SEJARAH KOTA PEKANBARU SERTA DINAMIKA MASYARAKAT KOTA PEKANBARU MASA KOLONIAL (1800-1942)


 FITRI YANI AMRINA/ SR

Kota Pekanbaru terletak antara 101-14 sampai 101-34 Bujur Timur dan 0-25 sampai 0-45 Lintang Utara. Dengan ketinggian dari permukaan laut berkisar antara 5-50 meter.  Disebelah utara Pekanbaru berbatasan dengan Kabupaten Siak dan Kampar. Disebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kampar dan Pelalawan. Disebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kampar dan di sebelah timur berbabatasan dengan Kabupaten Siak dan Pelalawan. Kota Pekanbaru sendiri dibelah oleh Sungai  Siak yang membentang dari arah barat ke timur. Seperti sungai pada umunya, sebagai sarana transportasi dan juga perekonomian masyarakat, terutama dari hulu ke hilir. Sungai Siak juga memiliki peranan penting dalam jalur perdagangan dan lalu lintas masyarakat Pekanbaru pada khususnya dan sekitar serta masyarakat Riau pada umumnya. Kota Pekanbaru juga memiliki filosofis tersendiri yang tentunya diambil dari segala ciri khas dan keunikan dari kota Pekanbaru Kota pekanbrau sebelum disebut sebagai senapelan.

Pekanbaru  merupakan inti dari kotamadya pekanbaru. Senapelan meliputi daerah pekanbaru sekarang, tampan, palas, dan sampai ke kuala tapung(bencah kelubi). Daerah senapelan terjadi dalam proses tumbuh dan berkembangnya perkampungan. Senapelan pada umumnya adalah daerah ladang persukuan. Derah ini dikenal dengan SUKU SENAPELAN. Suku senapelan ini dipimpin oleh seorang kepala suku yang disebut BATIN. Batin ini tidak menguasai suatu wilyah tetapi hanya menguasai menguasai anggota sukunya. Tanah di daerah senapelan dikuasai oleh semua anggota suku masing masing.
Seiring dengan perkembangan zaman, anggota suku semakin berkembang baik. Ini terbukti dengan sama – sama saling menjaga tanah suku mereka. Batin selalu menjaga agar anggota suku tersebut jangan sampai kekurangan tanah.tanah ini untuk perladangan semua anggota suku. Jangan sampai tanah masing – masing anggota suku didahului anggota suku lain. Masing-masing anggota mempertahankan kelansungan hidup suku dengan menguasai suatu daerah (teritorial) tertentu yang jelas batas-batasnya. Dengan demikian maka kepala suku telah memiliki dua fungsi yaitu, sebagai kepala suku dan sebagai penguasa suatu daerha tertentu. Kepala suku menguasai dan memiliki tanah. Kepemilikan tanah diakui sebagai milik suku yang lebih dikenal dengan sebutan "menguasai hutan tanah". Daerah awal yang menguasai hutan tanah adlah ladang dan kebun. Namun lambat laun menjadi daerha perkampungan. Daerah yang awalnya lahir adalah daerah kampung palas. Tetapi kemudian perkampungan ini dipindahkan, hal ini disebabkan karena seringnya mendapat serangan dari tapung. Selanjutnya batin senapelan mencari tempat atau daerah yang baik untuk perkampungan yang baru. Daerah yang dianggap sesuai oleh batin pada waktu itu adalah daerah yang tinggi dari perkampungan air.
Daerah yang dicari tersebut memiliki banyak pohon sena yang rindang dan tinggi. Pohon sena ini terlihat dari kejauhan seperti payung sekaki. Di daerah inilah akhirnya dibuka kampung yang diberi nama "payung Sekaki". Sedangkan daerah kampung baru yang terletak dimuara sungai dan anak sungai dijadikan perkampungan juga. Kampung baru nama ini diberi nama sesuai dengan nama suku tersebut, yaitu "sungai senapelan".  Batin pertama bernama bujang sayang sebagai penguasa suku dan sekaligus sebagai "kepala daerah" di daerah ini. Daerah senapelan ini menurut ukuran pada masa itu dianggap cukup luas. Untuk dapat menguasai daerah dan penduduk telah ada organisasi pemerintah biarpun dalam bentuk yang sangat sederhana. Namun pada zaman berdirinya kampung payung sekaki itu belumlah didapat data data yang pasti. Diperkirakan kampung ini sudah ada sejak sekitar abad ke-15 M. Namun payung sekaki tidak begitu dikenal pada zaman itu, melaikan senapelan.
