Mairika Purnama
Australia
merupakan salah satu negara yang mendukung perjuangan Indonesia dalam
memperoleh kemerdekaan. Dalam sejarah, adanya bukti keharmonisan antara
Australia dan Indonesia, yaitu Indonesia mendapatkan dukungan moral maupun
materil yang cukup berarti dari masyarakat Australia beserta partai buruhnya
dalam mendapatkan pengakuan kedaulatan Indonesia. Australia juga menjadi salah
satu negara yang mengakui kedaulatan Indonesia. Secara de facto, Australia
mengakui kedaulatan Indonesia pada bulan Juli 1947, sedangkan secara de Jure
pada bulan Juli 1949. Salah satu dukungan lain dari Australia terhadap
Indonesia yaitu Australia menggalang dana serta melakukan aksi boikot terhadap
559 kapal dagang Belanda untuk membantu perjuangan rakyat Indonesia. Australia
ini juga pernah menjadi co-sponsor Indonesia ketika akan masuk menjadi anggota
PPB tahun 1950.[1]
Australia dan Indonesia merupakan dua negara yang saling berdekatan secara geografisnya. Kedekatan
geografis di antara kedua negara inipun menjadikan Australia dan Indonesia beranggapan bahwa pentingnya menjalin hubungan. Kedua negara ini sudah sejak lama menjalin hubungan yang harmonis dalam berbagai bidang, Namun dalam hubungan yang baik tersebut tidak berlangsung lama, sebab hubungan kedua negara ini sering mengalami pasang surut dan dihiasi oleh berbagai konflik atau ketegangan. Secara geografis Australia dan Indonesia memang saling berdekatan ibaratnya seperti tetangga,tetapi kedua negara ini memiliki perbedaan dalam berbagai hal, salah satunya yaitu perbedaan kultural. Adanya perbedaan-perbedaan di antara Australia dan Indonesia inilah yang mengakibatkan hubungan kedua negara ini sering mengalami pasang surut dan munculnya berbagai gejolakan atau permasalahan bahkan perselisihan di dalamnya. Tetapi sebaiknya Australia dan Indonesia harus bisa memelihara hubungan yang baik dan harmonis meskipun memiliki banyak perbedaan.[2]Pasang
surut hubungan Australia dengan Indonesia ini mulai tampak pada awal tahun
1950-an, dimana Australia mulai menentang Indonesia. Hal ini disebabkan karena kebijakan
Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno yang berupaya merebut kembali
Irian Barat (1957-1963), serta adanya konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia,
dimana Australia turut campur tangan dengan berpihak kepada Malaysia. Pada 10
Desember 1949, adanya pergantian pemerintahan di Australia juga turut
mempengaruhi hubungan Australia dan Indonesia. Dari periode 1950 sampai
pertengahan tahun 1960-an hubungan kedua negara ini juga mengalami pasang surut.
Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan ideologi antara Partai Buruh dan
Koalisi Liberal Country, yaitu suatu aliansi politik dari beberapa partai kanan
tengah Australia yang telah mengubah pandangan Australia terhadap Indonesia. Pemerintahan
tersebut tidak setuju dengan kedaulatan Indonesia atas Irian Barat dan lebih
setuju dengan keberadaan Belanda di Irian Barat. Selain itu, hubungan kedua
negara ini juga memanas pada tahun 1999,
ketika terjadinya pemisahan Timor-Timur yang sekarang bernama Timor Leste dari
Indonesia. Indonesia menganggap bahwa pemisahan atau lepasnya Timor-Timur
disebabkan oleh campur tangan negara Australia. Perbedaan-perbedaan yang
terdapat pada kedua negara inilah yang mengakibatkan hubungan Australia dan
Indonesia sering mengalami pertentangan atau konflik.[3]
Namun
untungnya tidak harmonisnya hubungan Australia dan Indonesia ini tidaklah
berlangsung lama. Harmonisnya kembali hubungan antara Australia dan Indonesia
diakibatkan oleh jatuhnya kepemimpinan Presiden Soekarno dan dimulainya era
kepemimpinan baru Indonesia dibawah pimpinan Presiden Soeharto pada tahun 1967.
Pemerintahan baru Indonesia yang anti komunis dan lebih mengutamakan kebijakan
luar negeri yang bebas aktif, ternyata menjadi salah satu faktor kondusif bagi
pesatnya hubungan antara Australia dengan Indonesia. Keharmonisan hubungan
Australia dan Indonesia di tandai dengan dibentuknya suatu konsorsium lembaga
keuangan internasional yaitu Intern Governmetal Group on Indonesia (IGGI) pada
tahun 1967 untuk membantu pembangunan di Indonesia. Pada tahun 1968,dibentuk
Cultural Agreement yang membantu program pertukaran bersama di bidang budaya
dan pendidikan. Selain itu,Nampak kedua pemimpin negara saling mengadakan
kunjungan balasan pada tahun 1970 an. [4]
Tetapi
sepertinya alam kembali tidak mengizinkan untuk Australia dan Indonesia untuk
bersatu. Pada 7 Desember 1975, Indonesia melakukan investasi militer ke
Timor-Timur. Tewasnya lima wartawan Australia di medan pertempuran Balibo,
Timor-Timur, menambah benang kusut di dalam hubungan Australia dan Indonesia.
