PEMILU INDONESIA 1977

DHEVA EKA PUTRA / PIS
PEMILU 1977 : GOLONGAN KARYA PARTAI HEGEMONIK

Pemilu kedua dalam era Orde baru dilaksanakan pada tanggal 2 Mei 1977, dengan payung hukum Undang-undang Nomor 15 Tahun 1969 Tentang Pemilu telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1975. Meskipun demikian tidak ada perubahan yang berarti dalam setiap perubahan. Yang menjadi pemilih adalah warganegara yang telah berusia 17 tahun dan atau yang sudah menikah. Prosedur pendaftaran adalah sistem stelsel pasif, yaitu pemerintah mempunyai kewajiban mendaftar semua warga negara yang memiliki hak pilih.

Jumlah Penduduk Indonesia pada Pemilihan Umum tahun 1977 berkisar 114.890.347 dengan pemilih yang terdaftar pada waktu itu 68.871.092. Setelah dilakukan politik fusi partai, pada Pemilihan Umum Tahun 1977. Jumlah peserta pemilu hanya tiga, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Sistem Pemilu yang dipakai adalah melanjutkan sistem proporsional. Pada sistem ini peserta pemilu mendapatkan alokasi kursi berdasarkan proporsi suara yang diperolehnya. Dalam menentukan jumlah kursi di masing-masing daerah pemilihan, tidak semata-mata didasarkan pada jumlah penduduk, namun juga didasarkan pada wilayah administratif yang dijadikan daerah pemilihan. Propinsi adalah daerah administratif yang dijadikan daerah pemilihan. cara pengalokasiannya adalah sebagai berikut. Pertama, jumlah wakil dari setiap daerah pemilihan untuk DPR sekurang-kurangnya sama dengan jumlah kabupaten/kota yang ada dalam daerah pemilihan yang bersangkutan. Kedua, bagi daerah yang memiliki kelebihan penduduk kelipatan 400 ribu (pemilu 1971-1982) maka daerah tersebut mendapat tambahan kursi sesuai dengan kelipatannya.

Struktur pemilihan yang digunakan adalah sistem daftar tertutup. para pemilih hanya memilih salah satu partai yang tersedia, bukan memilih kandidat. Seseorang untuk dapat lolos menjadi kandidat melalui proses yang ketat dimana pemerintah ikut terlibat didalamnya. Mekanisme yang dipakai adalah calon anggota DPR harus lolos penelitian khusus (litsus) untuk mengetahui prestasi, dedikasi, loyalitas dan tidak tercela (PDLT). Mekanisme ini lebih dimaksudkan untuk memastikan bahwa para calon adalah loyalis Orde Baru daripada untuk memperoleh kandidat yang berkualitas. Oleh partai peserta pemilu, calon anggota DPR yang lolos litsus kemudian disusun dalam daftar dengan nomor urut. Penentuan terpilih adalah mereka yang menempati nomor urut atas.

Pemilihan Umum Tahun 1977, kontestan pemilu dari sepuluh partai pada Pemilu 1971 dilebur jadi tiga partai melalui fusi tahun 1973. Partai-partai Islam dilebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sedangkan partai-partai nasionalis dan Kristen dilebur dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Formasi kepartaian ini terus dipertahankan hingga di pemilu-pemilu berikutnya.

Terkait dengan hasil pemilu, posisi Golkar pada mayoritas tunggal terus berlanjut. Golkar menjadi partai hegomonik, sementara PPP dan PDI terus menerus menempati secara berurutan peringkat dua dan tiga. PPP dan PDI terus menerus menjadi partai kelas dua.

