DIPLOMASI INDONESIA BELANDA (PERJANJIAN RENVILLE)

PERTIWI RESTI/SI5

            Untuk mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, bangsa Indonesia nemempuh dua cara, yaitu perjuangan diplomasi dan perjuangan fisik (bersenjata). Perundingan Linggarjati dianggap tidak lancar dan berkali-kali mengalami penundaan. Setelah dianggap cukup dan menghasilkan keputusan sebanyak 17 pasal, kedua pihak menafsirkan hal yang berbeda, akibatnya terjadilah Agresi Militer Belanda I tanggal 21 Juli 1947.
Hal ini mendapat perhatian PBB dan dibentuklah Komisi Tiga Negara yang terdiri dari Australia (pilihan Indonesia), Belgia (pilihan Belanda), dan Amerika Serikat (Pilihan Australia dan Belgia). Pada tanggal 27 Oktober 1947,  KTN memulai bekerja dan meminta perundingan di atas kapal angkut milik Amerika Serikat bernama Renville.
Pada tanggal 4 Januari Belanda secara sepihak menyelenggarakan koferensi sepuluh Negara-negara bagian, tiga diantaranya adalah bekas wilayah Republik (Sumatera Timur, Jawa Barat, dan Madura), diputuskan dalam konferensi ini terbentuknya pemerintah sementara yang segera berfungsi. Republik diminta untuk ikut untuk ikut ambil bagian dalam pembentukan itu, tapi sudah tentu Republik menolaknya.
Dibawah tekanan yang berat, pemerintah mengalah. Soekarno, Hatta dan Amir Sjarifoeddin terpaksa dengan susah menimbang-nimbang. Pada satu pihak gerakan maju tentara Belanda hampir bisa dipastikan, dan Dewan Keamanan tidak akan tampil  membantu, serta perang gerilya yang berlangsung lama sampai dari pasukan yang buruk perbekalannya. Pada lain pihak pengakuan terhadap penaklukan tentara Belanda dengan gencatan senjata, dan pespektif referendum dengan jaminan Amerika yang akan memulihkan Republik pada luas wilayahnya yang semula. Pada tanggal 17 dan 19 Januari Kedua belah pihak menandatangani Perjanjian Renville.
Dalam perundingan Renville yang berlangsung dari tanggal 17 Januari 1948, ternyata makin mempersempit wilayah Negara RI. Isi pokok perundingan ini ada 2 permasalahan, yaitu sebagai berikut:
1.      Pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Hindia Belanda, sampai waktu terbentuknya RIS.
2.      Di berbagai daerah di Jawa, Madura, dan Sumatera diadakan pemungutan suara untuk mengetahui daerah-daerah itu mau masuk RI atau RIS
Kebijakan Pemerintah yang dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin menerima Perjanjian Renville, sangat merugikan pihak Republik, baik di bidang politik, ekonomi maupun militer. Kerugian pihak Republik:
1.      Dalam bidang politik: Pemerintah Republik Indonesia harus mengakui kedaulatan Belanda. Wilayah Republik Indonesia tinggal 2/3 di Jawa dan 1/5 di Sumatera. Batas wilayah Indonesia dengan daerah pendudukan itu terkenal dengan nama "garis van Mook".
2.      Dalam bidang ekonomi: Pemerintah Republik Indonesia menyerahkan kota-kota besar pusat perindustrian dan perdagangan kepada Belanda, sehingga member kesempatan seluas-kuasnya kepada Belanda untuk melakukan blokade ekonomi terhadap Republik.
3.      Dalam bidang militer: Pemerintah Republik Indonesia harus menyerahkan kantong-kantong gerilya yang telah disusun atau kantong-kantong pertahanan kepada musuh. Umumnya kantong gerilya dibentuk di Jawa Barat.
