GUSWITA PUTRI / SR
1. Perkembangan Masyarakat Rokan Hilir Pada Masa Kerajaan Rokan
Kabupaten Rokan Hilir kira-kira 1300 tahun yang lalu (abad 7-8 M) merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya (Shih-li-fo-shih) yang berpusat di Palembang, muara Sungai Musi di Sumatera Selatan. Menurut laporan I-tsing 688 M, wilayah kekuasaan Sriwijaya meliputi Pho-lu-shih (Tanjung Balai, Asahan-Sumatera Utara), Mo-lo-yu (Jambi), Mo-ho-sin (Bekasi-Jawa Bahagian Barat), Holing (Keling, Lembah Sungai Berantas- Jawa Timur), Tantan (Kelantan, Malaysia) Pen-pen (Pahang, Malaysia), Po-li (Kutai, Kalimantan), Chuah-lun, Fo-shih, Po-lo, O-shan dan Mo-chia-man semuanya di Indocina. Negeri-negeri di sepanjang muara Sungai Rokan, Inderagiri, Kampar, Batang Hari, Siak merupakan kawasan penting bagi mendukung perekonomian Kerajaan Sriwijaya. Komoditas perdagangan penting seperti lada, kayu cendana, gaharu dan emas bersumber dari daerah ini (Wolters, 1967). Namun tidak ada catatan sejarah yang merekam, apakah nama negeri-negeri yang berada di sepanjang Sungai Rokan itu. Namun dari laporan I-tsing, diperkirakan wilayah Rokan masuk daerah Mo-lo-yu.
Diketahui bahwa Daerah ini adalah kawasan Kerajaan Rokan Tua, diketahui keberadaannya abad ke-13, saat itu tercatat dalam "Negara Kertagama" karangan Prapanca, yang ditulis pada tahun 1364 M, syair 13 disebutkan ; "Seluruh Pulau Sumatera (Melayu) telah menjadi daerah yang berada dibawah kekuasaan Majapahit yang meliputi Rakan (Rokan). Pada pertengahan abad ke-8 M, Sriwijaya kehilangan kemerdekaanya. Negeri ini diperintah oleh Wangsa Syailendra dari Jawa Tengah. Karena itu sejak tahun 743-843 M, Sriwijaya tidak pernah lagi mengirim utusan ke Kaisar China. Kekuasaan Sriwijaya sebagai negara merdeka berakhir pada tahun 775 M sebagaimana disebutkan dalam prasasti Ligor. Namun sebagai negeri bawahan Sriwijaya masih tetap bertahan sampai munculnya kerajaan yang dalam sumber China disebut San-fo-tsi tahun 853 M. Kerajaan ini tidak berpusat di Palembang, tetapi di Jambi tepatnya di muara Sungai Batang Hari.
Kerajaan San-fo-tsi atau Suwarnabhumi/Suwarnadwipa didirikan oleh Bala Putera Dewa wangsa Syailendra dari Jawa Tengah. Wangsa Syailendra menguasai kerajaan Suwarnabhumi dari abad ke 9-11 M. Ketika diperintah oleh Sri Maharaja Cudamaniwarmadewa, Suwarnabhumi pernah diserang oleh Raja Dharmawangsa Teguh dari Kerajaan Watu Galuh di Jawa Tengah tahun 992 M. Namun karena Dharmawangsa mati dibunuh oleh raja Wurawari 1006 M, maka Suwarnabhumi terhindar dari cengkeraman raja Jawa. Suwarnabhumi dibawah Wangsa Syailendra runtuh ketika diserang oleh tentara Raja Rajendracola dari Kerajaan Chola di India Selatan tahun 1025 M. Raja Cola tidak bermaksuk menjadikan Suwarnabhumi sebagai negara bawahan. Ia cukup puas dengan menawan Sanggramawijaya Tunggawarman. Karena itu Suwarnabhumi masih berhak mengirim Se-li-tieh-hwa sebagai utusan menghadap kaisar China tahun 1028 M. [1]