Daerah yang lebih dikenal adalah senapelan hingga sampai ke malaka dan johor. Nama daerah ini juga tertulis dalam buku E. Netcher:De.Nederlander in Djohor En Siak 1602-1865 ditulis sebagai "Chinapalla" dan terkadang disebut juga :sungai pelam". Di dalam peta johor dan siak 1602-1865 memperlihatkan wilayah kekuasaan belanda dijohor dan siak. Perkembangan senapelan berhubungan erat dengan perkembanagan kersjaan siak sri indrapura. Semenjak sultan abdullaj jalil alamudin Syah menetap serta memindahkan ibu kota kerajaan Siak  ke senapelan, beliau membangun istana di kampung bukit berdekatan dengan perkampungan senapelan. Posisi daerah senapelan yang straegis menjadikan sultan Abdul Jalil Mahmud Syah mempunyai inisiatif untuk membuat pekan. Pekan adalah sejenis pasar yang kegiatannya dilakukan sekali dalam seminggu di senapelan tetapi tidak berkembang. Usaha yang telah dirintis tersebut kemudian dilanjutkan oleh putranya Raja Muda Muhammad Ali ditempat baru, yaitu disekita pelabuhan sekarang.
Kepindahan ibu kota kerajaan siak ke senapelan adalah karena kemenangan raja alam yang dibantu oleh belanda yang telah mengalahkan sultan ismail. Dengan demikian sultan ismail mengundurkn diri ke pelalawan, langkat dan batu bara. Sedangkan Raja alam dinobatkan menjadi Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah dan diangkat menjadi Raja Siak ke IV. Raja Siak ke IV merasa tidak bebas dekat belanda maka, raja siak memindahkan pusat kerajaan ke senapelan. Hal inilah yang menyebabkan kepindahan ibu kota kerajaan siak ke senapelan (sekarang pekanbaru) sebagai pusat kerajaan siak. Kepindahan kerajaan siak ke senapelan semuanya dengan baru. Hal ini sudah menjadi adat Raja melayu memindahkan pusat kerajaan harus diikuti dengan membangun istana raja, balai kerapatan adat dan mesjid. Ketiga unsur tersebut wajib didirikan sebagai simbol dari unsur pemerintahan, adat dan ulama(agama). Pada penghujung tahun 1761, diadakan upacara untuk memasuki ketiga bangunan tersebut. Istana dinamakan istana bukit, balai kerapatan adat dinamakan balai payung sekaki. Dan mesjid dinamakan mesjid Alam yang nama kecil Alamuddin raja Alam (tenas effendi dan nahar effendi,1972.10).
pada masa ini islam juga mengalami perkembangan. Salah satu buktinya, banyak yang belajar ilmu agama islam. Salah satu penyebar agama islam pada saat itu Sayid Osman yang menggunakan mesjid raya Nur Alam sebagai tempat dakwahnya. Hal inilah yang menyebabkan mesjid Raya Nur Alam diperbesar dan diperluas, karena semakin banyaknya para jama'ah yang menuntut pelajaran agama islam. Perkembangan selanjutnya kota pekanbaru mengalami perubahan pemerintah yaitu
1. Pada waktu zaman penjajahan belanda, berdasarakan Besluit Van Her Inlanche Zelf Bestur Van Siak No.1 tahun1999, pekanbaru menjadi tempat kedudukan controluer (PHB) pemerintahan belanda.