Partai
Suara
%
Kursi
18.743.491
29,29
99
Golongan Karya (Golkar)
39.750.096
62,11
232
5.504.751
8,60
29
Total suara
63.998.338
100%
360
Kesimpulan :
Dalam Pemilu Yang Diselenggarakan Pada 2 Mei 1977, Golkar Mengalami Penurunan 0,69%, PDI menurun 1,48% dan PPP Naik 2,17% disbanding hasil pemilu 1971. Namun, Meskipun Pemilu 1977 dimenangkan Golkar, tetapi terdapat suatu keistimewaan bagi PPP dapat mengalahkan Golkar di Daerah Istimewa Aceh dan DKI Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Puspoyo, Wijanarko. 2012. Dari Soekarno Hingga Yudhoyono, Pemilu Indonesia 1955 – 2009. Solo : PT Era Adicitra Intermedia
Pemilu 1977 dan Tanggapan Jilid I dan II. Jakarta: CSIS, 1981

KERAJAAN KEDIRI

RAHMAT ARIFAN/PIS

Kerajaan kediri merupakan kelanjutan dari kerajaan airlangga yang terbagi menjadi dua kerajaan yaitu kerajaan jenggala dengan rajanya garasakan yang merupakan putri dari airlangga dengan kahirupan sebagai pusat pemerintahan nya,kedua yaitu kerajaan panjalu atau yang lebih dikenal dengan kerajaan kediri dengan rajanya yang bernama srimarawijaya dengan pusat ibu kotanya di daha.
Peninggalan-peninggalan kerajaan kediri banyak berupa prasasti-prsasti antara lain sebagai berikut
1.prasati sirah keting (1104M) yang berisi tentang pemberian hadiah kepada rakyat desa oleh raja jaya warsa
2.prasasti yang ditemukan di daerah tulung agung dan kertosono  yang menceritakan tentang masalah-masalah keagamaan
3.prasasti ngantang (1135M) yang berisi tentang raja jayabaya yang memberikan tanah kepada rakyat desa ngantang
4.prasasti  jaring (1181 M) dari raja sandra yang berisi tentang sejumlah hewan
5.prasati kamulan ( 1194 M) isi prasasti ini menceritakan pada masa pemerintahan raja kertajaya bahwa kerajaan kediri berhasil mengalahkan musuh-musuh di katang-katang
A.KEHIDUPAN POLITIK
Para raja yang pernah memerintah di kerajaan kediri antara lain adalah sebagai berikut
1.raja bameswara
2.raja jayabaya
3.raja sarweswara
4.aryeswara
5.raja gandara
6.raja kartajaya
Akan tetapi masa kejayaan kerajaan kediri berada pada masa pemerintahan raja jayabaya.dan raja yang terakhir berkuasa di kerajaan kediri adalah raja kertajaya pada masa pemerintahan raja kertajaya sering terjadi pertentangan dengan kaum brahmana.
B.KEHIDUPAN EKONOMI
Mata pencarian utama rakyat kerajaan kediri adalah bercocok tanam dan maritim,mereka telah mengenal emas dan uang. Sungai brantas di jadikan sebagai penghubung daerah perdalam dengan daerah pesisir. Hal tersebut tercatat dengan rapi dalam klonik-klonik cina yang menyebutkan bahwa
1.rakyat kerajaan kediri memiliki tempat tinggal yang baik
2.pakaian rakyat kerajaan kediri cukup baik
3.rakyat kerajaan kediri telah mengenal istilah mas kawin yaitu berupa emas atau benda lainya yang berharga
4.rakyat kerajaan kediri telah mengenal mata uang yang terbuat dari emas atau pun perak
5.apabilah rakyat kerajaan kediri sakit mereka memohon kesembuhan dari dewa
6.di kerajaan kediri hukum di jalankan secara tegas
7.bila para raja berpergian maka akan dikawal oleh prajurit berkuda dan pasukan darat
C.KEHIDUPAN SOSIAL DAN BUDAYA
Kesastraan kerajaan kediri berkembang sangat pesat banyak karya-karya sastra yang terciptakan antara lain
1.kakawin bharatayuda yang disadur oleh mpu sedah dan mpu panulu
2.kakawi gatutkacasraya dan hariwangsa,karangan mpu panuluh
3.kakawi wratasancaya karanganmpu tan akung
4..kakawi smaradahana karangan mpu dharmaja
5.kakawi ludbaka karangan mpu tan akung
6.kakawi kresnayana,karangan mpu triguna ( dijumpai pada relief candi jago )
7.kakawi samanasantaka karangan mpu monaguna