Namun demikian pengaruh Cola masuk ke bumi Sumatera. Sebagai bukti adalah terdapatnya komunitas pedagang Tamil di Barus sebagaimana tertulis dalam prasasti Lobu Tua 1088 M. Akibat serangan itu, Wangsa Syailendra kemudian mengungsi ke Muara Takus, Kampar dan membangun tempat peribadatan yang dikenal sekarang dengan Komplek Candi Muara Takus. Candi diperkirakan dibangun pada abad ke-12 M berdasarkan temuan huruf nagari pada sebuah lempengan tembaga di sekitar candi. Huruf ini berkembang di Jawa pada masa Singosari. Setelah serangan Cola, sejak awal abad ke-12, Suwarnabhumi diperintah oleh wangsa Malayapura (Melayu). Wangsa ini mampu mengakhiri dominasi Cola di Sumatera bahkan menguasai Srilangka. Wangsa Malayapura berasal dari Dharmasraya di hulu sungai Batang Hari (Riau) berbatasan dengan Sumatera Barat (Prasasti Adityawarman di Padang Roco 1347 M). Pendiri wangsa Malayapura adalah Pangeran Suryanarayana yang bergelar Sri Maharaja Mauliwarmadewa. Semua rajanya menyandang gelar Mauliwarmadewa di belakang nama asalnya. Penobatan pangeran Suryanarayana sebagai raja Suwarnabhumi dicatat dalam prasasti Srilangka (Selamat Mulyono, 1981: 225) Prasasti ini membuktikan Srilangka pernah ditaklukkan Suwarnabhumi. [2]
Pada masa Sri Maharaja Trailokyaraja Mauliwarmadewa yang berkuasa pada abad ke-12 M, Suwarnabhumi mengalami masa keemasannya. Nama raja ini tercantum dalam prasasti Grahi bertarikh 1183 M. Grahi terletak di pantai timur Muangthai Selatan. Nama Grahi sebagai negara bawahan Suwarnabhumi juga dicatat dalam sumber China karya Chou- ku-fei, Ling Wai-tai-ta, dan karya Chau- ju- kua " Chu-fan-chi". Grahi merupakan negeri bawahan Suwarnabhumi yang disebut dalam prasasti, sementara negeri-negeri bawahan lainnya hanya disebut dalam sumber sejarah. Karena sumber China menyebutkan tarikh 1178 M, maka dipastikan masa keemasan Suwarnabhumi dibawah raja-raja wangsa Malayapura yang dimulai dari Sri Maharaja Suryanaraja dan Sri Maharaja Trailokkyaraja. Wilayah Kekuasaan Suwarnabhumi meliputi Sri Langka, Thailand, Malaysia (Pahang, Terengganu, Kelantan, dan Langkasuka/Kedah), Seluruh Sumatera (Palembang, Kanpei (Kampai), Lamuri, dan Sunda di Jawa Barat. Yang menarik adalah nama Sriwijaya tidak disebut lagi sebagai negara, tetapi diganti dengan Palembang. Ini berarti Sriwijaya sudah benar-benar tidak ada lagi pada abad ke-12. Bahkan pasukan Singosaripun hanya menemukan Palembang sebagai sebuah dusun yang dikuasai para Perompak dari China seabad kemudian (1275 M) ketika melakukan ekspedisi pamalayu.
