Thesy Mersury /S/B
Kutipan menurut Abdullah Azzam Al Afghani
Kondisi negara antara tahun 1950-1956 yang diharapkan sebagai awal pembangunan di segala bidang ternyata tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Kehidupan politik dan demokrasi tidak efektif, kabinet tidak bertahan lama karena sering jatuh sebelum menjalankan program-programnya. Selain itu orang-orang yang mendapat jabatan ternyata tidak sesuai dengan bidang keahliannya. Akhirnya, pada akhir 1956, dengan disponsori para perwira militer daerah, dibentuklah Dewan Banteng(Sumatera Barat), Dewan Gajah(Sumatera Utara), dan dewan Garuda(Sumatera Selatan), semacam pemerintah darurat di daerah masing-masing.
Keadaan yang jauh dari memuaskan itu menjadi pemikiran sekelompok anggota TNI. Pada saat reuni Dewan Banteng di Sumatera Barat, peserta sepakat bahwa untuk melaksanakan pembangunan, potensi
daerah harus digali sebanyak-banyaknya. Hasil reuni dilaporkan ke Jakarta oleh delegasi Dewan Banteng yang terdiri dari Dahlan Djambek, A. Halim, Sodi Baharudin, dan Ali Lubis. Sebagai kelanjutan dari keputusan reuni tersebut, Letkol Ahmad Husain, selaku ketua Dewan Banteng mengambil keputusan untuk mengambil alih pemerintah daerah Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Muljohardjo pada 20 Desember 1956 karena Gubernur yang ditunjuk oleh Presiden Sukarno dipandang kurang berhasil dalam membangun Sumatera Tengah. Selain di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utarapun melakukan hal yang sama.Pada tanggal 9 Januari 1958 suatu pertemuan diselenggarakan di Sungai Dareh, Sumatera Barat, yang dihadiri oleh Letnan Kolonel Achmad Husein, Letnan Kolonel Ventje Sumual, Kolonel Simbolon, Kolonel Dachlan Djambek, dan Kolonel Zulkifli Lubis. Sedangkan dari pihak sipil hadir antara lain M. Natsir, Sjarif Usman, Burhanuddin Harahap, dan Sjafruddin Prawiranegara. Dalam pertemuan tersebut membicarakan tentang pembentukan pemerintahan baru dan hal-hal yang berhubungan dengan itu. Hari berikutnya, pada tanggal 10 Januari 1958, Kolonel Achmad Husein berpidato didepan peserta rapat raksasa di Padang. Dalam pidatonya, Kolonel Achmad Husein memberikan ultimatum tegas kepada pemerintah pusat RI.
Puncak pemberontakan terjadi ketika pada tanggal 15 Pebruari 1958 Achmad Husain memaklumkan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia(PRRI) dan mengusung Sjarifuddin Prawiranegara sebagai Perdana Menterinya. Proklamasi PRRI mendapat tanggapan dari wilayah Indonesia bagian timur. Pada tanggal 17 Pebruari 1958 Letnan Kolonel D.J Somba, Komandan Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah menyatakan bergabung dengan PRRI dan putus hubungan dengan RI. Pemerintah segera bertindak menyelesaikan kasus ini dengan kekuatan senjata.
Maka, lima hari kemudian pesawat-pesawat AURI mengebom Padang, pusat pemberontakan. Lalu pertempuranpun pecah di berbagai daerah di Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara. Untuk memberantas pemberontakan Permesta di Indonesia bagian timur, dilancarkan sebuah operasi gabumngan dengan nama Operasi Merdeka di bawah pimpinan Letnan Kolonel Rukmito Hendraningrat. Operasi ini terdiri dari beberapa bagian, yakni:
1.Operasi Saptamarga I di bawah pimpinan Letnan Kolonel Soemarsono dengan daerah sasaran Sulawesi Utara bagian tengah
2.Operasi Saptamarga II di bawah pimpina Letnan Kolonel Agus Prasmono dengan sasaran Sulawesi utara bagian selatan
3.Operasi Saptamarga III di bawah pimpinan Letnan Kolonel Magenda dengan daerah sasaran kepulauan sebelah utara Manado
4.Operasi Saptamarga IV di bawah pimpinan langsung Letnan Kolonel Rukmito Hendraningrat dengan daerah sasaran Sulawesi Utara
5.Operasi Mena I di bawah pimpinan Letnan Kolonel KKO Hunholz untuk merebut lapangan udara Morotai di sebelah utara Halmahera.
Sebelum Operasi pokok itu dilancarkan, di Sulawesi tengah telah bergerak kesatuan-kesatuan yang tergabung dalam operasi Insyaf yang Dikoordinasi oleh Komando Antar daerah Indonesia bagian timur (Koandait). Termasuk terdalam Operasi ini gerakan-gerakan yang dilakukan oleh kesatuan-kesatuan yang setia kepada pemerintah yang dipimpin oleh Kapten Frans Karangan dan kesatuan Polisi di bawah pimpinan Inspektur Polisi Suaeb. Operasi ini berhasil menguasai kota-kota Donggala dan Parigi, sedagkan kesatuan-kesatuan yang dipimpin oleh Nani Wartabone (Pasuka Rimba) berhasil menyiapkan pancangan kaki bagi pendaratan pasukan-pasukan Operasi Spaptamarga II di Gorontalo.
