NURBANI
1. Tri Koro Dharmo dan Organisasi Pemuda Kedaerahan Tahun 1915-1925
Pemuda menjadi salah satu penggerak dalam mewujudkan tujuan, dalam mewujudkan tujuan tersebut dapat dijadikan dalam satu wadah yaitu sebuah organisasi. Dengan adanya organisasi dapat menyatukan pemikiran maupun ideologi dari setiap individu agar dapat mewujudkan cita-cita yang di inginkan, dengan berorganisasi juga dapat dijadikan pembelajaran bahwasanya hidup dalam kebersamaan lebih mudah dalam mewujudkan suatu tujuan. Pada mulanya bentuk organisasi-organisasi pemuda tersebut berdasarkan kesukuan atau kedaerahan, yang mengutamakan ikatan antara sesama pelajar sedaerah serta membangkitkan perhatian terhadap kebudayaan daerah masing-masing.
Perkumpulan pemuda mengikuti jejak organisasi politik yang bertujuan kemerdekaan Indonesia, para pemuda dengan semangatnya yang tinggi tidak ragu lagi memperjuangkan nasib bangsanya dalam mencapai kemerdekaan. Munculnya organisasi kepemudaan tersebut masih dalam pengawasan pihak kolonial, hal tersebut dilakukan oleh pemerintah Kolonial untuk memastikan bahwa organisasi-organisasi tersebut tidak melakukan perlawanan dan pemberontakan terhadap pemerintah Kolonial. Jika suatu organisasi masih aman dan tidak membahayakan maka masih diizinkan keberadaannya, namun jika organsasi tersebut dirasa membahayakan maka wajib dibubarkan.
Muda dan terpelajar menjadi bobot tersendiri dalam lahirnya organisasi pemuda, muda saja tidak cukup untuk mewujudkan suatu tujuan yang nyata. Karena setiap pemuda mempunyai caranya sendiri untuk menentukan tujuan hidupnya, dengan dibekali pelajaran dan mengenyam pendidikan yang tinggi menjadi nilai plus untuk menjadi pemuda yang mempunyai bobot yang lebih.
Di Hindia-Belanda memang tidak banyak kaum pemuda yang bisa melanjutkan pendidikannya sampai tingkat tinggi, kebanyakan yang dapat melanjutkan pendidikan tingkat lanjut hanya mereka yang tergolong kaum priyai, kaum priyayai ini adalah mereka yang menjadi administratur, pegawai pemerintah dan masyarakat yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari masyarakat pada umumnya. Muda dan terpelajar bukanlah menjadi syarat utama untuk mendapatkan pengakuan sosial, namun bagaimana mereka mengaplikasikannya dalam lingkungan sosial.
Organisasi pemuda yang berdiri pertama kali di kalangan pelajar pada masa itu bermula di kota-kota besar seperti di Jakarta. Mereka menuntut ilmu dan disanalah mereka bertemu dengan pelajar-pelajar lain yang berbeda daerah maupun budayanya. Dengan adanya perbedaan inilah mendorong mereka untuk membentuk suatu solidaritas menurut daerah mereka masing-masing, maka terbentuklah suatau perkumpulan pemuda yang menjunjung tinggi kebudayaan dari masing-masing daerah.
2. Tri Koro Dharmo Menjadi Jong Java
Suatu organisasi yang beranggotakan para pemuda terpelajar dan mempunyai pendapat yang beragam, memerlukan waktu untuk menyatukannya dan mendapatkan pemikiran yang sejalan agar tidak terjadi perselisihan. Seperti Tri Koro Dharmo, yang beranggotakan para pemuda dari pulau Jawa, Madura, Sunda, Bali dan Lombok. Memiliki pendapat yang berbeda diantara anggotanya, seperti dalam hal kebudayaan.