2. Pada waktu pendudukam jepang, pekanbaru menjadi GUN yang dipakai oleh GUN CHO dan tempat kedudukan Riau SYUTJOUKANG. Akhirnya di zaman pemerintahan Republik indonesia berubah status menjadi :
·         Hemente pekanbaru dan merupakan ibu kota kerisidenan Riau berdasarkan ketetapan Gubernur sumatra di medan No. 103 tanggal 1 mei 1946
·          Kota kecil berdasarkan undang – undang No. 8 tahun 1956
·          Kotapraja berdasarkan undang – undang No. 1 tahun 1957
·          Pada tahun 1959 berdasarakan keoutusan mentri dalam negri No. Des 52/1/44/-25 pada 20 hari bulan januari 1959 kota pekanbaru menggantikan kota tanjung pinang sebagai ibu kota propinsi Riau
 PEKANBARU SEBAGAI IBU KOTA PROPINSI  RIAU
Berdasarkan Penetapan Gubernur Sumatera di Medan No 103 tanggal 17 Mei 1956, Kota Pekanbaru dijadikan Daerah Otonomi yang disebut Harminte (kota Baru) sekaligus dijadikan Kota Praja Pekanbaru. Dan pada tahun 1958, Pemerintah Pusat yang dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri RI  mulai menetapkan ibukota Provinsi Riau secara permanen. Sebelumnya Kota Tanjung Pinang Kepulauan Riau ditunjuk sebagai ibu kota propinsi hanya bersifat sementara. Dalam hal ini Menteri Dalam Negeri RI telah mengirim surat kawat kepada Gubernur Riau tanggal 30 Agustus 1958 No. Sekr. 15/15/6.
Untuk menanggapi maksud surat  kawat tersebut, dengan penuh pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan, maka Badan Penasehat meminta kepada Gubernur supaya membentuk suatu Panitia Khusus. Dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Swatantra tingkat I Riau tanggal 22 September 1958 No. 21/0/3-D/58 dibentuk panitia Penyelidik Penetapan Ibukota Daerah Swantantra Tingkat I Riau.
Panitia ini telah berkeliling ke seluruh daerah di Riau untuk mendengar pendapat pemuka masyarakat, penguasa Perang Riau Daratan dan Penguasa Perang Riau Kepulauan. Dari angket langsung yang diadakan panitia tersebut, maka diambillah ketetapan bahwa kota Pekanbaru terpilih sebagai ibukota Propinsi Riau. Keputusan  ini langsung disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri RI. Akhirnya tanggal 20 Januari 1959 dikeluarkan Surat Keputusan dengan No. Des 52/1/44-25 yang menetapkan Pekanbaru sebagai ibukota Provinsi Riau sekaligus Pekanbaru memperoleh status Kotamadya Daerah Tingkat II Pekanbaru.
Untuk merealisasi ketetapan tersebut, pemerintah pusat membentuk Panitia Interdepartemental, karena pemindahan ibukota dari Tanjungpinang ke Pekanbaru menyangkut kepentingan semua Departemen. Sebagai pelaksana di daerah dibentuk suatu badan di Pekanbaru yang diketuai oleh Penguasa Perang Riau Daratan Letkol. Kaharuddin Nasution.
Sejak itulah mulai dibangun Kota Pekanbaru dan untuk tahap pertama mempersiapkan sejumlah bangunan dalam waktu singkat agar dapat menampung pemindahan kantor dan pegawai dari Tanjungpinang ke Pekanbaru. Sementara persiapan pemindahan secara simultan terus dilaksanakan, perubahan struktur pemerintahan daerah berdasarkan Panpres No. 6/1959 sekaligus direalisasi.
Gubernur Propinsi Riau Mr. S. M. Amin digantikan oleh Letkol Kaharuddin Nasution yang dilantik digedung Sekolah Pei Ing Pekanbaru tanggal 6 Januari 1960. Karena Kota Pekanbaru mempunyai gedung yang representatif, maka dipakailah gedung sekolah Pei Ing untuk tempat upacara.
pada hari Selasa tanggal 21 Rajah 1204 H atau tanggal 23 Juni1784 M berdasarkan musyawarah datuk-datuk empat suku (Pesisir, Lima Puluh,Tanah Datardan Kampar), negeri Senapelan diganti namanyamenjadi "PekanBaharu" selanjutnya diperingati sebagai hari lahir Kota Pekanbaru. Mulai saat itu sebutan Senapelan sudah ditinggalkan dan mulai populer sebutan "PEKAN BAHARU", yang dalam bahasa sehari-hari disebut PEKANBARU. Pergantian nama ini terjadi di masa pemerintahan Sultan Mohammad Ali muazam Syah (1684-1801). Dalam suatu seminar di Kota Pekanbaru yang pemkalahnya adalah walikota Pekanbaru, Herman Abdullah, 2005. Makalah yang disajikan bersumber dari tulisan Suwardi Ms, menyebutkan bahwa Senapelan merupakan suku yang mendiami daerah Payung Sekaki yang terletak dialiran Sungai Siak pada abad ke-15. Pada saat Melaka jatuh ketangan Portugis, pusat pemerintahan di pindahkan ke djohor-Riau.