Operasi-operasi militer APRI di Indonesia bagian timur menghadapi perlawanan yang lebih berat dibandingkan dengan Operasi di Sumaera karena situasi daerah yang menguntungkan pemberontak dan persenjataan mereka yang cukup kuat. Namun, akhirnya Pemerintah berhasil menguasai daerah-daerah tersebut. Pada pertegahan tahun 1961 sisa-sisa Permesta menyerahkan diri, memenuhi seruan Pemerintah dan keamanan dapat dipulihkan sepenuhnya.
Kutipan menurut Rina Adityana
Pemberontakan PPRI dan Permesta terjadi karena adanya ketidakpuasan beberapa daerah di Sumatra dan Sulawesi terhadap alokasi biaya pembangunan dari pemerintah pusat. Ketidakpuasan tersebut didukung oleh beberapa panglima militer.
Selanjutnya mereka membentuk dewan-dewan militer daerah, seperti :
Dewan Banteng di Sumatra Barat dipimpin oleh Kolonel Achmad Husein (Komandan Resimen Infanteri 4) dibentuk pada 20 Desember 1956
Dewan Gajah di Medan dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon, Panglima Tentara dan Teritorium I (TTI) pada tanggal 22 Desember 1956.
Dewan Garuda di Sumatra Selatan dipimpin oleh Letkol Barlian.
Sementara itu di Indonesia bagian timur juga terjadi pergolakan. Tanggal 2 Maret 1957 di Makassar, Panglima TT VII Letkol Ventje Sumual memproklamasikan Piagam Perjoangan Rakyat Semesta (Permesta). Piagam tersebut ditandatangani oleh 51 tokoh. Wilayah gerakannya meliputi Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku. Untuk memperlancar gerakannya dinyatakan bahwa daerah Indonesia bagian timur dalam keadaan bahaya. Seluruh pemerintahan daerah diambil alih oleh militer pemberontak.
Untuk meredakan pergolakan di daerah maka pada tanggal 14 September 1957 dilaksanakan Musyawarah Nasional (Munas) yang dihadiri tokoh-tokoh nasional baik di pusat maupun di daerah. Membicarakan mengenai masalah pemerintahan, masalah daerah, ekonomi, keuangan, angkatan perang, kepartaian, serta masalah dwitunggal Soekarno-Hatta. Sebagai tindak lanjut Munas maka diselenggarakan Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap) yang bertempat di Gedung Olah raga Medan Merdeka Selatan Jakarta. Dengan Tujuan merumuskan usaha-usaha pembangunan sesuai dengan keinginan daerah-daerah. Untuk membantu mengatasi persoalan di lingkungan Angkatan Darat dibentuklah panitia Tujuh, akan tetapi sebelum panitia tujuh mengumumkan hasil pekerjaannya terjadilah peristiwa Cikini.
Peristiwa Cikini ini semakin memperburuk keadaan di Indonesia. Daerah-daerah yang bergejolak semakin menunjukkan jati dirinya sebagai gerakan melepaskan diri dari pemerintah pusat. Bahkan pada tanggal 9 Januari 1958 diselenggarakan pertemuan di Sumatra Barat yang dihadiri tokoh-tokoh sipil dan militer daerah. Pada 10 Januari 1958 diselenggarakan rapat raksasa di Padang. Dalam pidatonya, Ketua Dewan Banteng, Achmad Husein menyampaikan ultimatum kepada pemerintah pusat yang berisi.
1. Dalam waktu 5 x 24 jam kabinet Djuanda menyerahkan mandat kepada presiden.
2. Presiden menugaskan kepada Moh. Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX untuk membentuk Zaken Kabinet.
3. Meminta presiden kembali kepada kedudukannya sebagai Presiden Konstitusional.
Menanggapi ultimatum tersebut, Sidang Dewan Menteri memutuskan untuk menolaknya dan memecat secara tidak terhormat perwira-perwira TNI-AD yang duduk dalam pimpinan gerakan sparatis, yaitu Letkol Achmad Husein, Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Dachlan Djambek, dan Kolonel Simbolon. Pada 12 Februari 1958, KSAD A.H Nasution mengeluarkan perintah untuk membekukan Kodim Sumatra Tengah dan selanjutnya dikomando langsung oleh KSAD.
Sementara itu pada, 15 Februari 1958, Achmad Husein memproklamasikan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan Syarifudin Prawiranegara sebagai perdana menterinya. Proklamasi PRRI mendapatkan sambutan dari Indonesia bagian Timur. Dalam rapat-rapat raksasa yang dilaksanakan di beberapa daerah Komando Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah, Kolonel D. J Somba mengeluarkan pernyataan bahwa sejak tanggal 17 Februari 1958 Kodim Sulawesi Utara dan Tengah (KDMSUT) menyatakan putus hubungan dengan pemerintah pusat dan mendukung PRRI.
Untuk memulihkan keamanan Negara, pemerintah bersama dengan KSAD memutuskan untuk melakukan operasi militer. Operasi gabungan AD-AL-AU terhadap PRRI ini diberi nama Operasi 17 Agustus yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Yani. Operasi pertama kali ditujukan ke Pekanbaru untuk mengamankan sumber-sumber minyak. Pada tanggal 14 Maret 1958 Pekanbaru berhasil dikuasai. Operasi militer kemudian dikembangkan ke pusat pertahanan PRRI. Pada tanggal 4 Mei 1958 Bukittinggi berhasil direbut kembali. Selanjutnya, pasukan TNI membersihkan daerah-daerah bekas kekuasaan PRRI. Banyak anggota PRRI yang melarikan diri ke hutan-hutan.
