PERLAWANAN TERHADAP PENETRASI KOLONIAL


SYAFITRI ARIYANI/B/SI3
        Selama zaman VOC pokepentingan perdagangan sangat diutakan sehingga keterlibatannya dalamperang- perang intern atau konflik- konflik politik dapat di batasi, maka perannya lebih bersifat reaktif dan oleh karenanya tidak terlalu agresif. Setelah VOC dihapus dan hak serta kekuasaannya di serahkan kepada pemerintahan Hindia-Belanda serta politik pasifikasi dijalankannya, maka timbul penentrasi yang semakin intensif diseluruh kepulauan Indonesia. Sejarah abad XIX, merupak rentetan sejarah perang atau perlawanan dalam berbagai bentuk. Aada perlawanan yang berskalabesar dengan jangka waktu yang panjang serta jangkauan ruang yang luas,maupun  perang dalam jangka waktu yang singkat atau yang berskala kecil. Semuanya lazim di sebut perang, semuanya menjadi bukti bahwa bangsa Indonesia mampu mengadakan reaksi yang dahsyat terhadap belanda.
        Reaksi terhadap penetrasi belanda menampilkan berbagai bentuk yang merupakan suatu spectrum, terdiri atas bentuk radikal- menolak dari pemimpin religious samapai pada bentuk menerima dengan adaptasi seperti yang dilaksanakan oleh golongan pangreh- praja di jawa, kaum adat di Sumatra barat, dan Oele- baling di aceh. Kedudukan masing- masing golongan beserta sikap religius mereka menyebabkan perbedaan reaksi, suatuperbedaan yang menyebabkan konflik didalam dan kemudian menyebabkan melemahnya reaksi dalam totalitasnya terhadap belanda. Sehubungan dengan itu cukup leluasa bagi belanda untuk menjalankan politik divide et impera" pecah dan kuasailah".
        Didalam gerakan massa pengarahannya ditentukan oleh idiologi, sedangkan organisasinya masih mempergunakan struktur hungan tradisional , yaitu hubungan patron-clien , meskipun  system tersebut berbentuk sederhana tetapi disiplin sangat kuat, serta ketaatan mutlak. Dengan demikian kekuatan pemimpin menjadi besar sekali. Adapun peristiwa mengenai factor kausal peristiwa- peristiwa satu demi satu perlu dirunut karena masing- masing mempunyai keunikan dalam konteks historis terikat pada tempat dan waktu tertentu. Pada umumnya sebab- sebab dapat dikembalikan kepada factor propaganda, kumpulan dari factor ekonomi, sosial, politik dan cultural tertentu. Adapun peristiwa- peristiwa tersebut antara lain:
1.      Pembrontakan Saparua
       Pemberontakan di saparua selama bagian kedua tahun 1817( juli- desember) dibangkitkan oleh restorasi pemerintahan colonial belanda dengan penyerahan kembali daerah Maliku dari tangan inggris. Perubahan penguasaan dengan sendirinya membawa perubahan kebijaksanaan dan peraturan. Apabila perubahan itu banyak menimbul kerugian, tentu akan menimbulkan rasa tidak puas dan kegelisahan.
        Pada zaman pemerintahab inggris penyerahan wajib dan kerja wajib (verplichte leverantien, herendienstten) dihapus, tetapi pemerintahan belnda mengharuskannya lagi. Kedatangan kembbali belanda mengingatkan lagi rakyat pada zaman kompeni, sebelum masa pemerintahn inggris yang di anggapnya serba berat dan penuh penderitaan.
       Pada tanggal 3 mei 1817 kira-kira seratus orang, di antaranya Thomas Matulesiaberkumpul di hutan warlutun dan memutuskan untuk menghancurkan benteng di saparuadan membunuh semua penghuninya. Pada tanggal 9 mei berkerumunlah lagi sejumlah orang yang sama ditempat tersebut, dipilihnya Thomas Matulesia sebagai kapten  serta dibulatkan tekat untuk menyerang  benteng dan membunuh fetor( residen) raja dari siri-sori dan patih dari haria. Kemudian bubarlah mereka , dan menyebarkan rencana itu keseluruh haria desa- desa di saparua. Lima hari kemudian (tanggal 14 mei 1817) seluruh penduduk mengucapkan sumpah mereka dan berkobarlah pembrontakan. Rakyat menyerbu parto dan menyerang orembaai yang akan di bawa ke Ambon.