Tri Koro Dharmo sebagai organisasi pemuda pertama, sejak kelahirannya pada tahun 1915. Organisasi ini tidak luput dari masalah intern, yaitu masalah bagaimana menyelaraskan agar organisasi ini tidak bersifat Jawa sentris, karena dilihat dari namanya saja "Tri Koro Dharmo" (Tiga Tujuan Mulia) yang berarti Sakti, Budi, dan Bakti, sehingga tidak mengherankan jika para pemuda dari Sunda dan Bali enggan untuk bergabung dengan Tri Koro Dharmo. Menurut Satiman Wirjosandjojo organisasi ini hanya bersifat sementara dan dengan berjalannya organisasi ini akan dijadikan perkumpulan pemuda seluruh Hindia-Belanda, oleh karena itu bisa menjadi suatu organisasi yang bersifat nasional.
Pada dasarnya Tri Koro Dharmo merupakan organisasi pemuda yang mempunyai tujuan menjalin pertalian antara pelajar-pelajar Jawa sekolah menengah dan kursus keguruan, menambah pengetahuan umum bagi anggota-anggotanya, serta membangkitkan dan mempertajam perasaan untuk segala bahasa dan kebudayaan "Hindia". Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa organisasi Tri Koro Dharmo yang beranggotakan para pelajar dari Jawa, Madura, Bali dan Lombok, namun pada kenyataannya anggota dari Tri Koro Dharmo yang sebagian besar adalah murid-murid sekolah menengah yang berasal dari Jawa Timur dan Jawa Tengah lebih menonjol karena sifat Jawa sentrisnya. Oleh karena itu pada kongresnya yang diadakan di Solo pada 12 Juni 1918 nama Tri Koro Dharmo diubah menjadi Jong Java yang memiliki cita-cita untuk mempersatukan semua penduduk Jawa sehingga menjadi persatuan Jawa Raya.
Perubahan nama Tri Koro Dharmo menjadi Jong Java tersebut dimaksudkan untuk mempermudah kerjasama antara para pemuda pelajar Sunda, Madura, Bali dan Lombok. Dalam kongres tersebut menghasilkan dua keputusan penting tentang ruang lingkup keanggotaan dan nama organisasi serta mengenai kepengurusan. Adanya pendapat yang sama dalam hasil kongres yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah perubahan nama tersebut, dibutuhkan rasa solidaritas yang tinggi antar anggota, agar tidak terjadi perselisihan diantara anggotanya. Maka Tri Koro Dharmo diubah menjadi Jong Java, yang tidak merubah pendirian mereka untuk menyatukan Jawa Raya, hanya saja nama dari perkumpulan pemuda ini berubah menjadi Jong Java. Kegiatan Jong java berkisar pada masalah-masalah sosial dan kebudayaan. Misalnya, pemberantasan buta huruf, kepanduan, dan kesenian. Jong Java tidak ikut terjun dalam dunia politik dan tidak pula mencampuri urusan agama tertentu. Anggotanya dilarang menjalankan aktivitas politik atau menjadi anggota partai politik.
Dengan berganti nama menjadi Jong Java organisasi ini mengalami kemajuan dibidang keanggotaannya, namun dalam perkembangannya masih terasa adanya azas kebudayaan Jawa Raya dengan menonjolkan kebudayaan Jawa Tengah. Tetapi hal tersebut tidak berarti bahwa Jong Java tidak memperhatikan adanya kerja sama dengan organisasi pemuda lain, karena diantara organisasi-organisasi yang ada akan melakukan fusi untuk membentuk suatu persiapan menuju persatuan. Perubahan nama tersebut menunjukkan perubahan yang positif karena perhatiannya akan pentingnya pendidikan, kedudukan wanita, keolahragaan dan kepramukaan agar semakin maju dan berkembang.
