SRI OKTAVIANI/ SR
Kesultanan Siak Sri Inderapura ialah sebuah Kerajaan Melayu Islam yang pernah berdiri di Kabupaten Siak, Provinsi Riau, Indonesia. kata Siak Sri Inderapura, secara harfiah dapat bermakna pusat kota raja yg taat beragama, dalam bahasa Sanskerta, sri berarti bercahaya dan indera atau indra dapat bermakna raja. Sedangkan pura dapat bermaksud dengan kota atau kerajaan. Siak dalam anggapan masyarakat Melayu sangat bertali erat dengan agama Islam, Orang Siak ialah orang-orang yg ahli agama Islam, kalau seseorang hidupnya tekun beragama dapat dikatakan sebagai Orang Siak. Nama Siak, dapat merujuk kepada sebuah klan di kawasan antara Pakistan dan India, Sihag atau Asiagh yg bermaksud pedang. Masyarakat ini dikaitkan dengan bangsa Asii, masyarakat nomaden yg disebut oleh masyarakat Romawi, dan diidentifikasikan sebagai Sakai oleh Strabo seorang penulis geografi dari Yunani. Berkaitan dengan ini pada sehiliran Sungai Siak sampai hari ini masih dijumpai masyarakat terasing yang dinamakan sebagai Orang Sakai.[1]
Kerajaan siak sri indrapura didirikan di Buantan oleh Raja Kecil dari Pagaruyung bergelar Sultan Abdul Jalil pada tahun 1723, sesudah sebelumnya terlibat dalam perebutan tahta Johor. Setelah raja kecil meninggal dunia ia digantikan oleh tengku buang asmara yang bergelar sultan abdul jalil syah. Dalam perkembangannya, Kesultanan Siak muncul sebagai sebuah kerajaan bahari yang kuat dan menjadi kekuatan yg diperhitungkan di pesisir timur Sumatera dan Semenanjung Malaya di tengah tekanan imperialisme Eropa. Jangkauan terjauh pengaruh kerajaan ini sampai ke Sambas di Kalimantan Barat, sekaligus mengendalikan jalur pelayaran antara Sumatera dan Kalimantan. Pasang surut kerajaan ini tak lepas dari persaingan dlm memperebutkan penguasaan jalur perdagangan di Selat Malaka.[2]
Masa Kejayaan Sultan Siak
Dengan klaim sebagai pewaris Malaka, pada tahun 1724-1726 Sultan Abdul Jalil melakukan perluasan wilayah, dimulai dengan memasukan Rokan ke dalam wilayah Kesultanan Siak, membangun pertahanan armada laut di Bintan. Namun tahun 1728 atas perintah Raja Sulaiman, Yang Dipertuan Muda bersama pasukan Bugisnya, berhasil menekan Raja Kecil keluar dari kawasan kepulauan. Raja Sulaiman kemudian menjadikan Bintan sebagai pusat pemerintahannya dan atas keberhasilan itu yang Dipertuan Muda diberi kedudukan di Pulau Penyengat. Sementara Raja Kecil terpaksa melepas hegemoninya pada kawasan kepulauan dan mulai membangun kekuatan baru pada kawasan sepanjang pesisir timur Sumatera. Antara tahun 1740-1745, Raja Kecil kembali bangkit dan menaklukan beberapa kawasan di Semenanjung Malaya.
Ancaman dari Siak, serta di saat bersamaan Johor juga mulai tertekan oleh orang-orang Bugis yg meminta balas atas jasa mereka. Hal ini membuat Raja Sulaiman pada tahun 1746 meminta bantuan Belanda di Malaka dan menjanjikan memberikan Bengkalis kepada Belanda, kemudian direspon oleh VOC dengan mendirikan gudang pada kawasan tersebut. Sepeninggal Raja Kecil tahun 1746, klaim atas Johor memudar, dan pengantinya Sultan Mahmud fokus kepada penguatan kedudukannya di pesisir timur Sumatera dan daerah vazal di Kedah dan kawasan pantai timur Semenanjung Malaya. Pada tahun 1761, Sultan Siak membuat perjanjian dengan pihak Belanda, dalam urusan dagang dan hak atas kedaulatan wilayahnya serta bantuan dalam bidang persenjataan.
Walau kemudian muncul dualisme kepemimpinan di kerajaan ini yg awalnya tanpa ada pertentangan di antara mereka, Raja Muhammad Ali, yg lebih disukai Belanda, kemudian menjadi Sultan Siak, sementara sepupunya Raja Ismail, tak disukai oleh Belanda, muncul sebagai Raja Laut, menguasai perairan timur Sumatera sampai ke Lautan Cina Selatan, membangun kekuatan di gugusan Pulau Tujuh. Sekitar tahun 1767, Raja Ismail, telah menjadi duplikasi dari Raja Kecil, didukung oleh Orang Laut, terus menunjukan dominasinya di kawasan perairan timur Sumatera, dengan mulai mengontrol perdagangan timah di Pulau Bangka, kemudian menaklukan Mempawah di Kalimantan Barat. Sebelumnya Raja Ismail juga turut membantu Terengganu menaklukan Kelantan, hubungan ini kemudian diperkuat oleh adanya ikatan perkawinan antara Raja Ismail dengan saudara perempuan Sultan Terengganu.
