PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN INDONESIA

Rinaldi Afriadi Siregar / PIS
  1. Ada dua bentuk perjuangan mempertahakan kemerdekaan, yaitu perjuangan fisik dan perjuangan diplomasi.
  2. Perjuangan fisik dilakukan dengan cara bertempur melawan musuh. 
  3. Perjuangan diplomasi dilakukan dengan cara menggalang dukungan dari negara-negara lain dan lewat perundingan-perundingan. 
  4. Pertempuran mempertahankan kemerdekaan
    1. Pertempuran 10 November di Surabaya 
      1. 25 Oktober 1945, tentara Sekutu mendarat untuk pertama kali di Surabaya di bawah komando Brigjen A.W.S Mallaby. 
      2. Tentara Sekutu bertugas melucuti tentara Jepang dan membebaskan interniran (tawanan perang). 
      3. 27 Oktober 1945, Sekutu menyerbu penjara Kalisosok dan berhasil membebaskan Kolonel Huiyer,seorang perwira angkatan laut Belanda yang ditawan 
      4. 28 Oktober 1945, pos-pos Sekutu di seluruh kota Surabaya diserang oleh rakyat Indonesia. 
      5. 29 Oktober 1945, para pemuda dapat menguasai tempat-tempat yang telah dikuasai Sekutu. 
      6. Komandan Sekutu menghubungi Presiden Sukarno untuk menyelamatkan pasukan Inggris dari bahaya kehancuran. 
      7. Presiden Sukarno bersama Moh. Hatta, Amir Syarifudin, dan Jenderal D.C. Hawthorn tiba di Surabaya untuk menenangkan keadaan. 
      8. 30 Oktober 1945 dicapai kesepakatan untuk menghentikan tembak-menembak. 
      9. Kesepakatan tersebut dilanggar dan terjadi pertempuran yang mengakibatkan terbununhnya Mallaby 
      10. 9 November 1945, pimpinan sekutu di Surabaya mengeluarkan ultimatum. 
      11. Isi ultimatum itu adalah: "Semua pemimpin dan orang-orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat-tempat yang telah ditentukan, kemudian menyerahkan diri dengan mengangkat tangan. Batas waktu ultimatum tersebut adalah pukul 06.00 tanggal 10 November 1945. Jika sampai batas waktunya tidak menyerahkan senjata, maka Surabaya akan diserang dari darat, laut, dan udara". 
      12. Seluruh rakyat menolak ultimatum tersebut dan pada tanggal 10 November 1945 terjadilah pertempuran di bawah pimpinan Bung Tomo. 
      13. Untuk memperingati kepahlawanan rakyat Surabaya itu, pemerintah menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan.  
    2. Pertempuran Ambarawa 
      1. 20 Oktober 1945 pasukan sekutu di bawah pimpinan BrigJend Bethel mendarat di Semarang.            
      2. Tujuan kedatangan mereka adalah untuk mengurus tawanan perang dan tentara Jepang di Magelang dan Ambarawa 
      3. Tawanan yang dibebaskan dipersenjatai oleh NICA (Netherlands Indies Civil Administration), yaitu pemerintahan peralihan Belanda. 
      4. Sekutu meninggalkan Magelang menuju Ambarawa pada tanggal 21 November 1945. 
      5. Para pejuang Indonesia yang dipimpin Letnan Kolonel M. Sarbini mengejar pasukan Sekutu yang mundur ke Ambarawa. 
      6. Di desa Jambu, pasukan Sekutu dihadang pejuang Angkatan Muda yang dipimpin oleh Sastrodiharjo. 
      7. Di desa Ngipik, pasukan Sekutu diserang pejuang Indonesia yang dipimpin oleh Suryosumpeno. 
      8. 20 November-15 Desember 1945 terjadi perang di Ambarawa di bawah komando Mayor Androngi, Mayor Soeharto, dan Mayor Sarjono 
      9. Pimpinan pasukan diambil alih oleh Kolonel Sudirman 
      10. 12 Desember 1945 pasukan Indonesia melancarkan serangan serentak ke Ambarawa. 
      11. 15 Desember 1945 pasukan Sekutu berhasil dipukul mundur ke Semarang.  Untuk memperingati hari bersejarah itu, maka setiap tanggal 15 Desember diperingati sebagai Hari Infanteri. Dan di Ambarawa didirikan sebuah monumen yang diberi nama Palagan Ambarawa. 
    3. Pertempuran Medan Area 
      1. 9 Oktober 1945 Pasukan Inggris di bawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly mendarat di Medan (Sumatera Utara) 
      2. Pasukan Inggris bertugas untuk membebaskan tentara Belanda yang ditawan Jepang. 
      3. Para tawanan dari daerah Rantau Prapat, Pematang Siantar, dan Brastagi dikirim ke Medan atas persetujuan Gubernur Moh. Hasan. 