3. Perkembangan Politik di Indonesia tahun 1918-1927
Pemulaan abad 20, Indonesia masih diajajah oleh Belanda, namun pada abad tersebut Belanda merubah kebijakan penjajahan. Eksploitasi terhadap Indonesia tetap dilakukan tetapi dengan cara yang berbeda yaitu dengan membuat kebijakan berupa "Politik Etis". Politik Etis yang dijalankan oleh pihak Belanda sejak awal abad 20, dalam usahanya sebagai balas jasa terhadap bangsa Indonesia yang hanya sebagai kedok untuk memberikan kekayaan terhadap Belanda. Politik Etis dilaksanakan dengan maksud untuk mensejahterakan rakyat Hindia-Belanda yang terdiri dari edukasi, imigrasi dan transmigrasi, namun dalam pelaksanaanya, lebih banyak menguntungkan pihak Belanda sendiri. Selain itu masih berlakunya undang-undang produk Belanda atau yang disebut dengan Regerings Reglement (1854-1926), semakin mempersulit pihak masyarakat pribumi untuk lepas dari pengaruh Belanda. Salah satu pasal dari Regerings Reglement yaitu pasal 111 yang menyebutkan larangan adanya perkumpulan politik atau yang bersifat politik, rapat-rapatpun juga tidak diperbolehkan membicarakan masalah politik. Hal tersebut menjadikan masyarakat maupun para pemudanya tidak mendirikan perkumpulan politik.
Para pemuda Indonesia memang tidak mencampuri urusan politik, karena pihak kolonial masih berpengaruh terhadap kehidupan seluruh masyarakat Hindia-Belanda, bahkan dalam membuat sebuah organisasi harus dalam pengawasan pihak belanda. Aktifitas politik belum begitu berpengaruh terhadap kelompok studi pemuda, namun cita-cita untuk mencapainya sudah ditanamkan, bukan berarti mereka tidak tertarik terhadap aktifitas politik, namun mereka masih mempertimbangkan dengan asas non kooperatif, karena dengan asas tersebut dapat mengancam keberadaan mereka sehingga mereka lebih cenderung bergerak pada aktifitas sosial dan ekonomi.
Organisasi pemuda yang aktif dalam masalah politik adalah justru mereka yang sedang belajar di Belanda yang dinamai dengan Perhimpunan Indonesia (PI), pada awalnya Perhimpunan Indonesia ini bernama Indische Vereeniging (1908) kemudian berubah menjadi Indonesische Vereeniging (1922). Karena nama dengan memakai bahasa Belanda ternyata kurang mencerminkan rasa kebangsaan Indonesia, maka pada tahun 1924 nama Indonesische Vereeniging diubah menjadi Perhimpunan Indonesia. Tujuan perkumpulan ini adalah untuk mencapai Indonesia merdeka dan berasas non kooperasi. Antara Hatta dan anggota PI yang masih di Belanda saling berhubungan untuk menciptakan kondisi yang labih baik, sehingga pandangan-pandangan PI kepada organisasi-organisais politik di Indonesia bisa dijadikan gambaran untuk merealisasikan pandangan politik dalam menciptakan kemerdekaan. PI ini merupakan gerakan pemuda pelajar yang pertama kali berhasil menggugah kesadaran nasional Indonesia. Ide dari PI ini sangat berpengaruh pada jalannya pergerakan nasional, melalui mendirikan organisasi baru maupun menyebar majalah-majalah PI. Karena status anggota PI sebagai mahasiswa membawa posisi mereka tanpa ikatan sosial politik tertentu dan tidak memiliki kepentingan untuk mempertahankan kedudukan, sehingga mereka tidak khawatir dalam bertindak terang-terangan melawan pemerintah Belanda, organisasi ini juga membuat lambang untuk Indonesia diantaranya merah putih sebagai bendera.
4. Latar Belakang dan Pandangan Politik Jong Java tentang Persatuan Indonesia
Berkiprah dalam dunia politik pada tahun-tahun awal berdirinya Jong Java menjadi hal yang belum umum dibicarakan dan dijadikan suatu permasalahan, karena Jong Java pada dasarnya hanyalah suatu perkumpulan para pelajar Jawa yang sedang menuntut ilmu di Jakarta. Mereka berkumpul untuk menciptakan persatuan diantara siswa-siswa Jawa. Bahkan dalam kongres-kongres dari kongres I sampai VI tidak ada masalah mengenai urusan politik.
