FAISAL / SI IV
Sejarah gerakan wanita di indonesia menunjukan kemiripan dengan gerakan wanita di negara-negara yang pernah mengalami penjajahan oleh negara-negara Barat. Pada umumnya gerakan wanita sebagai sosial tidak muncul tiba-tiba melainkan merupakan perkembangan dalam masyarakat dimana ada perasaan cemas dan ada keinginan individu yang menghendaki perubahan dan yang kemudian bergabung dalam suatu tindakan bersama.
Awal dari kemunculan gerakan wanita di Indonesia ini tidak lepas dari kebijakan pemerintahan kolonial. Salah satu kebijakan yang mempengaruhinya adalah kebijakan politik etis yang didalamnya terdapat hal mengenai pendidikan. Dengan adanya politik etis ini bidang pengajaran menjadi salah satu prioritas pemerintahn kolonial dimana pemerintahan kolonial tidak hanya mendirikan sekolah rendah saja melainkan mulai mendirikan sekolah-sekolah menengah, sekolah keguruan, dan sekolah tinggi.
Namun sayangnya perkembangan pendidikan ini tidak dapat sepenuhnya dirasakan oleh kaum wanita karena hanya kaum laki-laki yang dapat mengenyam pendidikan sampai ke jenjang yang tinggi. Hal ini memunculkan adanya diskriminasi antara kaum pria dan kaum wanita. Berkembangnya diskriminasai terutama dalam pembatasan pendidikan bagi kaum wanita ini ternyata dipengaruhi oleh adat yang berkembang pada saat itu. Sehingga pendidikan yang diperoleh kaum wanita hanya sebatas kepada persiapan untuk menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik, kalaupun wanita itu bersekolah itu hanya sampai tingkat sekolah rendah saja karena pada masa itu anak wanita yang sudah menginjak usia dewasa atau gadis tidak diperbolehkan keluar rumah dalam kehidupan keluarga.
Selain itu juga faktor yang turut mempengaruhi munculnya gerakan wanita adalah menegenai kedudukan wanita yang berada dalam kekusaan laki-laki, terutama dalam hal perkawinan. Kekuasaan yang tak terbatas dari seorang laki-laki ini menyebabkan dia dapat dengan mudah mempoligami istrinya dan menceraikan istrinya sesuka hati, kekuasaan tidak terbatas dari kaum laki-laki dalam perkawinan dimana seorang laki-laki dengan begitu saja sewaktu-waktu boleh menceraikan isterinya, tidak usah mengatakan sebab-sebabnya dan tidak ada beban kewajiban untuk menyokong isteri yang diceraikan, kawin paksa dimana wanita banyak yang di kawinkan dengan suami yang belum pernah dilihatnya, atau sudah pernah di lihat tetapi belum dikenal, adat kebiasaan tetap tinggal di rumah yang menuntut gadis-gadis sejak mulai menginjak waktu dewasa tidak boleh meninggalkan rumah, maka hal-hal inilah yang kemudian menjadi penyebab dari awal mulanya pergerakan wanita.
RA. Kartini adalah Pelopor Pergerakan kaum wanita. R.A. Kartini telah menjadi sejarah dalam keikutsertaan kaum hawa diberbagai bidang kehidupan,baik non pemerintahan dan pemerintahan, R.A. Kartini sangat diharumkan namanya terlihat dari tanggal lahirnya yang selalu diperangati oleh berbagai kalangan bukan hanya kaum hawa tetapi kaum adam pun ikut serta dalam memperingati hari pergerakan kaum wanita atau hari R.A.Karitini atau Hari ibu, R.A. Kartini merupakan beberapa kaum atau salah satu kaum hawa yang sangat memperjuangkan hak-hak perempuan atau kaum hawa untuk ikut serta dalam berbagai bidang kehidupan dan karna R.A.Kartini berbagai kaum hawa dapat kerja diberbagai bidang kehidupan, dan Setiap 21 April diperangati Hari ibu untuk mengenang dan memperingati Pergerakan Kaum Wanita dan Perjuangan R.A. Karitini sebagai pelopor Para Pergerakan kaum wanita. Untuk mengetahui Sejarah Sejarah Pergerakan Kaum Wanita (R.A.Kartini).
