Tiopan Purba/SR/015/B
Kabupaten Bintan sebelumnya merupakan Kabupaten Kepulauan Riau. Kabupaten Kepulauan Riau telah dikenal beberapa abad yang silam tidak hanya di nusantara tetapi juga di manca-negara. Wilayahnya mempunyai ciri khas terdiri dari ribuan pulau besar dan kecil yang tersebar di Laut Cina Selatan, karena itulah julukan Kepulauan "Segantang Lada" sangat tepat untuk menggambarkan betapa banyaknya pulau yang ada di daerah ini. Pada kurun waktu 1722-1911, terdapat dua Kerajaan Melayu yang berkuasa dan berdaulat yaitu Kerajaan Riau Lingga yang pusat kerajaannya di Daik dan Kerajaan Melayu Riau di Pulau Bintan.
Jauh sebelum ditandatanganinya Treaty of London, kedua Kerajaan Melayu tersebut dilebur menjadi satu sehingga menjadi semakin kuat. Wilayah kekuasa-annya pun tidak hanya terbatas di Kepulauan Riau saja, tetapi telah meliputi daerah Johor dan Malaka (Malaysia), Singapura dan sebagian kecil wilayah Indragiri Hilir. Pusat kerajaannya terletak di Pulau Penyengat dan menjadi terkenal di Nusantara dan kawasan Semenanjung Malaka.
Setelah Sultan Riau meninggal pada tahun 1911, Pemerintah Hindia Belanda menempatkan amir-amirnya sebagai Districh Thoarden untuk daerah yang besar dan Onder Districh Thoarden untuk daerah yang agak kecil.
Pemerintah Hindia Belanda akhirnya menyatukan wilayah Riau Lingga dengan Indragiri untuk dijadikan sebuah keresidenan yang dibagi menjadi dua Afdelling yaitu :
1. Afdelling Tanjungpinang yang meliputi Kepulauan Riau–Lingga, Indragiri Hilir dan Kateman yang berkedudukan di Tanjungpinang dan sebagai penguasa ditunjuk seorang Residen.
2. Afdelling Indragiri yang berkedudukan di Rengat dan diperintah oleh Asisten Residen (dibawah) perintah Residen.
1. Afdelling Tanjungpinang yang meliputi Kepulauan Riau–Lingga, Indragiri Hilir dan Kateman yang berkedudukan di Tanjungpinang dan sebagai penguasa ditunjuk seorang Residen.
2. Afdelling Indragiri yang berkedudukan di Rengat dan diperintah oleh Asisten Residen (dibawah) perintah Residen.
Pada 1940 Keresidenan ini dijadikan Residente Riau dengan dicantumkan Afdelling Bengkalis (Sumatera Timur) dan sebelum tahun 1945–1949 berdasarkan Besluit Gubernur General Hindia Belanda tanggal 17 Juli 1947 No. 9 dibentuk daerah Zelf Bestur (daerah Riau). Berdasarkan surat Keputusan de-legasi Republik Indonesia, Provinsi Su-matera Tengah tanggal 18 Mei 1950 No.9/ Deprt. menggabungkan diri ke dalam Republik Indonesia dan Kepulauan Riau diberi status daerah Otonom Tingkat II yang dikepalai oleh Bupati sebagai kepala daerah dengan membawahi empat kewedanan sebagai berikut:
1. Kewedanan Tanjungpinang meliputi wilayah kecamatan Bintan Selatan (termasuk kecamatan Bintan Timur, Galang, Tanjungpinang Barat dan Tanjungpinang Timur sekarang).
2. Kewedanan Karimun meliputi wila-yah Kecamatan Karimun, Kundur dan Moro.
3. Kewedanan Lingga meliputi wilayah Kecamatan Lingga, Singkep dan Senayang.
4. Kewedanan Pulau Tujuh meliputi wilayah Kecamatan Jemaja, Siantan, Midai, Serasan, Tambelan, Bunguran Barat dan Bunguran Timur.
1. Kewedanan Tanjungpinang meliputi wilayah kecamatan Bintan Selatan (termasuk kecamatan Bintan Timur, Galang, Tanjungpinang Barat dan Tanjungpinang Timur sekarang).
2. Kewedanan Karimun meliputi wila-yah Kecamatan Karimun, Kundur dan Moro.
3. Kewedanan Lingga meliputi wilayah Kecamatan Lingga, Singkep dan Senayang.
4. Kewedanan Pulau Tujuh meliputi wilayah Kecamatan Jemaja, Siantan, Midai, Serasan, Tambelan, Bunguran Barat dan Bunguran Timur.