Namun di tahun 1925 terdapat beberapa masalah mengenai pandangan politik, hal tersebut dibahas saat kongres ke VII yang diadakan Jong Java di Yogyakarta pada tahun 1925, dalam kongres tersebut Hj.Agus Salim selaku tokoh Sarekat Islam melakuakan pidato mengenai Islam dan Jong Java, dalam pidato tersebut Samsuridjal selaku ketua kongres tersebut terpengaruh akan pidato tersebut dan mengajukan dua usul penting, yang pertama adalah anggota-anggota yang berumur lebih dari 18 tahun diperbolehkan ikut dalam aksi-aksi politik, kedua, agar Jong Java memasukkan programnya memajukan agama Islam. Namun kedua usul terebut ditolak , dan dalam kongres tersebut tetap memutuskan bahawa Jong Java tidak berpolitik dan netral terhadap agama.
Dengan adanya penolakan usul tersebut, maka Sam bersama para anggota yang menghendaki terjun ke dunia politik dan ingin memajukan agama Islam mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB) dan diketuai oleh Samsurijal sendiri. JIB ini mendapat dukungan yang besar dari pemuda Islam yang perannya sangat penting dalam pergerakan pemuda. Hal tersebut membuat pendirian Jong Java agak goyah dan Jong Java mengubaha arahya karena paham Indonesia Raya mulai menjadi tujuan utama dikalangan organisasi maupun para pemuda. Sepertihalnya Jong Java, Jong Islamieten Bond tidak mencampuri politik praktis, namun anggota-anggotanya diperbolehkan ikut serta dalam gerakan politik diluar JIB. Tujuan utama dari JIB adalah memajukan pengetahuan Islam, hidup secara Islam dan persatuan Islam serta anggotanya terbuka bagi semua orang Islam Indonesia, meskipun mengaku tidak bergerak dalam masalh politik namun JIB di bawah pengaruh SI.
Pada tahun 1925 Jong Java mulai terlihat akan pandangan mereka terhadap dunia politik, meskipun hanya dengan mengikuti rapat-rapat politik namun dalam hal tersebut sudah dikatakan ikut serta dalam lapangan politik. Keikutsertaan Jong Java dalam politik mengubah mereka akan pandangannya untuk menyatukan Indonesia dan tidak hanya persatuan akan daerahnya, jadi pengaruh yang ditimbulkan Jong Islamiten Bond menjadi hal positif akan perkembangan Jong Java dan menjadi semangat baru akan perjuangannya menuju persatuan Indonesia.
Untuk berkiprah dalam dunia politik belum menjadi hal umum yang dilakukan onggota Jong Java, karena pada dasarnya mereka hanya sebuah organisasi kedaerahan sehingga untuk masuk dunia politik perlu adanya pertimbangan khusus. Jika JIB merupakan gambaran dari Sarekat Islam, maka Jong Java merupakan gambaran dari Budi Utomo yang sama-sama belum benar-benar berpolitik, beda halnya dengan Sarekat Islam yang secara terang-terangan sudah mendirikan partai politik.
DAFTAR PUSTAKA
Cahyo, B.U. 1995. Dinamika Pergerakan Indonesia dari Kebangkitan hingga Kemerdekaan Semarang:IKIP.
Poesponegoro, Marwati Djoened. 1984. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka.
Sudiyo. 1989. Perhimpunan Indonesia sampai dengan Lahirnya Sumpah Pemuda. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudiyo. 2004. Pergerakan Nasional Mencapai dan Mempertahankan Kemerdekaan. Jakarta: Rineka Cipta.
Utomo, Cahyo Budi. 1995. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan hingga Kemerdekaan. Semarang: IKIP Semarang Press.
aplikasinya
No comments:
Post a Comment