Ekpedisi Pamalayu berlaku ketika Suwarnabhumi dibawah pemerintahan Sri Maharaja Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa. Sebenarnya Raja Kertanegara dari Singosari bermaksud membangun aliansi dengan Kerajaan Melayu ini untuk menghadapi ancaman ekspansi Kaisar Mongol, Kubilai Khan yang sudah menguasai Kekaisaran China. Singosari berhasil membujuk Raja Champa dengan mengawinkan Tapasi (puteri Kertanegara) dengan Jaya Singawarman III (raja Champa). Kerajaan Champa dijadikan benteng pertahanan pertama. Namun rencana Kertanegara menempatkan Suwarnabhumi sebagai benteng pertahanan kedua, tidak berhasil karena Raja Suwarnabhumi sudah membangun hubungan dengan Kaisar China sejak tahun 853 M. Sampai tahun 1286, utusan Suwarnabhumi masih menghadap kaisar China. Negarakretagama menyatakan bahwa pada dasarnya pengiriman tentara ke bumi Melayu hanya untuk menakut-nakuti. Namun karena Raja Suwarnabhumi tidak takut, maka serangan benar-benar dilancarkan terhadap bumi Melayu. Parang berlansung cukup lama antara 1275-1286. Namun karena kisruh politik di Istana Singosari dengan dibunuhnya Kertangera oleh Raja Kediri, Jayakawang dan penubuhan Kerajaan Majapahit, maka Suwarnabhumi terlepas dari cengkeraman Raja Jawa. Tapi Jambi, ibu negeri Suwarnabhumi sempat diduduki dan Sri Maharaja Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa memindahkan ibukota kerajaannya ke Dharmasraya.
Pada Tahun 1292 M utusan Kubilai Khan bernama Menchi datang ke Singosari untuk membujuk Kertanegara, raja Singosari tunduk kepada Kaisar Kubilai Khan. Karena tuntutan Kubilai Khan ditolak dan Menchi dilukai dahinya, Kaisar Mongol itu mengirmkan balatentara dibawah komandan Shi-pi, Khau –sing dan Ike Mese untuk menyerbu Jawa (N.J. Krom, 1920: 82-83). Menurut Pararaton, Kubilai Khan marah bukan karena tuntutanya di tolak Kertangera, tetapi penghinaan yang diterima oleh utusannya dipandang sebagai penghinaan terhadap dirinya. Dalam pelayaran menuju Jawa, tentara China dilarang mendarat di pelabuhan Champa oleh Raja Singawarman. Oleh karena itu, perahu-perahu yang mengangkut tentara China itu berlayar menembus lautan besar melalui selat Bangka langsung menuju pantai Utara Jawa dan memasuki muara Sungai Berantas di Jawa Timur tanggal 1 Maret 1293. Tentara China tidak menemukan Kertanegara dan Singosari, karena sudah dibunuh oleh Jayakatwang dari Kerajaan Kediri yang berpusat di Daha. Mereka kemudian dimanfaatkan oleh Raden Wijaya, seorang menantu Kertanagera yang menyingkir ke desa Majapahit. Utusan tentara China yang datang menemui Raden Wijaya memintanya untuk mengaku kaisar China. Wijaya mematuhinya dan meminta bantuan tentara China untuk menyerang Daha.
Pada tanggal 15 Maret 1293, tentara China menyerang Daha. Daha berhasil dikuasai dan Jayakatwang menyerah empat hari kemudian. Lebih dari lima ribu orang mati terbunuh. Tanggal 19 April, pasukan Raden Wijaya yang turut juga dalam penyerbuan itu tiba-tiba menyerang pasukan China yang sedang mabuk kemenangan di dalam kubu mereka di Daha dan Canggu. Pada 23 April tentara China terdesak dan mundur ke laut dan berlayar kembali ke China dengan kehilangan tiga ribu prajurit (Slamet Mulyana, 1981: 238-239). Oleh itu, strategi Kertanegara untuk mencegat tentara Mongol di Sumatera sebelum sampai ke Jawa keliru. Hitungannya bahwa tentara Mongol akan menyerang melalui Selat Melaka, karena itu beliau mengirimkan pasukan ke Sumatera. Setelah melewati bekas pusat Kerajaan Sriwijaya, daerah ini sudah menjadi sebuah dusun nelayan yang dikendalikan oleh para perampok (bajak laut). Pasukan Singosari di Sumatera tidak menemukan tentara Mongol, tetapi justru menjumpai negeri yang merdeka, bernama Suwarnabhumi (Slamet Mulyana 1981:233). Oleh karena itu negarakretagama menyebutkan tahun 1275 pasukan Singosari dikirim ke Suwarnabhumi. Bahkan mereka sendiri tidak mengetahui, bahwa negeri mereka, Singosari telah dihancurkan oleh pasukan Jayakatwang dari Kediri dan diringi dengan perubahan politik yang begitu cepat di Jawa sampai munculnya Kerajaan Majapahit.