R.A. Kartini (21 April 1879-1904) dianggap sebagai pelopor Pergerakan kaum wanita Indonesia. Beliau wanita Indonesia pertama yang mempunyal cita-cita untuk memajukan kaumnya dalam bidang pendidikan-pengajaran. Sebagai akibat kurang mendapat pendidikan-pengajaran. kaum wanita diperlakukan tidak adil. Hal itu ditunjukkan. oleh adat-kebiasaan:
1. Adanya kawin-paksa.
2. Polygami.
3. Kaum pria mempunyai kekuasaan tak terbatas dalamperkawinan.
4. Sesudah menginjak dewasa, gadis-gadis dilarang ke luar rumah (= dipingit).
Adat kebiasaan semacam itu lambat laun ditentang oleh kaum wanita yang mempunyai pikiran maju. Diilhami oteh cita-cita Kartini, merek mulai bergerak untuk merombak tradisi yang tidak adil tersebut.
Pergerakan kaum wanita pada umumnya bersifat sosial, dengan tujuan:
· Keluar: berusaha memperoleh persamaan hak setaraf dengan kaum pria, agar supaya tidak diperlakukan sewenang-wenang.
· ke dalam : berusaha meningkat/sempurnakan kemampuan dan kecerdasan kaum wanita sendiri sebagal ibu dan pemeg ang kendali rumah-tangga.
Organisasi wanita Indonesia yang pertama didirikan di Jakarta pada tahun 1912 dengan nama Putri Mardika. Berdirinya organisasi itu berkat bantuan Budi Utomo, dengan tujuan: Berusaha memajukan pendidikan-pengajaran anak-anak wanita. Sesudah berdiri Putri Mardika kemudian muncul/berdiri organisasi-organisasi Iainnya. Hampir di tiap-tiap kota penting terdapat organisasi wanita, hingga jumlahnya banyak sekali.
Organisasi kaum wanita yang banyak sekali itu dapat dibagi sebagai berikut:
1. Organisasi-wanita yang menjadi bagian dan sesuatu organisasi, contohnya:
a). Wanudyo Utomo, bagian dan Sarekat Islam.
b). Aisyiyah, bagian dan Muhammadiyah.
2. Organisasi-wanita yang berdiri sendiri. Kebanyakan merupakan organisasinya kaum ibu, contohnya:
v Wanito Mulyo,
v Wanito Katholik
v Wanito Ut omo.
Antara tanggal 22 — 25 Desember 1928 organisasi-Organisasi wanita Indonesia mengadakan Konggres di Yogyakarta. Konggres yang pertama kali ini mempunyai tujuan sebägai berikut:
1. untuk mempersatukan cita-cita dan usaha memajukan kaum wanita.
2. untuk membentuk gabungan antara organisasi-organisasi yang beraneka-ragam coraknya.
Konggres berhasil mendirikan suatu gabungan organisasi wanita dengan nama Perikatan Perempuan Indonesia (PPI). Nama ini kemudian diubah menjadi Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPII). Tanggal dimulainya Konggres kaum wanita yang pertama kali tersebut dijadikan Hari Ibu, dan diperingäti setiap tahun (hingga sekarang). Meskipun belum tercapai seluruhnya, namun setahap demi setahap perjuangan kaum wanita banyak juga hasilnya. Adat-kebiasaan yang menghinakan derajat kaum-wanita makin lama makin berkurang. Bahkan sekitar tahun 1938 telah ada beberapa orang wanita Indonesia yang diangkat oleh Pemerintah Belanda.menjadi anggota Dewan Kota, misalnya di Bandung, Cirebon dan Surabaya.