Pengaruh Raja Ismail di kawasan Melayu sangat signifikan mulai dari Terengganu, Jambi & Palembang. Laporan Belanda menyebutkan Palembang telah membayar 3000 ringgit kepada Raja Ismail agar jalur pelayarannya aman dari gangguan, sementara Hikayat Siak menceritakan tentang kemeriahan sambutan yg diterima oleh Raja Ismail sewaktu kedatangannya ke Palembang. Pada abad ke-18 Kesultanan Siak telah menjadi kekuatan yg dominan di pesisir timur Sumatera. Tahun 1780 Kesultanan Siak menaklukkan daerah Langkat, dan menjadikan wilayah tersebut dlm pengawasannya, termasuk wilayah Deli dan Serdang. Di bawah ikatan perjanjian kerjasama dengan VOC, pada tahun 1784 Kesultanan Siak membantu VOC menyerang & menundukkan Selangor, sebelumnya mereka telah bekerjasama memadamkan pemberontakan Raja Haji Fisabilillah di Pulau Penyengat.[3]
Penurunan Kesultanan Siak dan Ekspansi kolonialisasi Belanda
Ekspansi kolonialisasi Belanda ke kawasan timur Pulau Sumatera tak mampu dihadang oleh Kesultanan Siak, dimulai dengan lepasnya Kesultanan Deli, Kesultanan Asahan & Kesultanan Langkat, kemudian muncul Inderagiri sebagai kawasan mandiri. Begitu juga di Johor kembali didudukan seorang sultan dari keturunan Tumenggung Johor, yang berada dlm perlindungan Inggris di Singapura. Sementara Belanda memulihkan kedudukan yang Dipertuan Muda di Pulau Penyengat & kemudian mendirikan Kesultanan Lingga di Pulau Lingga. Selain itu Belanda juga mempersempit wilayah kedaulatan Siak, dengan mendirikan Residentie Riouw pemerintahan Hindia-Belanda yg berkedudukan di Tanjung Pinang. Penguasaan Inggris atas Selat Melaka, mendorong Sultan Siak pada tahun 1840 untuk menerima tawaran perjanjian baru mengganti perjanjian yg telah mereka buat sebelumnya pada tahun 1819. Perjanjian ini menjadikan wilayah Kesultanan Siak semakin kecil dan terjepit antara wilayah kerajaan kecil lainnya yg mendapat perlindungan dari Inggris.
Demikian juga pihak Belanda menjadikan kawasan Siak sebagai salah satu bagian dari pemerintahan Hindia-Belanda, sesudah memaksa Sultan Siak menandatangani perjanjian pada 1 Februari 1858. Dari perjanjian tersebut Siak Sri Inderapura kehilangan kedaulatannya, kemudian dalam setiap pengangkatan raja Siak mesti mendapat persetujuan dari Belanda. Selanjutnya dalam pengawasan wilayah, Belanda mendirikan pos militer di Bengkalis serta melarang Sultan Siak membuat perjanjian dengan pihak asing tanpa persetujuan Residen Riau pemerintahan Hindia-Belanda. Perubahan peta politik atas penguasaan jalur Selat Malaka, kemudian adanya pertikaian internal Siak & persaingan dengan Inggris & Belanda melemahkan pengaruh hegemoni Kesultanan Siak atas wilayah-wilayah yg pernah dikuasainya.
Tarik ulur kepentingan kekuatan asing terlihat pada Perjanjian Sumatera antara pihak Inggris & Belanda, menjadikan Siak berada pada posisi yg dilematis, berada dalam posisi tawar yang lemah. Kemudian berdasarkan perjanjian pada 26 Juli 1873, pemerintah Hindia-Belanda memaksa Sultan Siak, untuk menyerahkan wilayah Bengkalis kepada Residen Riau. Namun di tengah tekanan tersebut Kesultanan Siak masih mampu tetap bertahan sampai kemerdekaan Indonesia, walau pada masa pendudukan tentara Jepang sebagian besar kekuatan militer Kesultanan Siak sudah tak berarti lagi.[4]
Struktur Pemerintahan
Pengaruh Kerajaan Pagaruyung, juga mewarnai sistem pemerintahan pada Kesultanan Siak, sesudah Sultan Siak, terdapat Dewan Menteri yg mirip dengan kedudukan Basa Ampek Balai di Minangkabau. Dewan Menteri ini memiliki kekuasaan untuk memilih & mengangkat Sultan Siak, sama dengan Undang Yang Ampat di Negeri Sembilan. Dewan Menteri bersama dengan Sultan menetapkan undang-undang serta peraturan bagi masyarakatnya.