      4. Kelompok tawanan dibentuk menjadi "Medan Batalyon KNIL". 
      5. Para pemuda dipelopori oleh Achmad Tahir, seorang mantan perwira Tentara Sukarela (Giyugun) membentuk Barisan Pemuda Indonesia mengambil alih gedung-gedung pemerintahan dan merebut senjata dari tangan tentara Jepang. 
      6. 10 Oktober 1945 dibentuklah TKR (Tentara Keamanan Rakyat) Sumatera Timur yang beranggotakan para pemuda bekas Giyugun dan Heiho Sumatera Timur yang dipimpin oleh Ahmad Tahir. 
      7. 13 Oktober 1945 terjadi insiden di sebuah hotel di Jalan Bali, Medan. 
      8. Seorang anggota NICA menginjak-injak bendera merah putih yang dirampas dari seorang pemuda.  
      9. Hotel tersebut dikepung dan diserang oleh para pemuda dan TRI (Tentara Republik Indonesia) 
      10. 1 Desember 1945 pihak Inggris memasang papan-papan pengumuman bertuliskan "Fixed Boundaries Medan Area." 
      11. Dengan cara itu, Inggris menetapkan secara sepihat batas-batas kekuasaan mereka. 
      12. Sejak saat itulah dikenal istilah Pertempuran Medan Area. 
      13. Jenderal T.E.D Kelly kembali mengancam para pemuda agar menyerahkan senjata. 
      14. Perlawanan terhadap Inggris dan Belanda terus berlanjut sampai Agresi Militer Belanda I pada bulan Juli 1947. 
    4. Bandung Lautan Api 
      1. Pada bulan Oktober 1945, tentara Sekutu memasuki Kota Bandung. 
      2. Ketika itu para pejuang Bandung sedang melaksanakan pemindahan kekuasaan dan merebut senjata dan peralatan dari tentara Jepang. 
      3. 21 November 1945, tentara Sekutu mengeluarkan ultimatum (peringatan) pertama agar kota Bandung bagian utara dikosongkan oleh pihak Indonesia selambat-lambatnya tanggal 29 November 1945. 
      4. Peringatan ini tidak dihiraukan oleh para pejuang Indonesia. 
      5. Sejak saat itu sering terjadi bentrokan senjata. Kota Bandung terbagi menjadi dua, Bandung Utara dan Bandung Selatan. 
      6. Bandung Utara dikuasai sekutu 
      7. 23 Maret 1946 tentara Sekutu mengeluarkan ultimatum kedua. 
      8. Mereka menuntut agar semua masyarakat dan para pejuang TRI (Tentara Republik Indonesia) mengosongkan kota Bandung bagian selatan. 
      9. sejak 24 Januari 1946, TKR telah berubah namanya menjadi TRI. 
      10. Demi keselamatan rakyat dan pertimbangan politik, pemerintah Republik Indonesia Pusat memerintahkan TRI dan para pejuang lainnya mundur dan mengosongkan Bandung Selatan. 
      11. Tokoh-tokoh pejuang, seperti Aruji Kartawinata, Suryadarma, dan Kolonel Abdul Harris Nasution yang menjadi Panglima TRI waktu itu segera bermusyawarah. 
      12. Mereka sepakat untuk mematuhi perintah dari Pemerintah Pusat. Namun, mereka tidak mau menyerahkan kota Bandung bagian selatan itu secara utuh kepada musuh. 
      13.  Rakyat diungsikan ke luar kota Bandung. 
      14. Sebelum ditinggalkan, Bandung Selatan dibumihanguskan oleh para pejuang. 
      15. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 23 Maret 1946 dan terkenal dengan sebutan Bandung Lautan Api.  
      16. Dalam peristiwa tersebut, gugur seorang pejuang Mohammad Toha 
    5. 12 November 1946, Pertempuran Margarana yang dipimpin Letkol I Gusti Ngurah Rai di Bali 
    6. 3 November 1946, Pertempuran di Sulawesi Selatan yang dipimpin Robert Wolter Mongisidi. 
    7. awal bulan Januari 1947, Pertempuran lima hari lima malam di Palembang. 
    8. 5 Januari 1947, Pertempuran laut di Teluk Cirebon yang menenggelamkan Kapal Perang RI, Gajah Mada
    9. Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta yang dipimpin oleh Letkol Suharto. 
  5. Usaha Perdamaian dan Agresi  Militer Belanda
    1. Perjanjian Linggarjati
      1. 10 November 1946 diadakan perundingan antara Indonesia dan Belanda dilaksanakan di Linggajati sebelah selatan Cirebon. 
