Helma Wati / S / A
Datangnya orang Eropa melalui jalur laut diawali oleh Vasco da Gama, yang pada tahun 1497-1498 berhasil berlayar dari Eropa ke India melalui Tanjung Pengharapan (Cape of Good Hope) di ujung selatan Afrika, sehingga mereka tidak perlu lagi bersaing dengan pedagang-pedagang Timur Tengah untuk memperoleh akses ke Asia Timur, yang selama ini ditempuh melalui jalur darat yang sangat berbahaya. Pada awalnya, tujuan utama bangsa-bangsa Eropa ke Asia Timur dan Tenggara termasuk ke Nusantara adalah untuk perdagangan, demikian juga dengan bangsa Belanda. Misi dagang yang kemudian dilanjutkan dengan politik pemukiman -kolonisasi- dilakukan oleh Belanda dengan kerajaan-kerajaan di Jawa, Sumatera dan Maluku, sedangkan di Suriname dan Curaçao, tujuan Belanda sejak awal adalah murni kolonisasi (pemukiman). Dengan latar belakang perdagangan inilah awal kolonialisasi bangsa Indonesia (Hindia Belanda) berawal.
Selama abad ke 16 perdagangan rempah-rempah didominasi oleh Portugis dengan menggunakan Lisbon sebagai pelabuhan utama. Sebelum revolusi di negeri Belanda kota Antwerp memegang peranan penting sebagai distributor di Eropa Utara, akan tetapi setelah tahun 1591 Portugis melakukan kerjasama dengan firma-firma dari Jerman, Spanyol dan Italia menggunakan Hamburg sebagai pelabuhan utama sebagai tempat untuk mendistribusikan barang-barang dari Asia, memindah jalur perdagangan tidak melewati Belanda. Namun ternyata perdagangan yang dilakukan Portugis tidak efisien dan tidak mampu menyuplai permintaan yang terus meninggi, terutama lada. Suplai yang tidak lancar menyebabkan harga lada meroket pada saat itu. Selain itu Unifikasi Portugal dan Kerajaan Spanyol (yang sedang dalam keadaan perang dengan Belanda pada saat itu) pada tahun 1580, menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi Belanda. ketiga faktor tersebutlah yang mendorong Belanda memasuki perdagangan rempah-rempah Interkontinental. Akhirnya Jan Huyghen van Linschoten dan Cornelis de Houtman menemukan "jalur rahasia" pelayaran Portugis, yang membawa pelayaran pertama Cornelis de Houtman ke Banten, pelabuhan utama di Jawa pada tahun 1595-1597.
Pada tahun 1596 empat kapal ekspedisi dipimpin oleh Cornelis de Houtman berlayar menuju Indonesia, dan merupakan kontak pertama Indonesia dengan Belanda. Ekspedisi ini mencapai Banten, pelabuhan lada utama di Jawa Barat, disini mereka terlibat dalam perseteruan dengan orang Portugis dan penduduk lokal. Houtman berlayar lagi ke arah timur melalui pantai utara Jawa, sempat diserang oleh penduduk lokal di Sedayu berakibat pada kehilangan 12 orang awak, dan terlibat perseteruan dengan penduduk lokal di Madura menyebabkan terbunuhnya seorang pimpinan lokal. Setelah kehilangan separuh awak maka pada tahun berikutnya mereka memutuskan untuk kembali ke Belanda namun rempah-rempah yang dibawa cukup untuk menghasilkan keuntungan.
Adalah para pedagang Inggris yang memulai mendirikan perusahaan dagang di Asia pada 31 Desember 1600 yang dinamakan The British East India Company dan berpusat di Kalkuta. Kemudian Belanda menyusul tahun 1602 dan Perancis pun tak mau ketinggalan dan mendirikan French East India Company tahun 1604.
