Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)


MIDO EMERO / SI5
Pengertian RMS
Republik Maluku Selatan (RMS) adalah daerah yang diproklamasikan merdeka pada 25 April 1950 dengan maksud untuk memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur (saat itu Indonesia masih berupa Republik Indonesia Serikat). Namun oleh Pemerintah Pusat, RMS dianggap sebagai pemberontakan dan setelah misi damai gagal, maka RMS ditumpas tuntas pada November 1950. Sejak 1966 RMS berfungsi sebagai pemerintahan di pengasingan, BelandaPemerintah RMS yang pertama dibawah pimpinan dari J.H. Manuhutu, Kepala Daerah Maluku dalam Negara Indonesia Timur (NIT).Setelah Mr. dr. Chris Soumokil dibunuh secara illegal atas perintah Pemerintah Indonesia, maka dibentuk Pemerintah dalam pengasingan di Belanda dibawah pimpinan Ir. [Johan Alvarez Manusama], pemimpin kedua [drs. Frans Tutuhatunewa] turun pada tanggal 24 april 2009. Kini mr. John Wattilete adalah pemimpin RMS pengasingan di Belanda.
Tagal serangan dan anneksasi illegal oleh tentara RI, maka Pemerintah RMS - diantaranya Mr. Dr. Soumokil, terpaksa mundur ke Pulau Seram dan memimpin guerilla di pedalaman Nusa Ina (pulau Seram). Ia ditangkap di Seram pada 2 Desember 1962, dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer, dan dilaksanakan di Kepulauan Seribu, Jakarta, pada 12 April 1966.
 Awal mula Kerusuhan RMS
Dalam bulan september 2011 Jendral Kivlan Zen purn. mengaku dalam wawancara dengan Global Post bahwa KERUSUHAN AMBON sebebnarnya REKAYASA dari para elit militer dan elit politik di Jakarta. Instruksi mereka kepada Jendrl Kivlan Zen itu untuk mendestabilisasi Maluku sescara politik dan ekonomis.Dalam skenario ini RMS dimempersalahkan dengan sengaja dan kambinghitamkan. Mereka memakai kalimat-kalimat seperti:
"Pada saat Kerusuhan Ambon yang terjadi antara 1999-2004, RMS kembali mencoba memakai kesempatan untuk menggalang dukungan dengan upaya-upaya provokasi, dan bertindak dengan mengatas-namakan rakyat Maluku. Beberapa aktivis RMS telah ditangkap dan diadili atas tuduhan kegiatan-kegiatan teror yang dilakukan dalam masa itu, walaupun sampai sekarang tidak ada penjelasan resmi mengenai sebab dan aktor dibalik kerusuhan Ambon.",
Padahal Jendral Kivlan Zen sendiri sekarang mengaku secara terbuka bahwa itu semua permainan elit politik Jawa dan elit militer Jawa. RMS dan umat Kristen dengan sengaja dikambinghitamkan, sedangkan tidak bersalah.Pada tanggal 29 Juni 2007, beberapa elemen aktivis RMS berhasil menyusup masuk ke tengah upacara Hari Keluarga Nasional yang dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, para pejabat dan tamu asing. Mereka menari tarian Cakalele seusai Gubernur Maluku menyampaikan sambutan. Para hadirin mengira tarian itu bagian dari upacara meskipun sebenarnya tidak ada dalam jadwal. Mulanya aparat membiarkan saja aksi ini, namun tiba-tiba para penari itu mengibarkan bendera RMS. Barulah aparat keamanan tersadar dan mengusir para penari keluar arena. Di luar arena para penari itu ditangkapi, disiksa dan dianiyaya. Dipukul babakbelur oleh DENSUS 88 atas perintah Presiden SBY sendiri. Sebagian yang mencoba melarikan diri dipukuli untuk dilumpuhkan oleh aparat. Pada saat ini (30 Juni 2007) insiden ini sedang diselidiki.
TAPOL yang terbanyak di Indonesia pada saat ini terdapat di Maluku dan Papua. Hal ini menodah wajah NKRI sebagai demokrasi, sebab di negara-negara demokratis lain-lain didunia orang tidak dijatuhkan hukuman 15 tahun penjara hanya tagal menaikkan lambang negara yang terlarang.