Pararaton memberitakan bahwa kira-kira sepuluh hari setelah pengusiran tentara China, pasukan Singosari yang ditempatkan di Suwarnabhumi sampai di Majapahit dibawah pimpinan Mahisa Anabrang dengan membawa dua puteri Melayu bernama Dara Petak dan Dara Jingga. Dara Jingga kemudian kawin dengan Kertarajasa, Raja Mapahit I dan melahirkan seorang putera bernama Adityawarman. Kertarajasa menempatkan Adityawarman sebagai simbol hadirnya kekuasaan Majapahit di Tanah Melayu. Meskipun Suwarnabhumi terlepas dari cengekraman Singosari, tetapi akibat hadirnya para pedagang China di rantau Asia Tenggara secara langsung memukul perekonomian Suwarnabhumi. Dinasti Yuan yang berkuasa di China menerapkan sistem perdagangan bebas aktif, yang membolehkan pedagang China langsung mengunjungi bandar-bandar penting di Suwarnabhumi. Padahal sebelumnya, Kaisar China cukup menerima utusan dari raja-raja di Asia Tenggara yang membawa hasil-hasil bumi dan tanda tunduk kepada Kaisar China.
Meskipun Suwarnabhumi terlepas dari Singosari, tetapi Tribhuwanaraja tidak mampu memulihkan kembali kebesaran Suwarnabhumi. Ekspansi Majapahit dibawah Gajahmada semakin mempercepat hancurnya Suwarnabhumi. G. Coedes menyatakan runtuhnya Sriwijaya akibat serangan Raja Shukotai dari Siam, Thailand tahun 1290-an (Coedes, 1968: 82-83). Kemungkinan yang dimaksudkan adalah Kerajaan Suwarnabhumi, bukan Sriwijaya. Memasuki pertengahan abad ke-14 M, Suwarnabhumi menjadi negeri bawahan Majapahit. Penempatan Adityawarman sebagai putera berdarah Melayu-Jawa, menunjukkan agar wangsa Melayu di Suwarnabhumi tidak berontak kepada Majapahit. Adityawarman mengendalikan Kerajaan Suwarnabhumi yang berpusat di Dhamasraya, di Muara Sungau Batang Hari, Riau berbatasan dengan Sumatera Barat. Pada tahun 1365, sebagaimana disebutkan dalam Negarakertagama dan sumber sejarah dari Dinasti Ming, Suwarnabhumi dibagi tiga yakni Palembang, Jambi dan Dhamasraya. Tiga negeri ini menjadi bawahan Majapahit. Aditywarman tetap memerintah di Dharmasraya dan kemudian memindahkan ibu negerinya ke Pagaruyung, Sumatera Barat.
Negeri-negeri di sepanjang Sungai Rokan atau Riau umumnya baru mulai disebut-sebut setelah kerajaan Sriwijaya dan Suwarnabhumi runtuh pada abad ke-14 M. Negeri-negeri yang berada dibawah pengaruhnya kemudian melepaskan diri. Samudera Pasai mulai muncul pada tahun 1297 bertepatan dengan ekspansi Singosari. Demikian pula dengan Kandis, Aru, Lamuri, Rokan, Siak, Keritang, Tumihang (Tamian), Lahwas (Padang Lawas) dan sebagainya. Negeri-negeri ini berada di aliran Sungai Rokan, Belawan/Deli, Krueng Aceh, Siak, Kampar dan Sungai Tamiang yang kesemuanya bermuara ke Selat Melaka. Negeri –negeri ini mulai bangkit ketika Suwarnabhumi sedang sibuk-sibuknya berperang menghadapi pasukan Singosari. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila seabad kemudian, yaitu pada abad ke-14 M, daerah-daerah ini menjadi negeri bawahan Majapahit dan dicantumkan dalam buku Negarakretagama.