Ini menyebabkan jatuhnya Kabinet Amir Sjarifoeddin, yang pada akhirnya tanggal 31 Januari 1948 digantikan oleh Kebinet Hatta. Program Kabinet Hatta:
1.      Pelaksanaan Persetujuan Renville dan selanjutnnya perundingan dasar yang telah dicapai.
2.      Mempercepat dibentuknya Negara Indonesia Serikat (NIS).
3.      Melaksanakan rasionalisasi di dalam negeri.
4.      Pembangunan.
Sebagaimana nasib Pesetujuan Linggarjati yang kemudian dirobek-robek, demikan pula nasib Persetujuan Renville. Setelah melalui perundingan dibawah pengawasan Komisi Tiga Negara (KTN), pelaksanaan Renville menghadapi jalan buntu.
Pemerintah Republik Indonesia mengirim nota kepada KTN mengenai pendirian Republik Indonesia:
1.      Pemerintah Republik Indonesia telah mengalah sedapat-dapatnya untuk mendekati pendirian Belanda.
2.      Petunjuk yang diberikan kepada Menteri Belanda terbatas kepada penjajagan apakah pada dasarnya RI menerima baik syarat-syarat yang diajukan Belanda sehingga tidak merupakan usaha yang sungguh-sungguh untuk mencapai perdamaian lewat perundingan.
3.      Pemerintah Belanda terbukti pada tahun 1948 akan membentuk pemerintahan interim tanpa RI, tanpa berunding dengan RI di bawah pengawasan KTN lebih dahulu.
 KTN juga menerima nota dari Belanda yang isinya:
1.      Dalam perundingan di Kaliurang terbukti RI tidak mempunyai kekuasaan yang nyata terhadap tentaranya, karena itu tidak bisa diharapkan kerja sama yang sungguh-sungguh untuk mencegah pelanggaran gencatan senjata.
2.      Perundingan RI terhadap Wakil Tinggi Mahkota, terutama mengenai kekuasaan terhadap tentara di masa peralihan, bertentangan dengan kedaulatan Belanda sebagaimana yang ditetapkan dalam pokok-pokok asasi persetujuan Renville yang berarti berlangsungnya keadaan tidak dapat dipertahankan, dimana ada dua tentara saling berhadapan di bawah pimpinan yang terpisah.
3.      Penolakan mengakui kedaulatan Belanda selama masa peralihan menyebabkan tidak ada harganya RI meneriman naskah persetujuan yang direncanakan oleh KTN dan Ametika Serikat.
4.      Pemeritah Belanda harus bertindak melaksanakan keputusan pembentukan pemerintahan interim yang direncanakan atas dasar persetujuan wakil-wakil daerah federal.
Akhirnya pada tanggal 18 Desember 1948 Dr. Beel, Wakil Tinggi Mahkota Belanda menyatakan pihaknya tidak terikat oleh Pesetujuan Renville dan pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan serangan umum terhadap wilayah Republik Indonesia. Belanda melakukan serbuan langsung dan serentak terhadap Yogyakarta, Ibukota Republik serta kedudukan Markas Besar TNI. Serangan Belanda bertujuan menguasai kota-kota dan jalan raya. Seluruh kota di Jawa dapat didudukin oleh Belanda. Belanda mengira mengira bahwa dengan jatuhnya Yogyakarta dan ditawannya Kepala Negara Republik Indonesia, berarti Republik dan TNI telah runtuh. Perkiraan itu meleset, sehingga Belanda menanggung konsekuensinya, baik di bidang politik maupun militer.
TNI melancarkan perang rakyat semesta dan pasukan-pasukan hijrah dikirim kembali ke daerah asal, sehingga seluruh wilayah pendudukan Belanda dijadikan medan gerilya. Panglima Besar Jenderal Sudirman sekalipun dalam keadaan sakit keras, aktif pemimpin pelaksanaan gerilya. Walaupun TNI bertempur dengan gigihnya, kota-kota di Jawa Tengah satu per satu jatuh ke tangan Belanda, diantaranya Kota Pekalongan – Wonosobo dan Kota Purworejo.