DAFTAR PUSTAKA
  Wayan,I Badrika.2006.sejarah untuk SMA jilid 2 kelas XI program ips.jakarta.penerbit erlangga

TRANSMIGRASI (ORDE LAMA 1950 – 1965 )

MIDO EMERO / SI5

1. Demokrasi Liberal (1950 – 1959)
Dalam proses pengakuan kedaulatan dan pembentukan kelengkapan negara, ditetapkan pula sistem demokrasi yang dipakai yaitun sistem demokrasi liberal. Dalam sistem demokrasi ini presiden hanya bertindak sebagai kepala negara. Presiden hanya berhak mengatur formatur pembentukan kabinet. Oleh karena itu, tanggung jawab pemerintah ada pada kabinet. Presiden tidak boleh bertindak sewenang-wenang. Adapun kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri.Dalam sistem demokrasi ini, partai-partai besar seperti Masyumi,Pni,dan PKI mempunyai partisipasi yang besar dalam pemerintahan. Dibentuklah kabinet-kabinet yang bertanggung jawab kepada parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat ) yang merupakan kekuatan-kekuatan partai besar berdasarkan UUDS 1950.
Setiap kabinet yang berkuasa harus mendapat dudkungan mayoritas dalam parlemen (DPR pusat). Bila mayoritas dalam parlemen tidak mendukung kabinet, maka kabinet harus mengemblikan mandat kepada presiden. Setelah itu, dibentuklah kabinet baru untuk mengendalikan pemerintahan selanjutnya. Dengan demikian satu ciri penting dalam penerapan sistem Demokrasi Liberal di negara kita adalah silih bergantinya kabinet yang menjalankan pemerintahan.Kabinet yang pertama kali terbentuk pada tanggal 6 september 1950 adalah kabinet Natsir. Sebagai formatur ditunjuk Mohammad Natsir sebagai ketua Masyumi yang menjadi partai politik terbesar saat itu. Program kerja Kabinet Natsir pada masa pemerintahannya secara garis besar sebagai berikut ;
a. Menyelenggarakan pemilu untuk konstituante dalam waktu singkat.
b. Memajukan perekonomian, keeshatan dan kecerdasan rakyat.
c. Menyempurnakan organisasi pemerintahan dan militer.
d. Memperjuangkan soal Irian Barat tahun 1950.
e. Memulihkan keamanan dan ketertiban.
Dalam menjalankan kebijakannya, kabinet ini banyak memenuhi hambatan terutama dari tubuh parlemen sendiri. Bentuk negara yang belum sempurna dengan beberapa daerah masih berada ditangan pemerintahan Belanda memperuncing masalah yang ada dalam kabinet tersebut. Perbedaan politik antara presiden dan kabinet tersebut menyebabkan kedekatan antara presiden dengan golongan oposisi (PNI). Hal itu menentang sistem politik yang telah berlaku sebelumnya, bahwa presiden seharusnya memiliki sikap politik yang sealiran dengan parlemen. Secara berturut-turut setelah kejatuhan kabinet Natsir, selama berlakunya sistem Demokrasi Liberal, presiden membentuk kabinet-kabinet baru hingga tahun 1959.Pada masa Demokrasi Liberal ini juga berhasil menyelenggarakan pemilu I yang dilakukan pada 29 september 1955 dengan agenda pemilihan 272 anggota DPR yang di lantik pada 20 Maret 1956. Pemilu pertama tersebut juga telah berhasil badan konstituante (sidang pembuat UUD). Selanjutnya
badan konstituante memiliki tugas untuk merumuskan UUD baru. Dalam badan konstituante sendiri, terdiri berbagai macam partai, dengan dominasi partai-partai besar seperti NU,PKI,Masyumi dan PNI. Dari nama lembaga tersebut dapatlah diketahui bahwa lembaga tersebut bertugas untuk menyusun konstitusi. Konstituante melaksanakan tugasnya ditengah konflik berkepanjangan yang muncul diantara pejabat militer, pergolakan daerah melawan pusat dan kondisi ekonomi tak menentu.