Pada 20 Maret 1602, para pedagang Belanda mendirikan Verenigde Oost-Indische Compagnie – VOC (Perkumpulan Dagang India Timur). Di masa itu, terjadi persaingan sengit di antara negara-negara Eropa, yaitu Portugis, Spanyol kemudian juga Inggris, Perancis dan Belanda, untuk memperebutkan hegemoni perdagangan di Asia Timur. Untuk menghadapai masalah ini, oleh Staaten Generaal di Belanda, VOC diberi wewenang memiliki tentara yang harus mereka biayai sendiri. Selain itu, VOC juga mempunyai hak, atas nama Pemerintah Belanda -yang waktu itu masih berbentuk Republik- untuk membuat perjanjian kenegaraan dan menyatakan perang terhadap suatu negara. Wewenang ini yang mengakibatkan, bahwa suatu perkumpulan dagang seperti VOC, dapat bertindak seperti layaknya satu negara.
Perusahaan ini mendirikan markasnya di Batavia (sekarang Jakarta) di pulau Jawa. Pos kolonial lainnya juga didirikan di tempat lainnya di Hindia Timur yang kemudian menjadi Indonesia, seperti di kepulauan rempah-rempah (Maluku), yang termasuk Kepulauan Banda di mana VOC manjalankan monopoli atas pala dan fuli. Metode yang digunakan untuk mempertahankan monompoli termasuk kekerasan terhadap populasi lokal, dan juga pemerasan dan pembunuhan massal.
Pos perdagangan yang lebih tentram di Deshima, pulau buatan di lepas pantai Nagasaki, adalah tempat satu-satunya di mana orang Eropa dapat berdagang dengan Jepang.
Tahun 1603 VOC memperoleh izin di Banten untuk mendirikan kantor perwakilan, dan pada 1610 Pieter Both diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama (1610-1614), namun ia memilih Jayakarta sebagai basis administrasi VOC. Sementara itu, Frederik de Houtman menjadi Gubernur VOC di Ambon (1605 – 1611) dan setelah itu menjadi Gubernur untuk Maluku (1621 – 1623).
Tujuan VOC
Tujuan utama dibentuknya VOC seperti tercermin dalam perundingan 15 Januari 1602 adalah untuk "menimbulkan bencana pada musuh dan guna keamanan tanah air". Yang dimaksud musuh saat itu adalah Portugis dan Spanyol yang pada kurun Juni 1580 – Desember 1640 bergabung menjadi satu kekuasaan yang hendak merebut dominasi perdagangan di Asia. Untuk sementara waktu, melalui VOC bangsa Belanda masih menjalin hubungan baik bersama masyarakat Nusantara.
Hak istimewa
Hak-hak istimewa yang tercantum dalam Oktrooi (Piagam/Charta) tanggal 20 Maret 1602 meliputi:
1. Hak monopoli untuk berdagang dan berlayar di wilayah sebelah timur Tanjung Harapan dan sebelah barat Selat Magelhaens serta menguasai perdagangan untuk kepentingan sendiri;
2. Hak kedaulatan (soevereiniteit) sehingga dapat bertindak layaknya suatu negara untuk:
2.1 memelihara angkatan perang,
2.2 memaklumkan perang dan mengadakan perdamaian,
2.3 merebut dan menduduki daerah-daerah asing di luar Negeri Belanda,
2.4 memerintah daerah-daerah tersebut,
2.5 menetapkan/mengeluarkan mata-uang sendiri, dan
2.6 memungut pajak.
Garis waktu:
Pada 1652, Jan van Riebeeck mendirikan pos di Tanjung Harapan (ujung selatan Afrika, sekarang ini Afrika Selatan) untuk menyediakan kapal VOC untuk perjalanan mereka ke Asia Timur. Pos ini kemudian menjadi koloni sungguhan ketika lebih banyak lagi orang Belanda dan Eropa lainnya mulai tinggal di sini. Pos VOC juga didirikan di Persia (sekarang Iran), Benggala (sekarang Bangladesh) dan sebagian India), Ceylon (sekarang Sri Lanka), Malaka (sekarang Malaysia), Siam (sekarang Thailand), Cina daratan (Kanton), Formosa (sekarang Taiwan) dan selatan India. Pada 1662, Koxinga mengusir Belanda dari Taiwan.