Atas dasar Perjanjian Renville 30.000 tentara harus meninggalkan basis-basis mereka di Jawa Barat dan Jawa Timur, Dengan demikian hilanglah perlindungan untuk rakyat yang ada di daerah itu. Peristiwa di Sulawesi Selatan dengan demikian berulang, dimana sebanyak 40.000 rakyat, pemuda-pemudi, nenek dan baji dimetraljur, dibom dan dibajoneti oleh serdadu Belanda.
  
DAFTAR PUSTAKA
Poeze, Harry A. 2010. Tan Malaka, gerakan kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid III: Maret 1947 – Agustus 1948. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Sudiyo. 2002. Pergerakan Nasional Mencapai & Mempertahankan Kemerdekaan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Depdikbud. 1991. Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Jawa Tengah. Jakarta: Balai Pustaka.

GERAKAN NASIONALISME DI KAWASAN ASIA

Rahmat arifan/pis

Gerakan nasionalisme yang dilakukan oleh negara-negara yang terdapat di kawasan asia adalah bentuk reaksi atas tindakan imperialisme yang dilakukan oleh bangsa eropa di kawasan asia. Nasionalisme adalah bentuk kecintaan dan kesetiaan setiap individu ataupun kelompok terhadap bangsa dan negaranya.
Adapun faktor-faktor yang mendorong munculnya gerakan nasionalisme adalah sebagai berikut
1.faktor kenangan kejayaan di masa lampau
Sebelum imperialisme bangsa barat masuk kekawasan asia,pada umumnya negara-negara yang berada di kawasan asia pernah memiliki masa-masa berdaulat dan berkuasa seperti negara indonesia misalnya pada masa kerajaan majapahit dan kerajaan sriwijaya ataupun negara india pada masa kerajaan ashoka. Hal tersebutlah yang menimbulkan semangat untuk mengulang kembali masa-masa kejayaan tersebut.
2.faktor penderitaan dan kesengsaraan akibat imperialisme

DIPLOMASI INDONESIA - BELANDA


EGGI MAKHASUCI / SI5

Dr.H.J.van Mook datang kejakarta pada oktober 1945 sebagai pemangku kekuasaan belanda tertinggi. Ia membawa misi pemerintahan kerajaan belanda untuk merebut kembali indonesia. Sebagai realisasi terhadap misi itu, Van Mook memerintahkan sedadu belanda melakukan tero,provokasi,bahkan melancarkan agresi militer indonesia. Tindakan seperti ini tentu bertabrakan dengan keingan bangsa indonesia yang teguh mempertahankan tetap berdirinya negara Republik Indonesia di berbagai tempat, bangsa indonesia mengobarkan semangat perjuangan mempertahankan kemerdekaan melalui perjuangan bersenjata dengan strategi gerilnya dan aktivitas dipllomasi. Bentuk perjuangan diplomasi di tunjukan untuk memperoleh perdamaian dan meraih dukungan dunia internasional atas kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia.
Perjanjian Linggarjati (25 Maret 1947)
Perundingan Linggarjati atau kadang juga disebut Perundingan Linggajati adalah suatu perundingan antara Indonesia dan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat yang menghasilkan persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946 dan ditandatangani secara sah kedua negara pada 25 Maret 1947.
Ke datangan sekutu di indonesia yang di boncengi NICA berakibat timbulnya pertempuran di berbagai daerah. Setelah lebih dari satu tahun berdinas di indonesia, Inggris mengambil kesimpulan bahwa sengketa Indonesia-Belanda  tidak mungkin diselesaikan lewat kekuatan senjata. Pihak Inggris kemudian berusaha mempertemukan kedua belah pihak yang bersengketa. Perundingan gencatan senjata pertama antara Indonesia,Sekutu, dan Belanda di selenggarakan di Jakarta pada 20-30 September 1946. Perundingan ini tidak mendapatkan hasil yang di harapkan. Meskipun demikian,inggris kemudian mencoba mempertemukan kembali pihak-pihak yang bertikaian dengan mengirim diplomat, Lord Killearn.Utusan Inggris ini berhasil membawa wakil-wakil Indonesia dan Belanda ke meja perundingan di Jakarta pada 7 Oktober 1946. Delegasi Indonesia di ketuai Perdana Mentri Sutan Syahrir,sedangkan delegasi Belanda di pimpin Prof. Schermerhorn.