Untuk mengatasi pemberontakan PERMESTA, KSAD sebagai Penguasa Perang Pusat memecat Kolonel Somba dan Mayor Runturambi, sedangkan Batalion yang berada di bawah KDMSUT diserahkan kepada Komando Antardaerah Indonesia Timur. Untuk menumpas aksi Permesta, pemerintah melancarkan operasi gabungan yang disebut Operasi Merdeka yang dipimpin oleh Letkol Rukminto Hendraningrat pada bulan April 1958. Gerakan Permesta diduga mendapat bantuan dari petualang asing terbukti dengan jatuhnya pesawat yang dikemudikan oleh A.L. Pope (seorang warganegara Amerika) yang tertembak jatuh di Ambon pada 18 Mei 1958. Pada 29 Mei 1961, Achmad Husein menyerahkan diri. Pada pertengahan tahun 1961 tokoh-tokoh Permesta juga menyerahkan diri.
Kutipan menurut Al Habib
Pertentangan antara Pemerintah Pusat dan beberapa Daerah yang berpokok pangkal pada masalah otonomi serta perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah makin hari makin meruncing. Pembentukan dewan-dewan seperti.
1. Dewan Banteng
2. Dewan Gajah
3. Dewan Manguni dan pengambilan kekuasaan pemerintah setempat akhirnya pecah menjadi pemberontakan terbuka pada bulan Februari tahun 1958, yang dikenal sebagai pemberontakan "PRRI-Semesta".
Pemberontakan ini terjadi di tengah-tengah pergolakan politik di Ibukota. Ketidakstabilan pemerintah, masalah korupsi, perdebatan-perdebatan dalam konstituante, serta pertentangan dalam masyarakat mengenai Konsepsi Presiden.
Pada tanggal 9 Januari 1958 suatu pertemuan diselenggarakan di Sungai Dareh, Sumatra Barat, yang dihadiri oleh Letnan Kolonel Achmad Husein, Letnan Kolonel Sumual, Kolonel Simbolon, Kolonel Dachlan Djambek, dan Kolonel Zulkifli Lubis. Sedangkan dari pihak sipil hadir antara lain adalah M.Natsir, Sjarif Usman, Burhanuddin Harahap, dan Sjafruddin Prawinegara. Dalam pertemuan tersebut dibicarakan soal pembentukan pemerintah baru serta hal-hal yang berhubungan dengan itu.
Keesokan harinya pada tanggal 10 Februari 1958 diadakan rapat raksasa di Padang, Letnan Kolonel Achmad Husein dalam pidatonya di rapat raksasa itu memberi ultimatum kepada Pemerintah Pusat.
Ultimatum tersebut menuntut:
Dalam waktu 5x24 jam Kabinet Djuanda menyerahkan mandat kepada Presiden atau Presiden mencabut mandat Kabinet Juanda.
Presiden menugaskan Drs.Moh.Hatta dan Sultan Hamengkubowono IX untuk membentuk Zaken kabinet.
Meminta kepada Presiden supaya kembali kepada kedudukannya sebagai Presiden Konstitusional.
Sidang Dewan Menteri pada tanggal 11 Februari mengambil keputusan untuk menolak ultimatum tersebut dan memecat dengan tidak hormat Letnan Kolonel Achmad Husein, Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Dachlan Djambek, dan Kolonel Simbolon. Komando Daerah Militer Sumatra Tengah kemudian dibekukan dan ditempatkan langsung di bawah KSAD.
Pemberontakan tersebut mencapai puncaknya ketika pada tanggal 15 Februari 1958 Achmad Husein memaklumkan berdirinya "Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia" (PRRI) berikut pembentukan kabinetnya dengan Sjafruddin Prawinegara sebagai Perdana Menteri.
Proklamasi PRRI segera mendapat sambutan di Indonesia bagian Timur. Pada tanggal 17 Februari 1958 Letnan Kolonel D.J Somba, Komandan Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah, menyatakan diri putus hubungan dengan Pemerintah Pusat dan mendukung sepenuhnya PRRI. Gerakan di Sulawesi ini dikenal dengan nama Permesta atau Gerakan Piagam Perjuangan Semesta.
Dengan diproklamasikannya PRRI di Sumatra yang diikuti oleh Permesta di Indonesia bagian Timur, Pemerintah memutuskan untuk tidak membiarkan masalah ini berlarut-larut dan segera menyelesaikannya dengan kekuatan senjata.
OPERASI PENUMPASAN PRRI
Untuk menumpas pemberontakan PRRI di Sumatra, segera disiapkan operasi gabungan yang terdiri dari unsur-unsur darat, laut, dan udara.
Pertama-tama dilancarkan Operasi Tegas dibawah pimpinan Letnan Kolonel Kaharuddin Nasution untuk menguasai daerah Riau. Pertimbangannya adalah untuk mengamankan instalasi-instalasi minyak asing di daerah tersebut dan untuk mencegah campur tangan asing dengan dalih menyelamatkan warga negara dan miliknya. Kota Pekanbaru berhasil dikuasai pada tanggal 12 Mei 1958. Untuk mengamankan daerah Sumatra Barat dilancarkan Operasi 17 Agustus di bawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani. Pada tanggal 17 Apri di Padang dapat dikuasai oleh pasukan Angkatan Perang dan pada tanggal 4 Mei menyusul Kota Bukittinggi.