Dokumen Pemberontakan RMS di Maluku
Bahwa perjuangan kemerdekaan Maluku lewat proklamasi Republik Maluku Selatan (RMS) itu tidak akan merugikan hak hidup bangsa manapun juga, termasuk pemerintah Belanda dan pemerintah RI... (Ketua Eksekutif "Missi Rakyat Maluku", D Sahalessy dalam suratnya kepada BJ Habibie dan Jenderal Wiranto).Pernyataan di atas, merupakan materi surat resmi yang dikirim dari kantor 'pemerintahan pengasingan RMS' di De Klenckestraat 42, 9404 KW Assen-The Netherlands (telp 31592 352141), tertanggal 15 November 1998. Tembusan surat tersebut dikirimkan pula kepada Komnas HAM di Jakarta, Kementerian Luar Negeri Belanda di Den Haag, EIR-International di New York dan sejumlah instansi internasional terkait serta dewan mahasiswa di Indonesia.
Dokumen surat -- yang diungkap pula oleh mantan Kastaf Kodam VIII/Trikora Jayapura, Brigjen TNI (Purn) Rustam Kastor ini, secara jelas dan 'jantan' menyatakan keinginannya untuk pisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Misalnya, di awal suratnya, D Sahalessy menulis sbb:...Atas kewajiban kami selaku Ketua Pelaksana Missi Rakyat Maluku dan Pejuang Kemerdekaan yang mendambakan Kemerdekaan dan Kedaulatan Nusa dan Bangsa Maluku, kami hadapkan 'Surat Pergembalaan' ini kehadapan Bapak-bapak.
Demi ketergantungan hidup manusia kepada Tanah Airnya dan Masyarakat Adatnya masing-masing, maka Pancasila dan Undang-undang Dasar '45, antara lain menegaskan bahwa "kemerdekaan adalah hak setiap bangsa, maka setiap sistem penjajahan haruslah dihapuskan dari atas muka bumi, karena hal itu tidak sesuai dengan keadilan dan prikemanusiaan". Atas pernyataan ini, kami anjurkan agar Bapak-bapak menggarisbawahi "kekeliruan-kekeliruan" yang dilakukan Pemerintah RI dan ABRI di Maluku di luar sampaipun di tanah air Jawa sejak Juni 1950 hingga detik saat ini.
Yang cukup menarik untuk dicermati, surat yang disampaikan kepada pemerintah RI - setahun sebelum terjadinya aksi pembantaian terhadap umat Islam di Kota Ambon, Idul Fitri, 19 Januari 1999 - itu, juga mengajukan lima tuntutan yang mesti dipenuhi, yakni:
1)      Agar tindakan-tindakan eksploitasi dan Jawanisasi di Maluku dan lain-lain kepulauan di luar tanah Jawa dihentikan,
2)      Agar tulang-belulang dari putra-putri Maluku yang terbunuh selama invasi militer RI di Maluku (1950-1967) itu dapat dikumpulkan untuk dimakamkan dalam suatu Taman Makam Pahlawan,
3)      Agar tulang-belulang dari Mr. Doktor Christian Soumokil (Bapak Kebangsaan dan Pahlawan Keadilan Maluku) yang dibunuh secara rahasia oleh ABRI di pengasingan pada tanggal 12 April 1966 itu dapatlah dikumpulkan untuk dimakamkan di Maluku Tanah Air kami,
4)      Agar semua usaha menuntut kemerdekaan Maluku lewat konstitusi Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku janganlah ditindas atau dapatlah dibantu oleh ABRI,
5)      Agar tindakan-tindakan polarisasi yang dilakukan lewat intelek Maluku golongan aparatip yang memfrustasikan perjuangan kemerdekaan Maluku di dalam maupun di luar negeri itu, dihentikan.
Selain surat tersebut, bukti-bukti awal yang menunjukkan terjadinya pemberontakan RMS di Ambon-Maluku, juga dapat diketahui dari dokumen 'bocoran'-nya - faksi lain di RMS -- yang menamakan dirinya sebagai "Presidium Sementara RMS Ambon."Pada tangal 14 November 1998, presidium tersebut mengeluarkan "Surat Perintah Tugas" No. 01/PS.04.1/XI/98, yang ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Presidium, masing-masing bernama O. Patarima, SH dan Drs. Ch. Patasiwa. Isi surat tugas berupa perintah kepada D Pattiwaelappia (jabatan Ketua Komisi Bidang Komunikasi), A Pattiradjawane (Ketua Komisi Bidang Hukum) dan S. Saiya (Staf Komisi Bidang Komunikasi), untuk melaksanakan missi perjuangan RSM.