Kemudian berdasarkan Surat Keputusan No. 26/K/1965 dengan mem-pedomani Instruksi Gubernur Riau tanggal 10 Februari 1964 No. 524/A/1964 dan Instruksi No. 16/V/1964 dan Surat Keputusan Gubernur Riau tanggal 9 Agustus 1964 No. UP/ 247/5/1965, tanggal 15 Nopember 1965 No. UP/256 /5/1965 menetapkan terhitung mulai 1 Januari 1966 semua daerah Administratif kewedanaan dalam Kabupaten Kepulauan Riau di hapuskan.
Pada tahun 1983, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 1983, telah dibentuk Kota Administratif Tan-jungpinang yang membawahi 2 (dua) kecamatan yaitu Kecamatan Tanjungpinang Barat dan Kecamatan Tanjungpinang Timur, dan pada tahun yang sama sesuai dengan peraturan pemerintah No. 34 tahun 1983 telah pula dibentuk Kotamadya Batam. Dengan adanya pengembangan wilayah tersebut, maka Batam tidak lagi menjadi bagian Kabupaten Kepulauan Riau.
Berdasarkan Undang-Undang No. 53 tahun 1999 dan UU No. 13 tahun 2000, Kabupaten Kepulauan Riau dimekarkan menjadi 3 kabupaten yang terdiri dari : Kabupaten Kepulauan Riau, Kabupaten Karimun dan Kabupaten Natuna. Wilayah kabupaten Kepulauan Riau hanya meliputi 9 kecamatan, yaitu : Singkep, Lingga, Senayang, Teluk Bintan, Bintan Utara, Bintan Timur, Tambelan, Tanjungpinang Barat dan Tanjungpinang Timur. Kecamatan Teluk Bintan merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Galang. Sebahagian wilayah Galang dicakup oleh Kota Batam. Kecamatan Teluk Bintan terdiri dari 5 desa yaitu Pangkil, Pengujan, Penaga, Tembeling dan Bintan Buyu.
Kemudian dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 5 tahun 2001, Kota Administratif Tanjungpinang berubah menjadi Kota Tanjungpinang yang statusnya sama dengan kabupaten
Sejalan dengan perubahan administrasi wilayah pada akhir tahun 2003, maka dilakukan pemekaran kecamatan yaitu Kecamatan Bintan Utara menjadi Kecamatan Teluk Sebong dan Bintan Utara. Kecamatan Lingga menjadi Kecamatan Lingga Utara dan Lingga. Pada akhir tahun 2003 dibentuk Kabupaten Lingga sesuai dengan UU No. 31/2003, maka dengan demikian wilayah Kabupaten Kepulauan Riau meliputi 6 Kecamatan yaitu Bintan Utara, Bintan Timur, Teluk Bintan, Gunung Kijang, Teluk Sebong dan Tambelan. Dan berdasarkan PP No. 5 Tahun 2006 tanggal 23 Februari 2006, Kabupaten Kepulauan Riau berubah nama menjadi Kabupaten Bintan.
Sejalan dengan perubahan administrasi wilayah pada akhir tahun 2003, maka dilakukan pemekaran kecamatan yaitu Kecamatan Bintan Utara menjadi Kecamatan Teluk Sebong dan Bintan Utara. Kecamatan Lingga menjadi Kecamatan Lingga Utara dan Lingga. Pada akhir tahun 2003 dibentuk Kabupaten Lingga sesuai dengan UU No. 31/2003, maka dengan demikian wilayah Kabupaten Kepulauan Riau meliputi 6 Kecamatan yaitu Bintan Utara, Bintan Timur, Teluk Bintan, Gunung Kijang, Teluk Sebong dan Tambelan. Dan berdasarkan PP No. 5 Tahun 2006 tanggal 23 Februari 2006, Kabupaten Kepulauan Riau berubah nama menjadi Kabupaten Bintan.
Sejarah kerajaan di Kepulauan Riau dan daerah sekitarnya terkait erat dengan Kerajaan Sriwijaya. Munculnya Imperium Melayu mulai dari Kerajaan Bentan (Bintan) hingga Kerajaan Riau Lingga-Johor dan Pahang menjadi penyambung warisan Sriwijaya. Saat Sriwijaya mengalami kemunduran, diwilayah yang saat ini bernama Kepulauan Riau telah ada Kerajaan Bintan. Tahun 1100 M telah dilantik raja Kerajaan Bintan pertama bernama Asyhar-Arya yang bergelar Raja Iskandar Syah.[1]
Tercatat ada tiga raja Kerajaan Bentan yang namanya begitu dikenal, yakni Raja Iskandar Syah (1100-1150 M), dilanjutkan istrinya Wan Seri Beni (1150-1158 M) dan digantikan menantunya Sang Nila Utama yang bergelar Seri Tri Buana yang berasal dari Bukit Siguntang, Palembang. Raja Seri Tri Buana memindahkan pusat kerajaan Bentan di Pulau Bentan ke Temasik yang diberi nama baru Singapura. Pemindahan dilakukan tahun 1158 M.