Pada 1669, VOC merupakan perusahaan pribadi terkaya dalam sepanjang sejarah, dengan lebih dari 150 perahu dagang, 40 kapal perang, 50.000 pekerja, angkatan bersenjata pribadi dengan 10.000 tentara, dan pembayaran dividen 40%.
Perusahaan ini hampir selalu terjadi konflik dengan Inggris; hubungan keduanya memburuk ketika terjadi Pembantaian Ambon pada tahun 1623. Pada abad ke-18, kepemilikannya memusatkan di Hindia Timur. Setelah peperangan keempat antara Provinsi Bersatu dan Inggris (1780-1784), VOC mendapatkan kesulitan finansial, dan pada 17 Maret 1798, perusahaan ini dibubarkan, setelah Belanda diinvasi oleh tentara Napoleon Bonaparte dari Perancis. Hindia Timur diserahkan kepada Kerajaan Belanda oleh Kongres Wina di 1815.
Maret 1602 – Belanda berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah dengan membentuk suatu kongsi dagang bernama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie).
1603 – VOC telah membangun pusat perdagangan pertama yang tetap di Banten namun tidak menguntungkan kerena persaingan dengan para pedagang Tionghoa dan Inggris.
Februari 1605 – Armada VOC bersekutu dengan Hitu menyerang kubu pertahanan Portugis di Ambon dengan imbalan VOC berhak sebagai pembeli tunggal rempah-rempah di Hitu.
1602 – Sir James Lancaster kembali ditunjuk memimpin pelayaran yang armada berisi orang-orang The East India Company dan tiba di Aceh untuk selanjutnya menuju Banten.
1604 – Pelayaran yang ke-2 maskapai Inggris yang dipimpin oleh Sir Henry Middleton, maskapai ini berhasil mencapai Ternate, Tidore, Ambon dan Banda. Akan tetapi di wilayah yang mereka kunjungi ini mendapat perlawanan yang keras dari VOC.
1609 – VOC membuka kantor dagang di Sulawesi Selatan namun niat tersebut dihalangi oleh raja Gowa. Raja Gowa tersebut melakukan kerjasama dengan pedagang-pedagang Inggris, Prancis, Denmark, Spanyol dan Portugis.
1610 – Ambon dijadikan pusat VOC, dipimpin seorang-gubernur jendral. Tetapi selama 3 orang gubernur-jendral, Ambon tidak begitu memuaskan untuk dijadikan markas besar karena jauh dari jalur-jalur utama perdagangan Asia.
1611 – Inggris berhasil mendirikan kantor dagangnya di bagian Indonesia lainnya, di Sukadana (Kalimantan barat daya), Makassar, Jayakerta, Jepara, Aceh, Priaman, Jambi.
1618 – Des Banten mengambil keputusan untuk menghadapi Jayakarta dan VOC dengan memaksa Inggris untuk membantu, dipimpin laksamana Thomas Dale.
1619 – Ketika VOC akan menyerah pada Inggris, secara tiba-tiba muncul tentara Banten menghalangi maksud Inggris. Karena Banten tidak mau pos VOC di Batavia diisi oleh Inggris. Akibatnya Thomas Dale melarikan diri dengan kapalnya; Banten menduduki kota Batavia.
12 Mei 1619 – Pihak Belanda mengambil keputusan untuk memberi nama baru Jayakarta sebagai Batavia.
Mei 1619 – Jan Pieterszoon Coen, seorang Belanda, melakukan pelayaran ke Banten dengan 17 kapal.
30 Mei 1619 – Jan Pieterszoon Coen melakukan penyerangan terhadap Banten, memukul mundur tentara Banten. Membangun Batavia sebagai pusat militer dan administrasi yang relatif aman bagi pergudangan dan pertukaran barang-barang, karena dari Batavia mudah mencapai jalur-jalur perdagangan ke Indonesia bagian timur, timur jauh, dari Eropa.