Sementara itu di daerah Sumatra Utara dilancarkan Operasi Saptamarga di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Djatikusumo. Untuk daerah Sumatra Selatan dilancarkan Operasi Sadar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Dr. Ibnu Sutowo. Pimpinan PRRI akhirnya menyerah satu persatu. Pada tanggal 29 Mei 1961 secara resmi Achmad Husein melaporkan diri dengan pasukannya, disusul oleh tokoh PRRI yang lain, baik militer maupun sipil.
Dalam usaha penumpasan pemberontakan ini, patut dicatat mereka yang berada di daerah-daerah pemberontakan tetap setia kepada Pemerintah, kepada Saptamarga, dan Sumpah Prajurit, antara lain: Komisaris Polisi Kaharuddin, Dt Rangkajo Basa dan Mayor Nurmathias di Sumatra Barat, Letnan Kolonel Djamin Ginting, dan Letnan Kolonel Waham Makmur di Sumatra Utara, Letnan Kolonel Harun Sohar di Sumatra Selatan.
OPERASI PENUMPASAN PERMESTA
Untuk menumpas Pemberontakan Permesta di Indonesia bagian timur di lancarkan sebuah operasi gabungan dengan nama Operasi Merdeka di bawah pimpinan Letnan Kolonel Rukmito Hendradiningrat. Operasi ini terdiri dari beberapa bagian:
Operasi Saptamarga I di bawah pimpinan Letnan Kolonel Soemarsono dengan daerah sasaran Sulawesi Utara bagian Tengah.
Operasi Saptamarga II di bawah pimpinan Letnan Kolonel Agus Prasmono dengan sasaran Sulawesi Utara bagian Selatan.
Operasi Saptamarga III di bawah pimpinan Letnan Kolonel Magenda dengan daerah sasaran kepulauan Sebelah utara Manado.
Operasio Saptamarga IV di bawah pimpinan langsung Letnan Kolonel Rukmito Hendradiningrat dengan daerah sasaran Sulawesi Utara.
Operasi Mena I di bawah pimpinan Letnan Kolonel Pieters dengan daerah sasaran Jailolo.
Operasi Mena II di bawah pimpinan Letnan Kolonel KKO Hunholz untuk merebut lapangan udara Morotai di sebelah utara Halmahera.
Sebelum operasi pokok dilancarkan, di Sulawesi Tengah telah bergerak Kesatuan-Kesatuan yang tergabung dalam Operasi Insyaf yang dikoordinasi oleh Komando antar Daerah Indonesia bagian Timur (Koandait). Termasuk ke dalam operasi ini gerakan-gerakan yang di lakukan oleh kesatuan-kesatuan yang setian kepada Pemerintah yang di pimpin oleh Kapten Frans Karangan dan Kesatuan Polisi dibawah pimpinan Inspektur Polisi Suaeb. Operasi ini berhasil menguasai kota-kota Donggala dan Parigi, sedangkan kesatuan-kesatuan yang dipimpin oleh Nani Wartabone (Pasukan Rimba) berhasil menyiapkan pancangan kaki bagi pendaratan pasukan-pasukan Operasi Saptamarga II di Gorontalo.
Operasi-operasi militer APRI di Indonesia bagian Timur menghadapi perlawanan yang lebih berat dibandingkan dengan operasi di Sumtra karena situasi daerah yang menguntungkan pemberontak dan persenjataan mereka cukup kuat. Namun akhirnya pemerintah berhasil menguasai daerah-daerah tersebut. Pada pertengahan tahun 1961 sisa-sisa Permesta menyerahkan diri memenuhi seruan Pemerintah dan keamanan dapat dipulihkan sepenuhnya.
Kutipan menurut Yanuaridho
Terjadinya suatu peristiwa tidak lepas dari hal-hal yang telah terjadi sebelumnya, seperti yang telah diketahui bahwa dalam disiplin ilmu sejarah berlaku hukum kausalitas atau sebab-akibat. Peristiwa pemberontakan PRRI/Permesta yang terjadi juga tidak lepas dari berbagai faktor yang menyebabkannya. Faktor politis dan ekonomis sangat berperan sebagai penyebab dari pemberontakan ini.
1. Situasi Indonesia Secara Umum
ØKondisi politik
Tatanan politik yang diatur oleh UUDS 1950 menuntut sikap formal-legalistik. Bangsa indonesia memasuki periode demokrasi liberal yang berdasarkan demokrasi parlementer. Para menteri bertanggungjawab kepada perdana menteri, bukan kepada presiden. Setelah dibentuknya kabinet Parlemen, kondisi politik Indonesia semakin kacau. Pergantian kabinet secara terus menerus yang terjadi hampir setiap tahun. Berbagai kebijakan silih berganti tiap periode menimbulkan keadaan yang tidak kondusif.
Pecahnya Dwi-tunggal Soekarto-Hatta memperburuk kondisi perpolitikan bangsa. Pada 1 Desember 1956 Hatta mengundurkan diri secara resmi dari jabatanya sebagai wakil presiden. Hubungan Soekarno-Hatta mulai retak sejak tahun 1955. Perbedaan pendapat dan latar belakang walaupun keduanya sebagai tokh muslim yang nasionalis, namun Soekarno cenderung ke Marxis serta bermain api dengan komunis, sedangkan Hatta cenderung ke Sosialis dan anti komunis.
