BIOGRAFI TOKOH PENDIRI INDISCHE PARTIJ

RAHMAT ARIFAN/SI IV

Indische partij adalah organisai/partai politik yang ketiga yang berdiri di indonesia setelah budi utomo dan serikat islam, organisasi ini berdiri pada tanggal 25 desember 1912. Dasar dari pendirian organisasi indische partij ini ialah nasionalisme, dan tujuannya adalah untuk mencapai hindia belanda (indonesia) memperoleh kemerdekaannya. Kelebihan dari indische partij sejak awal sudah menetapkan diri sebagai organisasi/partai politik, selain itu organisasi ini bersifat terbuka bagi siapa saja yang mengakui hindia belanda (indonesia) sebagai tanah airnya. Sehingga anggotanya mencakup kalangan pribumi,indo-eropa dan timur asing.[1]

Adapun yang menjadi pendiri dari organisasi indische partij yaitu sebagai berikut ini:
E. F. E DOUWES DEKKER
Danudirja Setiabudi memiliki nama asli Ernest Eugene Francois Douwes Dekker lahir di pasuruan pada tanggal 8 oktober 1879. Setiabudi adalah saudara dari Eduard Douwes Dekker, pengarang buku Max HaveIaar yang dikenal sebagai Multatuli. Selepas sekolah di HBS tahun 1897, Ernest bekerja sebagai pengawas di sebuah perusahaan perkebunan Belanda di kaki Gunung Semeru, lalu pindah ke pabrik gula di Pasuruan. Douwes Dekker juga sempat bersekolah di Swis dengan mendaftarkan dirinya sebagai orang Indonesia dan suku Jawa.
 Bekal pendidikannya ini membuatnya pernah menjalani profesi sebagai guru kimia. Saat ibunda beliau meninggal ditahun 1899, ia sangat sedih. Beliau kemudian bertualang ke luar negeri dan terlibat dalam Perang Boer di Afrika Selatan, membantu perjuangan mengusir Inggris. Setelah itu, beliau sempat dipenjarakan oleh Inggris di SriLanka. Pada tahun 1903, ia kembali ke Jawa dan memilih bekerja sebagai wartawan. Ia sempat bekerja di surat kabar De Locomotief IaIu Surabajaas Handeisbiad. Beliau menjadikan surat gerakan anti penjajahan melalul tulisan-tulisan keras menentang Belanda. Beliau merekrut banyak pemuda, antara lain Soeryopranoto, Cokrodirdjo, Cipto, dan Gunawan Mangoenkoesoemo.
Akibatnya, beliau tidak lama bertahan. la pun bekerja di Bataviaas Nieusblad. Hanya sebentar saja, beliau kembali keluar dan membuat surat kabar sendiri. Awalnya majalah bulanan HetTijdshrift, lalu koran De Express yang radikal. Orang-orang menyebutnya Neo-Multatulian. Langkah Ernest selanjutnya adalah mendirikan Indische Partij (IP) pada tanggal 25 Desember 1912 di Bandung bersama dua sahabatnya, Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat. IP adalah partai politik pertama di Hindia yang menyerukan Hindia untuk orang Hindia Pernyataan Hindia untuk orang Hindia mampu membangkitkan semangat nasionalisme rakyat.
Menjelang peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda dan Perancis pada November 1903, para tokoh IP, yaitu Ernest Douwes Dekker,Suwardi Suryaningrat, dan Cipto Mangunkusumo membentuk Komite Bumiputera dan melakukan kritik atas rencana perayaannya di Indonesia. IP menganggap rencana peringatan itu sebagai penghinaan bagi bangsa Indonesia yang masih terjajah. Tiga Serangkai ini kemudian dibuang ke Belanda. Pada tahun itu juga IP dibubarkan oleh Gubernur Jenderal Belanda. Setelah kembalinya ke Jawa pada tahun 1918, Tiga Serangkai kembali berusaha terjun ke politik dengan bergabung di Insulinde. Namun, karena organisasi ini dianggap terlalu cutis, mereka pun mendirikan NIP (Nationaàl Indische Partij). Organisasi ini segera dibubarkan penguasa kolonial. Ernest sendiri juga melanjutkan perjuangan melalui jalur pendidikan dengan mendirikan Ksatria Institut yang menanamkan nilai kebangsaan.
Menjelang meletusnya Perang Pasifik di awal tahun 1940-an, Belanda menangkap para tokoh pergerakan Indonesia. Ernest termasuk yang ditangkap dan ditahan di Ngawi. Saat Jepang mendarat di Jawa, beliau dibuang ke Suriname. Pada tahun 21 Januari 1947, beliau berhasil kembali ke Indonesia. la Iangsung bertemu dengan Bung Karno. Bung Karno yang mengakui Ernest Douwes Dekker sebagai gurunya, kemudian memberi nama Danudirja Setiabudi kepada beliau. Danudirja berarti banteng yang kuat, sementara Setiabudi berarti jiwa kuat yang setia. Dengan berganti nama menjadi Danudirja Setiabudi