      Adapula sebab lain yang diduga menjadi factor pencetus pergolakan tersebut yaitu peristiwa yang menyangkut Anthony Rhebok, Philip Latumahina, dan Daniel Sorbach, yaitu percekcokan yang terjadi setelah meraka  minum- minuman sehingga kedua oarng tersebut terdahulu dikenakan hukuman pukulan rotan, sehingga membangkitkan dendam terhadap residen.  Mereka bertekat melawan residn Van den Berg.  Pada tanggal 14 mei 1817 Van den Berg pergi berkuda ketempat patih dari haria dimna rakyat bekerumun dan mengancamen hidupnya.
        Pada tanggal 14 mei 1817 residen disertai patih dari haria kerumah risakota, seorng guru terkemuka untung berunding. Ditempat itu  dia diancam akan dibunuh oleh Jhohanes  Rajawangi. Residen diberi nasehat agar tidak mundur. Kebanyakan dari yang hadir tidak menghenndaki kerusuhan gawat taerjadi di Parto atau Haria, maka residen dipersilahkan kembali ke Saparua. 
       Pada tanggal 15 mei 1817malam, benteng dikepung oleh massa yang sudah siap melakukan penyerbuan, dibenteng sendii hanya ada belasan tentara kompeni, sebagian besar serdadu jawa. Pada tanggal 16 mei pagi- pagi residen sudah memerintahkan untuk menggerek bendera putih, dalam penyerbuan resisden beserta keluarganya mati terbunuh, kecuali seorang anak laki- laki yang akhinya mendapat pertolongan dari Patiwael.
       Mekipun benteng dapat direbut kembali pada tanggal 3 agustus 1817, pergolakan berkobar terus dan para pemimpin bersembunyi di hutan- hutan. Rakyat Nusa Laut meletakkan senjata pada tanggal 10 november , dua hari kemudian Matulesia tertangkap oleh Liman Pietersen. Sebagai akhir masa pembrontakan pada tanggal 16 november  1817, diadakan upacara agama,dua hari kemudian para pemimpin pembrontakan di berangkatkan ke ambon untuk di adili. Matulesia dan tokoh- tokoh terkemuka dijatuhi hukuman mati sedangkan yang lainnya dibuang antara lainnya ke jawa.
2.      Perang Banjarmasin
       Persoalan paergantian tahta di kerajaan Banjarmasin mendorong belnadauntuk melakukan intervensi dn melepaskan politik tak- campur tangan. Sejak ditanda tanganinya perjanjian pada tahun 1826 hubungan pemerintah colonial dengan sultan Adam baik, tetapi setelah ditemukannya batu bara di Matapura hubungan tersebut menjadi memburuk, karna sultan Adam tidak memberikan izin untuk penggaliannya. Setelah Gubernur Jendral Rochussen ikut campur tangan maka izin tersebut di berikannya.
       Pada tahun 1852 Putar mahkota meninngal dan diantara putra- putra dan keturunan sultan lainnya P. Tamjid Ulah sebagai putra tertua lahir dari seorang ibu keturunan cina, di akui belanda sebagai penggantinya. Adiknya P. Hidayat, lahir dari seorang ibu keturunan bangsawan, ternyata dalam surat wasiat yang ditulis Sultan Adam. Sepeninngalannya timbullah pembrontakan yang mendukung P.Prabu Anom, seorang saudara muda Tamjid Ulah. Hidayat yang di angkat sebagain patih dibelakang layar mendukung pembrontakan. Meskipun P. Prabu anam dapat di tanggkap dan di buang ke Bandung, perlawanan berjalan terus diseluruh kesultanan Banjarmasin. Keraton sultan juga diserang tetapi pembrontakan dapat di pukul mundur. Pada tahun 1859 P. Hidayat berhasil meloloskan diri dan menggabungkan diri dengan barisan pembrontakan. Pada saat P.Tamjid turun tahta Belanda meprolakmasikan bahwa kesultanan Banjarmasin di hapus. Pembrontakan berkobar terus meskipun kedudukan para pembrontak semakin terdesak. Pada tahun 1862 P.Hidayat menyerah namun baru empat tahun kemudian pembrontakn dapat dipadam sepenuhnya.
3.      Perang  Aceh ( 1873- 1912)
      Mekipun pada awal abad XIX hegemoni kerajaan Aceh di Sumatra bagian utara sudah tmenurun, kedaulatannya masih diakui penuh oleh Negara-negara barat, bahkan berdasarkan traktat London pada tahun 1824 menjamin kemerdekaan dan integritasnya. Manurut traktat itu  belanda memberi wewengan menjaga kententraman diperaiaran dalam lingkungan kerajaan Aceh.