Perundingan tersebut menghasilkan persetujuan yang isinya sebagai berikut.
1.      Di berlakukannya penjatan senjata antara Indonesia,Belanda,dan Inggris.
2.      Di bentuknya sebuah komisi bersama gencatan senjata untuk mengawasi pelaksanaan gencatan senjata.
Atas dasar perlindungan tersebut,sejak 24 Oktober 1946 pasukan sekutu (Inggris dan Australia) mulai mengosongkan daerah-daerah yang didudukinya. Secara berangsur-angsur pasukan sekutu di tarik dari Bogor,Palembang,Medan,Padang dan tempatlainnya. Pada akhir November 1946, seluruh pasukan seutu telah meninggalkan indonesia.Sebagai kelanjutan peundingan sebelumnya, pada 10-15 November 1946 di langsungkan perundingan di linggarjati, dekat Cirebon. Perundingan ini menghasilakn keputusan sebanyak 17 pasal yang pada pokoknya berisi sebagai berikut.
1.      Belanda mengakui de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera,Jawa,dan Madura.
2.      Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia.
3.      Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk  Uni Indonesia- Belanda  dengan ratu belanda sebagai ketuanya.
4.      Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
5.      Pihak Belanda dan Indonesia Sepakat membentuk negara RIS.
6.      Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth /Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni.
Hasil persetujuan Linggajati di tandatangani wkil-wkil Indonesia dan Belanda di Istana Rijswijk ( Sekaran Istana Merdeka ) pada 25 Maret 1947. Delegasi Indonesia yang membutuhkan tanda tangan tersebut ialah Sutan Syahrir, Mr. Moh. Roem, Mr. Soesanto Tirtoporojo, dan Dr. A.K. Gani. Dari pihak Belanda ialah Sutan Syahrir, Dr. Van Pool. Peristiwa ini disaksikan tokoh penengahan ini di saksikan tokoh penengahan dari inggris, Lord Killearn.
Setelah belanda telah mengakui wilayah de facto RI, beberapa negara segera menyampaikan pengakuan atas kedaulatan RI. Negara-negara itu, antara lain Inggris, Amerika Serikat, Mesir, lebanon, Suriah, Afganistan, Birma (Myanmar), Saudi Arabia, Yaman, Rusia, Pakistan, dan India. Negara-negara tersebut lantas membuka perwakilan konsuler di negara RI. Kondisi seperti itu telah memperkuat kedudukan RI di mata Internasional.
Di dalam negeri, hasil persetujuan Linggajati di sikapi pro dan kontra di kalangan anggota KNIP. Pihak yang pro merasa puas karena kedaulatan Indonesia mulai diakui dunia Internasional kendari hanya meliputi sumatera, Jawa dan Madura. Selain itu, gencatan senjata amat di perlukan bangsa Indonesia guna memberi peluang pada pihak militer melakukan konsolidasi terhadap pasukannya yang terpencar-pencar akibat agresi militer Belanda. Sebaliknya, pihak yang kontra tetap ingin mengusahakan agar Belanda mengakui RI secara utuh. Pengulatan politik menyangkut perbedaan pendapat mengenai hasil Persetujuan Linggajti menyebabkan jatuhnya karbinet Syahrir. Selanjutnya Presiden Soekarno menugaskan Amir Syarifuddin membentuk karbiner baru.
Pelaksanaan hasil perundingan ini tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20 Juli 1947, Gubernur Jendral H.J. van Mook akhirnya menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan perjanjian ini, dan pada tanggal 21 Juli 1947, meletuslah Agresi Militer Belanda I. Hal ini merupakan akibat dari perbedaan penafsiran antara Indonesia dan Belanda.