2. Demokrasi Terpimpin (1959 – 1965)
a. Sistem politik Demokrasi Terpimpinat
Kekacauan terus menerus dalam kesatuan negara Republik Indonesia yang disebabkan oleh begitu banyaknya pertentangan terjadi dalam sistem kenegaraan ketika diberlakukannya sistem demokrasi liberal. Pergantian dan berbagai respon dari dari daerah dalam kurun waktu tersebut memaksa untuk dilakukannya revisi terhadap sistem pemerintahan. Ir.Soekarno selaku presiden memperkenalkan konsep kepemimpinan baru yang dinamakan demokrasi terpimpin. Tonggak bersejarah di berlakukannya sistem demokrasi terpimpin adalah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.Peristiwa tersebut mengubah tatanan kenegaraan yang telah terbentuk sebelumya. Satu hal pokok yang membedakan antara sistem Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin adalah kekuasaan Presiden. Dalam Demokrasi Liberal, parlemen memiliki kewenangan yang terbesar terhadap pemerintahan dan pengambilan keputusan negara. Sebaliknya, dalam sistem Demokrasi Terpimpin presiden memiliki kekuasaan hampir seluruh bidang
pemerintahan.
Dengan diberlakukannya Dekrit Presiden 1959 terjadi pergantian kabinet dari Kabinet Karya (pimpinan Ir.Djuanda) yang dibubarkan pada 10 juli 1959 dan digantikan dengan pembentukan Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Ir.Soekarno sebagai perdana menteri dan Ir.Djuanda sebagai menteri pertama. Kabinet ini yang memiliki program khusus yang berhubungan dengan masalah keamanan,sandang pangan, dan pembebasan Irian Barat. Pergantian institusi pemerintahan anatara lain di MPR (pembentukan MPRS), pemebntukan DPR-GR dan pembentukan DPA.Perkembangan dalam sistem pemerintahan selanjutnya adalah pernetapan GBHN pertama. Pidato Presiden pada acara upacara bendera tanggal 17 agustus 1959 berjudu"Penemuan Kembali Revolusi Kita"dinamakan Manifestasi Politik Republik Indonesia(Manipol),yang berintikan USDEK (UUD 1945,Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Kepribadian Indonesia). Institusi negara selanjutnya adalah mengitegrasikan sejumlah badan eksekutif seperti
MPRS, DPRS, DPA, Depernas, dan Front Nasional dengan tugas sebgai menteri dan ikut serta dalam sidang-sidang kabinet tertentu yang selanjutnya ikut merumuskan kebijaksanaan pemerintahan dalam lembaga masing-masing.
Dalam Demokrasi Terpimpin presiden mendapat dukungan dari tiga kekuatan besar yaitu Nasionalis, Agama dan Komunis. Ketiganya menjadi kekuatan presiden dalam mempertahankan kekuasaannya. Kekuasaan mutlak presiden pada masa itu telah menjadikan jabatan tersebut sebagai pusat legitimasi yang penting bagi lainnya. Presiden sebagai penentu kebijakan utama terhadap masalah-masalah dalam negeri maupun luar negeri .
b. Gerakan 30 September 1965
Salah satu momen sejarah yang mungkin paling membekas dalam perjalanan sejarah Indonesia adalah Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Peristiwa tersebut sampai saat ini masih menimbulkan kontrofersi dalam pengungkapan fakta yang sebenarnya. Berbagai versi tentang gerakan 30 S tersebut telah dikemukakan diantaranya;
Peristiwa G 30 S versi Pemerintah Orde Baru yakni peristiwa 30 S merupan suatu tindakan makar yang dilakukan oleh PKI terhadap pemerintah Indonesia yang sah. Tindakan kudeta tersebut dilakukan untuk merebut kekuasaan dari Ir.Soekarno selaku Penguasa Tertinggi
Angkatan Bersenjata dan Presiden seumur hidupberdasarkan konsep Demokrasi Terpimpin.
Cara penggulingan tahun 1965 tersebut adalah dengan menyatukan sejumlah organisasi onderbouw yang masih tersisa pascaperistiwa 1948.
c. Dampak G 30 S dan Proses Peralihan Kekuasaan Politik
Adapun dampak dari peristiwa G 30 S adalah :
• Demostrasi menentang PKI
Penyelesaian aspek politik terhadap para pelaku G 30 S 1965/PKI akan di putuskan dalam sidang Kabinet Dwikora tanggal 6 Oktober 1965 dan belum terlihat adanyaa tanda-tanda akan dilaksanakan. Berbagai aksi digelar untuk menuntut pemeritah agar segera menyelesaikan masalah tersebut dengan seadil-adilnya. Aksi dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda-pemuda dan pelajar-pelajar Indonesia seperti KAPPI,KAMI dan KAPI. Mucul pula kasi yang dilakukan oleh KABI,KAWI yang membulatkan tekad dalam Front Pancasila.