2. Masuknya Islam Ke Kerajaan Rokan
Samudera Pasai menjadi negara makmur pada abad ke-14-15, sebelum akhirnya dikuasai oleh Portugis yang sudah menguasai Kerajaan Melaka pada dekade kedua abad 16 (1521 M). Samudera Pasai berperan dalam mengislamkan beberapa wilayah di Nusantara, termasuk Rokan Hilir. Kehadiran Portugis di Samudera, menyebabkan banyak ulama atau keluarga kerajaan hijrah meninggalkan Pasai menuju Rokan. Pada masa inilah kemungkinan negeri-negeri di Rokan Hilir atau Riau pada umumnya menganut agama Islam. Tidak mengherankan apabila sejak abad ke-15, Kerajaan Rokan sudah diperintah oleh seorang raja yang berasal dari keturunan Sultan Sidi saudara Sultan Sujak, demikian kata Sejarah Melayu. Rokan kemudian menjadi negeri bawahan Melaka yang mulai naik daun sejak Majapahit runtuh pada akhir abad ke-15. Sultan Muhammad Syah Raja Melaka (1425-155) mengawini puteri raja Rokan yang dijadikan Raja Perempuan atau Permaisuri Melaka [3]
Jadi setelah, dominasi Majapahit pudar di Sumatera, Aru, Pasai, Siak, Rokan, Kampar, Inderagiri, Jambi dan lain-lain menjadi negeri bawahan Melaka. Rokan menjadi negeri pemasok tenaga manusia sebagai pasukan Melaka bila hendak berperang. Kecuali itu, Bandar Rokan, Kampar, Inderagiri, dan Siak penting bagi Melaka, untuk menguasai jalur distribusi bahan perdagangan seperti emas, lada, gaharu dsb dari Tanah Datar di Sumatera Barat menuju ke Selat Melaka. Setelah Melaka jatuh ke tangan Portugis, praktis negeri di sepanjang sungai Rokan dan Kampar berusaha dikuasai oleh Portugis. Pada abad ke-16 M, Portugis menyerang negeri Kampar dan Rokan. Bukti-bukti fisik berupa meriam dan bekas benteng Portugis masih banyak di jumpai di Batu Hampar (Rokan) dan Kecamatan Langgam, Kampar. Di Batu Hampar, ada sebuah situs yang dikenal dengan Parit Peringgi. (Ahmad Darmawi, 2008: 117). Pertempuran antara pasukan Portugis dan pasukan gabungan dari Inderagiri, Jambi, dan Aru dibawah kordinasi Sultan Mahmud, Raja Melaka yang melarikan diri ke Bintan pernah terjadi di Kerumutan, daerah Pelalawan sekarang pada tahun 1520-an.
Setelah Kerajaan Rokan yang berpusat di Pekaitan hancur, muncul kerajaan Tanah Putih, Kerajaan Bangko dan Kerajaan Kubu di wilayah Rokan Hilir. Kerajaan ini kemudian dibawah kontrol VOC/Belanda pada abad ke-17 M, yang terlebih dahulu mengusir Portugis dari Melaka 1641. VOC membangun loji-loji di bandar-bandar penting di muara sungai Rokan, Kampar dan Siak, baik melalui perjanjian maupun kekerasan senjata. Memasuki abad ke-18, Siak dibawah Raja Kecil muncul menjadi kekuatan politik penting di wilayah Riau dan sekitarnya. Kerajaan Tanah Putih, Bangko dan Kubu sejak abad ke-18 M, tunduk dibawah kekuasaan Kerajaan Siak Inderapura. Untuk memperkuat pengaruh Siak, Sultan Said Ali mempersunting, seorang puteri Kerajaan Tanah Putih. Pada masa Sultan Siak ke-11 (Sultan Syarif Hasyim, 1889-1908), Kerajaan Tanah Putih dijadikan propinsi dan diperintah oleh seorang Kepala Negeri yang bergelar Datuk Setia Maharaja dan daerahnya disebut negeri. Sementara di daerah Rokan Hulu, Rajanya bergelar Yang Di Pertuan dan daerahnya disebut Luhak.