Akhir tahun 1956, Bung Karno telah sering mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap sistem parlementer yang ada dan berencana memperbaharui sistem pemerintahan menjadi sistem pemerintahan "Demokrasi Terpimpin", demokrasi yang dianggap oleh Soekarno sebagai demokrasi yang lebih didasarkan atas mufakat daripada demokrasi secara Barat yang memecah belah berdasar keputusan"50%+1". Demokrasi terpimpin dijalankan dengan Dasar "Kabinet Gotong Royong" yang merangkul semua partai politik yang ada, termasuk PKI . Soekarno juga ingin menyampaikan "konsepsi"nya mengenai fraksi politik di Indonesia. Konsepsi presiden merupakan cerminan kekecewaan Bung Karno terhadap sistem parlementer. Mencakup dukungan publik Soekarno supaya PKI memainkan peranan yang lebih besar dalam dunia politik Indonesia.
Ø Kondisi perekonomian.
Kegagalan ekonomi yang sedang dialami oleh pemerintah sejak awal kemerdekaan berada pada titik kekacauan. Kegagalan pembangunan ekonomi yang di alami bangsa ini sangat dirasakan oleh berbagai golongan. Kebijakan ekonomi Kabinet Hatta yang akomodatif terhadap modal asing dipertahankan oleh kabinet-kabinet berikutnya, antara lain kabinet Natsir, Sukiman, dan kabinet Wilopo. Tetapi sejak kabinet Ali I (1953-1954), haluan politik itu sama sekali ditinggalkan. Program ekonomi kabinet seringkali hanyalah sembohyan. Kabinet ini menganggap bahwa modal asing sangat merugikan bagi negara. Namun disisi lain, pembangunan administratif sangat diperhatikan. Penggalangan persatuan dilakukan dengan cara dropping pegawai dari pusat ke daerah.
Partai PNI semakin nampak diperkuat. Pada masa kabinet Ali II, membawa permasalahan yang semakin parah. Sentralisme melalui sistem dropping pegawai mendesak putra-putra daerah dalam mengatur urusan daerah sendiri, serta peranan mereka di pusat. Semua administrator pemerintah mayoritas berasal dari Jawa, sedangkan yang berasal dari putera daerah hanyalah pimpinan militernya saja. Sistem birokrasi sangat berkaitan dengan partai politik yang sedang berkuasa. Sedangkan keinginan untuk ber-otonomi semakin kuat di setiap daerah.
Ø Permasalahan Militer di Indonesia
Di dalam tubuh suatu negara pastilah terdapat separangkat alat-alat negara. Setiap alat mempunyai fungsi khusus dan saling terkait antara satu dengan yang lain. Salah satu alat yang sangat vital peranannya dalam pemeliharaan keutuhan serta pertahanan negara adalah tentara atau militer. Militer merupakan lembaga yang mempunyai eksklusivitas tersendiri. Keprofesionalisme-annya perlu di hormati oleh sipil. Keberadaanya harus diperhatikan. Militer di suatu negara baru merdeka cenderung melangkah ke arah politik. Hal tersebut terkait dengan peranannya dalam perjuangan mereka pra-kemerdekaan suatu bangsa. Militer selalu menjadi oposan bagi pemerintahan sipil. Jika pemerintahan sipil dirasa tidak mampu memerintah dengan baik maka pemberontakan maupun perebutan kekuasaan oleh militer mustahil untuk tidak terjadi. Salah satu contohnya adalah gerakan PRRI/PERMESTA di Indonesia.
Tekanan pada tentara yang profesional memang penting, namun dalam kondisi politik yang tidak menentu menenggelamkan potensi laten yang terbukti ampuh pada masa perang kemerdekaan. Oleh sebab itu, berbagai problem sosial dan ekonomi yang muncul nyaris tidak dapat teratasi. Sebenarnya gerakan PRRI/Permesta hanyalah koreksi terhadap kebijakan pemerintah pusat serta keadaan yang morat-marit demi kepentingan bangsa secara umum.
2. Situasi di Daerah
Peristiwa pemberontakan PRRI/Permesta yang terjadi juga tidak lepas dari berbagai factor yang menyebabkannya. Factor politis dan ekonomis sangat berperan sebagai penyebab dari pemberontakan ini.Sejak 1950, daerah tetap menjadi produsen ekspor, namun hasilnya lebih dimanfaatkan oleh pusat. Kondisi inilah yang menyebabkan kecenderungan "sentralistik" dalam pandangan permesta . Hubungan antara pusat dan daerah menjadi kurang harmonis. Hal tersebut dikarenakan perbedaan pendapat antara daerah dengan pusat. Daerah menganggap bahwa kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan daerah. Sedangkan pemerintah pusat menganggap bahwa daerah kurang mampu dalam melaksanakan tugasnya.Daerah luar Jawa merasa tidak puas dengan keadaan yang ada, karena mereka menganggap bahwa dana alokasi untuk daerah dirasakan sangat kurang dan tidak mencukupi untuk melaksanakan pembangunan.
Pada akhirnya muncul upaya dari pihak militer yang mendapat dukungan dari beberapa tokoh sipil untuk melakukan koreksi terhadap kebijakan- kebijakan pemerintah.