      2. Dalam perundingan itu delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir. Sementara delegasi Belanda dipimpin oleh Van Mook. 
      3. 15 November 1946, hasil perundingan diumumkan dan disetujui oleh kedua belah pihak. 
      4. Secara resmi, naskah hasil perundingan ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan Belanda pada tanggal 25 Maret 1947. 
      5. Hasil Perjanjan Linggajati sangat merugikan Indonesia karena wilayah Indonesia menjadi sempit. 
      6. isi perjanjian Linggajati :
        1. Belanda hanya mengakui kekuasaan Republik Indonesia atas Jawa,Madura, dan Sumatera. 
        2. Republik Indonesia dan Belanda akan bersama-sama membentuk Negara Indonesia Serikat yang terdiri atas:
          1. Negara Republik Indonesia, 
          2. Negara Indonesia Timur, dan 
          3. Negara Kalimantan. 
        3.  Negara Indonesia Serikat dan Belanda akan merupakan suatu uni (kesatuan) yang dinamakan Uni Indonesia-Belanda dan diketuai oleh Ratu Belanda.
    2.  Agresi Militer Belanda I
      1. 21 Juli 1947, Belanda menyerang wilayah Republik Indonesia. Tindakan ini melanggar Perjanjian Linggajati. 
      2. Belanda berhasil merebut sebagian Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. 
      3. Akibatnya wilayah kekuasaan Republik Indonesia semakin kecil. 
      4. Serangan militer Belanda ini dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I. 
      5. Peristiwa tersebut menimbulkan protes dari negara-negara tetangga dan dunia internasional. 
      6. Wakil-wakil dari India dan Australia mengusulkan kepada PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) agar mengadakan sidang untuk membicarakan masalah penyerangan Belanda ke wilayah Republik Indonesia. 
    3. Perjanjian Renville (17 Januari 1948)
      1. 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB memerintahkan agar pihak Indonesia dan Belanda menghentikan tembak-menembak.      
      2.  4 Agustus 1947, Belanda mengumumkan gencatan senjata. Gencatan senjata adalah penghentian tembak-menembak di antara pihak-pihak yang berperang.
      3. PBB membantu penyelesaian sengketa antara Indonesia dan Belanda dengan membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) yang terdiri atas: 
        1. Australia, dipilih oleh Indonesia; 
        2. Belgia, dipilih oleh Belanda; 
        3.  Amerika Serikat, dipilih oleh Australia dan Belanda 
      4. Perundingan dilakukan di atas kapal Renville, yaitu kapal Angkatan Laut Amerika Serikat. Oleh karena itu, hasil perundingan ini dinamakan Perjanjian Renville.
      5. Dalam perundingan itu Negara Indonesia, Belanda, dan masing-masing anggota KTN diwakili oleh sebuah delegasi.
        1. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin. 
        2. Delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdul Kadir Wijoyoatmojo. 
        3. Delegasi Australia dipimpin oleh Richard C. Kirby. 
        4. Delegasi Belgia dipimpin oleh Paul van Zeeland. 
        5. Delegasi Amerika Serikat dipimpin oleh Frank Porter Graham.
      6. Isi perjanjian Renville adalah sebagai berikut : 
        1. Belanda hanya mengakui daerah Republik Indonesia atas Jawa Tengah, Yogyakarta, sebagian kecil Jawa Barat, dan Sumatera. 
        2. Tentara Republik Indonesia ditarik mundur dari daerah-daerah yang telah diduduki Belanda.
      7. Hasil Perjanjian Renville sangat merugikan Indonesia. Wilayah kekuasaan Republik Indonesia menjadi semakin sempit
    4. Agresi Militer Belanda II
      1. 19 Desember 1948, Belanda melancarkan serangan atas wilayah Republik Indonesia.         
      2. Ibu kota Republik Indonesia waktu itu, Yogyakarta, diserang Belanda. 
      3. sejak 4 Januari 1946, lbu kota Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. 
      4. Belanda mengerahkan angkatan udaranya 
      5. Lapangan Udara Maguwo tidak dapat dipertahankan. Akhirnya Yogyakarta direbut Belanda.            
      6. Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, dan Suryadarma ditangkap Belanda.
      7. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditawan dan diasingkan ke Pulau Bangka.   
      8. Sebelum tertangkap, Presiden Sukarno telah mengirim mandat lewat radio kepada Menteri Kemakmuran, Mr. Syaffiruddin Prawiranegara yang berada di Sumatera. 
