SUPERSEMAR DAN PEMBANGKANGAN SOEHARTO


FERONIKA SIAGIAN/SI5


1.1  LATAR BELAKANG
Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) banyak menyisakan misteri yang sampai sekarang belum terungkap kebenarannya. Para pelaku Sejarah menceritakan asal usul Surat perintah itu menurut versi masing-masing. Tentu saja dengan kepentingan yang masing-masing pula. Berbagai improvisasi pun merebak. Semua itu dipicu raibnya naskah asli Supersemar sebagai dokumen sejarah yang sangat penting bagi republik ini.
Kendati jadi tanda tanya besar, sulit dipungkiri Supersemar adalah legitimasi paling awal bagi pemerintahan Orde Baru yang kemudian berkuasa selama 32 tahun di Indonesia. Supersemar merupakan titik tonggak transisi kekuasaan dari Bung Karno kepada Jenderal Soeharto. Supersemar adalah tanda berakhirnya sebuah era.
Tentu saja transisi kekuasaan itu tidak mulus. Ada beda pendapat, intrik dan tabrakan kepentingan di sana sini. Namun sejarah mencatat, kekuasaan Bung Karno akhirnya terlucuti oleh strategi oportunistik Jenderal Soeharto yang memanfaatkan Supersemar sebagai titik tolak kekuasaannya.
SUPERSEMAR DAN PEMBANGKANGAN SOEHARTO
2.1 . SURAT PERINTAH SEBELAS MARET PRESIDEN SOEKARNO KEPADA JENDERAL SOEHARTO
Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) banyak menyisakan misteri yang sampai sekarang belum terungkap kebenarannya. Para pelaku Sejarah menceritakan asal usul Surat perintah itu menurut versi masing-masing. Tentu saja dengan kepentingan yang masing-masing pula. Berbagai improvisasi pun merebak. Semua itu dipicu raibnya naskah asli Supersemar sebagai dokumen sejarah yang sangat penting bagi republik ini.
Kendati jadi tanda tanya besar, sulit dipungkiri Supersemar adalah legitimasi paling awal bagi pemerintahan Orde Baru yang kemudian berkuasa selama 32 tahun di Indonesia. Supersemar merupakan titik tonggak transisi kekuasaan dari Bung Karno kepada Jenderal Soeharto. Supersemar adalah tanda berakhirnya sebuah era.
Tentu saja transisi kekuasaan itu tidak mulus. Ada beda pendapat, intrik dan tabrakan kepentingan di sana sini. Namun sejarah mencatat, kekuasaan Bung Karno akhirnya terlucuti oleh strategi oportunistik Jenderal Soeharto yang memanfaatkan Supersemar sebagai titik tolak kekuasaannya.
Salah satu kutub polemik tentang Supersemar yang paling banyak diangkat oleh pelbagai kalangan adalah pertanyaan soal apakah surat perintah itu adalah hasil kup (kudeta) Jenderal Soeharto terhadap Bung Karno atau bukan. Tidak ada jawaban positif atas pertanyaan tersebut bahkan Soeharto sendiri, tidak memberikan jawaban tegas.
Soeharto sering mengakui Supersemar sering dipersoalkan orang, apakah surat perintah itu semata-mata sebagai intruksi Presiden kepadanya, atau berisi suatu pemindahan kekuasaan eksekutif secara terbatas. Ketidakmampuan Speharto menjelaskan masalah ini semakin membuat orang bertanya-tanya. Di sisi lain, bukan tidak mungkin, Soeharto mencoba menutup-nutupi kejadian yang sesungguhnya dengan pelbagai retorikanya sendiri.
2.2. PEMBANGKANGAN SOEHARTO TERHADAP PRESIDEN SOEKARNO
Penggulingan kekuasaan Soekarno tidak terjadi dalam waktu singkat. Tetapi sangat pelan-pelan, hingga memakan waktu dua tahun lebih, anatara tahun 1965-1967. Soeharto memetik kemenagan-kemnangan kecil dengan memainkan pion dan perwira sebelum mengambil langkah mematikan, skak mat, terhadap Presiden Soekarno.