Danudirja Setiabudi kemudian masuk ke dalam Kabinet Syahrir. la juga pernah menjadi penasihat presiden dan anggota delegasi Indonesia saat melakukan perundingan dengan Belanda. Pada saat Agresi Militer II Belanda, hampir semua pemimpin Republik ditangkap, termasuk Ernest Douwes Dekker. Namun karena usia yang sudah lanjut, Ernest Douwes Dekker pun dibebaskan. Pada tahun 1949, Ernest Douwes Dekker kembali menempati rumahnya di Bandung. Pada 28 Agustus 1950, Ernest Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi mengembuskan napas yang terakhir. Ernest Eugene Francois Douwes Dekker ditetapkan sebagai pahlawan nasional berdasarkan keputusan presiden No.590 Tahun 1961, tanggal 9 November 1962.[2]
CIPTO MANGUNKUSUMO
Cipto Mangunkusumo dilahirkan di Desa Pecagakan, Jepara. Ia adalah putera tertua dan Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan dalam struktur masyarakat Jawa yang bekerja sebagai guru. Meskipun demikian, Mangunkusumo berhasil menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang yang tinggi. Ketika menempuh pendidikan di stovia, cipto dinilai sebagai pribadi yang jujur, berpikiran tajam, dan rajin. Para guru menjuluki cipto sebagai een begaald leerling atau murid yang berbakat. cipto juga dengan tegas memperlihatkan sikapnya. Ia membuat tulisan-tulisan pedas mengkritik Belanda di harian De locomotive dan Bataviaasch Nieuwsblad sejak tahun 1907. Setelah lulus dari stovia, beliau bekerja sebagai dokter pemerintah kolonial Belanda yang ditugaskan di Demak. Sikapnya yang tetap kritis melalui berbagai tulisan membuatnya kehilangan pekerjaan.
Cipto yang menyambut baik kehadiran budi utomo sebagai bentuk kesadaran pribumi akan dirinya. Namun, cipto menginginkan budi utomo sebagai organisasi politik yang harus bergerak secara demokratis dan terbuka bagi semua rakyat Indonesia. Hal ini menimbulkan perbedaan antara dirinya dan pengurus budi utomo lainnya. Cipto lalu mengundurkan diri dan membuka praktek dokter di Solo, ia pun mendirikan R.A. Kartini Klub yang bertujuan memperbaiki nasib rakyat. Ia kemudian bertemu Douwes Dekker dan bersama Suwardi Suryaningrat mereka mendirikan Indische Partij pada tahun 1912.
Cipto selanjutnya pindah ke Bandung dan aktif menulis di harian De Express. Menjelang perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dan Perancis, Cipto Mangunkusumo dan Suwardi mendirikan Komite Bumiputera sebagai reaksi atas rencana Belanda merayakannya di Indonesia. Aksi Komite Bumi Putera mencapai puncaknya pada 19 Juli 1913, ketika harian De Express menerbitkan artikel Suwardi Suryaningrat yang berjudul Ais ik Nederlands Was (Andaikan Saya Seorang Belanda). Cipto kemudian menulis artikel yang mendukung Suwardi keesokan harinya. Akibatnya, 30 Juli 1913 Cipto Mangunkusumo dan Suwardi dipenjara. Melihat kedua rekannya dipenjara, Douwes Dekker menulis artikel di De Express Pada 18 Agustus 1913, cipto Mangunkusumo bersama Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker dibuang ke Belanda.
Selama di Belanda, kehadiran mereka membawa perubahan besar terhadap Indische Vereeniging, sebuah organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda yang semula bersifat social menjadi lebih politis. Konsep Hindia bebas dari Belanda dan pembentukan sebuah negara Hindia yang diperintah rakyatnya sendiri mulai dicanangkan oleh Indische Vereeniging. Oleh karena alasan kesehatan, pada tahun 1914 Cipto Mangunkusumo diperbolehkan pulang kembali ke Jawa dan sejak saat itu dia bergabung dengan Insulinde. Pada 9 Juni 1919 Insulinde mengubah nama menjadi Nationaal-Indische Partij (NIP).
Pada tahun 1918, Pemerintah Hindia Belanda membentuk Volksraad (Dewan Rakyat). Cipto Mangunkusumo terpilih sebagai salah satu anggota oleh gubernur jenderal Hindia Belanda mewakili tokoh yang kritis. Sebagai anggota Volksraad, sikap  Cipto Mangunkusumo tidak berubah. Melihat kenyataan itu, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1920 mengusir Cipto Mangunkusumo ke luar Jawa. Cipto kemudian dibuang lagi ke Bandung dan dikenakan tahanan kota. Selama tinggal di Bandung, Cipto Mangunkusumo kembali membuka praktek dokter dengan bersepeda ke kampung-kampung. Di Bandung pula Cipto Mangunkusumo bertemu dengan kaum nasionalis yang lebih muda, seperti Sukarno yang pada tahun 1923 membentuk Algemeene Studie Club. Pada tahun 1927 Algemeene Studie Club diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Meskipun Cipto tidak menjadi anggota resmi dalam Algemeene Studie Club dan PNI, Cipto tetap diakui sebagai penyumbang pemikiran bagi generasi muda, termasuk oleh Sukarno.