• Mayjen Soeharto menjadi Pangad
Sementara itu untuk mengisi kekosongan pimpinan AD, pada tanggal 14 oktober 1965 Panglima Kostrad/Pangkopkamtib Mayjen Soeharto diangkat menjadi Menteri/Panglima AD. Bersamakan itu diadakan tindakan-tindakan pembersihan terhadap unsur-unsur PKI dan ormasnya.
• Kedaan ekonomi yang buruk
Sementara itu kedaan ekonomi semakin memburuk. Pada saat itu politik sebagai panglima, akibatnya masalah lain terabaikan. Akibatnya di daerah muncul berbagai gejolak sosial yang pada puncaknya menimbulakan pemberontakan.
• Tri Tuntutan Rakyat
Pada tanggal 12 januari 1966 berbagai kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila tersebut berkumpul di halaman gedung DPR-GR untuk mengajukan Tritura yang isinya :
a. Pembubaran PKI dan ormas-ormasnya.
b. Pembersihan kabinet Dwikora dari unsur-unsur PKI.
c. Penurunan harga barang-barang.
Aksi Tritura berlangsung selama 60 hari sampai dikeluarkannya surat perintah 11 Maret 1966.
• Kabinet seratus menteri
Pada tanggal 21 februari 1966 presiden Soekarno mengumumkan perubahan kabinet
9(reshuffle). Kabinet baru ini diberi nama kabinet Dwikora yang disempurnakan.Adapun proses peraliahan kekuasaan politik dari orde lama ke orde baru adalah sebagai berikut :
1) Tanggal 16 Oktober 1966 Mayjen Soeharto telah dilantik menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat dan dinaikkan pangkatnya menjadi Letnan Jenderal. Pada awalnya untuk menghormati presiden AD tetap mendukungnya. Namun presiden enggan mengutuk G 30 S AD mulai mengurangi dukungannya dan lebih muali tertarik bekerja sam dengan KAMI dan KAPPI.
2) Keberanian KAMI dan KAPPI terutam karena merasa mendapat perlindungan dari AD. Kesempatan ini digunakan oleh Mayjen Soeharto uintuk menawarkan jasa baik demi pulihnya kemacetan roda pemerintahan dapat diakhiri. Untuk itu ia mengutus tiga Jenderal yaitu M.Yusuf, Amir macmud dan Basuki Rahmat oleh Soeharto untuk menemui presiden guna menyampaikan tawaran itu pada tanggal 11 Maret 1966. Sebagai hasilnya lahirlah surat perintah 11 Maret 1966 .
3) Pada tanggal 7 februari 1967, jenderal Soeharto menerima surat rahasia dari Presiden melalui perantara Hardi S.H. Pada surat tersebut di lampiri sebuah konsep surat penugasan mengenai pimpinan pemerintahan sehari-hari kepada pemegang Supersemar.
4) Pada 8 Februari 1967 oleh Jenderal Soeharto konsep tersebut dibicarakan bersama empat panglima angkatan bersenjata.
5) Disaat belum tercapainya kesepakatan antara pemimpin ABRI, masalah pelengkap Nawaksara dan semakin bertambah gawatnya konflik, pada tanggal 9 Februari 1967 DPR-GR mengajukan resolusi dan memorandum kepada MPRS agar sidang Istimewa dilaksanakan.
6) Tanggal 10 Februari 1967 Jend. Soeharto menghadap kepad presiden Soekarno untuk membicarakan masalah negara.
7) Pada tanggal 11 Februari 1967 Jend.Soharto mengajukan konsep yang bisa digunakan untuk mempermudah penyelesaian konflik. Konsep ini berisi tentang pernyataan presiden berhalangan atau presiden menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada pemegang Supersemar sesuai dengan ketetapan MPRS No.XV/MPRS/1966, presiden kemudian meminta waktu untuk mempelajarinya.
8) Pada tanggal 12 Februari 1967, Jend.Soeharto kemudian bertemu kembali dengan presiden, presiden tidak dapat menerima konsep tersebut karena tidak menyetujui pernyataan yang isinya berhalangan.
9) Pada tanggal 13 Februari 1967, para panglima berkummpul kembali untuk membicarakan konsep yang telah telah disusun sebelum diajukan kepada presiden
10) Pada tanggal 20 Februari 1967 ditandatangani konsep ini oleh presiden setelah diadakan sedikit perubahan yakni pada pasal 3 di tambah dengan kata-kata menjaga dan menegakkan revolusi.
11) Pada tanggal 23 Februari 1967, pukul 19.30 bertempat di Istana Negara presiden /Mendataris MPRS/ Panglima tertinggi ABRI dengan resmi telah menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada pengemban Supersemar yaitu Jend.Soeharto.
12) Pada bulan Maret 1967, MPRS mengadakan sidang istimewa dalam rangka mengukuhkan pengunduran diri Presiden Soekarno sekaligus mengangkat Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden RI.

