Perkembangan Pers Di Indonesia pada Zaman Penjajahan Belanda dan Jepang

FADILLAH RACHMAN

 

Berbicara perihal dunia pers di Indonesia, tentunya tidak bisa dipisahkan dari hadirnya bangsa Barat di tanah air kita. Memang tidak bisa dimungkiri, bahwa orang Eropa lah, khususnya bangsa Belanda, yang telah "berjasa" memelopori hadirnya dunia pers serta persuratkabaran di Indonesia. Masalahnya sebelum kehadiran mereka, tidak diberitakan adanya media masa yang dibuat oleh bangsa pribumi. Tentang awal mula dimulainya dunia persurat kabaran di tanah air kita ini, Dr. De Haan dalam bukunya, "Oud Batavia" (G. Kolf Batavia 1923), mengungkap secara sekilas bahwa sejak abad 17 di Batavia sudah terbit sejumlah berkala dan surat kabar. Dikatakannya, bahwa pada tahun 1676 di Batavia telah terbit sebuah berkala bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa). Berkala yang memuat berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Denmark ini, dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede tahun 1676. Setelah itu terbit pula Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744, Vendu Nieuws pada tanggal 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810.

ADAT PERNIKAHAN DI KAMPAR


Nazmi Eliyarti / PBM

     Suku kampar merupakan salah satu suku yang ada di kabupaten kampar, propinsi Riau, suku ini juga dikenal dengan sebutan suku Ocu, padahal sebutan ocu bukanlah nama suku tapi sebuah sebutan yang digunakan orang kampar. Suku kampar terdiri dari beberapa suku kecil, yaitu suku piliang, suku domo, suku pitopang, suku kampai, dan suku mandiliong. Penduduk Kampar kerap menyebut diri mereka sebagai Uwang Kampar, tersebar di sebagian besar wilayah Kampar. Secara sejarah, etnis, adat istiadat, dan budaya mereka sangat dekat dengan masyarakat Minangkabau. khususnya dengan kawasan Luhak Limopuluah. Masyarakat Kampar menggunakan bahasa kampar dalam kesehariannya. Bahasa kampar dikategorikan sebagai bagian dari rumpun bahasa melayu. Akan tetapi umur bahasa Kampar diperkirakan lebih tua dibandingkan dengan bahasa Melayu dataran.
Panggilan Suku Kampar
     Dalam adat Kampar, anak pertama oleh saudara-saudaranya dipanggil dengan sebutan Uwo (berasal dari kata Tuo, Tua, yang paling tua). Anak kedua dipanggil oleh adik-adiknya dengan kata Ongah, yang berasal dari kata Tengah, artinya anak yang paling tengah, atau anak ke dua. Sedangkan anak yang ke tiga dipanggil oleh adik-adiknya dengan nama Udo, atau anak yang paling Mudo atau yang paling Muda. Untuk anak yang ke empat baik laki-laki maupun perempuan, juga dipanggil dengan Ocu, yang kemungkinan besar juga berasal dari kata Ongsu, yang dalam bahasa Indonesianya berarti Bungsu atau anak yang bungsu (terakhir). Anak ke lima dan seterusnya juga berhak untuk disapa dengan Ocu.

PENDIDIKAN DI NEGARA AFRIKA SELATAN


NURYANA/SP/B

PENDAHULUAN
Republik Afrika Selatan atau Uni Afrika Selatan adalah sebuah negara di Afrika bagian selatan. Afrika Selatan bertetangga dengan Namibia, Botswana dan Zimbabwe di utara, Mozambik dan Swaziland di timur laut. Keseluruhan negara Lesotho terletak di pedalaman Afrika Selatan.
Kata Afrika berasal dari bahasa Latin, Africa terra - "tanah Afri" (bentuk jamak dari "Afer") - untuk menunjukkan bagian utara benua tersebut, saat ini merupakan bagian dari Tunisia, tempat kedudukan provinsi Romawi untuk Afrika. Asal kata Afer mungkin dari bahasa Fenisia, 'afar berarti debu; atau dari suku Afridi, yang mendiami bagian utara benua dekat Kartago; atau dari bahasa Yunani aphrike berarti tanpa dingin; atau dari bahasa Latin aprica berarti cerah.
Afrika­ Selatan terletak di 29 00' S. 24 00' T. Luas kawasannya  adalah 1.219.912 km, dahulu negara ini terkenal dengan sebutan Tanjung Harapan pertama kali ditemukan oleh pengembara Portugis yang bernama Vasco Da Gama yang kemudian menjadi koloni Belanda sejak tahun 1652. Pada tahun 1961 setelah Pemilu khusus kaum kulit putih, Afrika Selatan dideklarasikan sebagai sebuah Republik yang merdeka dari Inggris.