Kepada ketiga orang tersebut, diberi tugas dan wewenang sbb:
·         Melakukan upaya-upaya diplomasi dan pendekatan dengan warga masyarakat Maluku di perantauan dalam rangka konsolidasi kekuatan dan penggalangan persatuan,
·         Mengadakan koordinasi dengan tokoh-tokoh intelektual tertentu di kota atau daerah tujuan untuk membentuk perwakilan presidium atau pun organisasi perjuangan yang memungkinkan sesuai dengan kondisi setempat,
·         Berusaha menghimpun dana secara sukarela dari warga setempat untuk mendukung kebutuhan pembiayaan program perjuangan,
·         Melaporkan hasil pekerjaan secara berkala guna keperluan pengendalian dan evaluasi.
Surat tugas juga menyebutkan daerah tujuan yakni Jakarta, Surabaya, dan kota-kota tertentu di Pulau Jawa. Juga, ditentukan soal keberangkatannya yakni mulai 16 November s.d. media Desember 1998.Bersamaan dengan keluarnya surat tugas, Presidium Sementara RMS di Ambon membuat pula surat pengantar bernomer 02/PS.05.1/XI/98, perihal "Permohonan Bantuan", dilengkapi lampiran sebanyak sepuluh daftar. Isi surat diawali dengan kalimat antara lain:Pertama-tama, terimalah salam kebangsaan dan pekik perjuangan kita "Mena Moeria".
Dalam rangka itulah kami sungguh memerlukan support, baik moral maupun material terutama dari Bapak/Ibu yang memiliki kelebihan berkat Tuhan. Demikian dengan susah payah kami telah mengutus tiga orang teman ini, sambil mengharapkan uluran tangan Bapak/Ibu semua. Kami percaya bahwa semua saudara segandong di rantau tidak akan sampai hati membiarkan kami berjalan sendirian sebab 'potong di kuku rasa di daging'. Semoga Tuhan tetap menjaga dan memelihara kita semua dengan kelimpahan berkat Sorgawi. Amatooo...
Dari Ambon, Presidium Sementara Republik Maluku Selatan (RMS) -- pada 14 November 1998 -- mengeluarkan 'Seruan' yang ditujukan kepada warga Maluku di Belanda.Seruan yang ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekjen Presidium Sementara RMS, masing-masing O Patarima, SH dan Drs. Ch. Patasiwa itu, diawali dengan kalimat:
"Kepada Saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air, putra-putri Maluku yang sementara berdiam di negeri Belanda."
Terimalah salam kebangsaan dan pekik perjuangan kita "Mena Moeria",
Dengarlah seruan kami dari jauh, dari Maluku, Tanah Tumpah Darah Kita: Saat ini, rakyat Maluku di Tanah Air sudah tidak sabar lagi untuk merdeka, Kebencian rakyat terhadap Pemerintah Indonesia sudah mencapai puncaknya,
Untuk sementara, kami harus mengambil tanggungjawab memimpin dan mengarahkan perjuangan di Tanah Air agar supaya tidak berjalan sendiri-sendiri, yang nanti bisa menyusahkan banyak orang,Kami sangat mengharapkan dukungan dan bantuan saudara-saudara dari negeri Belanda dalam menyokong perjuangan ini agar kiranya dapat berjalan lancar dan sukses dalam waktu yang tidak terlalu lama,Sesungguhnya perjuangan ini adalah tanggungjawab setiap anak Maluku, di mana pun berada. Karena itu, janganlah biarkan kami sendiri, Kami percaya bahwa nasib masa depan anak cucu kita ada di Tanah Air Maluku tercinta..
Bukti-bukti awal yang mengarah pada kesimpulan terjadinya gerakan pemberontakan RMS pada akhir tahun 1998, juga ditemui oleh pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Den Haag. Dalam laporan khususnya yang disampaikan oleh Kantor Atase Pertahanan (Athan) KBRI Den Haag tertanggal 18 Desember 1998 -- ditandatangani Athan KBRI, Kol. Laut (E) Ir. Wahyudi Widajanto, MSc -- diungkapkan antara lain: Adanya informasi ihwal mulai tumbuhnya "embrio" kelompok RMS di Indonesia, khususnya di Jakarta.
Selain itu, juga diungkap: Berita yang dimuat oleh Harian Belanda "Rotterdam Dagbland" (Selasa, 11 Januari 2000) yang intinya menyebutkan bahwa Pemerintah RMS di pengasingan mempersiapkan diri untuk mengambil alih kekuasaan di daerah Maluku Selatan. Pernyataan ini disampaikan oleh Presiden RMS, F.LJ Tutuhatuwena. Dia mengatakan, bahwa upaya yang ditempuh adalah dengan membentuk suatu struktur organisasi yang dapat mengambil alih kekuasaan dari Jakarta.
