TANAM PAKSA (CULTUURSTELSEL)

Guswita Putri/SI III

      Sejak VOC dibubarkan pada tahun 1799, daerah-daerah yang menjadi kekuasaanya diambil alih oleh pemerintahan kerajaan Belanda. Pada tahun 1830, pemerintah Hindia-Belanda mengalami kesulitan keuangan. Pemerintah di negeri Belandatidak dapat membantu karena pemerintah di negeri Belanda sendiri mengalami kesulitan keuangan. Ada beberapa sebab yang menyebabkan Hindia-Belanda dan negeri Belanda kesulitan keuangan yaitu pemerintah Hindia-Belanda banyak mengeluarkan biaya perang untuk menghadapi
perlawanan rakyat terutama perang Diponegoro, pernag padri, dan perang berbagai daerah, dan pemerintah di negeri Belanda dililit tang luar negeri sehingga perlu biaya besar untuk membayarnya hal ini disebabkan karena pemerintah belanda banyak mengeluarkan biaya perang untuk menghadapi pemberontakan Belgia.
Untuk mengatasi kesulitan keuangan tersebut, Johanes Van Den Bosch Gubernur Jenderal Belanda pada tahun 1830-1833 mengusulkan kepada pemerintah Belanda agar produksi tanaman ekspor di Indonesia ditingkatkan, caranya dengan melaksanakan cultuurstelsel atau tanam paksa. Usul Van Den Bosch tersebut disetujui oleh pemerintah Belanda. Kemudian Van Den Bosch diangkat sebagai Gubernur Jenderal di Hindia-Belanda.
Untuk menolong keuangan negeri Belanda, maka dilaksanakan program tanam paksa sebagaimana yang diusulkan oleh Van Den Bosch mulai menyusun program-program sebagai berikut:
a.       Menghapus sistem sewa tanah karena dianggap sulit dan tidak efisien
b.      Mengganti sistem tanam bebas menjadi tanam wajib dengan jenis-jenis tanaman yang telah ditentukan pemerintah
c.       Menghidupkan kembali program kerja wajib untuk menunjang program tanam wajib.[1]
Dalam pelaksanaan tanam paksa, terdapat beberapa aturab yang diterapkan dalam tanam paksa sebagai berikut:
a.       Setiappetanidiwajibkan menyerahkan seperlima dari tanahnya untuk ditanami tanaman yang hasilya laku di jual di pasar Eropa, seperti kopi, nila, tebu, tembakau, dan teh
b.      Tanah yang diserahkan kepada pemerintah tidak dikenai pajak
c.       Jika hasi tanaman yang diserakan kepada pemerintah melebihi pajak, kelebihan itu akan dikembalikan kepada petani
d.      Waktu yang diperlukan untuk mengerjakan tanah tidak boleh melebihi waktu menanam padi
e.       Pendudukyang tidak memiliki tanah, wajib bekerja di perkebunan Belanda selama 66 hari (1/5 tahun)
f.       Kerusakan tanaman karena bencana alam di tanggug oleh pemerintah[2]
Pelaksanaan tanam paksa di Indonesia diserahkan kepada pamong praja, sedangkan pengawasannya dilakukan oleh pegawai-pegawai bangsa belanda. Pelaksana dan pengawas memperoleh semacam upah yang disebut dengan cultuur procenten.  Besarnya upah tergantung dari persentase hasil tanaman yang dapat dikumpulkan dan diserahkan. Semakin banyak hasil yang dikumpulkan dan diserahkan, semakin besar pula persentase yang mereka dapatkan. Akibatnya, mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan persentase yang besar. Berdasarkan peraturan-peraturan diatas, tnam paksa sebenarnya tidak merugikan atau memberatkan bagi rakyat. Akan tetapi, tanam paksa akhirnya mendatangkan penderitaan yang luar biasa terhadap rakyat Indonesia, karena didalam prakteknya aturan-aturan tersebut ternyata mengalami penyimpangan. Cara-cara kotor inilah yang menyebabkan penyimpangan pelaksanaan tanaman paksa di Indonesia.penympangan-penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan sistem tanam paksa yaitu:
a.       Tanah yang diserahkan petani lebih dari seperlima
b.      Tanah petani yang diserahkan untuk tanam paksa ternyata tidak bebas pajak
c.       Mereka yang tidak memiliki tanah bekerja di perkebunan pemerintah dapat lebih dari 1/5 tahun
d.      Kegagalan panen, apapun penyebabnya menjadi tanggung jawab petani
e.       Waktu pengerjaan tanam paksa melebihi waktu tanam padi
f.       Kelebihan hasilpanen tanam paksa tidak dikembalikan kepada rakyat, melainkan untuk Belanda
Penyimpangan-penyimpangan aturan tanam paksa di atas terjadi karena adanya cultuur procenten, yaitu hadiah atau bonus bagi pelaksanaan tanam paks yang dapat menyerahkan hasil tanaman melebihi ketentuan. Dalam pelaksanaanya tanam paksa, luas tanah yang ditanami lebih sering melebihi ketentuan yang telah disepakati, bahkan banyak desa yang harus menyerahkan seluruh tanahnya untuk ditanami tanpa menerima tanah pengganti. Perhitungan hasil dengan pajak yang harus dibayar juga tidak menentu, termasuk merajalelanya manipulasi yang dilakukan oleh elite lokal. Penduduk juga harus bekerja lebih lama tanpa menerima upah. Tanam paksa memberikan dampak baik bagi Belanda maupun Indonesia.
1.      Akibat tanam paksa bagi Belanda
Tanam paksa mendatangkan keuntungan yang besar bagi Belanda. Setiap tahun hasil bumi yang diangkat ke Belanda berharga puluhan juta gulden. Hal ini menimbulkan akibat sebagai berikut:
a.       Kesulitan keuangan pemerintah Belanda teratasi
b.      Pemerintah Belanda mengalami surplus di bidang keuangan
c.       Perusahaan Nederlandsch Handel Maatschappij (NHM) mendapatkan keuntungan berlimpah. Sebab perusahaan tersebut mendapat hak monopoli pengangkutan hasil tanam paksa ke Belanda.
2.      Akibat tanam paksa bagi Indonesia
Rakyat tidak mempunyai waktu untuk mengerjaka tanahnya sendiri, oleh karena itu banyak tanah kosong yang tidak ditanami. Sering terjadi gagal panen, kegagalan panen terjadipada tahun 1843 di pantai timur utara Jawa. Hala tersebut  menimbulkan akibatsebagai berikut:
a.       Rakyat mengalamikelaparan, terutama di daerah Cirebon, Demak, dan Grobogan
b.      Banyak penduduk yang melarikan diri ke desanya.mereka mengiradi desa lain aman dari tanam paksa, namun di desa lainpun keadaanya sama. Oleh karena itu, mereka banyak yang mati kelaparan dipengingsian
c.       Jumlah penduduk pulau Jawa berkurang[3]
Pada awal nya rakyat Belanda tidak mengetahui tentang praktik tanam paksa di Indonesia. Baru setelah tahun 1850 berita-berita mengenai tanam paksa mulai didengar rakyat Belanda. Terutama tentang bencana kelaparan di Cirebon, Demak, dan Grobogan.oleh karena itu sejak tahun 1850, di negeri Belanda mulai timbul perdebatan tentang pelaksanaan tanam paksa. Di parlemen Belanda sendiri ada dua pendapat yaitu pihak yang mendukung tanam paksa dan pihak yang menentang tanam paksa.pihak yang menentang tanam paksa dibagi menjadi dua golongan yaitu kaum agama yang terdiri atas pendeta dan kaum liberal yang tersiri atas para pengusaha dan pedagang.