1619 – Jan Pieterszoon Coen ditunjuk menjadi gubernur-jendral VOC. Dia menggunakan kekerasan, untuk memperkokoh kekuasaannya dia menghancurkan semua yang merintangi. Dan menjadikan Batavia sebagai tempat bertemunya kapal-kapal dagang VOC.
1619 – Terjadi migrasi orang Tionghoa ke Batavia. VOC menarik sebanyak mungkin pedagang Tionghoa yang ada di berbagai pelabuhan seperti Banten, Jambi, Palembang dan Malaka ke Batavia. Bahkan ada juga yang langsung datang dari Tiongkok. Di sini orang-orang Tionghoa sudah menjadi suatu bagian penting dari perekonomian di Batavia. Mereka aktif sebagai pedagang, penggiling tebu, pengusaha toko, dan tukang yang terampil.
1620 – Atas dasar pertimbangan diplomatik di Eropa VOC terpaksa bekerjasama dengan pihak Inggris dengan memperbolehkan Inggris mendirikan kantor dagang di Ambon.
1620 – Dalam rangka mengatasi masalah penyeludupan di Maluku, VOC melakukan pembuangan, pengusiran bahkan pembantaian seluruh penduduk Pulau Banda dan berusaha menggantikannya dengan orang-orang Belanda pendatang dan mempekerjakan tenaga kerja kaum budak.
1623 – VOC melanggar kerjasama dengan Inggris, Belanda membunuh 12 agen perdagangan Inggris, 10 orang Inggris, 10 orang Jepang; 1 orang Portugis dipotong kepalanya.
1630 – Belanda telah mencapai banyak kemajuan dalam meletakkan dasar-dasar militer untuk mendapatkan hegemoni perniagaan laut di Indonesia.
1637 – VOC yang telah beberapa lama di Maluku tidak mampu memaksakan monopoli atas produksi pala, bunga pala, dan yang terpenting, cengkeh. Penyeludupan cengkeh semakin berkembang, muncul banyak komplotan-komplotan yang anti dengan VOC. Gubernur-Jendral Antonio van Diemen melancarkan serangan terhadap para penyeludup dan pasukan-pasukan Ternate di Hoamoal.
1638 – Van Diemen kembali ke Maluku dan berusaha membuat persetujuan dengan raja Ternate dimana VOC bersedia mengakui kedaulatan raja Ternate atas Seram, Hitu serta menggaji raja sebesar 4.000 real/tahun dengan imbalan bahwa penyeludupan cengkeh akan dihentikan dan VOC diberi kekuasaan de facto atas Maluku. Akan tetapi persetujuan ini gagal.
1643 – Arnold de Vlaming mengambil kesempatan kekalahan Ternate dengan memaksa raja Ternate Mandarsyah ke Batavia dan menandatangani perjanjian yang melarang penanaman pohon cengkeh di semua wilayah kecuali Ambon atau daerah lain yang dikuasai VOC. Hal ini disebabkan pada masa itu Ambon mampu menghasilkan cengkeh melebihi kebutuhan untuk konsumsi dunia.
1656 – Seluruh penduduk Ambon yang tersisa dibuang. Semua tanaman rempah-rempah di Hoamoal dimusnahkan dan akibatnya daerah tersebut tidak didiami manusia kecuali jika ekspedisi Hongi (armada tempur) melintasi wilayah itu untuk mencari pohon-pohon cengkeh liar yang harus dimusnahkan.
1660 – Armada VOC yang terdiri dari 30 kapal menyerang Gowa, menghancurkan kapal-kapal Portugis.
Agustus-Desember 1660 – Sultan Hasanuddin, raja Gowa dipaksa menerima persetujuan perdamaian dengan VOC, namun persetujuan ini tidak berhasil mengakhiri permusuhan.