Pemerintahan Djohor-Riau membentuk Syahbandar di Senapelan. Hingga akhirnya kekuasaan Portugis di Melaka berlaih tangan ke Belanda. Senapelan menjadi tempat penumpukan komoditi perdagangan baik dari luar maupun dari pedalaman. Barang-barang dari pedalaman seperti,timah,emas, kerajinan dari kayu, sedangkan barang-barang dari luar seperti,telur, kain, dan lainnya. Komoditi ini berlangsung hingga berdiri Kerajaan Siak dan Senapelan menjadi pintu gerbang perdagangan dan pelabuhan  Jadi memang Pekanbaru sudah menjadi kota perdagangan dan jasa sejak dahulu kala. Di mulai dengan pemerintahan sebuah desa berevolusi menjadi kota yang ramai.
Dinamika Masyarakat Kota Pekanbaru masa Kolonial (1800-1942)
  1. Dinamika Perpolitikan
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa, Pekanbaru dulunya merupakan sebuah perkampungan yang bernama Senapelan dan dipimpin oleh seorang Batin (kepala suku). Wilayah telah ada sejak abad ke-15 dan menjadi rute perdagangan yang sering dilewati. Pada saat Kerajaan Siak, tepatnya pada masa kepemimpinan Sultan Muazam Syah, wilayah tersebut menjadi ibukota kerajaan Siak pada tahun 1784. Pekanbaru menjadi ibukota provinsi Siak dari sepuluh provinsi yang ada . di Siak. Provinsi negeri Pekanbaru dikepalai oleh seorang datuk syahbandar dan tidak hanya sebagai kepala pemerintahan, namun sebagai kepala kehakiman dan kepala kepolisian. Dibawahnya terdapat penghulu, kepala suku, dan batin. Kedudukan sebagai Ibukota ini sampai pada tahun 1916. Berdasrkan SK Besluit van Her Inlanche Zelf Bestuur van Siak No. 1 tanggal 19 Oktober 1919, Pekanbaru menjadi bagian dari Kerajaan Siak atau disebut district. Lalu pada tahun 1931, Pekanbaru menjadi wilayah Kampar dikepalai oleh seorang controleur yang berkedudukan di Pekanbaru. Tugas Controleur sendiri adalah sebagai pengawas kerajaan. Controleur berwenang langsung terhadap rakyat Gubernemen Hindia-Belanda. Pemimpin orang Cina disebut Kepitein der Chineezen, lidah melayu menyebutnya Kapten Cina.
Sebagai kedudukan Districhoop Pekanbaru dipimpin Datuk Pesisir Muhammad Zen yang membawahi tiga onderdistrichoop yaitu onderdistric Senapelan yang dirangkap oleh districhoop sendiri, onderdistric Tapung kiri yang dikepalai Tengku Sulung Perwira dan onderdistric Tapung Kanan oleh Abdul Jalil serta dua kepenghuluan yakni Kepenghuluan Baru dan Kepenghuluan Dalam. Pada tahun 1931, di selatan Kota muncul kampung-kampung baru yang masing-masing dipimpin oleh seorang penghulu.
  1. Keadaan Sosial- Ekonomi: Rute  Perdagangan dan Kondisi Kota
Pada masa Sultan Syarif Kasyim I, ada usaha untuk memajukan perdagangan di daerah pantai dan Sungai Siak. Perdagangan berkembang, perkebunan merica dan lada semakin banyak, pembukaan hutan kapur harus dilaksanakan dan perdagangan budak dikurangi. Akibatnya banyak pendatang ke pesisir timur sumatera untuk menetap. Pada saat itu, rute itu dimanfaatkan oleh pihak Belanda untuk mengeruk kekayaan. Rute perdagangan dari Lima Puluh Kota melewati Siak terus ke pesisir Timur Sumatera telah ada sejak dulu. Rute itu dari payakumbuh dengan jalan darat terus ke Kota Alam, Kota Baru ditepi Sungai Mahat. Dan dengan Sungai Mahat itu mengalir terus ke Sungai Kampar Kanan ke Teratak Buluh. Dari Teratak Buluh terus ke Pekanbaru dengan jalan darat sepanjang 18 km, serta menggunakan luda beban, melewati jalan tikus dan berawa-rawa..