DAFTARPUSTAKA
·         Sumarkidjo,Atmadji.2000. Mendung di Atas Istana Merdeka. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
·         Kahin,Audrey R.1985. Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan. Jakarta: PT Pustaka Grafiti.

Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin (Sultan Syarif Kasim II)

MELDA ARIANI/B/SR
Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin atau yang dikenal dengan Sultan Syarif Kasim II merupakan sultan yang terakhir atau sultan yang ke-12 Kerajaan Siak. Sultan Syarif Kasim II dilahirkan di Siak pada tanggal 1 Desember 1893, Syarif merupakan anak dari Sultan Syarif Hasyim I yang merupakan sultan ke 11 Kerajaan Siak hasil pernikahan dengan permaisuri Tengku Yuk. Setelah ayahnya, Sultan Assyaidin Hasyim I Abdul Jalil Syaifuddin wafat pada 1908, Syarif Kasim II dinobatkan sebagai sultan ketika usianya masih 16 tahun, Namun, karena belum cukup umur dan tengah menempuh pendidikan di Batavia, Syarif Kasim II dinobatkan sebagai Sultan Kerajaan Siak Indrapura pada 13 Maret 1915 dengan gelar Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syaifuddin, Dia memimpin  selama 30 tahun, yakni dari tahun 1915 sampai 1945.
Sultan Syarif Kasim II  amat menyadari pentingnya pendidikan sebagai tonggak bagi perubahan suatu kaum, mencoba mencerdaskan rakyatnya dengan mendirikan sekolah-sekolah di Siak. Putra-putri Siak yang cerdas dan berprestasi, mendapat beasiswa untuk menempuh pendidikan ke Medan dan Batavia. Di bawah kepemimpinan Sultan Syarif Kasim II, Siak menjadi ancaman bagi Pemerintah Hindia Belanda. Soalnya dia secara terang-terangan menunjukkan penentangannya terhadap penjajahan. Dengan lantangnya Syarif Kasim II menolak Sri Ratu Belanda sebagai pemimpin tertinggi para Raja di Kepulauan Nusantara, termasuk Siak. Sultan Syarif Kasim tidak hanya menyayangi rakyatnya dengan kata dan ungkapan, tetapi juga dengan mencerdaskannya lewat penyediaan sekolah. Syarif Kasim mendukung perjuangan lewat seruan di istana, tapi juga hadir dalam kancah perjuangan dengan bantuan yang konkrit, Sultan Syarif Kasim II dihormati orang tidak hanya karena kedudukan sebagai raja, tetapi karena satunya kata dengan perbuatan. Beliau tidak hanya mendukung NKRI dengan maklumat dan pernyataan politik saja, tetapi juga dengan menyumbangkan harta miliknya dalam jumlah sangat besar kepada negara.
Untuk menjatuhkan Sultan Siak Belanda melenyapkan hubungan formal rakyat dengan Sultannya yaitu dengan membuat sultan kehilangan kekuatan dan pendukung dari datuk-datuk dan ketua suku sebagai rakyat yang setia dan taat patuh dengan Sultan serta Kerajaannya, karena Belanda sangat paham sekali bahwa suku dan induk yang berada di bawah Sultan sekitar 211 orang yang mempunyai pengikut-pengikut yang setia kepada kepala suku serta menjunjung tinggi perintah Sultan sebagai pimpinan Negerinya. Dengan disederhanakannya struktur pemerintahan maka sultan hanya diwakili oleh 5 kepala distrik dan 14 onder distrik yang membuat Sultan mudah menguasai dan memerintah negeri Siak inilah yang di inginkan oleh Belanda sehingga pemerintah Belanda bisa dengan mudah menguasai kerajaan Siak serta bisa dengan mudah mengambil hasil kekayaan di bumi Siak.