Diinformasikan pula bahwa saat ini di Maluku telah berada beberapa puluh penganut dan simpatisan RMS yang diharapkan dapat merealisasikan cita-cita mereka. Skenario yang mereka inginkan adalah pengambilalihan kekuasaan tanpa kekerasan dengan memanfaatkan krisis ekonomi dan politik di dalam negeri saat ini.Untuk itu, telah dibentuk suatu kabinet bayangan dengan tugas menjaga agar kehidupan masyarakat Maluku terus berjalan normal apabila pemerintah di Jakarta jatuh. Tugas berikutnya adalah melucuti dan membubarkan tentara Indonesia yang masih berada di Maluku.Hingga kini bantuan dari masyarakat Maluku di Belanda adalah bantuan nasihat dan keuangan, dan belum ada permintaan bantuan senjata dari Maluku. Selanjutnya, pada 19 Desember 1998 yang akan datang di Barneveld, Belanda akan diselenggarakan pertemuan antara RMS dengan Badan Persatuan Maluku sebagai pendukung RMS dengan tujuan untuk membicarakan rencana aktivitas apa yang akan ditempuh selanjutnya.
Dalam kaitannya dengan SK Menkeh RI No. M. 01.iZ.01.02 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Pembebasan Keharusan Memiliki Visa Bagi Wisatawan Asing, pihak Athan KBRI Den Haag menganalisisnya: sebagai sesuatu yang dimanfaatkan oleh kelompok RMS untuk menyusupkan kaki tangannya -- yang notabene mereka kemungkinan besar tidak terdaftar sebagai anggota kelompok RMS ke Indonesia untuk berkunjung. Selanjutnya, mereka itu "menghilang" di tanah air dengan memanfaatkan kelemahan pengawasan kita di tanah air. Orang-orang inilah yang kemungkinan besar merupakan pioner tumbuhnya kembali kelompok RMS di Indonesia.
            DAFTAR PUSTAKA
·          Thaib, Dahlan. 1994. Pancasila Yuridis Ketatanegaraan(Edisi Revisi), UPP AMP YKPN, Yogyakarta.
·          Buku LKS Sejarah Kelas XII Semester I

KERAJAAN KERITANG PADA MASA PEMERINTAHAN RAJA KECIK MAMBANG (RAJA MERLANG I) TAHUN 1298-1337

Ayuandira 

 

            Keritang adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, Indonesia. Pada abad ke XIII Keritang pernah menjadi pusat Kerajaan yang akhirnya diganti menjadi Kerajaan Indragiri. Mengenai Keritang tidak banyak diketahui  awal berdirinya, namun diperkirakan semasa dengan Kandis dan Kuantan. Tempat Kerajaan Keritang ini berpusat pada sekitar desa desa Keritang yaitu di tepi Sungai Gangsal di Kecamatan Reteh, Kabupaten Indragiri Hilir. [1]

Kerajaan Keritang merupakan kerajaan yang menjadi pondasi dasar asal mula berdirinya kerajaan Indragiri. Nama Keritang berasal dari kata “akar itang” yaitu sejenis tumbuh-tumbuhan yang banyak terdapat dipinggiran anak sungai batang Gangsal. Akar-akar ini sangat banyak didaerah sungai ini menyulitkan bagi kapal-kapal yang melewati yang lewat di daerah tersebut. Sehingga akhirnya terkenal dengan nama sungai Keritang. Dari kata akar dan itang inilah terbentuk kata akaritang yang

RUSIA BARU MENUJU DEMOKRASI


PUTRI AMELIA / PIS

Revolusi di akhir dekade abad XX membawa kehancuran Uni Soviet yang dibangun lebih kurang tujuh dasawarsa. Uni Soviet resmi berakhir tanggal 25 Desember 1991 ketika Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev mengumumkan pengunduran diri menyusul kemelut politik sebagai lanjutan kudeta yang gagal pada pertengahan bulan Agustus 1991.
Runtuhnya Uni Soviet yang sebagian besar dianggap sebagai kegagalan kebijakan Glasnot dan Perestroika  akibat semangat keterbukaan dan demokratisasi yang menjadi inti dari kebijakan tersebut,  kini memperlihatkan Arah Rusia yang secara jelas meninggalkan Soviet yang komunis  menuju Rusia yang demokrasi liberal. Gagalnya Glasnot dan Perestroika dapat dikatakan sebagai jalan awal Rusia menuju pemerintahan yang demokratis, meskipun dalam kebijakan Soviet tersebut terdapat nilai-nilai demokrasi yang dijalankan.
Jika merujuk pada esensi dasar dari ide demokrasi, sebenarnya Soviet telah menjalakan demokrasi, keberhasilan Lenin dalam mencetuskan revolusi soviet yang menumbangkan rezim Tsar pada 1917, sehingga mampu mendirikan negara demokrasi komunis pertama didasarkan pada doktrin-doktrin leninisme dan Marxisme.