3. peninggalan-peninggalan Kerajaan Rokan
a. Candi Sintong
Candi Sintong di wilayah Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir, menempati koordinat 1o 30' 42,7" LU dan 100 58' 39,4" BT di daerah berketinggian 13 meter di atas permukaan laut. Lokasi Candi Sintong berjarak sekitar 200 meter dari tebing Sungai Rokan, sekitar 350 meter di sebelah barat lokasi penyeberangan. Beda tinggi antara permukaan sungai dengan lokasi kekunaan itu sekitar 10 meter. Lahan tempat berdirinya bangunan kuna itu telah diberi pagar kawat berduri seluas 60meter x 50 meter. Sisa bangunan peninggalan budaya Hindu-Buddha itu memiliki arah hadap ke timur, ke arah ruas Sungai Rokan. Kondisinya dipenuhi tumbuhan semak 36 belukar. Candi tersebut hanya dapat dikesan dari bekas-bekasnya seperti struktur bangunan dengan batu bata merah. Dahulu masyarakat setempat menyebutnya dengan nama Candi Balik Bukit, dan belakangan orang mengenalnya sebagai Candi Sintong. [4]
Melihat ukuran strukturnya yang relatif kecil, hanya 5,20 meter x 5,20 meter dan berketinggian 0,90 meter, dapat diduga bahwa ini merupakan candi perwara walaupun indikasi candi induknya belum jelas. Adapun di sisi tenggara sisa bangunan candi itu terdapat kolam seluas 30 meter x 20 meter, yang dikenal sebagai kolam pemandian Puteri Hijau. Hal ini pula yang menyebabkan orang juga kerap menyebut peninggalan di sana sebagai Candi Puteri Hijau. Adapun sekitar 200 meter di arah baratdaya Candi Sintong, pada koordinat 30 41,1" LU dan 100 o 58' 34,5" BT dengan ketinggian 13 meter di atas permukaan laut, dijumpai pertapakan yang disebut Tapak Mahligai. Di pertapakan berupa gundukan tanah dikelilingi parit berukuran lebar 2 (dua) meter itu terdapat sebuah nisan berbahan batuan sedimen dengan bentuk dasar pipih, panjang 27 cm, tebal 9 cm dan tinggi 45 cm. Bentuk nisan seperti ini biasa dikenal sebagai batu Aceh.
b. Candi Sedinginan
Candi Sedinginan menempati bidang tanah milik Bapak Affandi dan Bapak Abdullah, di jalan Nasruddin, Lingkungan Makmur, Desa Sedinginan, Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir. Berada pada kordinat 0133' 35,6" LU dan 101 o 01' 03,0" BT 37 Penelusuran Arkeologi dan Sejarah Bagansiapiapi. di ketinggian 22 meter di atas permukaan laut. Struktur candi sudah tidak dapat dilihat secara utuh, hanya ditandai beberapa batu bata merah di sekitar tapak dan bahkan di sumur dan dapur rumah. Pada bulan Desember 1992, situs ini pernah diteliti melalui ekskavasi oleh tim arkeologi dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), Jakarta yang berhasil menjumpai struktur bangunan candi berbahan bata. Temuan sertanya adalah fragmen gerabah. Belum ada perkiraan usia candi tersebut. Pada lokasi candi ini sekarang telah berdiri rumah, yaitu rumah Bapak Affandi. Bagian struktur candi yang masih tampak berada di sebelah utara rumah tersebut. Pada bagian belakang rumah, di sebelah timur, masih ditemukan gundukan tanah dan juga struktur bata yang merupakan bagian dari candi. Pada bagian gundukan tanah tersebut terdapat singkapan tanah yang terdiri atas dua lapisan. Lapisan atas merupakan lapisan yang kemungkinan merupakan sedimentasi dari bukit yang ada di sebelah timur bangunan candi. Lapisan tanah kedua kemungkinan lapisan asli dimana bangunan candi tersebut didirikan. [5]
Tidak ada data historis berkaitan dengan situs Candi Sedinginan. Namun dapat dimungkinkan bahwa Candi Sedinginan adalah peninggalan dari masa Kerajaan Rokan Hindu-Buddha atau Kerajaan Kandis, yang sudah ada pada abad ke-14 M sebagaimana disebut dalam kitab Negarakretagama. Tentu masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan sejarah keberadaan Candi Sedinginan.