      9. Tujuannya ialah untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan ibu kota Bukit Tinggi.
      10. Negara-negara di Asia seperti India, Myanmar, Afganistan, dan lain-lain segera mengadakan Konferensi New Delhi pada bulan Desember 1949. Mereka mendesak agar: 
        1. Pemerintah RI segera dikembalikan ke Yogyakarta, dan 
        2. Serdadu Belanda segera ditarik mundur dari Indonesia. 
      11. Belanda tidak memperdulikan desakan itu. Belanda baru bersedia berunding setelah Dewan Keamanan PBB turun tangan.
    5. Usaha Diplomasi dan Pengakuan Kedaulatan 
      1. Perjanjian Rum-Royen 
        1. disetujui di Jakarta pada tanggal 7 Mei 1949. 
        2. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Mr. Moh. Rum, sedangkan pihak Belanda dipimpin oleh Dr. van Royen. 
        3. Anggota delegasi Indonesia lainnya ialah Drs. Moh. Hatta dan Sri Sultan Hamengku Buwono lX.
        4. Isi Perjanjian Rum-Royen adalah sebagai berikut. 
          1. Pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta 
          2. Menghentikan gerakan-gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik. 
          3. Belanda menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.   
          4. Akan diselenggarakan perundingan lagi, yaitu KMB, antara Belanda dan Indonesia setelah Pemerintah Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta. 
      2. Konferensi Meja Bundar 
        1.  23 Agustus sampai dengan 2 November 1949 diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. 
        2. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta, delegasi BFO (Bijeenkomst Voor Federal Overleg) atau Badan Musyawarah Negaranegara Federal dipimpin oleh Sultan Hamid II. 
        3. Delegasi Belanda dipimpin oleh Mr. van Maarseveen. Sedangkan UNCI dipimpin oleh Chritchley.   
        4. Hasil-hasil persetujuan yang dicapai dalam KMB adalah sebagai berikut. 
          1. Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Belanda akan menyerahkan kedaulatan kepada RIS pada akhir bulan Desember 1949. 
          2. RIS dan Belanda akan tergabung dalam Uni Indonesia Belanda. 
          3. Irian Barat akan diserahkan setahun setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda. 
        5. Kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan dalam KMB sangat memuaskan rakyat Indonesia. 
      3. Pengakuan Kedaulatan 
        1. 27 Desember 1949 diadakan upacara pengakuan kedaulatan dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah RIS. 
        2. Upacara pengakuan kedaulatan dilakukan di dua tempat, yaitu Den Haag dan Yogyakarta secara bersamaan. 
        3. Di Den Haag Ratu Yuliana bertindak sebagai wakil Negeri Belanda dan Drs. Moh. Hatta sebagai wakil Indonesia. 
        4. Sedangkan dalam upacara pengakuan kedaulatan yang dilakukan di Yogyakarta, pihak Belanda diwakili oleh Mr. Lovink (wakil tertinggi pemerintah Belanda) dan pihak Indonesia diwakili Sri Sultan Hamengkubuwono IX. 
        5. Sehari setelah pengakuan kedaulatan, ibu kota negara pindah dari Yogyakarta ke Jakarta. Kemudian dilangsungkan upacara penurunan bendera Belanda dan dilanjutkan dengan pengibaran bendera Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA :
Album Perjuangan Kemerdekaan 1945-1950. 1976. Jakarta: BP Alda.
Album 86 Pahlawan Nasional dan Sejarah Perjuangannya. 1985 . Jakarta: Bendera Jaya.

"GERAKAN SULTAN RIAU 1946 - 1950"


DHEVA EKA PUTRA / PIS

Pada bulan September 1946, surat kabar Soeloeh Ra'jat di Jakarta merilis sebuah berita yang berjudul "Ke sultan diadakan lagi". Isi kepala beritanya sebagai berikut: "Menoeroet, S.k. Singapore Free Press, kesoeltanan Riouw, Lingga di noesantara Riouw diadakan lagi, setelah 27 tahoen lamanja dihapoeskan. Sementara itu, dua tahun kemudian, tepatnya bulan Mei 1948, surat kabar The The Straits Times yang terbit di Singapura menulis sebuah berita dibawah judul, "Rhio-Happy and Free" (arti harfiahnya, Masyarakat Kepulauan Riau Bergembira dan Merdeka).