Dengan dihapusnya dewan kerajaan Belanda berharap akan mudah untuk menguasai atau mengendalikan Sultan Siak serta dengan mudah bisa diajak berunding, tetapi Sultan Syarif Kaim tetap menghendaki dan mempertahankan adanya kerapatan tinggi dari kerajaan Siak yang merupakan tempat bermusyawarah berunding dengan resmi dengan datuk-datuk dan orang-orang besar kerajaan yang menjadi keparcayaannya, yaitu badan peradilan yang menangani masalah Syariah Agama Islam. Badan ini di anggap Belanda dapat menambah kewibawaan Sultan maka sebab itu Belanda berusaha menghapuskannya tetapi Sultan Syarif Kasim dengan gigih mempertahankannya, dan pada akhirnya Badan ini berhasil di pertahankan, dan ini merupakan sebuah kemenagan bagi Sultan Syarif Kasim dengan dapat mempertahankan lembaga yang telah di tetapkan oleh ayahandanya. Walaupun lembaga ini disetujui oleh Belanda tetapi setiap di adakannya persidangan harus dihadiri sendiri oleh pemerintah Belanda. Selain igin menguasai pemerintahan Kesultanan Siak Belanda juga berusaha untuk menguasai sumber daya alam kerajaan Siak yang kaya akan berbagai hasil hutan.
Banyak kebijakan pemerintahan Belanda yang mendapat tantangan dari Kesultanan Siak, seperti pelaksaan rodi bagi rakyatnya pada tahun 1916 yang bekerja pada Belanda tetapi tidak mendapatkan upah, sehingga menguras tenaga dan menambah kemiskinan, penolakan ini cukup menimbulkan ketegangan antara pemerintah Belanda dengan Sultan Siak. Belanda terus memaksakan kehendaknya tetapi dengan diam-diam Sultan mengadakan hubungan dengan kepala suku untuk menentang kehendak Belanda, sehingga terjadi pemberontakan rakyat yang pertama melawan Belanda pada Desember 1931 di Pulau Merbau yang dipimpin oleh Koyan menyerang polisi Belanda serta membunuh Patroli polisi Belanda. Pemberontakan ini membuat Belanda marah mereka menganggap pemberontakan itu sebagai sebuah penghinaan dan pelecehan serta menurunkan wibawa pemerintahan Belanda di kawasan Kerajaan Siak, dan pemerintahan Belanda pun mengirimkan pasukan tetapi tidak berhasil menghentikan pemberontakan tersebut sehingga akhirnya karena marah pasukan Belanda membakar rumah-rumah rakyatdi Selat Akar tersebut. Dengan adanya pemberontakan ini Sultan Siak memandang bahwasanya kekuatan fisik haruslah diimbangi dengan kekuatan pembinaan mental dan pendidikan rakyat. Untuk itu sejak Sultan Syarif Kasim dinobatkan menjadi Sultan di kerajaan Siak beliau sudah mulai membangun sekolah untuk rakyatnya dan pada tahun 1929 sampai dengan tahun 1939 sultan memberikan beasiswa kepada anak-anak negeri yang berbakat, bahkan sampai dikirim belajar ke Batavia, Medan, dan Bukittinggi.