Ada beberapa tokoh-tokoh Belanda yang menentang pelaksanaan sistem tanam paksa antara lain:
1.      Edward Douwes Dekker (1820-1887)
Edward Douwes Dekker adalah  seorang resden di Lebak, Serang, Jawa Barat. Ia sangat sedih menyaksikan betapa buruknya nasib bangsa Indonesia akibat sistem tanam paksa dan berusaha membelanya. Ia mengarang sebuah buku yang berjudul Max Havelaar(lelang kopi perdagangan Belanda). Yang terbit pada tahun 1860. Dalam buku tersebut ia melukiskan penderitaan rakyat di Indonesia akibat pelaksanaan sistem tanam paksa. Selain itu, ia juga mencela pemerintahan Hindia-Belanda atas segala kebijakanya di Indonesia. Edward Douwes Dekker mendapat dukungan dari kaum liberal yang enghendaki kebebasan. Akibatnya, banyak orang Belanda yang mendukung pengahapusan sistem tanam paksa. Dalam menulis bukunya tersebut ia menggunakan nama samaran Multitatuli.
2.      Baron Van Hoevel (1812-1879)
Baron Van Hoevel merupakan salah satu anggota parlemen negeri Belanda. Ia sempat beberapa tahun bermukim di Indonesia. Bersama-sama dengan Fransen Van De Putte ia menentang pelaksanaan tanam paksa. Kedua tokoh ini juga berjuang keras menhapus sistem tanam paksa melalui parlemen Belanda. Van De Putte menulis buku yang berjudul Suiker contracten (kontrak-kontrak gula).
3.      Golongan pengusaha
Golongan pengusaha menghendakikebebasan berusaha, dengan alasan bahwa sistem tanam paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal. Akibat reaksi dari orang-orang Belanda yang didukung oleh kaum liberal, mulai tahun 1865 sistem tanam paksa di hapuskan. [4]
Hasil dari perdebatan di parlemen Belanda adalah dihapuskannya Cultuurstelsel atau sistem tanam paksa secara bertahap. Mulai dari tanaman yang paling tidak laku sampai dengan tanaman yang laku keras di pasaran Eropa. Dan karena tulisan Douwes Dekker dan Fransen Van Der Putter, maka pihak-pihak penentang tanam paksa semakin berambah banyak. Akhirnya, sitem tanam paksa dihapuskan oleh pemerintah Belanda secara bertahap  yaitu:
a.       Tahun 1860, penghapusan tanam paksa lada
b.      Tahun 1865, penhapusan tanam paksa untuk tanaman nila dan teh
c.       Tahun 1870, penghapusan sistem tanam paksa secara resmidihapuskan kecuali kopi dipriangan
d.      Pada tahun 1917, tanam paksa kopi di Priangan baru di hapuskan[5]
Karena banyaknya protes dan reaksi atas pelaksanaan sistem tanam paks ayang tidak erperikemanusiaan, tidak hanya di negari Indonesia namun juga di Negeri Belanda, pada akhirnya sistem tanam paksa dihapuskan. Selanjutnya digantikan oleh politik liberal kolonial.
NOTES:
[1] Wiyatmoko, Bayu.2014. Kronik Peralihan Nusantara Liga Raja-Raja Hingga Kolonial. Jakarta Selatan: Mata Padi Pressindo.
[2] Soebacman, Agustina. 2014. Sejarah Nusantara Berdasarkan Urutan Tahun. Yogyakarta: Syura Media Utama.
[3] Supriyadi, Andi. 2008. IPS Terpadu Sejarah. Solo: CV. Sindhunata.
[4] Siwi, Nur Ismawati. 2011.Sejarah Untuk SMA/MA Kelas XI. Jawa Tengah: Viva Pakarindo.
[5] Supriyadi, Andi. 2008. IPS Terpadu Sejarah. Solo: CV. Sindhunata.

No comments:

Post a Comment