Isi kepala berita yang aslinya ditulis dalam bahasa Inggris tersebut, kira-kira adalah sebegai berikut: "Rakyat Kepulauan Riau (Rhio Archipelago) sangat gembira dengan status baru pemerintahan otonom (self-government) mereka. Ketua Dewan Riau (Riouw Raad), Muhammad Apan, mengatakan hal ini di Singapura, kemarin."Isi kutipan dua berita surat kabar yang terbit di Jakarta dan Singapura tersebut adalah dua contoh bagaimana bentuk reaksi dan hasil yang muncul di daerah, khususnya Kepulauan Riau, setelah Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Proklamasi Indonesia pada dasarnya adalah revolusi. Suka atau tidak suka ia akan mengarah kepada revolusi: sebuah gerakan perubahan mendasar yang berlansung cepat dan keras. Banyak hal dapat terjadi tanpa diduga. Dan sudah tentu banyak kelompok muncul, mencari kesempatan untuk memanfaatkan situasi kacau dan belum jelas.
Reaksi Terhadap Proklamsi 17 Agustus 1945
Selain menciptakan respon kolektif yang menyeluruh di Pulau Jawa, dan daerah-daerah di luar Jawa, ternyata gema proklamasi kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan oleh Sukarno-Hatta di Jakarta pada 17 Agustus 1945 juga telah menciptakan beragam persepsi dan "gejolak lokal". Karena setiap daerah mempunyai persoalan dan pengalaman sejarah yang berbeda-beda. Akibatnya ada daerah yang merespon secara pasif dan ada pula yang reaktif.
Jika di Sumatera Timur respon dan persepsi lokal terhadap proklamasi kemerdekaan itu telah menciptakan sebuah revolusi sosial yang antara lain ditandai dengan pembunuhan sejumlah keluarga diraja, dan hancurnya pemerintahan raja-raja di daerah itu.
Maka sebaliknya di Kepulauan Riau, sejumlah kerabat keluarga diraja Riau-Lingga yang dulu menyingkir ke Singapura dan Malaysia berupaya menghidupkan kembali kerajaan tersebut dihapuskan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Esai singkat ini adalah sebuah "diskusi awal".
Dan akan mencoba mendiskusikan secara sepintas lalu sebuah episode "kecil" dalam hiruk-pikuk panggung sejarah zaman revolusi Indonesia pada tingkat lokal di Kepulauan Riau.
Sebuah fase, ketika gema proklamasi kemerdekaan Indonesia akhirnya juga mendapat tanggapapan di Kepulauan Riau, dan menciptakan reaksi-reaksi serta persepsi individu, "kelompok-kelompok politik", yang saling berlawanan dalam memainkan perannya sebagai bagian dari "elit revolusi".
Gerakan Sultan Riau
Gagasan untuk menghidupkan kembali kerajaan Riau-Lingga setelah proklamasi 17 Agustus 1945 sebenarnya telah dimulai oleh sekelompok elit yang berasal dari zuriat kerajaan Riau-Lingga dalam sebuah pertemuan Melaka.
Dalam sebuah persidangan yang berlangsung di Singapura pada tahun 1947, kelompok yang dipimpin oleh Oengkoe Adoellah bin Omar ini, telah memperbincangkan tentang pembangoenan kembali daerah bekas kerajaan Riau-Lingga.
Diawali dengan membentuk sebuah organisasi yang diberi nama Dewan Rayat Riouw yang dipimpin oleh Oengkoe Abdoellah bin Omar. Dalam perjalanannya, organisasi ini kemudian berganti nama menjadi Persatuan Melayu Riau Sedjati (PMRS) dan berfungsi sebegai alat perjuangan untuk mendapatkan pemerintahan sendiri atau otonom (zelfbestuur) di daerah bekas kerajaan Riau-Lingga.
Anggotanya terdiri dari kerabat kerajaan Riau-Lingga dan orang-orang Melayu Riau-Lingga yang se-ide. Kantor pusat organisasi ini terletak kawasan High Street, Singapura. Ketika itu, Singapura merupakan daerah penting yang sangat menentukan dalam gejolak politik di Tanjungpinang dan Kepulauan Riau pada awal-awal proklamasi, karena Resident Riouw dalam pengasingan, Dr. J. van Waardenburg, berkedudukan di sana.
Di awal perjalanannya, sumber dana perjuangan kelompok ini berasal dari sejumlah pedagang dan pengusaha Cina terkemuka di Singapura asal Tanjungpinang, yang dijanjikan akan mendapatkan kontrak dan sejumlah monopoli konsesi tambang timah bila kelak perjuangan menghidupkan kembali kerajaan Riau-Lingga tersebut berhasil.
Salah satu yang terkenal diantara pengusaha Cina tersebut adalah Baba Lee pemilik Keppel Bus Company di Singapura.
Pengusaha Cina kaya ini menyumbang dana sebesar 45.000 Dollar dalam kurs mata uang Inggris ketika itu. Sebagai imbalannya Baba Lee dijanjikan akan mendapat monopoli pembangunan gedung dan perindustrian bila perjuangan menghidupkan kembali kerajaan Riau-Lingga berhasil.
