dimana daerah koloni masih berhubungan dengan negara induk dan memberi upeti kepadanya.

Pemerintahan Kolonial
1. Gubernur Jenderal didampingi oleh Raad van Indie (beranggota 4 orang) yang disebut sebagai Pemerintah Agung di Hindia Belanda.
2. Dibantu oleh :
Ø  Sekretaris Umum (Generale Secretarie) untuk membantu Commisaris General
Ø  Sekretaris Pemerintah (Gouvernement Secretarie) untuk membantu Gubernur Jenderal.
Pada tahun 1819 keduanya diganti oleh Algemene Secretarie yang bertugas membantu Gubernur Jenderal (terutama memberikan pertimbangan keputusan).
Pemerintahan kolonial pada dasarnya sama dengan masa VOC perbedaanya terletak pada:
a.       Kewenangan gubernur jenderal.
§  VOC :tidak ada aturan khusus yang mengatur kewenangan gubernur jenderal
§  Hindia Belanda :terdapat peraturan yang mengatur kewenangan gubernur jenderal yang tertuang dalam Regeering Reglement (RR)
b. Laporan Peranggungjawaban.
§  VOC :Gubernur Jenderal memberikan laporan pada Heeren XVII
§  Hindia Belanda:bertanggungjawab langsung pada raja melalui menteri jajahan. Laporan diberikan pada parlemen Belanda (Staten Generaal).
Menurut Undang-undang Hindia Belanda sebagai bagian kerajaan Belanda, maka:
1. Pemerintahan tertinggi berada di tangan Raja yang dilaksanakan oleh menteri jajahan atas nama raja. Bertanggung jawab pada Parlemen Belanda (staten general).
2. Pemerintahan Umum diselenggarakan oleh Gubernur Jenderal atas nama Raja yang dalam prakteknya atas nama menteri jajahan.
Raja bertugas :
· Mengawasi pelaksanaan/ penyelenggaraan pemerintahan Gubernur Jenderal
· Pengangkatan pejabat penting, memberikan petunjuk kepada Gubernur Jenderal dalam mengambil keputusan apabila terjadi perselisihan antara Gubernur jenderal dengan Dewan Hindia Belanda.
Urusan dalam negeri Hindia Belanda diserahkan pada Gubernur Jenderal dan Dewan Rakyat.Hindia Belanda disubordinasikan kepada kerajaan Belanda di Eropa tetapi diberi otonomi yang cukup luas.Pemerintah Belanda yang mengurus Indonesia adalah kementrian Jajahan yang kemudian pada perkembangannya diubah namanya menjadi kementrian urusan seberang lautan.Pemegang pemerintahan atas wilayah Indonesia adalah Gubernur Jenderal.Dia adalah pemegang kekuasan tertinggi. Dia menguasai kerajaan-kerajaan dan meminta mereka bekerja sama, sehingga peran raja tidak dapat lagi memerintah secara turun temurun tetapi dikendalikan Belanda. Kerajaan harus menyesuaikan dengan sistem pemerintahan Belanda.
Struktur Birokrasi Kolonial masa sentralisasiRaja Belanda (pemerintahan tertinggi) dilaksanakan oleh Menteri JajahanGubernur Jenderal (penyelenggara pemerintahan umum) didampingi raad van indie(dewan hindia)
Kerajaan
Gubernur Jenderal pada perkembangan di dampingi oleh departemen (direksi) yang masing-masing berdiri sendiri. Pada tahun 1933, terdapat 6 departemen, sebagai berikut:
a. Departemen van Justitie (kehakiman)
b. Departemen van Financiean (keuangan)
c. Departemen van Binenland Bestuur (dalam negeri)
d. Departemen van Onerwijs en Eredeinst (pendidikan dan kebudayaan)
e. Departemen Economische Zaken (ekonomi)
f. Departemen Verkeer en waterstaat (pekerjaan umum)
Selain 6 departemen sipil, terdapat 2 departemen militer :
a. Departemen angkatan perang (Oorlog)
b. Departemen angkatan laut (Marine)
Direktur dari departemen-departemen sipil diangkat oleh gubernur jenderal sedang panglima angkatan darat dan laut diangkat oleh raja (Kroon).