Sulit dikatakan Jenderal Soeharto mengkudeta Presiden Soeharto. Sebaliknya, tidak bisa juga di simpulkan jika Jenderal Soeharto sama sekali tidak mengincar jabatan Presiden. Kenyataannya, Jenderal Soeharto yang di dukung Angkatan Darat, melolosi kekuatan politikPresiden Soekarno, mengisolasi Presiden Soekarno dari para pendukungnya, dan akhirnya memaksa Presiden Soekarno meletakkan jabatan. Itulah sebabnya, beberapa pengamat dan sejarawan menyebut proses pengambil-alihan kekuasaan yang sabar itu sebagai " creeping coup d'etat (kudeta merangkak), sebuah tipikal pengambil-alihan kekuasaan dalam dunia politik Indonesia yang berpondasikan budaya politik Jawa.
Bukan Cuma terhadap Bung Karno , strategi skak mat juga di terapkan Soerharto  kepada tokoh-tokoh pembangkang. Misalnya mereka yang menandatangani Petisi 50, yang bukan saja dikebiri hak-hak politiknya, tetapi juga dilarang berbisnis. Bui menjadi jawaban bagi para aktivis mahasiswa dan pers pembela demokrasiyang harus meringkukdi penjara karena berbeda pendapat dengan pemerintah orde baru.
Babak demi babak dalam pertandingan catur Soeharto melawan Bung Karno mungkin lebih jelas di sajikan dalam bentuk kronologi berikut ini.
1965
1 Oktober (dinihari). Peenculikan dan pembunuhan Para Jenderal AD.
1 Oktober. Setelah tahu Men/Pangad Jenderal A. Yani gugur di tangan gerakan 30 September, Pangkostrad Mayjen Soeharto mengambil alih kepemimpinan AD dengan restu Pangdam Jaya, Mayjen Umar Wirahadikusumah dan perwira lain. Sorenya, ketika bertemu Jenderal A.H. Nasution , jabatan itu ditawarkan. Tetapi Nasution menolak. Ternyata Bung Karno mengambil alih jabatan itu dan menunjuk Mayjen Pranoto Reksosamudro sebagai caretaker Pangad. Tapi Mayjen Soeharto tidak mengijinkan Mayjen Pranoto pergi ketika dipanggil menghadap Presiden.
3 Oktober. Bung Karno mengangkat Mayjen Soeharto sebagai penanggung jawab pemulihan kamtibnas dan Mayjen Pranoto sebagai Caretaker pelaksana harian.
4 Oktober. Bung Karno menunjuk Mayjen Soeharto menjadi Men/Pangad.
6 Oktober. Jabatan Men/Pangad disahkan. Tak lama berselang, Mayjen Pranoto diamankan dimarkas kostrad dan tidak diketahui rimbanya. Belakangan diketahui dia ditahan.
16 Oktober, presiden Soekarno mengatakan bahwa peristiwa pembunuhan para jenderal merupakan gelombang kecil dalam samudera revolusi. Pernyataan ini merupakan kemenangan moral bagi AD dan Blunder bagi Presiden, karena simpati rakyat yang mulai mengkristal.
1966
21 Februari. Bung Karno mengumumkan kabinet baru. Menteri-menteri yang anti-PKI digusur, termasuk Menhamkam/KSAB Jenderal A.H. Nasution.  Jenderal Sarbini ditunjuk menjadi menteri Pertahanan, sedangkan jabatan KSAB dihapuskan.
11 maret. Sidang kabinet. Suasana tidak terkendali Demonstrasi  dimana-mana. Karena ada isu pasukan liar, komandan Cakrabirawa Brigjen Sabur memberikan nota kepada presiden mengenai situasi yang gawat. Merasa panik,  Presiden Soekarno menyerahkan sidang kepada Waperdam II Leimena dan terbang ke istana Bogor. Para jenderal TNI AD menyusul presiden ke Bogor. Sore harinya, terjadi negosiasi yang alot antara jenderal dan presiden Soekarno mengenai pemberian mandat kepada AD untuk mengendalikan situasi. Malamnya, keluarlah Supersemar.
12 Maret. Dinihari , kesibukan di markas KOSTRAD meningkat. Hari itu juga, mandat supersemar digunakan Mayjen Soeharto sebagai pijakan untuk membubarkan PKI. Terjadi show of force  Angkatan Darat  atas kemenangan terhadap PKI.
13/14 Maret. Bung Karno mengirim surat teguran kepada Soeharto yang dianggap melenceng dalam menjalankan Supersemar.
16 Maret. Presiden Soekarno kembali menjelaskan soal Supersemar. Ia menegaskan dirinya masih berkuasa penuh sebagai kepala eksekutif pemerintahan  dan mandataris MPRS. Ia juga menegaskan, hanya dirinya yang berkuasa mengangkat menteri-menteri.
