ANDI AMINAH RISKI/ PIS A
Mesir adalah negara yang berbentuk republik. Ibu kota sekaligus kota terbesar di Mesir adalah Kairo. Pemerintahan Mesir dipimpin oleh Kepala Negara dan dibantu oleh seorang Perdana Menteri. Mesir pernah dijajah oleh Inggris (Britania Raya) dan mendeklarasikan kemerdekaannya pada tanggal 18 Juni 1953. Secara geografis, Mesir terletak di Timur Laut Benua Afrika dengan sebagian kecil lahan negara terletak di Benua Asia. Daratan Mesir yang berdampingan dengan Asia dan berseberangan dengan Benua Eropa membuat posisinya menjadi strategis. Karena itu tak heran, Mesir dianggap sebagai jembatan antar benua, yakni Eropa, Asia, dan Afrika. Menempati wilayah seluas 997.739 kilometer persegi, mencakup Semenanjung Sinai (yang dianggap sebagai bagian dari Asia Barat Daya) Mesir merupakan negara Arab yang paling banyak penduduknya, sekitar 74 juta jiwa.[1]
Mesir merupakan satu-satunya pusat kebudayaan tertua dibenua Afrika yang berasal dari tahun 4000 SM. Berkembangnya kebudayaan Mesir tidak lepas dari pengaruh adanya sungai Nil yang membuat daerah mesir menjadi subur. Pemerintahan di Mesir kuno dipimpin oleh Fir'aun sebagai Raja yang diperoleh secara turun temurun dan dibagi menjadi beberapa periode atau zaman. Mesir menyimpan banyak sekali peninggalan-peninggalan sejarah yang tak ternilai harganya dan kebudayaan tersebut hanya dapat kita temui di Mesir seperti Piramyda, Spinx, Mummi, dan lain-lainnya. [2]
Proses Masuk Islam
Mesir sebenarnya telah menerima agama Islam sejak dini. Berawal dari surat yang dikirim oleh Rasulullah saw kepada Raja Mesir dikala itu, hingga Rasul menikahi wanita Mesir yang bernama Maria sebenarnya merupakan salah satu trik yang digunakan Rasul untuk menyebarkan agama Islam di Mesir. Dan dilanjutkan Pada saat islam dibawah pimpinan Khalifah Umar Bin Khattab, pada saat itu Mesir dalam penjajahan bangsa Romawi Timur, dan yang menjabat sebagai Gubernur Mesir pada saat itu ialah Mauqauqis. Pada saat itu bangsa Mesir sangat menderita karena penjajahan yang tidak kenal belas kasihan. Oleh Karena itu, Amru Bin Ash selaku panglima perang mengusulkan kepada Khalifah Umar Bin Khattab untuk membebaskan Mesir dari penjajahan Romawi. Usul ini diterima dan pasukan Islam yang membawa 4000 prajurit yang siap membebaskan Mesir dari jajahan romawi timur. Dan sebelum peperangan dimulai, Amru bin Ash menawarkan tiga pilihan kepada penguasa Mesir, yaitu: masuk Islam, atau membayar jizyah, atau perang. Kedua tawaran pertama ditolak, maka terjadilah perang. Pasukan yang dipimpin Amr bin Ash tersebut memasuki daerah Mesir melalui padang pasir terus mamasuki kota kecil bernama Al Arisy, dengan mudah pasukan islam menaklukan kota tersebut. Dari kota itu pasukan Islam memasuki kota Al Farma. Di kota ini pasukan Islam mendapat perlawanan. Amru Bin Ash memerintahkan untuk mengepung kota Al Farma dan setelah 1 bulan kota ini berhasil direbut.
Dari kota Al Farma pasukan Islam melanjutkan ke kota Bilbis. Di sini pasukan Islam mendapat bantuan dari rakyat Mesir yang menginginkan kemerdekaan dari jajahan romawi timur yang kejam. Di kota ini pasukan islam menangkap putri Mauqauqis yang terkenal sebagai pelindung rakyat Mesir, putri ini diantar kerumahnya dengan segala hormat. Dari kota Bilbis pasukan Islam menuju ke Tondamis yang terletak di tepi sungai Nil.