Situasi ini memaksa Indonesia untuk tidak memperpanjang izin tinggal dua
koresponden Australian Broadcasting Corporation (ABC), yaitu Warwick Butler dan
Joe Comman yang berakhir tanggal 15 juli 1980.
Kehangatan
hubungan antara Indonesia dan Australia sedikit demi sedikit dapat kembali
dirasakan saat Partai Buruh berkuasa lagi pada tahun 1983. Kemenangan Bob Hawke
atas Malcolm Fraser dari Partai Koalisi Liberal-Nasional membawa angin segar bagi
dikukuhkannya kembali hubungan Jakarta-Canbera. Dari tahun ke tahun hubungan
ini meningkat secara perlahan. Puncak dari kehangatan dan keharmonisan kedua
negara ini terjadi pada 22 Agustus 1985, yaitu ketika PM Bob Hawke menyatakan
mengakui secara de jure integrasi Timor-Timur ke dalam Indonesia.
Akan
tetapi, ketika David Jenkins menulis artikel yang menyoroti tentang bisnis
keluarga Presiden Soeharto, hubungan antara Australia dan Indonesia kembali kandas.
Sebagai reaksi terhadap tulisan itu, pemerintah Indonesia membatalkan kunjungan
menteri Ristek, B.J Habibie. Selain itu,tanpa pemberitahuan sebelumnya, visa
kunjungan ke Bali, turis asal Australia satu pesawat penuh ditolak. Pemerintah
Indonesia juga memperpanjang larangan bagi wartawan Australia untuk meliput di
Indonesia. Kerjasama militer yang telah berlangsung juga dibatalkan. Bahkan
wartawan Australia yang mendampingi Presiden AmerikaSerikat yaitu Ronald Reagen
dalam kunjungannya ke Bali juga tidak diizinkan.
Ketidakharmonisan
ini mulai mencair pada tahun 1988, ini terlihat antara lain dari pernyataan
Menteri Pertahanan Australia, Kim Beazly pada 23 Februari 1988, yang mendesak
pemerintah agar kembali memperbaiki hubungan kerjasama pertahanan keamanan
dengan Indonesia. Pernyataan ini di anggap sebagai salah satu proses dibukanya kembali
hubungan setelah kasus Jenkins. Sejak saat itu hingga Juni 1995, hubungan kedua
negara ini membaik. Meskipun diantara periode tersebut terjadi peristiwa Santa
Cruz di Dili pada tanggal 11 November 1991, yang menuai protes keras dari
pemerintah dan sebagian besar masyarakat Australia, tetapi hubungan kedua
negara ini relatif lancar.
Ada
beberapa bidang yang menjadi tonggak hubungan Australia dan Indonesia. Di
bidang ekonomi, kedua negara berhasil menandatangani Perjanjian Celah Timor
pada tahun 1989, yang mengatur kerjasama eksplorasi minyak di Laut Timor,
wilayah perbatasan Australia-Indonesia. Dan pada tahun 1992, kedua negara ini
berhasil membuat forum Menteri Australia dan Indonesia.
Untuk
di bidang pertahanan dan keamanan, kedua negara ini menunjukkan hubungan yang
semakin substansial. Selain berhasil menandatangani perjanjian akstradisi dan
pengaturan nelayan, hubungan baik dalam aspek pertahanan dan keamanan juga
terlihat dari berbagai bentuk kerjasama, seperti: kunjungan pejabat militer dan
transparansi dalam hal kekuatan pertahanan dan keamanan, program pendidikan dan
latihan militer gabungan kedua negara. Sejak tahun 1990, Australia dan
Indonesia telah mengadakan latihan militer gabungan seperti: Knight Komodo dan
Kookaburra (Angkatan Darat), Ausina Passexs dan Ausina Patrolexs (AL), serta
Rajawali Ausindo dan Elang Ausindo (AU).
Didalam
bidang budaya ditunjukkan dengan adanya kerjasama bidang pendidikan,sosial
budaya dan turisme. Pada tahun 1989, Australia dan Indonesia berhasil membentuk
Australia-Indonesia Institute, yang merujuk kepada kontak rakyat antara kedua
negara, yang berfungsi untuk mengimbangi hubungan lebih resmi di tingkat
pemerintahan. Selain itu, Australia juga memberikan beasiswa guna melanjutkan
pendidikan di negeri Kanguru melalui Australian Internasional Development
Assistance Bureau (AIDAB) yang kemudian beganti nama AUSAID.
