Fahmi Amri Toedien
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) merupakan sebuah bagian dari sejarah bangsa Indonesia. Sebuah sejarah yang dapat ditulis dengan tinta darah, karena telah banyak menumbalkan sesama anak bangsa. Sebuah konflik yang ironisnya untuk memperjuangkan hal yang sama, namun dipersepsi dan diinterpretasikan secara berbeda oleh kedua belah pihak yang bertikai. Sebuah perbedaan dalam memaknai nasionalisme. Sebuah perjuangan untuk mempertahankan nasionalisme. Sebuah pertikaian yang memang harus dipetik dari buah simalakama yang bernama, nasionalisme GAM lahir karena kegagalan gerakan Darul Islam pada masa sebelumnya. Darul Islam muncul sebagai reaksi atas ketidak berpihakan Jakarta terhadap gagasan formalisasi Islam di Indonesia. Darul Islam adalah sebuah gerakan perlawanan dengan ideologi Islam yang terbuka. Bagi Darul Islam, dasar dari perlawanan adalah Islam, sehingga tidak ada sentimen terhadap bangsa-bangsa lain, bahkan ideologi Islam adalah sebagai perekat dari perbedaan yang ada. Gagasan ini juga berkembang dalam gerakan Darul Islam di Aceh
Gerakan Aceh Merdeka atau GAM adalah sebuah organisasi separatis yang memiliki tujuan supaya Aceh lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. GAM dipimpin oleh Hasan di Tiro selama hampir tiga decade, Hasan Tiro membangun markas GAM pertama kali di hutan Panton Weng di Pidie, yang kemudian dipindahkan ke Bukit Cokan, masih dalam kawsan Kabupaten Pidie.
Panggung Sejarah: Negeri Seribu Ambivalensi
Peristiwa sejarah tidak akan lepas dari tiga unsur utama yakni manusia, tempat dan waktu. Bagian ini akan mendeskripsikan unsur yang disebut kedua. Meski demikian penulis tidak bermaksud untuk terjerumus ke dalam kubang determinisme geografis. ketika menyatakan bahwa banyak peristiwa sejarah di Aceh dipengaruhi oleh unsur alam. Diakui atau tidak, alam Aceh memang banyak mempengaruhi wajah sejarahnya, sehingga konsep posibilisme geografis dianut dalam tulisan ini. Ambillah bukti sederhana, peristiwa tsunami 26 Desember 2004 berpengaruh besar terhadap proses perdamaian GAM-RI. Besar kemungkinan—meski sejarah tidak mengenal kata mungkin—tanpa terjadinya tsunami, perdamaian tidak akan pernah terjadi.
Awal dari Sebuah Awal: Kelahiran GAM
Umum menganggap bahwa GAM dilahirkan pada 4 Desember 1976. Sebenarnya GAM sendiri sebagai wahana pergerakan baru didirikan pada 20 Mei 1977. Namun Hasan Tiro sendiri memilih hari lahir GAM adalah pada tanggal yang disebut paling awal, disesuaikan dengan proklamasi kemerdekaan Aceh Sumatera. Proklamasi ini dilangsungkan di Bukit Cokan, pedalaman Kecamatan Tiro, Pidie. Prosesi ini dilakukan secara sederhana, dilakukan di suatu tempat yang tersembunyi, menandakan bahwa awal-awalnya, gerakan ini adalah gerakan bawah tanah yang dilakukan secara diam-diam.
Bersamaan dengan proklamasi kemerdekaan, Hasan Tiro juga mengumumkan struktur pemerintahan Negara Aceh Sumatera. Akan tetapi, kabinet tersebut belum berfungsi hingga pertengahan 1977, persoalannya adalah karena para anggota kabinet pada umumnya masih berbaur dengan masyarakat luas untuk kampanye dan persiapan perang gerilya. Kabinet Negara Aceh Sumatera baru dapat melaksanakan sidang pertamanya pada 15 Agustus 1977. Sedangkan upacara pelantikan dan pengumpulan anggota kabinet dilaksanakan pada 30 Oktober 1977 di camp Lhok Nilam pedalaman Tiro, Pidie. Kabinetnya sendiri pada waktu itu, hanyalah terdiri dari beberapa orang saja, yaitu: Presiden (Hasan Muhammad Tiro), Perdana Menteri (Dr.Muchtar Hasbi), Wakil Perdana Menteri (Teungku Ilyas Leube), Menteri Keuangan (Muhammad Usman), Menteri Pekerjaan Umum (Ir.Asnawi Ali), Menteri Perhubungan (Amir Ishak BA), Menteri Sosial (Dr.Zubir Mahmud) dan Menteri Penerangan (M. Tahir Husin).