18 Maret. Sejumlah 15 orang menteri ditangkap, termasuk, Waperdam I Soebandri, Waperdam II Chaerul Saleh dan Jusuf Muda Dalam. Manufer Soeharto ini mengejutkan Soekarno. Sebab menteri-menteri yang ditangkap adalah orang-orang yang loyal tanpa reserve terhadap Bung Karno.
27 Maret. Dengan intervensi yang sangat kuat dari kubu angkatan darat, dibentuklah kabinet baru. Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Adam Malik  termasuk dalam jajaran enam orang wakil Perdana Menteri. Presiden Soekarno tampak terpukul karena harus berkompromi. Ketika baru membacakan beberapa nama anggota kabinet baru, ia berhenti dan minta Leimena melanjutkan pembacaan tersebut.
20 Juni. MPRS bersidang dan memilih A.H. Nasution sebagai ketua. MPRS kemudian mencabut gelar presiden seumur hidup dari Soekarno. Soekarno menyampaikan Pidato Nawaksara, yang kemudian ditolak MPRS karena dianggap tidak sesuai dengan permintaan rakyat mengenai klarifikasi keterlibatan Presiden dalam peristiwa Gerakan 30 September.
Sepanjang Bulan Juli. Soeharo bertindak membentuk kabinet dan membersihkan orang-orang Bung Karno.
Oktober. MPRS meminta presiden Karno melengkapi pidato Nawaksara.
1967
12 Januari. Bung Karno menyampaikan secara tertulis pidata pelengkap Nawaksara. Ia mengatakan peristiwa G 30 S/PKI disebabkan oleh keblingernya pemimpin PKI, liciknya Nekoim, dan kenyataan adanta orang-orang aneh.
17 Februari. Soeharto dan para panglima angkatan darat lainnya mendatangi Bung Karno di Bogor. Setelah berbicara selama tiga jam, Soekarno bersedia menyerahkan kekuasaan pada Soeharto. Karir politik Soekarno berada di ufuk senja, dan dia menghadapi ketidakpastian masa depan.
7 Maret. MPRS bersidang dan memutuskan untuk mencabut mandat dari Bung Karno dan mengalihkannya ke Soeharto. Dengan demikian Soeharto menjadi penjabat Presiden.
1768
27 Maret. SK MPRS Mengukuhkan Soeharto sebagi kepala negara.
1970
21 Juni. Bung Karno meninggal dunia. Beliau konon meninggalkan wasiat agar jasadnya dimakamkan di Bogor, namun rejim Soeharto menolaknya. Akhirnya, Proklamator dimakamkan di Blitar.
Tamapak dari kronologi kejadian di atas, kunci kemenangan Soeharto terletak pada lima hal penting.
Pertama, muaknya rakyat terhadap PKI yang merajalela dengan provokasi dan teros pada saat itu, soeharto paham betul dan memanfaatkannya sebagai alat untuk menekan Bung Karno. Dengan Supersemar, soeharto melakukan aksi yang populer dimata rakyat, yaitu membubarkan PKI. Sayangnya, langkah itu semata-mata politis. Sebab secara konkret, aksi pembantaian terhadap orang-orang komunis sudah dilakukan dalam triwulan terakhir tahun 1965, yang secara efektif sudah membuat PKI rata dengan tanah, dan tidak lgi memiliki kekuatan potensial sebagai rival politik AD.
Kedua, pintarnya Soeharto mempermainkan pion dan perwira, dengan kombinasi taktik dan strategi koersif. Jika mereka tidak berada dikubunya, berarti mereka musuh. Tidak ada  tempat bagi yang netral. Segera setelah gugurnya para jenderal tokoh AD yang dibantai PKI, praktis terjadi vacuum of power dalam kubu Angkatan Darat.
Soeharto memanfaatkan situasi dengan cara provokasi juga. Ia melarang Mayjen Pranoto menghadap presiden  Soekarno untuk menerima jabatan caretaker kepemimpinan Angkatan Darat. Bahkan kemudian Mayjen Pranoto diamankan dan dihilangkan dari pentas politi hingga akhir hayatnya. Terhadap presiden pun Soeharto melancarkan provokaisi dengan mengatakan bahwa dirinya tidak akan bertanggung jawab seandainya tidak diberi andat pemulihan keamanan dan ketertiban.