       Pada tanggal 30 maret 1857 ditanda tanganilah kontrak antara kerajaan aceh dan pemerintah Hindia- Belanda. Dicantumkan di dalamnya kebebasan perdagangan dan larangan perdagangan budak serta perompakan. Penetrasi kekuasaan colonial maju lagi selangkah dengan terjadinya traktat siak pada tahun 1857, suatu paerjanjian yang di tententang oleh Sultan Aceh, oleh karna itu hal ini bertentngan dengan hegemoni Aceh. Untuk mencegah penetrasi lebih lanjut banyak kapal perang aceh dikerahkan di pantai timur Sumatra, akan tetapi akhirnya deli, serdang, asahan kesemuanya jatuh ketangan belanda.
       Berdasarkan traktat Sumatra 2 november 1871 pihak belanda diberi kebebasab memperluas daerah kekuasaannya di aceh, sedangkan inggris mendapat kebebasan berdagang di daerah siak. Traktat itu member keleluasan kepada belanda untuk meneruskan agresinya. Diplomasi aceh untuk melawannya antra lain lewat hubungan dengan wakil itali dan amerikan serikat, tidak berhasil. Setelah ul;timatum tidak ditanggapi permakluman perang terhadap aceh dinyatakan pada tanggal 26 maret 1873.
      Setelah mendarat pada tanggal 5 april 1873 dengan kekuatan kurang lebih 3000 orang bala tentara, serangan terhadap mesjid dilakukan dan berhasil direbut, tetapi kemudian diduduki kembali oleh pasukan aceh, karna ternyata bertahan sangat kuat, serangan ditunda kembali sambil menunggu bantuan dari Batavia. Akhirnya penyerbuan tak diteruskan, malahan ekspedisi ditarik kembali.
     Pada itu juga dikirimlah ekspedisi kedua dobawah pimpinan Van Swieten, dengan bala tentara sebesar 1300 orang. Serbuan kali ini berhasil menduduku mesjid.sebelum keraton diserbu pasuakan belanda sultan dan seluruh penghuninya telah diungsikan, maka berhasil diduduki tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sultan aceh meninngal karena menderita penyakit kolera, tetapi para pengikutnya mengungsi kepedalaman jauh dari pangkalan belanda. Usaha pendekatan untuk mengadakan perundingan tidak ditanggapi oleh pihak aceh, belanda menunggu dan melakukan system pasifikasi.
     Dengan system pasifikasi belanda berusha menguasai dan mengamankan lembah sungai aceh dan aceh besar. Didirikan benteng-benteng sebagaipos untuk mengawasi daerah sekitarnya. Komunikasi antar pos-pos terus menerus mengahdapi serangan dari pasukan aceh. Serangan tidak lagi dilakukan secara membabi buta tetapilebih terorganisir. System menunggu dari pihak belanda dipandang sebagai kelemahan, maka dilancarkanlah ofensif yang semakin gencar terhadap pos-pos sehingga akhirnya pos-pos dapat ditembus dan diputus pada tahun 1877.
      Waktu Jendral Van der Heyden menggantikan Jendarl Pel, mulailah dilakukan ofensif dengan mengirim ekspedisi ke Mukim XXII untuk ditundukkan. Panlima Polim terpaksa mengundurkan diri ke daerah lain. Daerah –daerah lain dalam aceh besar ajtuh juga ketangan belanda. Suasan damai dan kekurangan uang mendorng penguasa kolonial untuk memasukkan pemerintahn sipil. Sementar itu gerakan perlawanan masih tetap berpusat pada keluarga sultan. Mesjak meskipun sejak meninggalnya sultan aceh pada tahun 1874, belim di angkat penggantinya dan keraton telah diduduki belanda, putra mahkota Muhammad Daud, tetap berperan sebagai pusat dan pemimpin perang perlawanan. Pada awal tahun 1884 dia dinobatkan sebagai sultan aceh.
       Gubernur Deykerhoff (1890) berusaha untuk mendekati kaum bansawan atau ulubalang karena mereka dan para pedagang dipandangnya sebagai pemberi dana bagi perang. Siasat ini ini antara lain berhasil untuk mendorong Teuku Umar berpihak kepada belanda. Ia dengan pasukannya membantu belanda dalam mempasifikasikan aceh besar dengan mendudukan mukim XXII,XXV,XXVI. Dengan demikian in mendapat kepercayaan sangat besar dari. Hal itu dipergunakannya untuk kembali kepihak aceh dengan membawa peralatan perang yang cukup lengkap (1896). Dengan kembalinya T. Umar seluruh daerah aceh besar mulai bergolak lagi, maka belanda terpaksa mengirim ekspedisi lagi untuk mendudukan seluruh daerah lembah sungai aceh sampai ke hulunya.