Di sini Amru Bin Ash mendapat kesulitan karena banyak pasukan sudah gugur dan pasukan yang masih hidup merasakan rasa lelah yang luar biasa karena telah melakukan perjalanan perjalanan dan pertempuran yang panjang. Amr Bin Ash pun meminta bantuan ke Khalifah Umar Bin Khattab. Kepada pasukan yang ada Amru Bin Ash memberikan pidato yang berapi-api sehingga pasukan Islam dapat menghancurkan benteng Tondamis dan melanjutkan ke kota Ainu Syam, di perjalanan kota ini pasukan Islam baru mendapat bantuan sebanyak 4000 orang. Setelah Ainu Syam dapat ditaklukan pasukan Islam mempersiapkan penyerangan ke benteng Babil. Selama 7 bulan benteng Babil dikepung dan akhirnya benteng terbaru di Mesir dapat di kuasai.
Setelah itu pasukan Islam merebut kota Iskandaria, maka diadakan perjanjian antara Amr Bin Ash dan Mauqauqis dan sejak itu Mesir menjadi daerah Islam sepenuhnya. Nama Amr Bin Ash diabadikan menjadi nama mesjid tertua di Mesir. Pasukan Islam telah berhasil memerdekakan bangsa Mesir dari penjajahan jasmani dan rohani yang dilakukan oleh Imperium Romawi, Mesir dijajah selama 711 tahun, sejak terbunuhnya Cleopatra tahun 30 SM hingga masa penaklukan pasukan Islam tahun 642 M.
Amru bin Ash membangun kota Fustath (Kairo sekarang) dan dijadikan sebagai markas pasukan Islam. Ajaran Islam mulai disebarkan di Mesir, dan diantaranya pasukan Islam dilarang berbuat kejahatan kepada penduduk Qibthi. Hal inilah yang membuat orang-orang Qibthi tertarik dengan ajaran Islam. Karena sangat jauh berbeda dengan imperium Romawi yang terkenal suka menindas rakyat jelata, dan mereka mengangkut sebahagian besar hasil gandum dari mesir ke Konstantinopel untuk dinikmati oleh kaisar dan para bangsawan Romawi.[3]
Peradaban Islam Mesir
Pada 639 Masehi, ketika Islam di bawah kepemimpinan Umar bin Khattab, 3000 pasukan Amru bin Ash memasuki Mesir dan kemudian diperkuat pasukan Zubair bin Awwam berkekuatan 4000 orang. Mukaukis didukung gereja Kopti menandatangani perjanjian damai. Sejak itu, Mesir menjadi wilayah kekuasaan pihak Islam. Di masa kekuasaan Keluarga Umayah, dan kemudian Abbasiyah, Mesir menjadi salah satu provinsi seperti semula.
Mesir baru menjadi pusat kekuasaan dan juga peradaban Muslim baru pada akhir Abad 10. Muiz Lidinillah membelot dari kekuasaan Abbasiyah di Baghdad, untuk membangun kekhalifahan sendiri yang berpaham Syi'ah. Ia menamai kekhalifahan itu Fathimiah dari nama putri Rasul yang menurunkan para pemimpin Syi'ah, Fatimah. Pada masa kekuasaannya (953-975), Muiz menugasi panglima perangnya, Jawhar al-Siqili, untuk membangun ibu kota. Di dataran tepi Sungai Nil itu kota Kairo dibangun. Khalifah Muiz membangun Masjid Besar Al-Azhar (dari Al-Zahra, nama panggilan Fatimah) yang dirampungkan pada 17 Ramadhan 359 Hijriah, 970 Masehi. Inilah yang kemudian bekembang menjadi Universitas Al-Azhar sekarang, yang juga merupakan universitas tertua di dunia saat ini.[4]
Muiz dan para penggantinya, Aziz Billah (975-996) dan Hakim Biamrillah (996-1021) sangat tertarik pada ilmu pengetahuan. Peradaban berkembang pesat. Kecemerlangan kota Kairo -baik dalam fisik maupun kehidupn sosialnya-mulai menyaingi Baghdad. Khalifah Hakim juga mendirikan pusat ilmu Bait al-Hikam yang mengoleksi ribuan buku sebagaimana di Baghdad. Di masa tersebut, Ibnu Yunus (wafat 1009) menemukan sistem pendulum pengukur waktu yang menjadi dasar arloji mekanik saat ini. Lalu Hasan ibn Haitham menemukan penjelasan fenomena "melihat". Sebelum itu, orang-orang meyakini bahwa orang dapat melihat sesuatu karena adanya pancaran sinar dari mata menuju obyek yang dilihat. Ibnu Haytham menemukan bahwa pancaran sinar itu bukanlah dari mata ke benda tersebut, melainkan sebaliknya. Dari benda ke mata.