Kegagalan pembangunan ekonomi yang di alami bangsa ini sangat dirasakan oleh berbagai golongan. Salah satunya adalah golongan prajurit yang merasakan kesulitan tersebut. Tindakan-tindakan pemerintah dalam masalah ekonomi seperti penyalahgunaan devisa, pemberian ijin istimewa kepada anggota partai penyokongnya serta birokrasi yang berbelit-belit menghambat para pedagang. Para pimpinan pasukan di berbagai wilayah juga dibuat kesal oleh alokasi keuangan yang tidak terlaksana semestinya bagi operasi-operasi militer serta kesejahteraan prajurit. Akhirnya tindakan ekspor/"barter" dilakukan tanpa disesuaikan dengan prosedur di Jakarta. Hal tersebut dilakukan di Sulawesi Utara dan Sumatera Utara, serta panglima pasukan dari wilayah lainnya. Keterlibatan TT I dalam peristiwa "barter" yaitu keterlibatan mereka dalam memberikan perlindungan kepada pengusaha-pengusaha yang melakukan ekspor–ekspor yang dianggap merugikan negara menyebabkan KASAD Nasution memberhentikan Kolonel Simbolon untuk sementara . Selain itu, beberapa perwira tinggi militer Sumatera terlibat dalam peristiwa Cikini dan merencanakan pemberontakan diberhentikan dengan tidak hormat.
Di Sulawesi, situasi yang mendorong lahirnya Permesta yaitu masalah otonom intern di Indonesia Timur dan di pengaruhi oleh pembentukan dewan-dewan di Sumatera.
GERAKAN PRRI/PERMESTA
a. Jalannya Pemberontakan
Sebelum lahirnya PRRI, telah terjadi diskursus antara pusat dengan daerah. Pada Bulan November 1956, berkumpul di Padang sekitar 600 pejuang eks-divisi Banteng. Dari pertemuan tersebut mereka membicarakan tentang tuntutan perbaikan dalam tentara AD dan pemimpin negara. Pertemuan tersebut menyebabkan terbentuknya dewan-dewan di Sumatera dan Sulawesi. Pada awalnya, dewan-dewan tersebut dibentuk dalam rangka mengatasi situasi perpolitikan Indonesia yang semakin mengarah pada perpecahan. Selain itu, pembentukan dewan-dewan tersebut juga ditujukan untuk mengimbangi parlemen dalam rangka memajukan pembangunan daerah yang masih tertinggal sehingga lebih terarah. Dewan-dewan yang di bentuk antara lain :
1. Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kol Simbolon di sumatera Utara.
2. Dewan Banteng di sumatera tengah dipimpin oleh Ahmad Husein
3. Dewan garuda di Sumatera selatan dipimpin oleh dhlan Djambek.
4. Dewan Manguni di Sulawesi yang dipimpin oleh Kol. Ventje Sumual.
Dewan-dewan tersebut menuntut adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, terutama dalam melaksanakan eksploitasi hasil bumi. Namun dengan adanya berbagai sebab seperti yang telah di uraikan di atas, maka dalam perkembangannya bersifat agresif dan bertindak mencari kesalahan pusat. Hal tersebut terkait pula dengan pemberhentian Kol. Simbolon. Pemecatan tersebut terkait dengan keterlibatannya dalam peristiwa penyelundupan di Teluk Nibung.
Melalui dewan gajah tersebut, Kol. Simbolon menentang pemerintah pusat yaitu dengan pernyataan :
1. Melepaskan hubungan sementara dengan pemerintah pusat
2. Mulai tanggal 22 desember 1956 tidak lagi mengakui kabinet Djuanda.
3. Mulai tanggal 22 desember 1956 mengambil alih pemerintahan di wilayah Tertera dan Tetorium I.
Melalui pengumuman tersebut maka resmilah bahwa PRRI berjalan di Sumatera Utara. Pada tanggal 24 Desember 1956 mengeluarkan keputusan melalui Keputusan Presiden No.200/1956 yang menyatakan bahwa karesidenan Sumatera Timur dan Tapanuli, serta semua perairan yang mengelilingnya dinyatakan dalam darurat perang (SOB).
Kericuhan juga terjadi di Sulawesi. Pada akhir Februari 1957, Panglima TT-VII Letkol Ventje Sumual mengadakan "pertemuan pendapat dan ide" dengan para Staffnya. Pertemuan tersebut melahirkan konsepsi yang isinya antara lain disebutkan bahwa penyelesaian keamanan harus segera dilaksanakan agar pembangunan semesta segera dapat dimulai.
Kegiatan selanjutnya adalah mengadakan pertemuan di kantor Gubernur Makasar yang dihadiri oleh tokoh militer dan sipil pada tanggal 2 Maret 1957. Pertemuan tersebut melahirkan Piagam Perjuangan Semesta [Permesta] yang ditandatangani oleh 51 tokoh masyarakat Indonesia Timur. Wilayah gerakan tersebut meliputi kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku.untuk melancarkan program kerja Permesta, maka Kol. Ventje Sumual menyatakan bahwa daerah Indonesia Timuur dalam keadaan bahaya [SOB=Staat Van Oorlog en Bleg]. Seluruh pemerintahan daerah diambil alih oleh militer untuk menjaga ketenteraman rakyat dan demi terlaksananya cita-cita Piagam Perjuangan Permesta.