18 November 1667 – Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani perjanjian Bongaya, akan tetapi Hasanuddin kembali mengobarkan pertempuran.
April 1668 dan Juni 1669 – VOC melakukan serangan besar-besaran terhadap Goa dan setelah pertempuran ini perjanjian Bongaya benar-benar dilakukan.
1669 – Kondisi keadaan Nusantara bagian timur bertambah kacau, kehidupan ekonomi dan administrasi tidak terkendalikan lagi.
1670 – VOC telah berhasil melakukan konsolidasi kedudukannya di Indonesia Timur. Pihak Belanda masih tetap menghadapi pemberontakan-pemberontakan tetapi kekuatannya tidak begitu besar.
1670 – VOC menebangi tanaman rempah-rempah yang tidak dapat diawasi, Hoamoal tidak dihuni lagi, orang Bugis dan Makassar meninggalkan kampung halamannya. Banyak orang-orang Eropa dan sekutu-sekutu yang tewas, semata-mata guna mencapai tujuan VOC untuk memonopoli rempah-rempah.
1674 – Pulau Jawa dalam keadaan yang memprihatinkan, kelaparan merajalela, berjangkit wabah penyakit, gunung merapi meletus, gempa bumi, gerhana bulan, dan hujan yang tidak turun pada musimnya.
1680 – Di Jawa Barat, kerajaan Banten pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa mengalami masa kejayaannya, Banten memiliki suatu armada yang dibangun menurut model Eropa. Kapal-kapalnya berlayar memakai surat jalan menyelenggarakan perdagangan yang aktif di Nusantara. Atas bantuan pihak Inggris, Denmark, Tiongkok orang-orang Banten dapat berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Tiongkok, Filipina dan Jepang. Banten merupakan penghasil lada yang sangat kaya.
1680 – VOC pada dasarnya hanya terbatas menguasai dataran-dataran rendah tertentu saja di Jawa. daerah pegunungan seringkali tidak berhasil dikuasai dan daerah ini dijadikan tempat persembunyian pemberontak. Tidak dapat dihindarkan lagi pemberontakan-pemberontakan mengakibatkan kesulitan dan menguras dana VOC.
1682 – Pasukan VOC dipimpin François Tack dan Isaac de Saint-Martin berlayar menuju Banten guna menguasai perdagangan di Banten. VOC merebut dan memonopoli perdagangan lada di Banten. Orang-orang Eropa yang merupakan saingan VOC diusir. Orang-orang Inggris mengundurkan diri ke Bengkulu dan Sumatera Selatan satu-satunya pos mereka yang masih ada di Indonesia.
1683-1710 – VOC mengalami masalah keuangan yang sangat berat di wilayah Asia selama kurun waktu tersebut. Di antara 23 kantornya hanya tiga (Jepang, Surat dan Persia) yang mampu memberikan keuntungan; sembilan menunjukkan kerugian setiap tahun termasuk Ambon, Banda, Ternate, Makassar, Banten, Cirebon dan wilayah pesisir Jawa. VOC banyak mengeluarkan biaya-biaya yang sangat tinggi akibat pemberontakan di samping pengeluaran pribadi VOC yang tidak efesien, kebejatan moral, korupsi yang merajalela. VOC juga menuntut semakin banyak kepada rakyat Jawa, yang mengakibatkan pemberontakan yang terus berlanjut dan pengeluaran VOC bertambah tinggi.
1684 – Gubernur-Jendral Speelman meninggal. Terbongkarlah korupsi dan penyalah gunaan kekuasaan. Konon Speelman memerintah tanpa menghiraukan nasihat Dewan Hindia dan banyak melakukan pembayaran dengan uang VOC yang pada dasarnya tidak pernah ada untuk pekerjaan yang tidak pernah dilakukan. Selama masa kekuasaan Speelmen jumlah penjualan tekstil menurun 90%, monopoli candu tidak efektif. Speelman juga banyak melakukan penggelapan uang negara dan pada 1685 semua penunggalan Speelman disita negara.