Konsep demokrasi Marx, adalah negara demokrasi berdasarkan kelas (Class Democracy), sementara Lenin membentuk negara Vanguard. Letak perbedaan keduanya adalah demokrasi berdasarkan kelas menempatkan kelas proletariat yang merupakan mayoritas penduduk negara sebagai sebagai penguasa tunggal, menjadi aktor nyata pelaksanaan kekuasaan negara pada fase transformasi sosial dari sistem kapitalisme ke sistem sosialisme. Sedangkan konsep negara Vanguard merujuk pada sistem pemerintahan oleh segelintir elite penguasa yang tergabung dalam partai. Elit ini dalam istilah komunis dinamakan politbiro. Politbiro inilah yang sebenarnya merupakan penguasa dominan dalam demokrasi komunis.
Kehancuran Uni Soviet mengembalikan Rusia pada pertanyaan abadi menyangkut eksistensi bangsa. Masa transisi yang dihadapi sekarang, diyakini sebagai proses menuju kelahiran kembali Rusia sebagaimana kejayaan masa Imperium Rusia. Sebagian lagi pesimis dengan masa depan Rusia dan menilai bahwa Rusia sedang menuju jurang kehancuran. Hancurnya Uni Soviet adalah titik awal dari kehancuran yang tak terhindarkan. Hancurnya Uni Soviet adalah titik awal dari kehancuran total Rusia yang hingga saat ini masih digerogoti gejala-gejala disintegrasi.
Bubarnya fakta Warsawa pada tahun 1991, bertepatan dengan kebijakan Michael Gorbachev untuk merombak Uni Soviet secara keseluruhan. Rusia pada awalnya merupakan negara komunis, sedangakan Gorbachev ingin merubahnya menjadi negara demokratis. Pada  awal misi tersebut, seluruh dunia seakan yakin bahwa Uni Soviet dapat berubah menjadi negara yang terbuka serta demokratis. Namun pada pelaksanaannya, Misi tersebut tidak berjalan mulus. Niat awal Gorbachev untuk membentuk Uni soviet dalam sistem yang berbeda, justru menjadi bumerang baginya. Akibatnya cukup fatal. Uni Soviet yang merupakan negara terbesar di Dunia saat itu, pecah menjadi negara negara yang lebih kecil. Wilayah wilayah yang dulu tuduk pada kekuasaan Uni Soviet di pusat mulai memberanikan diri melawan dan akhirnya melepaskan diri. Kejadian tersebut tidak diperkirakan oleh Gorbachev dan sudah tentu sangat sulit untuk menyatukannya kembali. Sehingga yang tersisa hanyalah Federasi Rusia.
Kegagalan Gorbachev dalam membangun demokrasi Soviet, tidak terlepas dari cara beliau memainkan perannya. Rusia merupakan negara yang berbeda dari negara negara lain di Dunia. Rusia telah terbiasa selama puluhan tahun dalam belenggu komunisme dan keotoritarian. Sehingga rakyat Rusia pun tidak terlalu bergairah dengan perubahan. Kalaupun ada perubahan, yang diinginkan adalah lepas dari Uni Soviet dan membentuk negara sendiri. Cara yang dilakukan gorbachev terlalu gegabah dan frontal. Merubah seseorang menjadi pribadi yang berbeda saja membutuhkan cara yang halus dan mungkin dalam waktu yang lama. Apalagi untuk taraf negara yang terdiri dari banyak pihak dengan keinginan dan pemikiran berbeda – beda. Perlu diingat bahwa Soviet-Rusia dalam sejarahnya tidak pernah mengenal sistem demokrasi dan kebebasan.
Setelah Gorbachev lengser, pucuk kepemimpinan Rusia jatuh ke tangan Yeltsin. Pada awalnya Gorbachev terlihat sangat percaya dengan Yeltsin yang notabene akan meneruskan perjuangan – perjuangannya. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, Yeltsin mulai membangkang dan memimpin Rusia berdasar kemauannya sendiri. Yeltsin menerapkan suprapresidensial yang dibalut kata 'Republik Presidensial'. Dalam sistem tersebut, kekuasaan presiden sangat absolut. Sesungguhnya didalam sistem tersebut ada Duma atau parlemen negara, akan tetapi kekuasaannya sangat terbatas karena besarnya kekuasaan dan pengaruh presiden atas parlemen. Pada awalnya, Yeltsin berkeyakinan bahwa kekuasaan eksekutif yang terpusat dan otonom akan mewujudkan reformasi ekonomi dan politik radikal dengan lebih bijaksana dari pada sistem parlementer. Tetapi keyakinan itu sama sekali tidak terwujud, karena ekonomi Rusia justru semakin hancur. Pada masa jabatan Yeltsin terlihat sekali bahwa demokrasi yang diimpikan di Rusia masih hanya sekedar bayangan.