Pertama, bahwa GAM merupakan lanjutan perjuangan—atau setidaknya terkait—Darul Islam (DI) Aceh yang sebelumnya pernah meletus pada 1950-an. Tesis ini, didukung oleh Isa Sulaiman yang menilai keterkaitan GAM dangan DI, karena persoalan DI tidak diselesaikan secara tuntas. Dukungan para tokoh DI pada awal lahirnya GAM memperkuat tesis bahwa ada yang belum selesai pada upaya integrasi yang dibangun oleh Sukarno untuk menyelesaikan pemberontakan DI/TII Daud Beureueh.Namun, penulis menilai tesis ini lemah karena meski memiliki beberapa keterkaitan, tapi bukti bahwa GAM ternyata tidak melanjutkan ideologi Islam sebagai dasar perjuangan dan lebih memilih nasionalisme Aceh sebagai isu polpulisnya.merupakan antitesis yang jelas menggugurkan pendapat ini.
Kedua, faktor ekonomi, yang berwujud ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi antara pusat dengan daerah. Pemerintahan sentralistik Orde Baru menimbulkan kekecewaan berat terutama di kalangan elite Aceh. Pada era Soeharto, Aceh menerima 1% dari anggaran pendapatan nasional, padahal Aceh memiliki kontribusi 14% dari GDP Nasional. Terlalu banyak pemotongan yang dilakukan pusat yang menggarap hasil produksi dari Aceh. Sebagian besar hasil kekayaan Aceh dilahap oleh penentu kebijakan di Jakarta. Meningkatnya tingkat produksi minyak bumi yang dihasilkan Aceh pada 1970-an dan 1980-an dengan nilai 1,3 miliar US Dolar tidak memperbaiki kehidupan sosial ekonomi masyarakat Aceh.
Perjuangan: Nasionalisme
Nasionalisme akhirnya bermuka dua, satu membebaskan dan satu lagi menindas. Nasionalisme bangsa Aceh yang diwujudkan dalam bentuk kemerdekaan sendiri ternyata harus berhadapan dengan nasionalisme Indonesia—khususnya nasionalisme yang diresapi oleh personil militer yang menganggap NKRI harga mati—yang diwujudkan dalam bentuk perjuangan mempertahankan keutuhan negara.
Sejak era Orde Baru hingga masa reformasi, berbagai cara dilakukan untuk menghentikan pertikaian di Bumi Serambi Kekerasan ini. Pada masa Orde Baru, penyelesaian konflik Aceh rupanya lebih mengedepankan penggunaan pendekatan keamanan (security approach) ketimbang pendekatan dialog. Tercatat tidak kurang dari tiga jenis operasi militer yang digunakan oleh pemerintahan Soeharto untuk melakukan penghentian kekerasan di Aceh. Diawali dengan Operasi Sadar dan Siwah (1977-1982), Operasi Jaring Merah (Mei 1989-Agustus 1998), dan Operasi Wibawa (Januari-April 1999). Oleh media massa, ketiga operasi militer tersebut—meski yang ketiga secara periodisasi masuk era reformasi, tapi penulis menganggap masih dalam periode transisi yang lebih memiliki wajah Orde Baru—lebih dikenal dengan sebutan "masa DOM (Daerah Operasi Militer).