8 Februari 1686 – Dengan tipu muslihat Surapati berhasil membunuh François Tack dalam suatu pertempuran. Tack tewas dengan dua puluh luka di tubuhnya.
1690 – Belanda berusaha membalas kekalahan yang dialami Tack tetapi gagal karena Surapati menguasai teknik-teknik militer Eropa dengan baik.
1702 – Jumlah kekuatan serdadu militer Belanda yang berkebangsaan Eropa hanya tinggal sedikit. Administrasi VOC kacau balau.
1706 – Surapati terbunuh di Bangil.
1721 – VOC mengumumkan apa yang dinamakan komplotan orang-orang Islam yang bermaksud melakukan pembunuhan terhadap orang-orang Eropa di Batavia dan juga orang-orang Tionghoa.
1722 – Perlakuan terhadap orang-orang Tionghoa bertambah kejam dan korup. Walaupun demikian jumlah orang Tionghoa bertambah dengan pesat. VOC melakukan sistem kuota untuk membatasi imigrasi, tetapi kapten-kapten kapal Tionghoa mampu menghindarinya dengan bantuan dari pejabat VOC yang korupsi. Kebanyakan orang-orang Tionghoa pendatang yang tidak memperoleh pekerjaan sebagian besar mereka bergabung menjadi gerombolan-gerombolan penjahat di sekitar Batavia.
1727 – Posisi ekonomi orang Tionghoa makin penting di satu pihak dan sering terjadinya kejahatan oleh orang Tionghoa, menimbulkan perasaan tidak senang terhadap orang Tionghoa. Rasa tidak senang menjadi semakin tebal di kalangan warga bebas, kolonis-kolonis Belanda yang tidak dapat menandingi orang Tionghoa. Timbullah kemudian rasa permusuhan dan sikap rasialis terhadap orang Tionghoa.
1727 – Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan peraturan bahwa semua orang Tionghoa yang telah tinggal 10 sampai 12 tahun di Batavia dan belum memiliki surat izin akan dikembalikan ke Tiongkok.
1729 – Pemerintah kolonial memberikan kesempatan selama 6 bulan kepada orang Tionghoa untuk mengajukan permohonan izin tinggal di Batavia dengan membayar 2 ringgit.
1730 – Dikeluarkan larangan bagi orang Tionghoa untuk membuka tempat penginapan, tempat pemadatan candu dan warung baik di dalam maupun di luar kota.
1736 – Pemerintah kolonial mengadakan pendaftaran bagi semua orang Tionghoa yang tidak memiliki surat izin tinggal.
1740 – Terdapat 2.500 rumah orang Tionghoa di dalam tembok Batavia sedangkan jumlah orang Tionghoa di kota dan daerah sekitarnya diperkirakan 15.000 jiwa. Jumlah ini setidak-tidaknya merupakan 17% dari keseluruhan penduduk di daerah terebut. Ada kemungkinan bahwa orang-orang Tionghoa sebenarnya merupakan unsur penduduk yang lebih besar jumlahnya. Ada pula orang-orang Tionghoa di kota-kota pelabuhan Jawa dan Kartasura walaupun jumlahnya hanya sedikit.
1740 – Terjadi penangkapan terhadap orang Tionghoa, tidak kurang 1.000 orang Tionghoa dipenjarakan. Orang Tionghoa menjadi gelisah lebih-lebih setelah sering terjadi penangkapan, penyiksaan, dan perampasan hak milik Tionghoa.
4 Februari 1740 – Segerombolan orang Tionghoa melakukan pemberontakan dan penyerbuan pos penjagaan untuk membebaskan bangsanya yang ditahan.
Juni 1740 – Kompeni Belanda mengeluarkan lagi peraturan bahwa semua orang Tionghoa yang tidak memiliki izin tinggal akan ditangkapdan diangkut ke Sailan. Peraturan ini dilaksanakan dengan sewenang-wenang.