Yeltsin mengundurkan diri pada tahun 1999, dan digantikan oleh Putin. Putin menang dalam pemilu karena partainya memiliki kekuasaan yang cukup besar dalam negara. Sesungguhnya banyak terdapat partai – partai lain, akan tetapi tidak cukup kokoh untuk menandingi partai besar. Partai politik di Rusia sangat lemah. Hal tersebut dikarenakan rakyat Rusia sangat asing dengan sistem partai, serta susahnya mentransformasi baik politik maupun ekonomi negara secara bersamaan. Seperti yang telah disebutkan, rakyat Rusia tidak pernah mengenal demokrasi. Selain itu, kekuasaan presiden terlalu besar, serta munculnya 2 kekuatan politik yang dominan akan tetapi landasan partainya sangat bertentangan. Model kepemimpinan Putin tidak berbeda dengan Yeltsin. Ditangan Putin demokrasi masih saja hanya mimpi dan bahkan mungkin hanya harapan. Oleh Putin, Rusia seperti dikembalikan ke jaman abad 18 dan 19. Terkadang dapat disimpulkan bahwa Putin hanyalah Yeltsin dalam wujud lain dan bahkan lebih kejam.
Putin meneruskan misi terselubung Yeltsin, yang tentu tidak diketahui oleh Gorbachev, untuk mengutamakan kepentingan Rusia. Bagi mereka, Rusia harus kembali ke masa kejayaannya. Putin percaya bahwa Rusia memang ditakdirkan untuk menjadi kekuatan yang besar, tidak peduli dengan sistem pemerintahan apa ia dijalankan. Putin lebih percaya pada keyakinannya untuk menjalankan Rusia sesuai caranya, dari pada terus mendengar rongrongan dunia Internasional untuk membentuk negara yang demokrasi. Dia merasa bahwa dirinya lebih tahu tentang Rusia dari pada orang lain. Itulah kenapa, ditangan Putin, Rusia mulai terlihat percaya diri dan tidak mau seenaknya saja tunduk pada Amerika Serikat.
Kebangkitan kembali Rusia dicapai dengan 3 alternatif. Pertama, dengan kembalinya Rusia pada  sistem pra-Bolshevik dengan mengadopsi elemen-elemen imperium  ini Rusia. Dengan cara ini diharapkan Rusia dapat meraih kembali kehormatan dan kejayaan Rusia pada masa lampau. Kedua, sistem sosialisme Soviet yang diyakini bisa mengangkat kembali Rusia keposisinya sebagai negara adikuasa ( Derzhava ) yang disegani. Ketiga, jalan demokratisasi dengan mengadopsi nilai-nilai demokrasi Barat.
Ketiga pandangan ini merupakan alternatif jawaban Rusia dalam pencaharian jalan menuju masa depannya. Hal ini terlihat dari berbagai aktivitas social politik yang terjadi setelah runtuhnya system sosialisme Uni Soviet.
Alternatif kedua dan ketiga menemukan bentuknya dalam berbagai pergulatan politik yang tajam hingga berakhirnya pemerintahan presiden pertama Boris Yeltsin. Pada masa ini terjadi berbagai upaya golongan sosialis untuk kembali membawa negara ke system yang menjadi inti perjuangan.
Aspirasi politik yang biasanya hanya boleh disalurkan lewat partai komunis, kini boleh disuarakan oleh kekuatan politik lain. Sejak tahun 1989 hingga 1993 muncul 36 partai politik dan organisasi masa, yang siap menjadi corong aspirasi Rusia.
Langkah reformasi dan liberalisasi pasar yang dikedepankan oleh presiden Yeltsin memperlihatkan pergulatan versi ketiga arah perkembangan bangsa. Demokratisasi yang merupakan pilar perestropika, dan dilanjutkan pada masa pasca-komunis.
Komunisme yang selama 7 dasawarsa mempengaruhi masyarakat Rusia, kini kehilangan makna eksistensinya. Dalam dua kali pemilihan presiden, pemimpin Partai Komunis Federasi Rusia ( KPRF ) Gennady Zyuganov, selalu kalah oleh Boris Yeltsin.