Raja terakhir dari kerajaan ini adalah Prameswara yang dikalahkan Majapahit tahun 1384 M. Kalah di Temasik (Singapura), ia memindahkan pusat pemerintahannya ke Malaka dan menjadi Raja Malaka pertama. Ia masuk Islam dan berganti nama menjadi Sultan Muhammad yang memerintah tahun 1384-1414 M. Raja Malaka selanjutnya adalah Sultan Iskandar Syah, Sultan Muzzafar Syah, Sultan mansyur Syah, Sultan Muzzafar Syah dan terakhir Sultan Mahmud Syah. Dimasa Sultan Mahmud Syah, Malaka dihancurkan Portugis tahun 1511 dan berakhirlah Kerajaan Malaka.
Sultan Mahmud Syah yang lebih dikenal dengan nama Sultan Mahmud Syah I bersama putranya, Raja Ahmad melarikan diri ke Bintan dan selanjutnya terus ke Kampar, Riau, setelah Malaka jatuh. Mereka pindah lagi ke Kampar karena Portugis menyerang Bintan. Sultan Mahmud Syah meninggal di Kampar dan anaknya bernama Raja Ali menjadi raja bergelar Sultan Alaudin Riayat Syah. Sultan ini meninggalkan Kampar dan memindahkan pusat pemerintahannya ke Johor. Ia menjadi Raja Johor pertama.
Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang
Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang berdiri dan berlangsung dalam rentang waktu tiga abad (1528-1819 M). Setelah Sultan Alaudin Riayat Syah (1828-1564 M), raja selanjutnya adalah Muzzafar Syah (1564-1574 M), Abdul Jalil Syah (1570-1571 M), Ali Jalla Abdul Jalil Syah (1571-1597 M), Alaudin Riayat Syah III (1597-1615 M). Selanjutnya Abdullah Muayat Syah (1615-1623 M), Abdul Jalil Syah III (1623-1677 M), Ibrahim Syah (1677-1685 M). Raja selanjutnya, Mahmud Syah II (1685-1699 M), Abdul Jalil Riayat Syah -IV (1699-1718 M), Sulaiman Badrul Alamsyah (1722-1761 M). Raka ke-13 adalah Abdul Jalil Muazam Syah (1761 M), Ahmad Riayat Syah (1761 M), dan Sultan Mahmud Syah III (1761-1819 M).
Pusat pemerintahan kembali ke Bintan dizaman Sultan Ibrahim Syah. Ia membangun pelabuhan di Sungai Carang. Setelah mangkat, ia digantikan putranya Sultan Mahmud Syah II yang baru berusia 10 tahun. Pusat pemerintahan kembali berpindah ke Johor. Ia tewas ditikam dan dimakamkan di Kota Tinggi, Johor. Kekuasan dilanjutkan keturunan Bendahara Tun Habib, bernama Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV. Ia memindahkan pusat pemerintahan ke Pancur, setelah itu kembali ke Hulu Sungai Carang, Pulau Bintan. Selama pemerintahannya, ia mendapat ancaman dari Raja Kecik dari Pagaruyung. Sultan memindahkan pusat pemerintahan ke Pahang.
Raja Kecik berhasil merebut tahta Kerajaan Johor dan sultan tewas. Raja Kecik menyebut dirinya anak Marhum Mangkat Dijulang alias Sultan Mahmud Syah II yang tewas ditikam Megat Seri Rama. Raja Kecik naik tahta dengan gelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah. Kekuasaan Raja Kecik berakhir setelah ditaklukan Tengku Sulaiman yang merupakan anak Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV. Tengku Sulaiman menaklukan Raja Kecik dengan meminta bantuan lima bangsawan Bugis, yakni Daeng Marewah, Daeng Parani, Daeng Celak, Daeng Manambun dan Daeng Kemasi. Tengku Sulaiman menjadi sultan dengan gelar Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah. Sultan berkedudukan di Ulu Sungai Carang, tumenggung di Johor dan bendahara di Pahang. Kekuasan sultan mencakup Riau Kepulauan, Johor dan Pahang.
Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah mangkat tahun 1760 M dan digantikan putranya, Sultan Abdul Jalil Muazam Syah. Namun, tak lama sultan meninggal dan digantikan putranya yang berusia dua tahun.Sultan muda dilantik dengan gelar Sultan Mahmud Riayat Syah alias Sultan Mahmud Syah III tahun 1761 M. Sultan yang berusia muda memerintah dibimbing Yang Dipertua Muda III Riau, Daeng Kamboja.
Sultah Mahmud Syah III memindahkan pusat pemerintahan ke Daik Lingga tahun 1787 M. Tujuannya sebagai strategi dalam menghadapi serangan Belanda. Daik Lingga lebih susah dijangkau dan kondisi alamnya bagus untuk pertahanan. Selain membangun Daik Lingga, Sultan Mahmud Syah III juga membangun Pulau Penyengat. Pulau ini menjadi mas kawin saat sultan menikah dengan Engku Putri. Kerajaan Riau Lingga Johor dan Pahang mengalami masa keemasan dizaman Sultan Mahmud Syah III ini.
Sultan Mahmud Syah III mangkat tahun 1812 M[.Setelah Sultan Mahmud Syah III wafat, maka berturut-turut yang menggantikan kedudukann beliau adalah Tengku Abdul Rahman Syah putera Sultan Mahmud Syah III dengan permaisurinya Cek Maryam bin Datuk Syahbandar Hasan, yang dilantik sebagai Sultan Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVII pada tahun 1812-1824 di Daik Lingga. Ketika Inggris dan Belanda membuat perjanjian di London pada 17 Maret 1824, Inggris lalu mengangkat Tengku Hussin ibni Sultan Mahmud Syah III dengan permaisurinya Encik Makoh binti Encek Jaafar Daeng Maturang sebagai Sultan Johor Singapura (Sultan Johor) ke XVIII dan bergelar Sultan Husin Syah. Maka dengan ini Sultan Abdul Rahman Syah hanya bertahan sebagai Sultan Riau-Lingga ke I tahun 1824-1832.
Ia digantikan putranya, Sultan Abdul Rahman Syah III dengan permaisuri Raja Fatimah, yang dilantik sebagai Sultan Riau-Lingga ke II bergelar Sultan Muhammad Muazzam Syah di Daik Lingga tahun 1832-1841. Posisinya digantikan putra sulungnya, Tengku Besar Mahmud yang bergelar Sultan Mahmud Muzzaffar Syah yang memerintah dari tahun 1841-1857. Pada tahun 1857 beliau dipecat oleh Kerajaan Belanda, kemudian meninggalkan Daik Lingga menuju Pahang dan mangkat di sana. Pengantinya, putranya yakni Raja Sulaiman yang dilantik sebagai Sultan Riau Lingga ke IV pada tahun 1857-1883, yang bergelar Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II.
Sultan berikutnya, Raja Abdul Rahman yang merupakan putera Tengku Embong Fatimah binti Sultan Mahmud Muzzaffar Syah dengan suaminya Raja Muhammad Yusuf Al-Ahmadi Yamtuan Muda Riau ke X. Ia bergelar Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah. Beliau memerintah di Daik Lingga dari tahun 1883-1900, kemudian pindah ke pulau Penyegat tahun 1900-1911.
Belanda melengserkan Sultan Abdul Rahman II tanggal 3 Februari 1911. Belanda menempatkan residen di Dabo Singkep, Penuba, dan Tanjung Buton sehingga kekuasaan sultan semakin sempit. Sementara itu lembaga Yamtuan Dipertuan Muda dihapuskan sultan pada tahun 1900 itu juga. Secara resmi Belanda menguasai dan memerintah langsung Riau Lingga sejak 1913 M. Berakhirlah Kesultanan Riau Lingga.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Malik, dkk, Sejarah Kejuangan dan Kepahlawanan Sultan Mahmud Riayat Syah, Yang Dipertua Besar Kerajaan Riau-Lingga –Johor dan Pahang, 1761-1812. Pemkab Lingga, tahun 2012.
M Amin Yacob, Serajah Kerajaan Lingga: Johor-Pahang-Riau-Lingga, Unuversitas Press, 2004.
Website BPNB Tanjungpinang, Sejarah Kerajaan Riau Lingga, Kepulauan Riau. Artikel 8 Juni 2014.
[1] Abdul Malik, dkk, Sejarah Kejuangan dan Kepahlawanan Sultan Mahmud Riayat Syah, Yang Dipertua Besar Kerajaan Riau-Lingga –Johor dan Pahang, 1761-1812., hal.3
No comments:
Post a Comment