"MENONGKAH KERANG" (Indragiri Hilir dalam pandangan Budaya)

NADYA HARI PRATIWI

 

1.    MENGENAL SUKU DUANU

Suku Duano merupakan Suku dimana penduduknya adalah Orang laut yang tinggalnya di pesisir laut. Mereka sebagian besar berkulit hitam. Suku ini disebut suku laut karena ketergantungan yang sangat tinggi terhadap laut. Namun saat ini sudah banyak masyarakat suku laut yang mendirikan rumah di pesisir pantai dan peraian setelah sebelumnya mereka tiinggal di atas perahu.Laut adalah sumber kehidupannya, dimana setiap harinya untuk bisa bertahan hidup mereka harus menelusuri tanah- tanah berlumpur untuk mencari kerang , kupang dan Lokan. Aktifitas menongkah merupakan pekerjaan spesifik dari pada Komunitas Duanu dan dilakukan secara tradisional. Keberadaan menongkah pada umumnya tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan Komunitas Duanu. Menurut catatan sejarah, keberadaan Orang Laut (Duanu) yang juga termasuk RAS PROTO MALAY (Golongan Melayu Tua) di Riau diperkirakan pada tahun 2500 SM s/d 1500 SM, dan pada masa Kerajaan Melaka – Johor kebeadaan Orang Laut (Duanu) sebagai orang kerahan pada tahun 1511 – 1528 dengan Rajanya Sultan

BALAI PANJANG, UPACARA TOLAK BALA SUKU TALANG MAMAK DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU


Nurrahmi Putri Viranda / PBM

Talang Mamak adalah salah satu komunitas yang sering dikategorikan sebagai masyarakat terasing yang ada di Provinsi Riau. Mereka tersebar di beberapa kecamatan yang tergabung dalam Kabupaten Indragiri Hulu, yaitu Kecamatan: Pasir Penyu, Seberida, dan Rengat. Di Kecamatan Pasirpenyu mereka bermukim di desa: Talang Parit, Talang Perigi, Talang Gedabu, Talang Sungai Limau, Talang Selantai, Talang Tujuh Buah Tangga, dan Talang Durian Cacar. Kemudian, di Kecamatan Seberida mereka bermukim di sebagian desa Pangkalan Kasai, Anak Talang, Seberida, Sungai Akar, Talang Lakat, Siambul, Rantau Langsat, Durian Cacar, Parit Perigi, Sungai Limau, dan Selantai. Selain itu, ada yang menyebar di Belongkawang, Sungai Tedung, dan di sepanjang Sungai Kelawang. Sebagai catatan, kelompok Orang Talang Mamak di Durian Cacar, Parit Perigi, Sungai Limau, dan Selantai yang secara administratif tergabung dalam wilayah Kecamatan Siberida, menyebut dirinya sebagai "Suku Nan Enam". Selanjutnya, di Kecamatan Rengat mereka bermukim di Talang Jerinjing dan Sialang Dua Dahan (Melalatoa, 1995: 817, Hidayah, 2000:253, dan Nursyamsiah, 1996: 6).

PENDIDIKAN DAN KURIKULUM DI SINGAPURA

Rut Sontiara

 

Singapura adalah sebuah pulau yang terletak di ujung Semenanjung Tanah Melayu, yang awalnya bernama "Pulau Ujung" (Pu-Lo-Chung), "Salahit" Selat, dan berikutnya "Temasek", "Tumasik" (Jawa), "Tam-ma-sik" (China). Istilah Singapura sediri muncul pada tahun 1299 ketika Pangeran Sang Nila Utama singgah di pulau ini dan menemukan seekor binatang seperti Singa, sehingga pulau itu disebut Lion City (Kota Singa). Versi lain mengatakan bahwa pada abad ke-14 pulau ini menjadi tempat singgahnya para pedagang Majapahit sehingga Singapura berarti "kota" (Pura) "singgah" (Singgah).Penduduk Negara pulau ini adalah multi etnis.Singapura merupakan salah satu negara termaju di kawasan Asia Tenggara dan bisa mengalahkan saudara-saudara tuanya di kawasan semenanjung Melayu. Hal tersebut terjadi karena kemajuan sistem pendidikannya. Singapura sebagai negara yang dianggap paling maju di Asia Tenggara, hanya memiliki jarak kurang lebih 40 km dari barat ke timur.

SISTEM PENDIDIKAN DI NEGARA KERAJAAN KAMBOJA


Setyawati/S.P/015B

Sistem pendidikan pada Negara Kamboja tidak jauh system pendidikan di Perancis, yaitu sekolah-sekolah didirikan oleh kaum agama. Kamboja yang luasnya 181.000 km dan memiliki iklim yang sama dengan Negara Indonesia, yakni iklim tropis.
Sistem Pendidikan yang ada di Kamboja pada garis besarnya terdiri dari tiga macam, yaitu :
  1. Sistem Pendidikan Rakyat.
  2. Pendidikan Agama Budha.
  3. Pendidikan Pribadi.
Sistem Pendidikan Rakyat
Pendidikan trdisional di Kamboja berdasarkan pada pendidikan setempat yang diajarkan oleh para guru-guru agama. Para pelajara diharuskan menghafalkan pelajaran-pelajaran agama budha. Selama masa pendudukan Perancis system pendidikan menganut system pendidikan Perancis, selain dari pada pendidikan tradisional.