Munculnya gerakan wanita pada awalnya terinspirasi oleh Kartini yang menyampaikan pandangan-pandangannya mengenai kedudukan wanita di Indonesia. Cita-cita Kartini makin tersebar dan wanita-wanita Indonesia lain mulai bergerak untuk maksud yang sama, pengajaran bagi anak-anak wanita, pendidikan dan pengajara untuk mempertinggi derajat sosial, dan untuk menambahkan kecakapannya sebagai ibu dan sebagai pemegang rumah tangga. Pada akhirnya perhatian kepentingan kaum wanita ini menjadi perhatian organisasi-organisasi wanita, yang dengan sendirinya boleh di pandang akbiat dari pendapat-pendapat Kartini itu. Perkumpulan "Kartini Fonds" yang bertujuan mendirikan sekolah-sekolah Kartini berdiri diberbagai tempat di Jawa, Keutamaan Istri didirikan dibanyak tempat di Jawa Barat, bahkan di kota Padang Panjang, "Kerajinan Amai Setia" di kota Gedang, "PIKAT" (Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya) berdiri pada tahun 1917 di Manado.
Pada mulanya gerakan wanita ini muncul adalah untuk memperoleh kesamaan hak antara kaum pria dan kaum wanita terutama dalam bidang pendidikan. Gerakan-gerakan wanita ini lebih bersifat sosial ekonomi atau juga bersifat a-politis yaitu tidak turut campur dalam bidang politik. Gerakan wanita yang pertama kali muncul adalah Putri Mardika yang didirikan atas bantuan Budi Utomo pada tahun 1912 di Jakarta. Putri Mardika ini bertujuan memajukan pengajaran anak-anak wanita, juga mempertinggi sikap yang merdeka dan tegak dan melepaskan tindak malu-malu yang melewati batas. Corak pergerakan wanita pada masa ini boleh dinamakan "gerakan" dikarenakan fokus kepada perbaikan kedudukan dalam perkawinan dan hidup keluarga, mempertinggi kecakapan sebagai pemegang rumah tangga, mencapainya dengan jalan menmbah pengajaran, mepertinggi kecapakapan-kecakapanm khusus untuk pengajaran, mempertinggi kecakapan-kecakapan khusus untuk wanita.
Kesemuanya, baik organisasi-organisasi bagian wanita dari organisasi partai umum, maupun organisasi-organisasi lokal kesukuan/kedaerahan bertujuan menggalakkan pendidikan dan pengajaran bagi wanita, dan perbaikan kedudukan sosial dalam perkawinan dan keluarga serta meningkatkan kecakapan sebagai ibu dan pemegang rumahtangga. Gerak kemajuan pada tahun-tahun sebelum 1920 dapat dikatakan lamban. Sebab-sebabnya ialah sangat kurangnya sekolah-sekolah untuk wanita pribumi, lagi pula kadang-kadang juga tiadanya izin dari Orang tuanya (dikalangan atas) atau diperlukan tenaganya untuk membantu orang-tua (dikalangan bawah). Disamping itu adat dan tradisi sangat menghambat kemajuan wanita.
Organisasi wanita adalah wadah dimana wanita belajar memperluas wawasannya, tampil dimuka umum, memikirkan masalah-masalah masyarakat diluar lingkungan domestik. Karena itu setelah Poetri Mardika didirikan pada 1920, bermunculanlah berbagai perkumpulan wanita lain, baik yang didukung oleh organisasi-organisasi umum (pria), maupun yang terbentuk secara mandiri oleh kaum wanita itu sendiri, dalam skala lebih luas kaum wanita mulai mengorganisasikan diri menurut garis agama. Kesediaan wanita untuk terlibat dalam kegiatan organisasi makin meningkat dan kecakapan berorganisasipun bertambah maju. Hal ini disebabkan karena kesempatan belajar makin meluas lagipula berkembang ke lapisan bawah. Dengan demikian jumlah wanita yang mampu beraksi juga bertambah luas dan tidak lagi terbatas kepada lapisan atas saja. Walaupun masing-masing organisasi yang bersifat kedaerahan dan keagamaan ini mempunyai masalah dan kegiatan sendiri-sendiri, juga ada beberapa kesamaan kepentingan yang didukung kebanyakan organisasi. Dalam tahun 1920-an partai-partai politik menjadi lebih radikal pula. Ini bergema juga dalam organisasi-organisasi wanita. Semangat persatuan melawan kolonailisme semakin kuat, organisasi politik bekerja sama dan menunjukan tuntutan-tuntutan agar pada golongan pribumi diberi kedudukan politik yang lebih baik, begitu pula kelompok-kelompok pemuda dari daerah masing-masing menunjukan persatuan dengan sumpah pemuda yang dicetuskan tanggal 28 Oktober 1928.