Kemungkinan pada masa ini daerah Rokan Hilir dikuasai oleh Kerajan Rokan. Karena itu peninggalan-peningalan berupa reruntuhan Candi Sintong dan Candi Sedinginan di Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir merupakan peninggalan Kerajaan Rokan. Dari hasil eskapasi tahun 1992/1993 di Candi Sintong diperkirakan Candi ini dibangun pada abad 12-13 M. Periode ini merupakan masa kemunculan kerajaan Rokan, Gasib dan Kandis seiring dengan mundurnya kekuasaan Suwarnabhumi akibat berperang dengan Singosari. Mundurnya peranan Suwarnabhumi, dimanfaatkan oleh Malik al-Saleh untuk membangun Kerajaan Samudera Pasai tahun 1283 bersamaan dengan didudukinya istana Suwarnabhumi oleh pasukan Singosari. Kebenaran akan adanya Kerajaan Samudera Pasai dibuktikan dengan adanya makam Sultan Malik al-Saleh yang wafat tahun 1297 M. Sumber sejarah lain yang menegaskan kehadirannya adalah laporan Marcopolo yang datang ke Pasai tahun 1292 M, Tome Pires, Ibnu Batutah, Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu. Samudera Pasai, adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia atau Asia Tenggara yang mempunyai bukti prasasti. Sementara Kerajaan Peureulak yang berdiri sejak abad ke-10 M, hanya dibuktikan melalui sumber sejarah berupa manuskrip tua "kitab Idharul Haq" yang masih menjadi perdebatan keberadaannya oleh para ahli sejarah sampai sekarang.
Peninggalan-peninggalan sejarah berbentuk makam-makam kuno di Rokan Hilir, yang berdekatan dengan reruntuhan Candi, hampir dapat dipastikan merupakan peninggalan atau makam para bangsawan atau ulama dari beberapa Kerajaan Islam seperti; Kerajaan Rokan (di Kota Lama maupun di Pekaitan); Kerajaan Bangko, Tanah Putih dan Kerajaan Kubu. Makam dengan batu nisan seperti itu, memang hanya di pergunakan oleh golongan elite masa itu, seperti golongan ulama dan kerabat istana (Herwandi, 2003 dan Suprayitno, 2008). Berdasarkan kedekatan makam-makam dengan situs candi, diperkirakan proses Islamisasi telah menyentuh kalangan elite Kerajaan Rokan Hindu/Budha dan mereka kemudian menjadikan Islam sebagai agama kerajaan pada abad ke-15 M. Islamisasi melalui golongan bangsawan atau raja-raja mempercepat perkembangan Islam di Rokan. Dari sudut pandang ini, sangat mungkin Kerajaan Rokan Islam merupakan kelangsungan dari Kerajaan Rokan Hindu/Budha.
DAFTAR PUSTAKA
[1]Mutiara, P. M., (1996), Asal-usul raja dan rakyat Rokan, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
[3] Riau Menatap Masa Depan oleh Mubyarto dkk, Penerbit Aditya Media, Yogyakarta, April 1993.
[5]Mutiara, P. M., (1996), Asal-usul raja dan rakyat Rokan, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
No comments:
Post a Comment