Akan
tetapi hubungan hangat Australia dan Indonesia kembali diterpa badai. Ada tiga
peristiwa penting yang mengganggu hubungan kedua negara ini pada saat itu.
Pertama, penolakan Australia terhadap Letjen (purn) H.B.I. Mantiri sebagai
calon Dubes yang diajukan oleh Indonesia untuk Australia pada tanggal 6 Juli
1995. Penolakannya ini dikaitkan dengan ucapannya kepada Majalah Editor ketika
menjabat sebagai Panglima Udayana dengan yurisdiksi atas daerah Timor-Timur.
Masyarakat Australia menuntut Mantiri untuk meminta maaf atas ucapannya
tersebut yang ternyata tuntutan ini kemudian diabaikan oleh Indonesia. Kedua,
pemberian visa oleh Australia kepada 18 imigran asal Timor-Timur yang melarikan
diri pada 24 Mei 1995. Ketiga, insiden pembakaran bendera merah putih oleh
demonstran TimTim anti-integrasi dibeberapa kota Australia, seperti Sydney,
Brisbane, Melbourne, dan Adelaide.[5]
Tidak
hanya sampai disitu jatuhnya rezim Soeharto karena reformasi 1998, hubungan
Australia dan Indonesia pun masih mengalami pasang surut. Usaha demokratisasi
Indonesia pasca reformasi 1998 juga mengalami perkembangan yang menuai banyak
masalah sehingga politik dalam negeri Indonesia masih belum kondusif, dan
Timor-Timur yang memerdekakan diri sebagai bangsa yang berdaulat membuat
pemerintah Australia menguprade hubungan bilateralnya dengan Indonesia.
Hubungan
Indonesia dan Australia yang selalu mengalami pasang surut, adanya keharmonisan
yang hanya bertahan sementara, kebekuan antara keduanya terjadi hanya karena
hal-hal yang dapat kita anggap sepele. Ada beberapa faktor yang menyebabkan
sering kandasnya kehangatan hubungan antara Australia dan Indonesia, yaitu :[6]
1. Praktek
Demokrasi dan Budaya Politik
Dalam
menjalankan pemerintahan Indonesia menganut sistem demokrasi. Dimana Indonesia
adalah suatu negara yang menganut sistem presidensial, kekuasaan politik lebih
terpusat pada presiden. Tatanan politik dan sistem sosial negara ini didasarkan
pada nilai-nilai Pancasila,sebagai satu-satunya ideologi negara. Pancasila
mengikat seluruh aktivitas masyarakat. Sedangkan Australia berdasarkan prinsip-prinsip
demokrasi liberal yang mengarah pada sistem parlementer. Nilai-nilai yang
terkandung dalam sistem liberal seperti hak individu dan kebebasan berpendapat
telah menjadi ciri utama dalam kehidupan masyarakat dan penguasa Australia
dalam menjalankan pemerintahannya.
2. Kebijakan
Politik Luar Negeri
Hubungan
Australia dan Indonesia pada awalnya sangatlah baik, namun dengan berjalannya
waktu menghadapi masalah yang menanti. Indonesia cenderung lebih banyak
memberikan fokus kebijakan luar negerinya terhadap negara lain dibandingkan
sahabat lamanya, Australia. Di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, Indonesia
menjadi pengagas Gerakan non-Blok. Kebijakan luar negeri Indonesia sampai
pertengahan tahun 1960-an lebih banyak menyeimbangkan kekuatan Amerika Serikat
dan Inggris dengan menarik perhatian Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina di
kawasan Asia. Sedangkan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto untuk
menggantikan Presiden Soekarno, kebijakan luar negeri Indonesia lebih terfokus
pada negara-negara Arab. Indonesia beranggapan hubungannya dengan Australia
tidak terlalu penting dan tidak seserius itu. Pada sisi lain, Australia lebih
memilih menfokuskan hubungan luar negerinya yang lebih substansial dengan
negara lain seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Jepang dan Amerika, meskipun
ia menilai Indonesia mempunyai arti penting untuk menjalin hubungan.
3. Kekhawatiran
dan Ancaman Terhadap Pertahanan Keamanan
Posisi
Indonesia yang sangat strategis ini, menjadi sebuah hal yang penting bagi
Australia untuk merancang kebijakan pertahanan dan keamanannya. Adanya
ketidakstabilan politik Indonesia dapat mengancam Australia secara langsung
maupun tidak. Persepsi ancaman inilah yang membuat Australia memberikan
perhatian khusus terhadap Indonesia agar posisi demografis Australia yang
terpencil di ujung belahan Selatan dunia menjadi pelindungnya apabila ada
serangan musuh dari Utara. Namun disisi lain Australia juga mencurigai
Indonesia sebagai ancaman. Sikap saling mencurigai inilah yang mempengaruhi
hubungan antara Australia dan Indonesia.