Diantara dewan-dewan di daerah terdapat kerjasama dan saling berhubungan. Para pemimpin pemberontakan di Sumatra mengadakan pertemuan di Sungai Dareh sekitar 109 kilo meter arah Timur, Padang, pada tanggal 9-10 Januari 1958. Dalam pertemuan tersebut, telah dilakukan pertemuan yang dihadiri Letkol Ahmad Hussein, Kolonel Simbolon, Letkol Ventje Sumual, Letkol Barlian, Kolonel Zulkifli Lubis, Sumitro Djojohadikusumo, Syafruddin Prawira Negara, Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap. Pertemuan itu mengamanatkan forum perwira pembangkang ini untuk aktif mencari senjata di luar negeri dan untuk mematangkan rencana pemberontakan, serta membicarakan soal rencana pemberian ultimatum kepada pemerintah pusat dan pembentukan negara secara terpisah dari RI jika ultimatum tersebut tidak dipenuhi dalam waktu 5×24 jam. Isi Ultimatum tersebut antara lain: di bidang pemerintahan dituntut agar pemerintah memberikan Otonomi yang luas kepada daerah. Pada bidang pembangunan menuntut agar pemerintah melakukan perbaikan radikal di segala bidang, sedangkan di bidang militer, dewan Banteng menuntut supaya dibentuk komandan utama di Sumatera Utara.
Pemerintah menolak dengan tegas ultimatum tersebut, bahkan para perwira yang terlibat didalamnya justru dipecat oleh Pemerintah Pusat. Kemudian di Sumatra, kolonel Simbolon membacakan proklamasi Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 15 Februari 1958, dengan ibukota di Bukittinggi. Sedangkan Safrudin Prawiranegara diangkat sebagai Perdana Menteri.
Di Sulawesi, proklamasi PRRI disambut oleh kaum separatis Permesta. Kol Somba, Komandan Deputi Wilayah Militer Sulawesi Utara dan Tengah mengumumkan bahwa sejak 17 Februari 1958, mendukung PRRI dan menyatakan memisahkan diri dari pusat. Permesta menjadi praktis sayap timur PRRI. Pusat pemberontakan ini berada di Makassar yang pada waktu itu merupakan ibu kota Sulawesi. Setahun kemudian, pada 1958 markas besar Permesta dipindahkan ke Manado. Disini timbul kontak senjata dengan pasukan pemerintah pusat sampai mencapai gencatan senjata. Masyarakat di daerah Manado waktu itu tidak puas dengan keadaan ekonomi mereka. Pada waktu itu masyarakat Manado juga mengetahui bahwa mereka juga berhak atas hak menentukan diri sendiri (self determination).
Para pemimpin Permesta mencari dukungan dari pihak manapun untuk mencapai tujuannya mengingat keyakinan akan adanya tindakan tegas dari pemerintah pusat. Berkaitan dengan pengeboman Manado oleh pasukan RI, maka perwakilan Permesta mengadakan hubungan dengan para pemberontak Permesta di Filiphina, dan menemui pejabat CIA untuk mendapatkan bantuan persenjataan. Pemimpin Permesta di Taiwan meminta bantuan kepada pemerintah setempat untuk mendukung permesta, sehingga mendapat dukungan dari dinas rahasia Taiwan. Para presiden dari Korea Selatan dan Filiphina juga memberikan bantuan kepada kaum pemberontak.
b. Upaya Penumpasan
Ø Upaya Diplomatis
Melihat realita yang terjadi, Pemerintah Pusat melakukan berbagai cara untuk menyelesaikannya. Langkah pertama yang dilakukan oleh Kasad Nasution terhadap timbulnya awal gejolak pada bulan Desember 1956 adalah dengan mengeluarkan surat perintah tanggal 2 januari 1957 untuk Kolonel Gatot Subroto, Kol. Ahmad Yani, Letkol. Sjoeib, Mayor Alwin Nurdin, Ayor Sahala Hutabarat, dan Mayor Ali Hasan untuk menemui kolo. Simbolon dan para komandan resimennya untuk mengusahakan agar tidak terjadi bentrok secara fisik. Namun usaha ini tidak berhasil karena cenderung kontroversif dengan keadaan. Mayjen Nasution telah melakukan pendekatan terselubung terhadap bawahan Simbolon sendiri, yaitu Letkol. Djamin Ginting dan Letkol Wahab Makmur untuk mengambil kedudukan panglima. Usaha Pemerintah Pusat untuk memenuhi tuntutan daerah yaitu dengan mengirim sejumlah misi, seperti misi Kol. Dahlan Djambel, menteri pertanian Eny Karim, Dr.J Leimena/ Sanusi, Prof. Zairin Zein/ Nazir Pamuntjak, dan Kol. Mokoginta Cs. Misi-misi tersebut ditujukan untuk menyelesaikan masalah di Sumatera Tengah. Misi tersebut kemudian disusul dengan pembentukan Panitia Tujuh dan penyelenggaraan Munas serta Musyawarah pembangunan. Namun semua usaha diplomatis yang dilakukan Pemerintah Pusat tidak berhasil.