Di era kepemimpinan Vladimir Putin partai komunis selalu ditinggalkan. Pemilu parlemen terakhir ( 2003 ), Partai Komunis hanya memperoleh suara 12,7 persen. Suara mayoritas di Duma dikuasai partai-partai pro-Kremlin seperti: Yedinaya Rossia (Rusia Bersatu), Rodina (Tanah Air) dan LDPR (Partai Liberal Demokrat)
Rusia telah memilih satu jalan baru, menyusul disintegrasi Uni Soviet. Berbagai langkah telah politik baik nasional maupun internasional telah dilakukan untuk menegaskan sosok " Rusia Baru " vang telah menggantikan Rusia Soviet yang bercirikan komunisme dan  system ekonomi sosialis yang terpusat ( ekonomi komando ).
Berbagai atribut Soviet diganti dengan atribut baru, yang sebagian besar, merupakan revitalisasi atribut- atribut lama pra-bolshevik.
Secara resmi kemerdekaan Rusia diproklamasikan tanggal 12 Juni 1990 dalam sidang I Majelis Perwakilan Rakyat Soviet Rusia, disaat masih berdirinya Uni Soviet. Lembaga Legislatif kemudian diubah nama menjadi Duma Negara.
Daftar Pustaka :
Fahrurodji,A.2005.Rusia Baru Menuju Demokrasi.Jakarta:Yayasan Obor Indonesia
http://kampekique.wordpress.com/2011/11/18/demokrasi-rusia/

MAKASSAR DIBAWAH VOC


MUHAMMAD FIKRI MUZAKI  /  SI  3  /  B

Kedudukan politik dan ekonomi Kerajaan Makassar yang kuat menjadi ancaman besarbagi VOC, yang menjalankan kebijakan monopoli. Pertentangan dan permusuhan yang terjadi diantara mereka, yang berlangsung sejak 1615, menjadi puncaknya dalam bentuk Perang Makassar pada Desember 1666sampai 18 November 1667. VOC unggul dan berhasil memaksa Makassar untuk menandatangani Perjanjanjain Bungaya atau Bongoya ( Het Bongaais Verdrag ). Perjanjian perdamaian ini sangat menguntungkan VOC. Kerajaan Makassar diwajibkan membayar kerugian perang ( pasal 13 ), melepaskan seluruh tawanan pegawai VOC ( pasal 2 ) ,meyerahkan barang VOC yang disita (pasal 3), melepaskan koloni-koloninya (pasal 14 dan 16 hingga 21), membongkar benteng-benteng pertahananya (pasal 10) mengusirsemua bangsa Eropayangberdagang di Makassar (pasal 6), melarang orang Makassar berlayar ke Maluku (pasal 9) hanya membolehkan VOC yang berdagang di Makassar tanpa macam-macam kewajiban (pasal 8), dan menyerahkan Bentang Ujung Pandang berikut perkampungan dan lingkunganya kepada VOC (pasal 11).
Perjanjian tersebut tidak menjadikan sikap Kerajaan Makassar untuk tetap menjalankan perdagangan bebas pudar. Sikap ini terwujud dalam bentuk perlawanan pada 1668, namun Makassar dapat dipaksa kembali untuk mengakui sepenuhnya Perjanjian Bungaya dan menandatangani ulang pada 28 Juli 1669 di Binanga ( dekat Benteng Panakkukang).
Sehubungan dengan perlawanan itu, Gubernur Jenderal Spellman, berusaha untuk mematikan perdagangan Kerajaan Makassar. Dia menghapus kan peran kerjaan sebagai pengawas Bandar niaga-sebagai-mana dinyatakan dalam perjanjian dan memperkecil wilayah kerajaan hingga tidak memiliki batas perairan yang dimanfaatkan sebagai pelabuhan. Spellman tampil dengan program untuk menjadikan wilayah Benteng Ujung Pandang dan daerah sekitarnya sebagai kota baru, yang terdiri dari benteng pertahanan, kota dagang,dan kampung. Nama benteng Ujung Pandang diganti menjadi "Fort Rotterdam"atau benteng roterrdamdan menjadikan markas tentara dan kantor perwakilan. Wilayah di sebelah utara benteng dijadikan kota dagang, yang dikenal dengan nama Vlaardingen.sementara di sekitar Vlaardingen terdapat perkampungan yang ditata menurut kelompok pendatang. Salah seorang dari masing-masing kelompok diangkat menjadi pemimpin seperti Kampung Melayu diutara Vlaardingen. Heather Sutherland menggambarkan keadaan kota yang dibangun Spellman itu sebagai berikut:
"Setiap wilyah ditentukan dengan jelas; bentengn memiliki tembok batu yang besar, kubu-kubu, dan pintu gerbang, sementara Vlaardingen dikelilingi oleh sebuah stockade yang lebih sederhana. Di Vlaardingen dan kampung, di mana tinggal banyak penduduk, terdapat pagar halaman tertutup yang terdiri dari beberapa rumah".