Sementara pada era reformasi, ada upaya dari pemerintah RI untuk mengkombinasikan penggunaan operasi militer dengan pendekatan hukum dan sosial. Pada masa ini muncullah apa yang disebut sebagai Operasi Sadar Rencong I (Mei 1999-Januari 2000), Operasi Sadar Rencong II (Februari-Mei 2000), Operasi Cinta Meunasah I (Juni-September 2000), Operasi Cinta Meunasah II (September 2000-Februari 2001), Operasi Pemulihan Ketertiban dan Hukum I (Februari-Agustus 2001), Operasi Pemulihan Ketertiban dan Hukum II (September 2001-Februari 2002), Operasi Pemulihan Ketertiban dan Hukum III (Februari-November 2002). Namun berbagai operasi itu dianggap tidak efektif karena ekskalasi kekerasan yang tidak juga mereda hingga diputuskan Operasi Darurat Militer (19 Mei - 19 November 2003)
Awal dari Sebuah Akhir: Angin Damai dari Helsinki
Terdapat ungkapan umum bahwa untuk menyelesaikan konflik, jalur diplomasi dan militer harus ditempuh sekaligus. Militer diibaratkan sebagai instrumen, sedang diplomasi adalah musik yang dihasilkan oleh instrumen, sehingga dikatakan tidak akan ada musik tanpa instrumen. Dalam tulisan ini, penulis mempunyai pendapat yang berseberangan, dengan keyakinan bahwa musik juga bisa dihasilkan tanpa instrumen atau alat musik apapun, simaklah musik acapela. Keyakinan penulis ini disertai harapan agar setiap konflik bisa diselesaikan secara damai atas nama kemanusiaan, tanpa menumpahkan setetes darah pun dari masing-masing pihak yang bertikai.
Penyelesaian konflik Aceh oleh pemerintah RI pada masa Orde Baru cenderung menggunakan cara militer saja tanpa disertai diplomasi. Memasuki era Reformasi, kedua pendekatan itu sama-sama digunakan, meski masih menekankan pada cara-cara pertama. Pada masa Presiden B.J.Habibie, pemerintah tetap mengedepankan pendekatan keamanan dengan menggunakan militer dan polisi dalam menjaga keamanan di Aceh. Kemungkinan besar karena meski secara formal Habibie ditunjuk sebagai presiden baru, namun ia tidak memiliki kontrol penuh atas polisi dan militer, yang kala itu—secara personal—berada di tangan Jenderal Wiranto. Kondisi Timor Timur pasca referendum juga meningkatkan gejolak di Aceh, yang menuntut referendum pula sekaligus menciptakan sikap militer yang semakin keras karena tidak mau "kecolongan" lagi.
Susilo Bambang Yudhoyono (Menkopolsoskam) dan Jusuf Kalla (Menko Kesra) pada Kabinet Gotong Royong Megawati, tampak keduanya memilih cara non-militer untuk menyelesaikan persoalan. Terlebih inisiatif, Jusuf Kalla dengan cara bekerja di balik layar (second track diplomacy) agar dapat masuk ke pusat pimpinan GAM, dalam rangka melakukan komunikasi politik di satu sisi dan sekaligus membangun kepercayaan. Peran yang menentukan ini dijalankan oleh orang-orang kepercayaan Jusuf Kalla, terutama Farid Husein yang mampu membangun trust building dengan keseluruhan lini GAM sampai ke pucuk pimpinannya. Duet SBY-JK yang memenangi pemilu 2004, menyebabkan second track diplomasi yang telah dijalani bisa dilanjutkan pada masa pemerintahan mereka.
Daftar Pustaka
Adam, Asvi Warman. "Konflik dan Penyelesaian Aceh: Dari Masa ke Masa," Aceh Baru: Tantangan Perdamaian dan Reintegrasi. ed.M. Hamdan Basyar. Jakarta: P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar, 2008
Alfian, Ibrahim. Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987
ASNLF. Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, 2008
Bhakti, Ikrar Nusa. Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki. Jakarta: P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar, 2008
Edward Aspinal, Sejarah Konflik Aceh, 2008
Gayatri, Irine Hiraswari. "Rekonstruksi Aceh Baru," Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki. ed.Ikrar Nusa Bhakti. Jakarta: P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar, 2008
Hasan, Husaini. "Sejarah GAM (bagian ke-II)" Sejarah yang dibuat Dr.Husaini Hasan, 2008
Kawilarang, Harry. Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki. Banda Aceh: Bandar Publishing, 2008
Lombard, Denys. Kerajaan Aceh Zaman Sultas Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: KPG, Forum Jakarta-Paris, dan Ecole Francaise d'Extreme-Orient, 2006
Lulofs, M.H.Skelely. Cut Nyak Din Kisah Ratu Perang Aceh. Depok: Komunitas Bambu, 2007.
No comments:
Post a Comment