Selain Baba Lee, dua pengusaha Cina lainnya yang tercatat sebagai penyumbang dana adalah Lim Choo Seng dan Hoe Chap Teck dari Tanjungpinang.
Sebagai calon sultan yang kelak akan memerintah kerajaan Riau-Lingga yang "baru", "gerakan" ini memilih cucu sultan Riau-Lingga terakhir, yang bernama Tengku Ibrahim bin Omar atau Tengku Ibrahim bin Tengku Umar, yang juga adalah putera bekas Tengku Umar atau Tengku Besar kerajaan Riau-Lingga.
Untuk mendukung gerakan ini, Tengku Ibrahim sendiri mengirim sepucuk permohonan dari Singapura yang ditujukan kepada Ratu Juliana dan menteri urusan luar negeri Belanda (minister van buitenlandschezaken) Dr. D.U. Stikker, pada bulan Nopember 1948. Dalam surat itu, ia antara lain menuntut hal-hal sebagai berikut: 1. Hak memerintah sebagai seorang raja di Riau-Lingga; 2. Hutang atas hak konsesi tambang timah Singkep (N.V. Singkep Tin Exploitatie Maatschappij) dan sewa atas pulau Sambu oleh Batavia Petrolem Maatschappij yang belum dibayar kepada datuknya, Sultan Abdulrahman Muazamsyah.
Namun demikian, dalam realisasinya, terdapat sejumlah perselisihan dan friksi dalam pemilihan calon Sultan Riau-Lingga yang baru ini. Sebagai ilustrasi, ada satu kelompok yang menjagokan pula seorang kerabat Diraja Riau-Lingga yang bernama Tengku Endut dari Pahang sebagi calon sultan dari kelompok mereka.
Bagaimanapun, keputusan yang diambil ketika itu berpihak kepada Tengku Ibrahim yang berada di Singpura. Ia akhirnya dipilih oleh pimpinan gerakan ini sebagai calon Sultan Riau-Lingga yang baru.
Setelah menetapkan calon Sultan Riau-Lingga yang baru, kerabat diraja dan pimpinan Persatuan Melayu Riau Sejati mulai melakukan negosiasi dengan pemerintah Hindia Belanda melalui utusan yang dikirim langsung kepada Gubernur Jenderal Hubertus Johannes van Mook di Batavia (Jakarta).
SEJAK sekitar pertengahan 1946, kelompok 'Gerakan Sultan Riau" dan beberapa perwakilan 'lawan' politik yang dimpim Dr. Iljas Datuk Batuah memindahkan 'aktifitas politik' mereka ke Tanjungpinang, karena ada 'respons baik' dari pemerintah Belanda. Di Tanjungpinang, kedua kelompok ini membuat 'organisasi politik' baru.
Tulisan ini, adalah bahagian terakhir dari tulisan minggu yang lalu. Masih dalam tema yang sama, tulisan ini akan memapar fase-fase 'Gerakan Sultan Riau' hingga tahun 1950, dan kompromi-kompromi politik yang terwujud dalam fase ini.
Bergerak di Tanjungpinang
Permohonan untuk mendapatkan hak berpemerintahan sendiri (zelfbestuur) dalam bentuk menghidupkan kembali lembaga Sultan dan Kerajaan Riau-Lingga ternyata dijawab oleh pemerintah Belanda dengan rencana pemembentukan dewan pemerintahan sipil yang bernama Riouw Raad (Dewan Riau) di Tanjungpinang.
Menanggapi rencana pembentukan Riouw Raad ini, sejumlah anggota penting Persatuan Melayu Riau Sejati (PMRS) pencetus "Gerakan Sultan Riau" yang berbasis di Singapura akhirnya pindah ke Tanjungpinang untuk merebut pengaruh politik dalam Riouw Raad yang akan dibentuk itu.
Setelah bergerak di Tanjungpinang, kelompok ini kemudian membentuk sebuah organisasi baru yang diberi nama Djawatan Kuasa Pengurus Rakjat Riau (JKPRR), dengan tokoh-tokoh: Raja Haji Abddullah Oesman sebagai ketua, Wakil Ketua Tengku Ahmad Atan, Encik Jafar Haji Uda sebagai sekretaris, dengan anggota-anggota berasal dari perwakilan daerah Pulau tujuh, Karimun, Lingga, dan Singkep. Secara eksplisit, organisasi baru ini semakin mempertegas tujuannya untuk berjuang "mengembalikan kedaulatan raja-raja Riau."
Dalam disertasinya yang berjudul, The Indonesian Revolution and Singapore Connection 1945-1949, sejarawan Yong Mun Cheong mencatat bahwa JKPRR juga didukung oleh sekelompok pedagang-pedagang Cina lainnya yang juga punya andil dalam membantu perjuangan mereka untuk mengembalikan kerajaan Riau-Lingga.