September 1740 – Tersiar berita bahwa segerombolan orang Tionghoa di daerah pedesaan sekitar Batavia bergerak mendekati pintu gerbang Batavia. Mr. Cornelis di Tangerang dan de Qual di Bekasi, memerintahkan memperkuat pos-pos penjagaan.
7 Oktober 1740 – Pasukan bantuan yang dikirim ke Tangerang oleh pemerintah kolonial diserang oleh gerombolan Tionghoa, sebagian besar dari pasukan tersebut tewas.
Oktober 1740 – Berdasarkan bukti yang didapatkan VOC menarik kesimpulan bahwa orang-orang Tionghoa sedang merencanakan sebuah pemberontakan.
8 Oktober 1740 – Kompeni Belanda mengeluarkan maklumat, antara lain perintah menyerahkan senjata kepada kompeni. Jam malam diadakan.
9 Oktober 1740 – Dimulainya pembunuhan terhadap orang Tionghoa secara besar-besaran. Yang banyak melakukan pembunuhan ini adalah orang-orang Eropa dan para budak. Dan pada akhirnya ada sekitar 10.000 orang Tionghoa yang tewas. Perkampungan orang Tionghoa dibakar selama beberapa hari. Kekerasan ini berhenti setelah orang Tionghoa memberikan uang premi kepada serdadu-serdadu VOC guna melakukan tugasnya yang rutin.
10 Oktober 1740 – Pertahanan kompeni Belanda di Tangerang diserang oleh sekitar 3.000 orang pemberontak Tionghoa.
Mei 1741 – Orang-orang Tionghoa yang berhasil lolos dari pembantaian di Batavia melarikan diri ke arah timur menyusur sepanjang daerah pesisir. Mereka melakukan perebutan pos di Juwana. Markas besar VOC dikepung dan pos-pos lainnya terancam.
Juli 1741 – Pos VOC di Rembang dihancurkan oleh orang-orang Tionghoa yang membantai seluruh personel VOC.
Juli 1741 – Prajurit raja yang berada di Kartasura menyerang pos garnisun VOC. Komandan VOC Kapten Johannes van Velsen dan beberapa serdadu lainnya tewas. Serdadu yang selamat ditawari pilihan beralih ke agama Islam atau mati dan banyak yang memilih pindah agama.
November 1741 – Pakubuwana II mengirim pasukan artileri ke Semarang. Pasukan prajurit-prajurit tersebut bersatu dengan orang Tionghoa melakukan pengepungan terhadap pos VOC. Pos VOC di Semarang ini dikepung oleh kira-kira 20.000 orang Jawa dan 3.500 orang Tionghoa dengan 30 pucuk meriam. Orang Jawa dan Tionghoa bersatu melawan kompeni Belanda.
Desember 1741-awal 1742 – VOC merebut kembali daerah-daerah lain yang terancam serangan.
13 Februari 1755 – VOC menandatangani Perjanjian Giyanti. Isinya VOC mengakui Mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwana I, penguasa separuh wilayah Jawa Tengah.
September 1789 – Belanda mendengar desas-desus bahwa raja Jawa akan melakukan pembunuhan terhadap orang-orang Eropa, sehingga mengutus seorang residen yang bernama Andries Hartsick dengan memakai pakaian Jawa menghadiri pertemuan rahasia di Istana Jawa.
1 Januari 1800 – VOC secara resmi dibubarkan, didirikan Dewan untuk urusan jajahan Asia. Belanda kalah perang dan dikuasai Perancis. Wilayah-wilayah yang dimiliki Belanda menjadi milik Perancis.
PUSTAKA DAFTAR
1. Wignojosoebroto, Soetandyo. Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan kolonial Hindia-Belanda. Jakarta: Bayumedia, 2004
2.Onghokham. Runtuhnya Hindia Belanda.Jakarta: PT Gramedia, 1989
3.Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia IV kemunculan penjajahan di indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2008
4.Latif, Yudi. Negara Paripurna Historisitas, Rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2011
No comments:
Post a Comment