4. Hubungan
Kerjasama Ekonomi Yang Lemah
Hubungan
ekonomi antara Australia dengan Indonesia ini sangat lemah. Hal ini disebabkan
karena rendahnya intensitas barang komplementer kedua negara serta disebabkan
oleh proteksi dan strategi perdagangan. Tidak hanya itu, karena keadaan politik
juga menyebabkan pengusaha enggan untuk berbisnis antara satu sama lain.
Kesimpulan
Australia
dan Indonesia merupakan dua negara yang secara geografis saling berdekatan.
Australia juga berperan andil dalam perjuangan Indonesia mendapatkan pengakuan
kedaulatan. Hubungan Australia dan Indonesia awalnya berjalan dengan harmonis
tanpa ada permasalahan apapun. Australia dan Indonesia memang sudah sejak lama
menjalin hubungan baik dalam berbagai bidang. Tetapi dalam hubungan kedua
negara tersebut tidak selalu bejalan dengan mulus. Hubungan antara Australia
dengan Indonesia ini sering mengalami pasang surut, dimana di dalam hubungan
tersebut sering di terpa badai atau sering terjadi ketegangan,konflik,saling
mencurigai satu sama lain, saling menyalahkan dan permasalahan-permasalahan
lainnya yang mengakibatkan hubungan kedua negara ini tidak berjalan dengan
mulus. Adanya hubungan pasang surut antara Australia dan Indonesia disebabkan
oleh adanya perbedan-perbedaan yang sangat signifikan dari kedua negara ini.
Salah satunya nya yaitu perbedaan yang mencolok ialah perbedaan kultural.
Adapun
faktor yang menyebabkan terjadinya hubungan Australia dan Indonesia pasang
surut yaitu disebabkan karena adanya perbedaan dalam aspek politik,kebijakan
luar negeri, keamanan dan ekonomi. Australia dan Indonesia masih kurang
memperhatikan satu sama lainnya dalam aspek politik, ekonomi dan keamanan, yang
dimana aspek tersebut dapat memperkokoh hubungan Australia dan Indonesia agar
tetap stabil. Tetapi meski demikian Australia dan Indonesia selalu melakukan
usaha-usaha untuk meningkatkan hubungan mereka agar tetap harmonis. Untuk itu
Australia dan Indonesia harus perlu adanya rasa percaya satu sama lain agar
tidak terjadi lagi konflik.
[1]Wulandari,Arie. (2012). Hubungan Australia-Indonesia Pada Masa
Malcolm Fraser Tahun 1975-1983. S1 thesis. Fakultas Ilmu Sosial. Hal 36
[2] Sinaga,Chintya Magdalena. (2014) . Dinamika Hubungan Australia-Indonesia Dalam
Bidang Politik 2010-2015.Skripsi S1. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional. Universitas Hasanuddin:Makassar. Hal 6
[3] Wijayanti, Yeni. Dinamika Hubungan Bilateral Indonesia-Australia Tahun 1945-1995.
Jurnal Artefak. Vol.3,
No.1, Maret 2015. Hal 52
[4] Wijayanti, Yeni. Dinamika Hubungan Bilateral Indonesia-Australia Tahun 1945-1995.
Jurnal Artefak. Vol.3, No.1, Maret 2015. Hal 53
[5] Wijayanti, Yeni. Dinamika Hubungan Bilateral Indonesia-Australia Tahun 1945-1995.
Jurnal Artefak. Vol.3,
No.1, Maret 2015. Hal 54
[6] Wijayanti, Yeni. Dinamika Hubungan Bilateral Indonesia-Australia Tahun 1945-1995.
Jurnal Artefak. Vol.3, No.1, Maret 2015. Hal 55
DAFTAR
PUSTAKA
Sinaga,Chintya
Magdalena. (2014) . Dinamika Hubungan
Australia-Indonesia Dalam Bidang Politik 2010-2015.Skripsi S1. Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Jurusan Ilmu Hubungan Internasional. Universitas
Hasanuddin:Makassar
Wijayanti,
Yeni. (2015). Dinamika Hubungan Bilateral
Indonesia-Australia Tahun 1945-1995. Jurnal Artefak. Vol.3, No.1,
Maret 2015
Wulandari,Arie.
(2012). Hubungan Australia-Indonesia Pada
Masa Malcolm Fraser Tahun 1975-1983. Skripsi S1. Fakultas Ilmu Sosial.
No comments:
Post a Comment