Perkawinan Adat Sakai Badongkang


Zurryati Syahputri / PBM
 
1.      Asal usul
Umur Saat Menikah Masyarakat Sakai yang menikah pada umur 19 tahun mendominasi, yaitu ada 127 jiwa (24,8 %). Pada umur seperti itu masyarakat Sakai biasanya baru menamatkan pendidikan SMA nya dan setelah itu langsung melangsungkan perkawinan. Setiap kebudayaan memiliki tata caranya masing-masing dalam menyelenggarakan sebuah tradisi perkawinan, tidak terkecuali suku Sakai di Riau. Dalam kebudayaan Sakai, setiap orang diperbolehkan menikahi siapa saja kecuali dengan anggota keluarganya. Yang dimaksud dengan anggota keluarga di sini adalah ibu, ibu angkat, ibu tiri, bapak, bapak angkat, bapak tiri, saudara sekandung, anak, dan saudara sepupu (Suparlan, 1995: 177).

Uniknya, perkawinan yang terjadi di masyarakat Sakai biasanya hanya dilakukan oleh seorang perjaka dengan seorang gadis dan seorang duda dengan seorang janda. Jarang ditemukan perkawinan antara seorang laki-laki beristri dengan perempuan lain alias poligami. Meskipun masyarakat Sakai secara tegas tidak melarang praktek poligami, namun sangat jarang di antara mereka yang mempraktekkannya. Alasan di balik keputusan tersebut semata-mata didasarkan atas pertimbangan praktis, yaitu menghindari pembiayaan hidup yang mahal karena menanggung kehidupan lebih dari satu istri (Suparlan, 1993:18-19).

TARI SILAT PANGEAN DALAM UPACARA PERNIKAHAN ADAT MELAYU KHUSUSNYA DAERAH KERUMUTAN KABUPATEN PELALAWAN


FRIDA PURNAMASARI/PBM/

Kabupaten Pelalawan merupakan salah satu Kabupaten yang baru dimekarkan di wilayah Propinsi Riau. Dengan disahkan Undang-undang Nomor 53 tahun 1999, maka mulai tanggal 12 Oktober 1999 resmilah Kabupaten Pelalawan memisahkan diri dari Kabupaten Kampar.
Dengan ditetapkan Pangkalan Kerinci sebagai ibukota Kabupaten, Pelalawan mulai berpacu mengejar segala bentuk ketertinggalan dan keterbelakangan yang selama ini menyelimuti segala sektor kehidupan.
Dengan kawalan dan panduan berbagai nilai itulah tiap suku bangsa membentuk tradisi kehidupannya. Tradisi kehidupan itu biasanya terbentuk setelah nilai-nilai itu diteruskan dan dipelihara paling kurang dalam tiga generasi, sekitar dalam rentangan tujuh puluh lima sampai seratus tahun, dan seterusnya. Keberadaan tiap insan yang terjalin dengan kehidupan masyarakatnya, telah menyebabkan peristiwa-peristiwa kehidupannya juga berhubungan dengan peri kehidupan setiap insan itu berada. Tiap insan ternyata telah dibesarkan dalam jalinan kehidupan masyarakat, sehingga dalam perjalanan hidupnya insan itu harus mengenal, memahami, menghayati, menyerap,dan mengamalkan nilai-nilai yang terpelihara oleh masyarakatnya (Hamidy, 2012: 21-22)

SUKU SAKAI

ERNANI JUPRIAS/PBM

Sakai merupakan salah satu suku yang mendiami kawasan pedalaman Riau di Pulau Sumatera. Nenek moyang Suku Sakai diyakini berasal dari Pagaruyung, sebuah kerajaan Melayu yang pernah ada di Sumatera Barat. Dahulu, Suku Sakai memiliki pola kehidupan yang masih nomaden, berpindah-pindah dari satu kawasan ke kawasan lain. Tapi saat ini, suku sakai banyak ditemukan di kota duri kab.mandau dan bermukim disana.

Benda-benda peninggalan suku sakai
Pola kehidupan suku sakai yang masih nomaden meninggalkan kekayaan budaya yang menarik. Hal tersebut terlihat dari benda peninggalan Suku Sakai yang dahulu digunakan untuk keperluan hidup mereka di pedalaman. Benda-benda ini terbuat dari bahan baku yang sumbernya seratus persen dari alam, dan memiliki fungsi yang masih sederhana dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Salah satu benda tradisional peninggalan Suku Sakai adalah timo. Timo merupakan wadah yang terbuat dari kulit kerbau yang sudah dikeringkan. Bagian sisi wadah diberi batas berbentuk lingkaran yang terbuat dari rotan lalu diberi tali yang juga terbuat dari rotan. Timo digunakan oleh masyarakat Suku Sakai sebagai wadah untuk menampung madu.
Kebudayaan Suku Sakai yang bercorak agraris juga ditandai dengan alat-alat yang berfungsi sebagai alat pertanian seperti gegalung galo. Alat yang terbuat dari bambu dan batang pepohonan ini berfungsi sebagai alat penjepit ubi manggalo untuk diambil sari patinya.  Sebelumnya, ubi manggalo yang telah dikupas dikumpulkan di dalam wadah yang disebut tangguk.