Semakin banyaknya perkumpulan wanita yang bermunculan menyebabkan sebagian dari mereka memiliki pemikiran untuk mendirikan suatu wadah yang dapat menampung perkumpulan wanita yang ada di Indonesia pada saat itu. Maka pada tanggal 22 Desember 1928 terbentuklah Perikatan Wanita Indonesia yang ciri utama kesatuan pergerakan wanita Indonesia pada masa itu ialah berazazkan kebangsaan dan menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan Indonesia.
Kongres pertamanya dilaksanakan di Yogyakarta dari 22 sampai 26 Desember 1928. Terselenggaranya kongres ini dicetuskan oleh Nyonya Soekonto dan Nyonya Suwardi. Hampir 30 perkumpulan wanita mengikuti kongres ini. Masalah-masalah politik tidak dibicarakan dalam kongres ini, para delegasi membatasi diri pada diskusi mengenai masalah pendidikan, kedudukan wanita dalam perkawinan, dan masalah poligami. Adapun keputusan yang dihasilkan dalam kongres ini adalah pendirian Perikatan Wanita Indonesia (PPI), yang tanpa berurusan dengan masalah politik berniat mengembangkan posisi sosial wanita dan kehidupan keluarga secara keseluruhan. Sebagai salah satu langkah menuju tujuan ini, kongres ini juga menghasilkan tiga buah kesepakatan yang diberikan kepada pemerintahan Belanda yaitu: (1) bahwa jumlah sekolah untuk anak wanita harus ditingkatkan; (2) penjelasan resmi mengenai arti taklik (janji dan syarat-syarat perceraian) diberikan kepada calon mempelai wanita pada saat akad nikah; dan (3) peraturan yang menolong para janda dan anak yatim dari pegawai sipil harus dibuat.
Kongres keduanya dilaksanakan di Jakarta dari 26 sampai 31 Desember 1929. Nama organisasi ini diubah menjadi Perserikatan Perhimpunan Isteri Indonesia (PPII). Dalam Kongres kali ini disinggung tentang tempat dan kewajiban wanita dalam kehidupan sosial ekonomi, kemudian masalah pewrkawianan dan kehidupan rumah tangga, kewajiban untuk menentang polygami, kawin paksa dan kawin anak-anak. Selain itu, dalam Kongres II ini disampaikan juga, bahwa tiga mosi hasil Kongres I yang disampiakan kepada pemerintah Belanda telah mandapat sambutan dan dukungan.
Tanggal 22 Maret 1930 terbentuk perkumpulan wanita bumi putera di Bandung yang dinamakan Isteri Sedar. Perkumpulan itu bertujuan untuk menyadarkan kaum wanita bumi putera guna meningkatkan taraf hidup bangsa dan membantu memperjuangakan Indonesia Merdeka. Menurut Isteri Sedar, federai seperti PPII, yang mengumpulkan perkumpulan-perkumpulan yang berbeda satu sama lain baik dari segi agama, social, dan masalah nasional tidak akan pernah berhasil memutuskan untuk mengambil langkah pasti dalam menyingkirkan kejahatan-kejahatan sosial. Oleh karena itu, Isteri Sedar tidak diwakilkan dalam kongres PPII dimana sekitar tiga puluh organisasi wanita ikut ambil bagian. Masalah-masalah besar seperti poligami dan perceraian tidak dibahas dalam kongres agar tidak melukai perasaan organisasi-organisasi Islam, yang terlihat membenarkan sikap yang diambil Isteri Sedar yang menolak untuk berpartisipasi. PPII merupakan suatu federasi yang sejak berdirinya organisasi ini berusaha merangkul semua perkumpulan-perkumpulan wanita dari corak apa saja untuk masuk didalamnya. PPII merasa kecewa Isteri Sedar tidak mau masuk didalamnya, hal ini terutama disebabkan karena Isteri Sedar terdiri dari anggota yang sangat berlainan bentuk coraknya, tetapi PPII bekerja sama dengan "lawannya" ini tentang pengiriman wakil Indonesia ke Kongres Wanita Asia di Lahore.