Pada tahun 1927, Belanda Menganggap Cipto Mangunkusumo terlibat dalam upaya sabotase sehingga membuangnya ke Banda Neira. Dalam pembuangan, penyakit asmanya kambuh. Ketika Cipto Mangunkusumo diminta untuk menandatangani suatu perjanjian bahwa dia dapat pulang ke Jawa untuk berobat dengan melepaskan hak politiknya, Cipto secara tegas mengatakan bahwa lebih baik mati di Banda. Cipto kemudian dipindahkan ke Makasar, lalu ke Sukabumi pada tahun 1940. Udara Sukabumi yang dingin Ternyata tidak baik bagi kesehatan beliau sehingga dipindahkan lagi ke Jakarta hingga Dokter Cipto Mangunkusumo wafat pada 8 Maret 1943. Cipto mangunkusumo di tetapkan sebagai pahlawan nasional berdasarkan surat kuputusan presiden No. 109/TK/1964, tanggal. 2 Mei 1964.[3]
SUWARDI SURYANINGRAT
Ki Hajar Dewantara memiliki nama asli R.M. Suwardi Suryaningrat. Beliau berasal dan keluarga keturunan Keraton Yogyakarta. Beliau mengganti namanya tanpa gelar bangsawan agar dapat lebih dekat dengan rakyat. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, beliau belajar di stovia seperi halnya cipto manginkusumo, tetapi tidak menamatkannya karena sakit. BeIiau kemudian bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar, antara lain De Express, Utusan Hindia,dan Kaum Muda. Sebagai penulis yang handal, tulisannya mampu membangkitkan semangat antikolonialisme rakyat Indonesia.
Ki Hajar Dewantara juga aktif di bidang politik dengan bergabung ke dalam Budi Utomo, lalu mendirikan Indische Partij sebagai partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia pada tanggai 25 Desember 1912 bersama kedua rekannya, Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo. Ki Hajar Dewantara juga ikut membidani terbentuknya Komite Bumiputra di tahun 1913 sebagai bentuk protes terhadap rencana Belanda memeringati kemerdekaannyaa dan Perancis. Beliau kemudian membuat sebuah tulisan pedas di harian De Express yang berjudui Als lk een Nederlander (Seandainya Aku Seorang Belanda). Melalui tulisan ini, beliau menyindir Belanda yang hendak merayakan 100 tahun kemerdekaannyaa dan Perancis di negeri jajahan dengan menggunakan uang rakyat indonesia. Berikut ini kutipannya.[4]
Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh Si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. ide untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu  Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya.
Akibatnya, Belanda pun langsung menjatuhkan hukuman pengasingan. Bersama Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesomo, beliau dibuang ke Belanda. Di Belanda, Ki Hajar Dewantara memanfaatkan kesempatan mendalami masalah pendidikan dan pengajaran. Setelah kembali ke tanah air, Ki Hajar Dewantara memusatkan perjuangan melalui pendidikan dengan mendirikan perguruan Taman Siswa pada tanggal 3 JuIi 1922. Perguruan ini merupakan wadah untuk menanamkan rasa kebangsaaan kepada anak didik. Ajaran Ki Hajar Dewantara yang terkenal adalah ing ngarsa sung tulodo, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani. Artinya adalah di depan memberi teladan, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberi dorongan.
Berkat jasanya yang besar di bidang pendidikan maka pemerintah menetapkan beliau sebagai Bapak Pendidikan dan tanggal lahirnya, 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional. Pada tahun 1957, beliau mendapat gelar Doctor Honoris Causa dan UniversitaS Gadjah Mada. Dua tahun setelah mendapat gelar tersebut, beliau meninggal dunia pada tanggat 26 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di Taman Wijaya Brata. Beliau diangkat sebagai pahlawan nasional berdasarkan keputusan pemerintahan No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959.[5]
DAFTAR PUSTAKA
[1]suwarno,Drs,MSi.2011.latar belakang dan fase awal pertumbuhan kesadaran nasional.purwokerto.diterbitkan oleh program studi pendidikan sejarahfakultas keguruan dan ilmu pendidikan universitas muahamadyah purwokerto.
[5 Ajisaka, Arya. 2004. Mengenal Pahlawan Indonesia. Jakarta: Kawan Pustaka.


No comments:

Post a Comment