Kelompok ini dipimpin oleh salah seorang pemilik usaha tambang timah di Singkep bernama Koh Peng Kuan yang berasal daerah Geylang, Singapura. Bersama-sama dengan pengurus JKPRR, Koh Peng Kuan pernah menggelar sebuah pertemuan di Singapura pada 10 Agustus 1946, dalam rangka mendukung gerakan itu.
Kepada Kong Peng Kuan, Raja Haji Abdullah Oesman menjanjikan akan menunjuknya sebagai kontraktor tunggal bagi sejumlah proyek pembangunan di Riau-Lingga bila kerajaan itu berhasil dipulihkan.
Selain itu, ia juga dijanjikan akan mendapatkan monopoli dalam usaha penambangan timah di Singkep. Sebagai kompensasi terhadap janji-janji itu, Koh Peng Kuan kemudian dilaporkan telah menyumbang uang sebanyak $16.000,- hingga $20.000,- pada bulan Februari 1946, sebagai tanda dukungannya terhadap "Gerakan Sultan Riau."
Riouw Raad dan Kompromi Politik
Di Tanjungpinang, gerakan "restorasi" Kesultanan Riau-Lingga yang dikumandangkan oleh JKPRR mendapat pelawanan dari kelompok Republieken pimpinan Dr. Iljas Datuk Batuah yang juga menarik-pulang anggota perwakilannya di Singapura ke Tanjungpinang.
Kelompok Dr. Iljas, yang dalam arsip-arsip Belanda disebut niet-Riouwers (bukan orang Riau asli, yang terdiri dari gabungan etnis Minangkabau, Jawa, Batak, Palembang, keturunan India, Arab, dll) ini kemudian membentuk sebuah organisasi perjuangan yang bernama Badan Kedaulatan Indonesia Riau (Raja?) di Tanjungpinang, yang disingkat BKIR, pada tanggal 8 Oktober 1945.
Organisasi ini bertujuan untuk memperjuangkan masuknya daerah utama bekas kerajaan Riau-Lingga @ Kepulauan Riau, yang ketika itu masih dikuasai Belanda, ke dalam struktur pemerintahan Negara Republik Indonesia yang baru diproklamasikan dan membentuk pemerintahan baru yang melibatan penduduk tempatan dibawah pemerintahan Soekarno-Hatta.
Dalam 'pertarungan politik ini', apa yang dituntut oleh BKIR dan sejumlah 'organisasi bawah tanah' (onderbouw-nya) dijawab dengan pemberian otonomi (zelfbestuur) melalui pembentukan Dewan Riouw Sementara, dan tetap berada dibawah pemerintahan Belanda. Peresmian Pembentukan Riouw Raad Sementara pada 4 Agustus 1947 di Tanjugpinang.
Pembentukan Riouw Raad Sementara sekaligus menjadi jawaban bagi tuntutan Persatuan Melayu Riau Sejati (PMRS) yang mendukung 'Gerakan Sultan Riau'. Tokoh utama PMRS seperti Raja Haji Abdullah Oesman, Encik Jafar Haji Uda, dan Tengku Ahmad Atan @ Tengkoe Achmad bin Tenkoe Atan juga diangkat menjadi anggota Riouw Raad bersama tokoh-tokoh 'lawan politik' mereka dari BKIR, perwakilan tokoh Tionghoa di Tanjungpinang, Pulau Tujuh, tokoh-tokoh Melayu dari Lingga, dan Kontroleur Belanda di Tanjungpinang, berdasarkan besluit Gubenur Jenderal Hindia Belanda No. 9 tanggal 12 Juli 1947.
Demikianlah, dalam pertelahan politik, kompromi adalah jalan keluar yang terbaik. Raison d'etre (pembenaran atau justifikasi) makna persatuan yang 'subjektif' sebagai motor penggerak Persatuan Melaju Riau Sedjati juga sirna bersama munculnya Raison d'etre makna persatuan yang baru dalam sebuah wadah majelis perwakilan rakyat bernama Riouw Raad (Dewan Riau) untuk bersama-sama merintis sebuah pemerintahan yang baru di Kepulauan Riau.
Misi Ke Jakarta:
"…his talks were 'secret' " Bagaimana akhir kisah perjuangan "Gerakan Sultan Riau" dalam menghidupkan kembali Kerajaan Riau-Lingga? Tulisan singkat ini hanya memaparkan secara ringkas bagian kecil dari sebuah peristiwa besar dalam "Gerakan Sultan Riau" yang kompleks.