Tahun 1903 diberlakukan Undang-undang Desentralisasi dimana dengan Undang-undang tersebut dibentuklah Dewan Lokal yang memiliki otonomi.Dengan adanya dewan lokal maka pemerintah lokal perlu dibentuk dan disesuaikan. Maka terbentuklah: Provinsi, kabupaten, kotamadya, dan kecamatan serta desa.
Meskipun ada upaya untuk modernisasi struktur birokrasi tetapi tetap saja masih mempertahankan beberapa bagian struktur politik sebelumnya. Hal ini dilakukan demi kepentingan praktis dan untuk mempertahankan loyalitas, khususnya loyalitas elit bumi putra.Untuk jabatan teritorial diatas tingkat kabupaten dipegang oleh orang-orang Belanda/ Eropa.Pada perkembangannya, karena semakin luas Hindia Belanda maka dibutuhkan tenaga kerja untuk mengelola administrasi negara semakin meningkat. Sehingga ada pendamping pejabat teritorial yang disebut pejabat non teritorial yang setingkat kabupaten (asisten residen), kawedanan (asisten wedono).
Struktur Birokrasi Kolonial setelah desentralisasi
Raja Belanda (pemerintahan tertinggi) dilaksanakan oleh Menteri Jajahan
Ø    Gubernur Jenderal (penyelenggara pemerintahan umum) Dewan Rakyat (volsraad)
Ø    Badan Perwakilan
Ø    Dewan Hindia Badan Penasehat
Ø    Departemen-Departemen
Ø    Provinsi (Gubernur)
Ø    Karisidenan/afdeling (Residen) dibantu asisten residen + controleur (pengawas)
Ø    Kabupaten (bupati/regent) jabatan tertinggi, dibantu oleh seorang patih
Ø    Kawedanan (wedana)/Distrik asisten wedana
Ø    Kecamatan (camat)
Ø    Desa (kepala desa) jabatan ini tidak termasuk dalam struktur birokrasi pemerintah kolonial/ bukan anggota korp pegawai dalam negeri Hindia Belanda (Departemen Dalam Negeri).Kepala desa dibantu pejabat desa (pamong desa)
Ø    Pejabat pribumi (inland bestuur) yang termasuk dalam binenland bestuur (departemen dalam negeri) disebut Pangreh Praja (pemangku Kerajaan) yang dikenal dengan sebutan Priyayi.
Kepala desa tidak diangkat maupun digaji oleh pemerintah.Mereka dipilih langsung oleh rakyat dan digaji oleh rakyat pula melalui tanah desa (tanah bengkok) yang diserahkan kepadanya selama menjadi kepala desa.
A. Sistem Pemerintahan Desentralisasi
Pemerintahan Hindia-Belanda berupaya menggunakan sistem pemerintahan desentralisasi untuk mengatur kekuasaan di wilayah jajahannya.Pada dasarnya pemerintahan desentralisasi hindia-Belanda bertujuan untuk membuka kemungkinan diadakannya daerah-daerah yang memiliki pemerintahan sendiri namun tetap memiliki tanggung jawab dan berada di bawah pengawasan pemerintah pusat. 
Pada awalnya gubernur jenderal yang merupakan wakil ratu belanda memiliki kekuasaan yang sanagt luas, sehingga untuk melaksanakan tugasnya dibantu oleh organisasi-organisasi pemerintah yang diisi oleh pejabat-pejabat baik pusat maupun daerah.Namun kekuasaan yang tak terbatas menuai protes dari komunitas-komunitas pengusaha Belanda, karena mereka juga ingin menyuarakan pendapatnya dalam menentukan kebijakan.
Untuk mengatasi hal itu diusulkan untuk membentuk gewestelijk raden, yaitu suatu dewan dimana warga eropa dapat berbicara untuk menyuarakan isi hatinya. Inilah yang mengawali terbentukany decentralisatie wet, kurang lebih pasalnya berisi tentang pemerintah di daerah-daerah jajahan kerajaan Belanda.