DAFTAR PUSTAKA
• 2005. Sejarah Untuk SMA kelas XII Program Ilmu Sosial Dan Bahasa. Klaten : Cempaka Putih.
• MGMP. 2008. Sejarah Nasional Indonesia Dan Dunia untuk Kelas XII SMA Program IPS. Malili

TRANSMIGRASI

PERTIWI RESTI/ SI5

Pertumbuhan Penduduk
           
         Waktu memerintah sebagai Letnan Gubernur Jenderal Inggris, Raffles memperhitungkan bahwa penduduk Pulau Jawa sebanyak empat setengah juta jiwa. Dengan angka tersebut saja Pulau Jawa sudah merupakan pulau yang terpadat di daerah yang dahulu disebut Hindia Timur ini. Hal ini tidak mengherankan. Sejak zaman kerajaan-kerajaan kuno, Pulau Jawa dan beberapa tempat di Sumatera memang telah diberitakan sebagai daearah-daerah yang berpenduduk ber-"laksa-laksa"; apalagi kalau dibandingkan dengan daerah-daerah yang merupakan "kerajaan-kerajaan desa" yang saling terpencil. Walaupun demikian, kenaikan jumlah dan kepadatan penduduk di Jawa merupakan salah satu gejala sosial-ekonomi yang terjadi selama masa kolonial. Menurut sensus penduduk tahun 1930, penduduk Pulau Jawa telah berjumlah 40 juta jiwa. Jadi, dalam waktu 130-140 tahun saja penduduk Pulau Jawa dan  Madura telah naik sepuluh kali lipat.
         Sebenarnya, dari sudut kepadatan penduduk, Indonesia dengan mudah dapat di bagi atas tiga golongan besar. Pembagian ini kebetulan sejajar dengan perbedaan ekologis dari daerah-daerah tersebut, yaitu:
1.      Kelompok berkepadatan penduduk tinggi, yaitu Pulau Jawa, Bali Selatan, sebagian Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan. Kelompok ini terdiri dari kira-kira 75% dari seluruh penduduk Indonesia.
2.      Kelompok berkepadatan penduduk sedang, yang terdiri dari daerah-daerah luar Jawa lainnya, yaitu hampir seluruh Sumatera, Kalimantan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara.
3.      Kelompok berkepadatan penduduk rendah, yaitu daerah yang pernah disebut sebagai Timur Besar, seperti Maluku, Irian Jaya/Papua, dan pulau-pulau kecil lainnya.