Kongres ketiga PPII dilaksanakan di Solo dari 25 sampai 29 Maret 1932, beberapa anggotanya cenderung bergabung dengan laki-laki dalam kegiatan-kegiatan politik untuk mencapai hasil tertentu dalam bidang sosial. Ide-ide Isteri Sedar, yang tetap berada di luar PPII bagaimana pun telah memperoleh banyak dukungan dari anggota kongres. Isteri Sedar kemudian mendeklarasikan dirinya sebagai organisasi politik pada tahun 1932. Organisasi ini semakin terkenal dengan mengkritik secara keras dan terbuka dan terbuka kebijakan pemerintah Kolonial.
Pada tahun 1932, organisasi wanita yang lebih kecil dan tidak berdasarkan agama, bergabung bersama untuk membentuk organisasi bernama Isteri Indonesia. Isteri Indonesai terdorong oleh keinginan untuk mempersatukan organisasi-organisasi yang sama atau hampir sama agar terbentuk tenaga yang lebih kuat. Organisasi ini menjadi anggota PPII dan berusaha meningkatkan pengaruh wanita Indonesia di masyarakat dengan cara mengikutsertakan wanita dalam dewan kota. Menanggapi hal ini, Pemerintah Belanda melantik Ny. Emma Puradiredja, Ny. Sunarjo Mangunpuspito, Ny. Sudirman dan Nona Umiyati, menjadi anggota gemeenteraad (Dewan Kota) di Bandung, Semarang, Surabaya, dan Cirebon. Pengangkatan itu merupakan suatu hal yang luar biasa, karena hal itu merupakan peristiwa pertama kalinya terjadi wanita bumi putera duduk dalam pemerintahan. Sehingga pada tanggal 8 Agustus 1939 sejumlah perkumpulan wanita di Ajkarta menyatakan protes dan menuntut supaya pemerintah memberi tempat buat wanita bumi putera dalam Volksraad (dewan rakyat).
Kongres keempat yang dilaksanakan di Bandung pada Juli 1938, dibicarakan tentang pentingnya hak pilih bagi kaum wanita sebagai anggota badan-badan perwakilan. Pada kongers itu kaum wanita bumi putera menuntut agar diberi hak pilih yang seluas-luasnya, dalam arti kaum wanita juga diberi kesempatan memilih dan dipilih dalam badan perwakilan.
Sepertinya perasaan kebangsaan di antara kaum wanita bumi putera makin manjadi jadi dan ingin terlibat langsung dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Terbukti dengan diadakannya Kongres yang ke V di Semarang pada Juli 1941 yang membicarakan tentang pentingnya hak pilih bagi kaum wanita sebagai anggota badan-badan perwakilan. Pada kongers tersebut kaum wanita bumi putera menuntut agar diberi hak pilih yang seluas-luasnya, dalam arti kaum wanita juga diberi kesempatan memilih dan dipilih dalam badan perwakilan. Maka, ketetapan lengkap dalam kongres tersebut antara lain : (1) Setuju dengan aksi GAPI (Gabungan politik Indonesia); (2) Setuju dengan adanya milisi Indonesia; (3) Mengusulkan agar wanita diberi hak dipilih disamping hak memilih; dan (4) Menyetujui supaya diadakannya pelajaran bahasa Indonesia di sekolah.
DAFTRA PUSTAKA
- Pelajaran Indonesia,Hal :71-73, Penerbit : Widya Duta, Penulis : Ibnoe Soewarso
- Djoened,Marwanti.1984.Sejarah Nasional Indonesia V. Balai Pustaka, Jakarta.
No comments:
Post a Comment