B. Birokrasi Pada Masa Pemerintah Hindia-Belanda
sebagai bangsa pendatang yang ingin menguasai wilayah nusantara, baik secara politik maupun ekonomi, pemerintah kolonial menyadari bahwa keberadaannya tidak selalu aman. untuk itu pemerintah kolonial menjalin hubungan politik dengan pemerintah kerajaan yang masih disegani, hal ini bertujuan untuk menanamkan pengaruh politiknya terhadap elite politik kerajaan.
Terjadi dualisme sistem birokrasi pemerintahan pada saat pemerintahan kolonial berlangsung, yaitu mulai diperkenalkannya sistem administrasi kolonial (Binnenlandsche Bestuur) yang memperkenalkan sistem administrasi dan birokrasi modern yang puncaknya pada ratu Belanda dan sistem administrasi tradisional (inheemche Bestuur) masih dipertahankan oleh pemerintah kolonial.
Dalam struktur pemerintahan di nusantara, Belanda menempatkan Gubernur Jenderal yang dibantu oleh gubernur dan residen. Gubernur merupakan wakil pemerintah pusat yang berkedudukan di batavia, setingkat wilayah propinsi. Sedangkan untuk tingkat kabupaten terdapat asisen residen dan pengawas (Controleur).keberadaan asisten residen diangkat oleh gubernur jenderal untuk mengawasi bupati dan wedana dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari. Pengawasan dari raa hanya ditunjukkan pada saat-saat tertentu, seperti pengiriman upeti kepada raja.bupati tidak memiliki kekuasaan yang otonom lagi, akan tetapi selalu mendapat kontrol dari pengawas yang ditunjuk pemerintah pusat. perubahan birokrasi pemerintahan tersebut mendorong Belanda untuk mengadakan perubahan hak pemakaian tanah.
struktur administrasi pemerintah kolonial belanda di indonesia sebagai berikut. gubernur jenderal memegang kekuasaan tertinggi sebagai wakil dari Ratu Belanda yang berkedudukan di propinsi. dikabupaten diperintah oleh gubernur, sub kabupaten oleh residen, dibawahnya ada asisten residen yang mengawasi para patih dan bupati, dibawahnya ada pengawas yang bertugas mengawasi wedana dan asisten wedana.
C. kebijakan yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda
setelah VOC dibubarkan maka indonesia berada di bawah pemerintah Hindia-belanda, sehingga beberapa kebijakan yang diterapkan langsung berasal dari keputusan pemerintah Belanda di Amsterdam. beberapa kebijakan yang sempat diterapkan oleh pemerintah belanda yaitu:
·         kuota pajak dan sumbanagn pajak, yaitu kewajiban rakyat untuk membayar pajak (uptei hasil pertanian) kepada pemerintah belanda melalui para bupati
·         sistem pajak bumi, para pemilik tanah wajib membayar pajak tanah kepada pemerintah sebagai bentuk biaya penyewaan
·         sistem tanam paksa, masyarakat jawa dipaksa untuk menanam tanaman komositi perdagangan eropa yang menguntungkan belanda
·         liberalisasi tanah, pemerintrah banyak menjual kavling-kavling tanah kepada pihak sawasta, sebagian besar tanah juga disewakan untuk mendirikan perkebunan
·         tenaga kerja, penduduk pribumi dijadikan tenaga kuli di perkebunan belanda baik itu dibayar, maupun bekerja secara paksa
Walaupun beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah belanda mengalami perubahan dari cara yang dilakukan oleh VOC namun masih ada beberapa hal yang masih dipertahankan seperti zaman VOC berkuasa. seperti jasa blandonng yang masih digunakan pada masa pemerintahan Deandles dan rafles.  kebijakan-kebijakan dibawah pemerintahan Belanda tidak membawa perubahan signifikan karena sistem perdagangan yang dianut oleh pemerintah belanda masih menggunakan sistem perdagangan yang digunaka oleh VOC. selain itu juga cara para pejabat dan pegawai yang bekerja dipemerintah belanda masih sama dengan cara kerja paad zaman VOC.

DAFTAR PUSTAKA
2.      Marwati, djoened poesponegoro,nugroho notosusanto, 1992,sejarah nasional Indonesia: Jakarta, balai pustaka