Perkembangan Singapura menjadi bandar perniagaan di Asia Tenggara selama abad ke-19 telah menjadi pendorong bagi perkmbangan perniagaan dan pelayaran dalam daerah Riau. Kehidupan rakyat Siak lebih ditekankan ke bidang pertanian, karena kondisi didaratan lebih memungkinkan dari pada perdagangan. Rakyat diberi kebebasan untuk mengerjakan tanah ulayat didaerah kepenghuluan masing-masing.  Tetapi kalau sudah seorang pendatang membuka pajak sebesar 10 gantang pada setiap daerah kepenghuluan. Di Pekanbaru ada empat orang penghulu sebagai pemimpin rakyat IV suku dan berada di bawah Kerajaan Siak. Setiap penghulu tadi mendapat penghasilan dari pembagian pajak lalu lintas, pajak ikan terubuk, hak penjualan candu secara kecil-kecilan, hak bebas pajak untuk sebuah perahu yan berlabuh di Siak dan denda-denda.
Sementara itu, sejarah daerah sekitar selat Melaka mempunyai hubungan yang erat dengan kegiatan perdagangan dan pelyaran. Hingga saat ini, selat Malaka adalah pusat dari perdagangan internasional Asia tenggara. Latar belakang utama yang membuat daerah ini berhasil membuat peran yang penting itu adalah lokasinya yang strategis yakni terletak pada salah satu jalur perdagangan dan pelayaran antara dunia Eropa. Arab dan India di satu sisi, Cina dan Jepang di sisi lain. Daerah pantai timur sumatera juga memetik banyak keuntungan dari lokasinya yang berhadapan langsung dengan selat Malaka.
Sungai-sungai besar yang mengalir dari daerah pedalaman Sumatera turut membantu para saudagar Minangkabau dan Batak untuk berdagang ke kawasan kota-kota dagang yang mempraktikkan perdagangan bebas ini. Ada enam rute pedagangan utama antara daerah pedalaman dengan kawasan selat ini. Keenam rute tersebut  mengikut aliran sungai-sungai besar yang berhulu didaerah pedalaman seperti Sungai Kuantan-Inderagiri, Sungai Kampar dan Sungai Siak. Pada abad ke-19 dan awal abad ke-2 wilayah ini beerkembang pesat sepanjang tahun. Ketiga sungai tersebut membawa dampak perdagangan yang mencolok. Hal ini tidak lepas juga dari pengaruh peningkatan kegiatan perdagangan di Singapura, Pulau Penang, serrta berubahnya kebijaksanaan politik pemerintah Hindia-Belanda. Hasil-hasil komoditas baik dari pedalaman Pulau Sumatera diekspor ke Singapura begitu juga sebaliknya.
Setelah pemerintah Hindia-Belanda merasa pengaruh politik dan ekonominya di pantai timur Sumatera, mereka mulai mengendorkan kontrol. Kontrol pemerintah semakin longgar pada awal abad ke-20, terutama ketika pemerintah mulai membangun prasarana transportas kse kawasan  pantai timur. Ada dua jaringan sarana transportasi yang dikembangkan pemerintah. Jaringan-jaringan ini sebetulnya melanjutkan jaringan jalan yang telah dirintis sebelumnya. Pertama dari pedalaman Minangkabau di Selatan Pangkalan Koto Baru, Bangkinang terus ke Pekanbaru. Kedua dari pedalaman tanah Batak dan Deli ke Medan terus ke Belawan. Bila jaringan yang pertama diwujudkan dalam pembanguna jalan raya, maka pada jaringan yang kedua diwujudkan pada pembangunan jalan kereta api( Weisfelt 1972: 36-62). Jadi, memang Kota Pekanbaru dari dulu sudah menjadi jalur lalu lintas yang menghubungkan dari satu kota ke kota lain. Tentu dengan demikian, kota ini banyak disinggahi para pedagang yang hendak melakukan perdagangan bahkan tidak jarang untuk menetap. Maka dari itu kota Pekanbaru saat ini sangat ramai dengan etnisitas yang kompleks.  Terutama untuk saat ini orang-orang Minangkabaulah sebagai mayoritas baru setelah itu Melayu dan disusul dengan etnis lain termasuk Cina.