Gangguan politik terus-menerus dari wilayah sekitarnya menjadikan wibawa Fathimiyah merosot. Pada 564 Hijriah atau 1167 Masehi, Salahuddin Al-Ayyubi mengambil alih kekuasaan Fathimiyah. Tokoh Kurdi yang juga pahlawan Perang Salib tersebut membangun Dinasti Ayyubiyah, yang berdiri disamping Abbasiyah di Baghdad yang semakin lemah. Salahuddin tidak menghancurkan Kairo yang dibangun Fathimiyah. Ia malah melanjutkannya sama antusiasnya. Ia hanya mengubah paham keagamaan negara dari Syiah menjadi Sunni. Sekolah, masjid, rumah sakit, sarana rehabilitasi penderita sakit jiwa, dan banyak fasilitas sosial lainnya dibangun. Pada 1250 -delapan tahun sebelum Baghdad diratakan dengan tanah oleh Hulagu-kekuasaan diambil alih oleh kalangan keturunan Turki, pegawai Istana keturunan para budak (Mamluk).
Di Istana, saat itu terjadi persaingan antara militer asal Turki dan Kurdi. Sultan yang baru naik, Turansyah, dianggap terlalu dekat Kurdi. Tokoh militer Turki, Aybak bersekongkol dengan ibu tiri Turansyah, Syajarah. Turansyah dibunuh. Aybak dan Syajarah menikah. Namun Aybak juga membunuh Syajarah, dan kemudian Musa, keturunan Ayyubiyah, yang sempat diangkatnya.
Di saat Aybak menyebar teror itu, tokoh berpengaruh Mamluk bernama Baybars mengasingkan diri ke Syria. Ia baru balik ke Mesir, setelah Aybak wafat dan Ali -anak Aybak-mengundurkan diri untuk digantikan Qutuz. Qutuz dan Baibars bertempur bersama untuk menahan laju penghancuran total oleh pasukan Hulagu. Di Ain Jalut, Palestina, pada 13 September 1260 mereka berhasil mengalahkan pasukan Mongol tersebut. Baybars (1260-1277) yang dianggap menjadi peletak pondasi Dinasti Mamluk yang sesungguhnya. Ia mengangkat keturunan Abbasiyah yang telah dihancurkan Hulagu di Baghdad untuk menjadi khalifah. Ia merenovasi masjid dan universitas Al-Azhar. Kairo dijadikannya sebagai pusat peradaban dunia. Ibnu Batutah yang berkunjung ke Mesir sekitar 1326 tak henti mengagumi Kairo yang waktu itu berpenduduk sekitar 500-600 ribu jiwa atau 15 kali lebih banyak dibanding London di saat yang sama.
Ibnu Batutah tak hanya mengagumi rihlah, tempat studi keagamaan yang ada hampir di setiap masjid. Ia terpesona pada pusat layanan kesehatan yang sangat rapi dan "gratis". Sedangkan Ibnu Khaldun menyebut: "mengenai dinasti-dinasti di zaman kita, yang paling besar adalah orang-orang Turki yang ada di Mesir. Pusat peradaban ini nyaris hancur di saat petualang barbar Timur Lenk melakukan invasi ke Barat. Namun Sultan Barquq berhasil menahan laju pasukan Mongol tersebut. Dengan demikian Mamluk merupakan pusat kekuasaan yang duakali mampu mengalahkan tentara Mongol.
Pada ujung abad 15, perekonomian di Mesir menurun. Para pedagang Eropa melalui Laut Tengah tak lagi harus tergantung pada Mesir untuk dapat berdagang ke Asia. Pada 1498, mereka menemukan Tanjung Harapan di Selatan afrika sebagai pintu perdagangan laut ke Asia. Pada 1517, Kesultanan Usmani di Turki menyerbu Kairo dan mengakhiri sejarah 47 sultan di Dinasti Mamluk tersebut.[5]
DAFTAR PUSTAKA
[3] Hitti,philip k.2002.history of the arabs.edisi ringkas london dan new york.terbitan oleh macmillan.(diterjemahkan oleh usuludinhutagalung dan o.d.p sihombing)
No comments:
Post a Comment