Masih diperlukan sebuah kajian sejarah yang mendalam. dengan memanfaatkan bahan sumber arsip sezaman. Sangat banyak bahan arsip dan laporan sezaman, baik yang bersal dari pihak Belanda maupun lokal, serta bahan lain yang dapat membantu. Dalam simpanan saya, tedapat ratusan lembar salinan bahan arsip dari Nationaal Archief Belanda di Den Haag dan Arsip Nasional Republik Indoensia di Jakarta, yang sangat kaya dengan informasi dan data otentik tentang persoalan ini.
Namun yang jelas, gema perjuangan "gerakan ini" masih terus terdengar setelah Kepulauan Riau sebagai bekas wilayah utama kerajaan Riau-Lingga diberi hak "otonom" dalam bentuk zelfbestuur dibawah kendali Riouw Raad bikinan Belanda yang diresmian pada 4 Agustus 1947 di Tanjungpinang, dan ketika Kepulauan Riau menjadi sebuah Kabupaten bagian dari Negara Republik Indonesia setelah penyerahan kedaulatan pada bulan Desember 1950.
Satu hal yang pasti, hingga bulan September 1950, kepercayaan terhadap keberhasilan "Gerakan Sultan Riau" masih kuat. Paling tidak, dikalangan zuriat Sultan Riau terakhir dan pendukungnya di Singapura.
Beberapa ilustrasi dapat saya kemukakan dalam kesempatan ini. Dari Singapura, seorang bernama T. Hamzah bin Achmad yang menyebut dirinya sebagai Vice-Presiident dari Setia Usaha "Persatuan Melaju Riouw Sedjati" (P.M.R.S) melayangkan sepupucuk surat kepada Presiden Soekarno pada 1 Juli 1950, menyusul surat yang dikirimkan dari Singapura pada 9 Januari 1950. Isinya masih sam. 'Restorasi' Riau-Lingga dan mengusulkan Tengku Ibrahin bin Tengku Omar sebagai calon Sultan Riau yang baru.
Setahun kemudian, tepatnya 31 Agustus 1950, masih dari Singapura, sepucuk surat registered-Air-Mail dengan perihal serupa dilayang oleh Ketua Setia Usaha PMRS bernama Capt. Ismail bin Ahmad. Isinya penuh pengharapan kepada Presiden Soekarno dan dengan pertolongan Bupati Riouw (Kepulauan Riau).
Bagian penting surat itu ditulis sebegai berikut: "…berharaplah kami orang Ra'jat Riouw dari Luar dan Dalam Negeri semuanya bertjinta [bercita-cita?] akan menerima Radjanya kembali dengan seberapa segera dengan dikorniakan oleh Negara R.I. jang adil dan berdaulat itu,…"
Bagaimana hasil 'diplomasi' dan misi ke Jakarta ini? Satu hal yang pasti, pada 10 Desember 1950, setelah selama dua bulan mengunjungi Jakarta dalam rangka sebuah negosiasi 'memujuk' pemerintah Republik Indonesia sempena "menghidupkan kembali" Kerajaan Riau-Lingga, Tengku Ibrahim bin Omar memberikan sebuah "isyarat yang menggembirakan" sesaat setelah ia mendarat di Kallang Airport Singapura. Oleh karena itu, ia disambut dengan gegap gempita oleh pendukungnya.
Ketika ditanya oleh reporter surat kabar The Straits Times, cucu mantan Sultan Riau-Lingga yang terakhir itu memberikan jawaban yang meyakinkan. Ia mengatakan bahwa, "…his talks [in Jakarta] were 'secret'". Ada sebuah pembicaraan yang sifatnya rahasaia di Jakarta. Ia mengharapkan Presiden Soekarno mengunjungi Rhio (Tanjungpinang) dengang segera (…but [he] added that the Indonesian President, Dr. Soekarno, is expected to visit Rhio "very soon").
Pada 11 September 1950, Presiden Soekarno memang datang bertandang ke Tanjungpinang. Dan Kepulauan Riau ketika itu telah bergabung dalam Republik Indonesia sebagai hasil dari Konfrensi Meja Bundar (KMB). Soekarno datang untuk misi yang lain. Sebuah kunjungan 'propaganda' untuk menjelaskan masalah Irian Barat, dan 'meredam' dampak aksi-aksi 'gerakan revolusioner' yang mulai memanas di Sumatera, di tengah revolusi Indonesia yang belum selesai. ***
SUMBER PUSTAKA
Suseno, Tusiran. Amiruddin. Teja Al-Habd. 2008. "Butang Emas" Warisan Budaya Daerah Kepulauan Riau. Tanjungpinang : Yayasan Bunda Pustaka Dan Pemerintah Kota Tanjungpinang