Selain itu, Untuk perawatan kota sendiri berasal dari pungutan penduduk dan pasar. Kondisi Pekanbaru sendiri merupakan kumpulan dari rumah-rumah yang sebagian besarnya adalah kedai. Pada perkembangannya, bermunculan warung sebagai tempat perhentian. Lalu perluasan kampung mengikuti aliran sungai, jadi memanjang. Di belakang perkampungan dijadikan lahan untuk bercocok tanam. Seaktu Siak dibawah pemerintahan Sultan Hasyim, mulai bermunculan perkebunan-perkebunan milik Belanda tepatnya pengusaha-pengusaha Belanda yang membuka perkebunan Karet di sebelah selatan Kota Pekanbaru.
Sedangkan untuk pendirian bangunan-bangunan resmi mulai dibuka pada saat Pekanbaru menjadi ibukota distric Pekanbaru dan onderdistric Senapelan. Pada saat itu juga, Siak dibawah pimpinan Sultan Kasim. Rumanh-rumah (penjara,distric, dan balai)  dan jalan mulai dibangun serta bangunan-bangunan lain seperti kantor polisi dan bangunan-bangunan milik  Belanda. Pembangunan ini pada masa Datuk Muhammad Zen dan dilanjutkan oleh Datuk Wan Etol (1926-1931). Serta pembangunan lapangan terbang Simpang Tiga dan pembangunan Mesjid Raya. Pertambahan penduduk diarahkan kepada komoditi seperti: rotan, damar, kayu, getah, perca, dsb. Pada tahun 1930, terjadi pemindahan kedudukan Controleur yang awalnya berada di Kampar Kiri ddipindahkan ke Pekanbaru. Pemindahan kedudukan ini berdampak sangat besar kepada perkambangan Kota Pekanabaru. Kota itu semakin ramai dan mendorong penduduk kota untuk mendirikan gedung-gedung serta rumah.
  1. Ke- Melayu-an Islam: Karya Sastra Sejarah
Pertumbuhan kota-kota bukan berarti akan menghapus jejak-jejak ketradisionalan. Dalam sejarah Indonesia proses urbanisasi tidak secara mendadak dan menyeluruh. Banyak ciri-ciri pedesaan masih mewarnai suasana perkotaan. Pada abad ke-19 wilayah yang dianggap kota biasanya langsung dibawah pengawasan langsung oleh pejabat tinggi administrasi, patih misalnya. Penegasan munculnya kota ditandai dengan munculnya kelas-kelas sosial baru yang sama sekali lepas dari pertanian. Pada awal abad ke-20 sebuah kota yang ideal akan mempunyai ciri-ciri tersendiri yang sekaligus menunjukkan sejarah kota tersebut. Proses migrasi dari para pendatang yang ada disekitar Melayu Riau baik dimasa-masa kerajaan-kerajaan Melayu maupun pada masa kemerdekaan, semakin terbuka bagi para pendatang. Proses pembauran yang terjadi membentuk komunitas-komunitas baru. Orang melayu identik dengan karya sastranya. Banyak melahirkan pujangga-pujangga ternama dalam sejarah melayu sekaligus penyebaran dakwah Islam. Daalam karya sastra sejarah yang menjadi topik cerita adalah sejarah sebuah kota kerajaan atau negara, maka karya sastra ini merupakan seumber yang cukup penting dalam pembentukan sejarah suatu masyaarakat. Namun, dalam karya sastra melayu, tidak pernah ada penyatuan unsur sastra Melayu dan Islam, walaupun muncul dalam tradisi kehidupan Islam, karya sastra melayu  tidak memperlihatkan pandangan Islam.

Daftar Pustaka
Parsudi Suparlan,1995, Orang Sakai Di Riau; Masyarakat Terasing Dalam masyarakat Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudyaan Daerah Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudyaan,Sejarah Daerah Riau, 1977/1978. Hal.90-92
buku E. Netcher:De.Nederlander in Djohor En Siak 1602-1865
tenas effendi dan nahar effendi,1972.10)



No comments:

Post a Comment