Dewan menteri ini terdiri dari:
1. Datuk Tanah Datar
2. Datuk Limapuluh
3. Datuk Pesisir
4. Datuk Kampar
Seiring dengan perkembangan zaman, Siak Sri Inderapura juga melakukan pembenahan sistem birokrasi pemerintahannya. Hal ini tak lepas dari pengaruh model birokrasi pemerintahan yg berlaku di Eropa maupun yg diterapkan pada kawasan kolonial Belanda atau Inggris. Modernisasi sistem penyelenggaraan pemerintahan Siak terlihat pada naskah Ingat Jabatan yang diterbitkan tahun 1897. Naskah ini terdiri dari 33 halaman yang panjang serta ditulis dengan Abjad Jawi. Ingat Jabatan merupaken dokumen resmi Siak Sri Inderapura yg dicetak di Singapura, berisi rincian tanggung jawab dari berbagai posisi atau jabatan di pemerintahan mulai dari pejabat istana, wakil kerajaan di daerah jajahan, pengadilan maupun polisi. Pada bagian akhir dari setiap uraian tugas para birokrat tersebut ditutup dengan peringatan serta perintah untuk tak khianat kepada sultan dan nagari. Perkembangan selanjutnya, Siak Sri Inderapura juga menerbitkan salah satu kitab hukum atau undang-undang, dikenal dengan nama Bab al-Qawa'id. Kitab ini dicetak di Siak tahun 1901, menguraikan hukum yg dikenakan kepada masyarakat Melayu dan masyarakat lain yg terlibat perkara dengan masyarakat Melayu.
Namun tak mengikat orang Melayu yg bekerja dengan pihak pemerintah Hindia-Belanda, di mana jika terjadi permasalahan akan diselesaikan secara bilateral antara Sultan Siak dengan pemerintah Hindia-Belanda. Dalam pelaksanaan masalah pengadilan umum di Kesultanan Siak diselesaikan melalui Balai Kerapatan Tinggi yang dipimpin oleh Sultan Siak, Dewan Menteri & dibantu oleh Kadi Siak serta Controleur Siak sebagai anggota.
Selanjutnya beberapa nama jabatan lainnya dlm pemerintahan Siak antara lain Pangiran Wira Negara, Biduanda Pahlawan, Biduanda Perkasa, Opas Polisi. Kemudian terdapat juga warga dalam yg bertanggung jawab terhadap harta-harta disebut dengan Kerukuan Setia Raja, serta Bendarhari Sriwa Raja yg bertanggung jawab terhadap pusaka kerajaan. Dalam administrasi pemerintahannya Kesultanan Siak membagi kawasannya atas hulu dan hilir, masing-masing terdiri dari beberapa kawasan dlm bentuk distrik yagm dipimpin oleh seseorang yg bergelar Datuk atau Tuanku atau Yang Dipertuan & bertanggungjawab kepada Sultan Siak yg juga bergelar Yang Dipertuan Besar. Pengaruh Islam dan keturunan Arab mewarnai Kesultanan Siak, salah satunya keturunan Al-Jufri yg bergelar Bendahara Patapahan. Pada kawasan tertentu di Siak Sri Inderapura, ditunjuk Kepala Suku yg bergelar Penghulu, dibantu oleh Sangko Penghulu, Malim Penghulu serta Lelo Penghulu. Sementara terdapat juga istilah Batin, dengan kedudukan yang sama dengan Penghulu, namun memiliki kelebihan hak atas hasil hutan yang tak dimiliki oleh Penghulu. Batin ini juga dibantu oleh Tongkat, Monti dan Antan-antan.
Istilah Orang Kaya juga digunakan untuk jabatan tertentu dalam Kesultanan Siak, sama halnya dengan pengertian Rangkayo atau Urang Kayo di Minangkabau terutama pada kawasan pesisir. Siak Sri Inderapura sampai sekarang tetap diabadikan sebagai nama ibu kota dari Kabupaten Siak, dan Balai Kerapatan Tinggi yg dibangun tahun 1886 serta Istana Siak Sri Inderapura yang dibangun pada tahun 1889, masih tegak berdiri sebagai simbol kejayaan masa silam, termasuk Tari Zapin dan Tari Olang-olang yg pernah mendapat kehormatan menjadi pertunjukan utama untuk ditampilkan pada setiap perayaan di Kesultanan Siak Sri Inderapura. [5]
DAFTAR PUSTAKA
[2] yuli S.setyowati ed.2004.sejarah riau.yogyakarta.penerbit adicita karya nusa.
[3]adila suwarno et.al.2005.siak sri indrapura.jakarta.penerbit amanah lontar
No comments:
Post a Comment