       Sejak tahun 1890 Snouck Hurgronje  mempelajari masyarakat aceh dan berdasarkan studi ia memberikan saran- saran kepada pemerintahan, yaitu menggempur semua pemimpin aceh yang mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Untuk menjaga keamanan aceh besar disetiap segi ditempatkan pasuakan mobil. Ekspedisi aceh besar dipimpin oleh Van der Heyden dibantu oleh Van Heutz. Ofensif yang dialkukanya memaksa para pemimpin aceh menyelamatkan diri ke Pidie, antar lain Sultan Panglima Pilim, T. Umar, dan rombongannya. Strategi ofensif diteruskan waktu Van Heutz di angkat sebagi Gubernur aceh. Strategi itu sesuai denagn apa yang disarankan oleh Snouck Hurgronje dan bertahun- tahun mereka perjuangkan.
      Pada bulan juni 1898 di adakan rapat para pemimipin perang dimana T. Umar diserahi para pemimpin umumnya. Operasi Van Heutz memaksa pihak aceh lebih bersikap defensive dengan mengindari konfrontasi. Dalam perang gerilnya itu T. Umar gugur. Banyak ulubalang didaerah pase menyerah. Bariasan aceh terdesak terus, mauredo, samalangan, pensangan, batu merah, dan akhirnya batu-ilie jatuh ketangan musuh.
     Dalam dua tahun berikutnya, ofensif Van Heutz diteruskan untuk mengejar rombongan sultan. Dikhawatirkan bahwa di gayo masih akan ada usaha penyusuna melawan belanda.  Pada tanggal 26 november 1902 ditemukan tempat persembunyian rombongan sultan dan sultan beserta pengikutnya akhirnya dapat ditawan. Panlima Polim berhasil meloloskan diri, kemudian pada tanggal 6 september 1903 bersama raja Keumala serta kurang lebih 50 pengikutnya menyerah kepada belanda. Pada bulan januari 1904 dia diangkat sebagai panglima mukim XXII. Denagan peristiwa itu perang aceh dapat dianggap berakhir. Namun perlawanan masih berlangsung terus secara perseorangan maupun dalam kelompok hanya seamkin lama semakin terpencil sifanya.
4.      Catatan Terhadap Perlawanan Lain
Sejak penerimaan kembali atas kekuasaan atas Indonesia dari inggris berdasarkan konvensi London (1814), Belanda terus mengangkat senjata untuk memadamkan pusat pembrontakan melawan kekuasaannya, seperti pada pemberontakan saparua, batipu (1839), merambung (1850), taikong (1858-1859), mengadakan intervensi karena karena ada perang intern seperti, Minangkabau (1823-35), Bali (1841), dan Lombok (1894). Membela kepentingan ekonomis seperti Deli, Serdang, Ashan (1862-65) terdorong oleh the scramble for colonies (perebutan jajahan), sepserti yang dijalankan Negara- Negara besar, maka politik hands-off ditinggalkan, seperti di aceh, siak, (1858-61), belanda mencampuri perang suksesi seperti perang diponegoro, dan perang Banjarmasin. Tetapi daerah yang perlu dikuasai sangat luas, peristiwa-peristiwa itu terjadi secara terisoalsi satua sama lain, sehingga belanda tidak menghadapi serangan secara serentak. Dimana taktik gerilnya dapat di jalankan dn perang berlansung cukup lama.
      Apabila tidak terdapat factor pengikat yang luas seperti ideology, organisasi, kepemimpinan dan tujun gerakan, maka perlawanan hanya berupa perlawan atau pembrontakan setempatyang sifatnya lokal, terisolasi, dan umurnya pendek.  Antara perang sebagai perlawanan berskala besar denagn protes yang sangat terbatas sifatnya tidak terdpat perbedaan kualitatif. Sering terjadi bahwa pimpinan dalam gerakan dalam protes lebih menonjol sifat-sifat kepahlawanannya dari pimpinan perang yang sering menunjukkan kesediaan  berunding dan bersemangat lebih radikal- revolusioner. Tujuan gerakan mesianistis revolusioner dalam arti bahwa masyarakat perlu dirombak sehingga ada keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat.  Banyak perlawanan, besar kecil silih berganti member gamabran bahwa Indonesia dalam abad XIX belum dapat disebut berada dalam Pax Neerlandica, lanadasan-landasan untuk mewujudkannya telah diletakkan. Dalam abad XX gerakan dari kategori lain muncul yaitu gerakan nasionalistis yang dengan tujuan modern melakukan pertentangan terhadap belanda.
DAFTAR PUSTAKA
Kantodirijo, Sartono(1999). Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500- 1900. Jakarta :                                                                                                                              Gramedia Pustaka Utama.     
Kartodirijo, Sartono. 1975. Sejarah Nasional. Jakrta : Depdikbud.
Online encyclopaedia. http://en.wikipedia.org

No comments:

Post a Comment