Ø Tindakan dari RI terhadap PRRI dan Permesta
Secara bersenjata penolakan terhadap ultimatum PRRI oleh Pusat diikuti dengan pemboman terhadap Padang dan daerah kantong pemberontakan lainnya. Kemudian pemberontakan terang-terangan terjadi di Sumatera dan diikuti oleh Permesta di Sulawesi. Setelah melihat situasi tersebut, pemerintah Pusat melakukan upaya lebih lanjut dengan operasi militer. Operasi tersebut antara lain :
1. Operasi yang dilaksanakan di Sumatera
a. Operasi tegas dilaksanakan pada 12 Maret 1958 di Sumatra Timur.
b. 16 April 1958, pengiriman pasukan dalam "Operasi 17 Agustus" di bawah Kolonel Achmad Yani, yang dibantu oleh seorang perwira Angkatan Darat AS, Benson. Tanggal 17 April, pasukan Yani telah menguasai Padang sepenuhnya.
c. Operasi Sapta Marga dibawah Brigadir Jenderal Jatikusuma dengan sasaran Sumatera Timur dan Sumatera Utara.
d. Operasi Sadar dibawah pimpinan Letkol. Ibnu Sutowo dengan daerah sasaran Sumatera Selatan.
2. Pemecatan terhadap para pemimpin pemberontakan dari jajaran militer Indonesia, dan dilaksanakan Operasi Marga pada bulan April untuk menumpas Permesta.
a. Operasi Sapta Marga I dibawah pimpinan Letkol. Soemarsono dengan sasaran Sulawesi Tengah
b. Operasi Sapta Marga II dibawah pimpinan Letkol. Agus Pramono dengan sasaran Sulawesi Utara bagian Selatan
c. Operasi Sapta Marga III dibawah pimpinan Letkol. Magenda dengan sasaran sebelah Utara Menado.
d. Operasi Sapta Marga IV dibawah pimpinan Letkol. Rukminto Hendraningrat dengan sasaran Sulawesi Utara
e. Operasi Sapta Marga V dibawah pimpinan Pieters dengan sasaran Jailolo.
f. Operasi Sapta Marga VI dibawah pimpinan Letkol. KKO. H.H W. Huhnhloz dengan sasaran Murotai
c. Akhir Pemberontakan
Pemberontakan di Sumatra dapat dengan mudah ditumpas oleh pemerintah. Mereka tidak melakukan perlawanan yang berarti. Pasukan banyak yang melarikan diri, bersebunyi dan menyerah. Para tentara kebanyakan dari para pelajar dan mahasiswa yang belum berpengalaman dalam perang. Tawaran Soekarno dan Nasution tentang pemberian amnesti, abolisi dan rehabilitasi diterima oleh mereka.
C. Dampak Pemberontakan Bagi Bangsa Indonesia
Terjadinya PRRI/Permesta membawa luka luar dalam bagi masyarakat di dalamnya. Di Minang, korban yang jatuh dari pihak PRRI kurang lebih berjumlah 22.174 jiwa, 4.360 luka-luka, 8.072 ditahan. Dari pihak APRI pusat jumlah yang meninggal adalah 10.150 jiwa, terdiri dari 2.499 tentara, 956 anggota OPR, 274 Polisi, dan 5.592 orang sipil . Pembangunan fisik yang selama ini dibangun menjadi hancur. Masyarakat Minang menjadi rendah diri, muno, lalu cigin ke rantau.
Perubahan kebijakan oleh Pemerintah Pusat terhadap daerah. Dekrit presiden 5 juli 1959 yang menetapkan kembalinya pemerintahan sesuai dengan UUD 1945. Dengan berhasil ditumpasnya PRRI/Permesta maka PKI justru berkembang sebagai kekuatan yang semakin kuat di tubuh TNI AD dan semakin berpengaruh terhadap Soekarno dalam kaitannya dengan perpolitikan Indonesia yaitu diakuinya Nasakom [nasionalisme, sosialisme, dan agama].
Dampak selanjutnya adalah menimbulkan kesadaran di kalangan pimpinan negara bahwa wilayah NKRI terdiri dari kepulauan yang luas dan beraneka ragam masalah di setiap daerah. Sembohya Binneka tunggal Ika harus dihayati makna dan hakekatnya. Hak otonomi yang luas memang perlu diberika kepada setiap daerah agar setia ebijakan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masing-masing daerah.
Peristiwa gerakan separatis tersebut menyebabkan jatuhnya kabinet Ali II pada tanggal 14 Maret 1957 yang ditandai dengan penyerahan mandat dari Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo kepada Presiden. Kabinet tersebut digantikan oleh kabinet Djuanda yang secara resmi di bentuk pada tanggal 9 April 1957.
Bottom of Form
DAFTAR PUSTAKA
Agung Leo dan Aris Listiyani Dwi. 2009. Mandiri Sejarah. Jakarta: Erlangga
Ginanjar Kartasasmita dkk.1983. 30 Tahun Indonesia Merdeka.Jakarta:Penerbit Wedatama Widya Sastra. Jilid I
Ginanjar Kartasasmita dkk.1983. 30 Tahun Indonesia Merdeka.Jakarta:Penerbit Wedatama Widya Sastra. Jilid II
Djoened Poesponegoro, Marwati dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka
M C Ricklefs. 2003. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi
Redi Rachmat, Et all. 1992. Tantangan Dan Rongrongan Terhadap Keutuhan Bangsa, Kasus PRRI. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
Sartono Kartodirjo. 1981. Elit Dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: Yayasan Obor
Sugeng Sudarto, Et al. 1992. Patahnya Sayap Permesta. Jakarta: Pustaka Bahari
Syamdani. 2001. Kontroversi Sejarah di Indonesia. Jakarta: Gramedia
http://yanuaridho.wordpress.com/2015/11/01/prri-dan-permesta/
http://satyasembiring.wordpress.com
No comments:
Post a Comment