Migrasi Intern dan Ekstern
          Distribusi penduduk antara daerah satu dengan daerah lain tidaklah selalu seimbang. Ada daerah yang sangat jarang penduduknya dan ada pula yang sangat padat. Tekanan pada satu daerah yang padat dari zaman dahulu telah merangsang untuk berpindah tempat dan memperluas daerah jangkauan untuk teknologi pertanian yang telah dimiliki. Oleh sebab itu, daerah penerima pendatang biasanya adalah daerah yang masih punya kemungkinan untuk dikembangkan.
            Dalam salah satu kebijakan Politik Etis pun migrasi dilakukan karena faktor ekonomi, dalam proses migrasi ini pemindahan penduduk dari Jawa ke luar Pulau Jawa untuk dijadikan  buruh yang akan dipekerjakan di daerah perkebunan atau daerah pertambangan milik Belanda. Dari Jawa dipindahkan ke perkebunan karet di Pematang Siantar, Sumatera Utara, di daerah pertambangan batubara di Sawahlunto, Sumatera Barat.
            Tekanan ekonomi atau barangkali tekanan untuk mendapatkan produksi baru, bukanlah faktor satu-satunya yang menyebabkan orang berpindah atau menyebar ke daerah lain. Jika perpindahan perseorangan mungkin dapat disebabkan oleh berbagai motif yang kadang-kadang khusus sifatnya, maka perpindahan yang berkelompok dapat juga disebabkan oleh faktor nonekonomi, seperti tradisi politik dan sosial. Tradisi melakukan migrasi di dapati di Sumatera Barat. Sejak abad ke-15 masyarakat Minangkabau mulai mengenal perpindahan ke daerah lain, walaupun tetap selalu menjaga hubungan adat dengan daerah asal. Dari sudut tradisi ini dapat pula dilihat keinginan untuk mendirikan suatu daerah kekuasaan baru. Begitu pula tradisi Tapanuli yang memungkinkan kepala kelompak untuk menjadi penguasa setempat, menjadi salah satu pendorong bagi melebarnya daerah budaya Toba-Batak ke daerah Simalungun di Sumatera Timur.
            Sebagai akibat dari kenaikan kerapatan penduduk, pemerintah berusaha dan memberi fasilitas bagi dimungkinkannya perpindahan penduduk. Dibukanya jalan kereta api yang menghubungkan Kalisat dan Banyuwangi pada tahun 1901 merupakan salah satu pendorong bagi migrasi dari Jawa Tengah ke ujung Jawa sebelah Timur yang masih kosong. Sejak awal abad ke-20 daerah-daerah Kedu, Yogyakarta, Madura, Kediri, dan Madiun di Jawa telah merupakan daerah yang melepas migran-migran ke daerah lain. Sebaliknya, Besuki adalah daerah penerima transmigran yang terpenting.
            Perpindahan intern yang lain, terutama terjadi di Tapanuli dan Sumatera Barat, baik karena dorongan untuk mendapat daerah baru maupun atas ajakan pemerintah Belanda supaya dapat bekerja pada perkebunan. Perpindahan dari daerah Toba-Batak bertambah banyak ke daerah Simalungun, Sumatera Timur. Pada tahun 1915 hanya 9.000 jiwa yang menjadi penetap baru di Simalungun. Pada tahun 1926 jumlah ini telah naik menjadi 42.000 orang. Kira-kira 60 persen penduduk yang meninggalkan Tapanuli menetap di Sumatera Timur.
            Kemampuan pemerintah kolonial untuk menciptakan sistem keamanan yang agak mantap merupakan pendorong untuk mengadakan migrasi intern di daerah-daerah lain. Semacam mobilitas geografis terjadi dengan kecepatan yang lebih deras. Tentu saja kecenderungan dari proses ini disebabkan pula oleh daya tarik setelah terbukanya kesempatan- kesempatan dan kerja baru.