 Sejak kedatangan Jepang ke Siak  yaitu melalui Bukittinggi menuju Pekanbaru hingga sampai ke Siak,  Sultan Syarif Kasim tidak ada rasa ragu dalam menghadapi Jepang karena semenjak dari ayahandanya Sultan Syarif Kasim sudah ada hubungan dengan pengusaha Jepang tentang penanam Industri karet di Siak Sri Indrapura. Jepang mengetahui bahwasanya Sultan Syarif Kasim adalah Sultan yang tidak sepaham dengan pemerintahan Belanda, hal ini yang diperhatikan oleh Jepang pada Kerajaan Siak sehingga kedatangan Jepang menjadi sahabat, dan Jepang menganggap Kerajaan Siak adalah sahabat dan bekerja sama untuk mengusir Belanda. Tetapi setelah Jepang berkuasa di Siak tentara Jepang bertindak sewenang-wenang kepada rakyat, sehingga terjadi pemberontakan rakyat Sakai yang di pimpin Sekodai yang membuat Jepang marah dan mengancam Sultan menyelesaikan masalah pemberontakan Sikodai, Sultan pun mengutus orang kaya Mohamad Jamil bersama Datuk Arifin untuk membujuk dan menangkap Sikodai di pedalaman Balai Pungut, setelah Sikodai ditemukan dikediamannya du hulu sungai Balai Pungut dan dikatakan bahwa Sultan Syarif Kasim ingin bertemu dengannya dengan lapang hati yang lapang Sikodai mengikut saja, setelah bertemu dengan Sultan dia ditahan beberapa bulan kemudian keluar karena dia dapat memperdaya pimpinan Jepang dia mengatakan bahwa di hutan Balai Pungut  masih banyak orang Belanda, mereka bersama sama masuk hutan rimba itu kemudian Sikodai pun menghilang dan tidak dapat di temukan lagi oleh tentara Jepang hingga tersiar kabar bahwa Hirosima dan Nagasaki di bom oleh Amerika dan akhirnya Jepang pun pulang ke Negerinya.
Riau di bawah Kesultanan Siak pada masa kepemimpinan Sultan Syarif Kasim II. Ketika Jepang kalah, ikatan Hindia Belanda lepas, Sultan Syarif Kashim menghadapi 3 pilihan:
1.       berdiri sendiri seperti dahulu,
2.       bergabung dengan Belanda,
3.       bergabung dengan Republik
Sultan sebagai sosok yg wara' dan keramat melakukan istikharah. Saya kuat menduga Allah memberitahu SSK agar bergabung dg Republik Indonesia karena kekayaan Riau yg sangat berlimpah dan berlebihan kalau sekedar dikuasai sendiri. Maka Sultan menentukan pilihan bergabung dg Republik Mendukung NKRI bukan menyerahkan diri. Sultan menurunkan modal 13 juta Golden (3x nilai kompleks gedung Sate, Bandung), bersama sama dengan para komisaris lainnya di PT. NKRI (Deli, Asahan Siak, Yogya, Solo, Kutai Kartanegara, Pontianak, Ternate, Tidore, Bali, Sumbawa daerah-daerah yg termasuk Zelfbestuuren-berpemerintahan sediri pada jaman pendudukan Belanda di nusantara. Bersamaan dengan diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia, beliau pun mengibarkan bendera merah putih di Istana Siak dan tak lama kemudian beliau berangkat ke Jawa menemui Bung Karno dan menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia sambil menyerahkan Mahkota Kerajaan serta uang sebesar Sepuluh Ribu Gulden. Dan sejak itu beliau meninggalkan Siak dan bermukim di Jakarta. Baru pada tahun 1960 kembali ke Siak dan meninggal di Rumbai pada tahun 1968. Beliau tidak meninggalkan keturunan baik dari Permaisuri Pertama Tengku Agung maupun dari Permaisuri Kedua Tengku Maharatu. Pada tahun 1997 Sultan Syarif Kasim II mendapat gelar Kehormatan Kepahlawanan sebagai seorang Pahlawan Nasional Republik Indonesia. Makam Sultan Syarif Kasim II terletak ditengah Kota Siak Sri Indrapura tepatnya disamping Mesjid Sultan yaitu Mesjid Syahabuddin.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Penulis Sejarah Kerajaan Siak, Sejarah Kerajaan Siak, Lembaga Warisan Budaya Melayu Riau, Siak, 2011
Yusuf Ahmad, Drs dkk, Sejarah Perjuangan Rakyat Riau 1942-2002, Badan Kesejahteraan Sosial Provinsi Riau, Pekanbaru, 2004
www.translate.com/...kerajaan-siak-sri-indrapura