Rahasia ketiga, strategi Soeharto menyingkirkan para pesaingnya. Misalnya Pranoto Reksosamudro  (pesaingnya untuk memperoleh Men/Pangad), bahkan juga Jenderal A.H. Nasution . Pranoto kemudian menjadi tahanan dan A.H. Nasution secara politis dikebiri Soeharto setelah di daulat menjadi ketua MPRS.
Rahasia keempat, Soeharto pandai membaca situasi. Ini sekaligus menunjukkan bahwa dia adalah seseorang yang opurtunis. Masih menjadi pertanyaan besar, dimanakah posisi politik  Soeharto ketika G 30 S/PKI terjadi dinihari 1 oktober 1965 ? Mengapa apa yang dia ketahui pada tanggal 1 Oktober itu jauh lebih banyak dibandingkan perwira- perwira tinggi AD lainnya ? Mengapa ia, selaku jenderal senior yang  menjabat Pangkostrad, luput dari daftar jenderal yang menjadi sasaran G 30 S/PKI ? Kemudian seberat apakah sakit yang dideritanya saat itu mangkir dalam sidang kabinet pada tanggal 11 Maret 1966 ? Perlu dicatat bahwa Soeharto tak berada diposnya menjelang saat-saat sepenting itu. Tetapi sekejap kemudian, dia menduduki posnya kembali saat kegentingan barada di titik klimaks.
Rahasia kelima, Soeharto dengan lihai menggunakan politik switching (mengalihkan perhatian publik dari isi okok ke tema-tema instrumental yang tidak terlalu penting). Misalnya mengalihkan perhatian publik dari aksi-aksi pembantaian  PKI kepada program-program rehabilitasi ekonomi. Padahal waktu itu Indonesia sangat pesimistik bisa bangkit dari kemiskinan.
Politik switching juga dipraktikkan Soeharto untuk mengalihkan pembicaraan orang dari substansi dan urgensi di keluarkannya Supersemar kepada isu seputar keberadaan Supersemar. Dari segi substansi, terdapat penyelewengan yang cukup mendasar, sebab bagaimana mungkin mandat pemulihan keamanan digunakan sebagai landasan mengambil kebijakan politik, yaitu membubarkan partai politik.
Namun Soeharto berhasil  menggiring rakyat pada histeria kemenangan atas PKI. Akibatnya, orang melupakan fakta bahwa Soeharto secara struktural adalah bawahan Soekarno. Dan orang pun tidak perduli tela terjadi pembangkangan Soeharto dengan tidak mengembalikan mandat kepada Presiden/ pannglima Tertinggi setelah PKI dibubarkan.
Akhirnya, manjadi jelas bahwa Supersemar dijadikan sebagai "jalan tol" menuju kekuasaan. Dengan Supersemar, Soeharto mengubah dan mendikte parlemen sementara (MPRS). Tap MPRS No. IX/MPRS/1966 mengukuhkan Supersemar sebagai landasan Hukum yang derajatnya lebih tinggi dibandingkan sekedar surat perintah presiden. Langkah pamungkasnya, Tap MPRS No XXXIII/MPRS/1967 dikeluarkan untuk mencabut kekuasaan Bung Karno (pasal 3) dan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai pejabat Presiden RI (pasal 4). Pada saat MPRS terlibat, Presiden Soekarno sudah tidak berdaya. Ia sudah tidak mungkin lagi mencabut mandat Supersemar dari Soeharto.
 

3.1 Kesimpulan
Supersemar dijadikan sebagai "jalan tol" menuju kekuasaan. Dengan Supersemar, Soeharto mengubah dan mendikte parlemen sementara (MPRS). Tap MPRS No. IX/MPRS/1966 mengukuhkan Supersemar sebagai landasan Hukum yang derajatnya lebih tinggi dibandingkan sekedar surat perintah presiden. Langkah pamungkasnya, Tap MPRS No XXXIII/MPRS/1967 dikeluarkan untuk mencabut kekuasaan Bung Karno (pasal 3) dan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai pejabat Presiden RI (pasal 4). Pada saat MPRS terlibat, Presiden Soekarno sudah tidak berdaya. Ia sudah tidak mungkin lagi mencabut mandat Supersemar dari Soeharto.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Lembaga Analisis Informasi.2007.Kontraversi Supersemar dalamTransisi Kekuasaan Soekarno-Soeharto (edisi revisi).Yogyakarta:Media Prasindo
Anderson David Charles.2008.Kudeta Madiun 1948.Yogyakarta: medpres

No comments:

Post a Comment