            Keterbukaan kesempatan ini pula terutama yang mendorong migrasi ekstern - perpindahan dari satu pulau ke pulau lainnya – baik secara kelompok maupun sendiri-sendiri. Dari Kalimantan Selatan mengalir migran-migran ke Riau dan Jambi. Sebaliknya, Kalimantan Selatan dimasuki oleh migran-migran dari Sulawesi Selatan. Tentu saja, Pulau Jawa sebagai daerah yang terpadat dan sekaligus juga merupakan pusat kekuasaan politik dan ekonomi di zaman kolonial menjadi pusat terpenting dari mobilitas ini. Dari Jawa banyak mengalir para migran dan ke Jawa migran-migran dari pulau-pulau lain banyak mencari penghidupan baru. Aliran migran ke Jawa adalah salah satu akibat dari daya tarik Jawa sebagai pusat segala kesempatan yang bertautan dengan modernisasi yang diperkenalkan oleh pemerintah Belanda.
            Aliran migrasi antarpulau yang terpenting ialah dari Jawa ke Sumatera. Berdasarkan sensus 1930, dari 825.000 kelahiran Jawa yang berada di pulau-pulau lain, 767.000 orang atau 92,9 persen berada di Sumatera. Malah jumlah suku bangsa-suku bangsa dari Jawa (Jawa, Sunda, dan Madura) di seluruh Sumatera mencapai angka 1.046.000 atau 13,5 persen dari penduduk anak negeri Sumatera keseluruhan. S     uku Jawa sebenarnya telah merupakan suku bangsa ketiga di Sumatera. Jumlah mereka adalah 11,4 persen dari penduduk seluruhnya, di bawah suku bangsa Minangkabau (25,6 persen), dan Batak (15,8 persen). Sebagian besar, kira-kira 60 persen dari pendatang-pendatang Jawa berada di Sumatera Timur dan sisanya terutama di Lampung.
            Corak dan sifat aliran migrasi ke Lampung dan Sumatera Timur tidaklah sama. Sumatera Timur didatangi karena dibukanya perkebunan-perkebunan besar dan migrasi dilakukan berdasarkan perjanjian perburuhan. Sebaliknya, dengan Lampung, pendatang-pendatang adalah mereka yang meninggalkan daerah mereka karena kurangnya tanah pertanian, dan migrasi terjadi  dan diberi keleluasaan yang wajar oleh pemerintah. Pada kasus Sumatera Timur, masalah pokok ialah masalah perburuhan, sedangkan pada kasus Lampung, rencana dan pelaksanaan dari emigrasi – atau, yang menurut istilah sekarang transmigrasi – yang menjadi masalah. Padahal, yang pertama terlibat dengan langsung soal keadilan dan harkat manusia, yang kedua ialah usaha bagi hidup yang lebih baik. Emigrasi adalah salah satu unsur dari formula van Deventer untuk membayar "Utang Kehormatan" di samping "edukasi" dan "irigasi". Emigrasi adalah bagian politik etis, yang mulai dijalankan pada tahun 1901.
            Boleh dikatakan dasawarsa pertama dan kedua dari usaha transmigrasi berjalan dengan tersendat-sendat. Cerita yang dibawa dari transmigrasi ke daerahnya bukanlah cerita yang mendatangkan kegairahan untuk berpindah. Barulah pada dasawarsa ketiga usaha ini lebih digiatkan dan sejak itu transmigrasi yang besar-besaran diadakan. Akan tetapi, sebelumnya, suatu patokan, yang berisi "10 pantangan", antara lain "jangan memilih yang bukan petani", "jangan memilih orang tua", "jangan membawa serta orang bujangan", dan sebagainya, dan perbaikan dalam sistem administrasi serta kesehatan, diadakan. Pada tahun 1932 dipindahkan 7.000 jiwa, kemudian setelah mengalami kemunduran selama dua tahun, maka tahun 1934 jumlah tersebut dapat dilipat dua, tahun 1937 jumlah yang dipindahkan ialah 19.639, tahun berikutnya naik menjadi 32.000, dan selanjutnya kenaikan ialah sekitar sepuluh ribu jwa tiap tahunnnya.       
Daftar Pustaka
Poesponegoro, Marwati Djoened., Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia V: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda. Jakarta: Balai Pustaka.
Praptanto , Eko. 2010. Sejarah Indonesia: Zaman Kebangkitan Nasional. Jakarta: Bina Sumber Daya Mipa.