Perubahan wajah dan kedudukan Makassar berkaitan erat dengan usaha VOC untuk menguasai kota tersebut untuk menjamin monopoli di Maluku. Tak mengherankan bila Makassarlantas dijadikan pos pengawasan bagi pelayaran ke timur. Para pegawai yang ditempatkan di kota ini diberi tugas utama mengawasi pwlayaran ke Maluku.masa keemasan Makassar pun sirna.
Kegiatan niaga yang masih ada adalah perdagangan beras di pesisir. Beras terutama berasal dari daerah sebelah utara,Maros dan Pangkaje, yang disebut provinsi bagian utara ( Noorder Provincie), dan daerah bagian selatan dan timur, meliputi Takalar hingga Banteang dan Bulukumba, yang disebut dengan propinsi bagian selatan ( Zuider Provincie). Sebelum ditaklukan oleh VOC, daerah-daerah ini merupakan lumbung padi Kerajaan Makassar karena memiliki areal pertanian yang luas disertai system irigasi.
Beras dari daerah-daerah tersebut diperoleh VOC melalui pajak penghasilan (pajak perpuluhan tanaman padi), penyerahan wajib kerjaan ditaklukan, dan transaksi niaga dengan pedagang Melayu dan Bumiputra lainya, yang dikelola oleh perwakilan VOC di Makassar. Hasil transaksi ini selanjutnya diekspor ke Maluku dengan menggunakan kapal VOC, yang melakukan pelayaran niaga dari Batavia ke Maluku melalui Makassar.
Selain beras diperdagangkan pula hasil penyerahan wajib dari Kepulauan Selayar berupa kain selayar, katun dan ayam. Sementara dari Sanrabone berupa budak serta barang dagangan lainya yang didatangkan dari Batavia, khususnya tekstil serta produk pertanian dan kerajinan dari wilayah VOC. Menurut laporan Petrus Theodorus Chasse, sebelum 1795 diekspor ke Maluku sekitar 3.000-4.000 last beras (sekitar 6.000-8.000 ton) setiap tahun. Harga satu last  (kira-kira dua ton) beras limabelas ringgit atau f37,50.
VOC tampak benar-benar mengabaikan kepentingan penduduk  diwilayah Sulawesi Selatan,yang mencari nafkah dengan sebagai pedagang dan pelaut. Selain itu VOC tidak berusaha untuk memperbaiki dan menjalin hubungan politik dengan kerajaan yang berdaulat. Bahkan dalam konteks ini, raja Bone Arung Palakka (1627-1696), dibiarkan memperluas kekuasaanya.
Kebijakan VOC tersebut mengakibatkan pedagang dan pelaut dari wilayah yang diduduki mengalihkan kegiatan kepusat –pusat perdagangan lain, seperti di Sulu, Kutai, Banjarmasin, Riau dan Semenanjung Malaka. Mereka bahkan melanggar aturan VOC untuk tidak memasuki Maluku. Menurut James Francis Warren, sebelum 1760, tercatat sekitar empatbelas hingga limabelas perahu-perahu dagang bugis mengunjungi Sulu setiap tahunya. Perahu-perahu dagang ini datang dari Maluku dengan membawa rempah-rempah, sarang burung, gula, beras, kain tenun untuk pakaian , dan lontar. Barang dagangan yang utama adalah mesiu.
Banyak pedagang Bugis yang pindah dan menetap di Kutai (Bandar niaga pesisir timur Kalimantan) sejak 1668; sebagaian besar dari Wojo, Bone, dan Soppeng. Atas persetujuan Sultan Kutai mereka mendirikan kota dagang Samarinda pada akhir abad ke-17. Di kota Pasir, yang terletak di tepi Sungai Kendilo, sekitar 45 mil dari pantai, terdapat pula permukiman orang Bugis. Thomas Forrest, yang mengunjungi kota ini pada 1772, mengatakan, Kota Pasir merupakan tempat perdagangan besar dengan sekitar 300 rumah; kebanyakn didiami oleh pedagang Bugis dan penduduk Kesultanan Melayu. Pedagang Bugis biasanya melakukan Hubungan Dagang dengan orang Berau dan Bulungan, bahkan ada yang pindah kawin dengan penduduk setempat. Banyak pula diantara mereka yang migrasi ke wilayah Semenanjung Malaka, Sumatera, dan Jawa.


DAFTAR PUSTAKA
Arsip Pemerintah
Asip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Jakarta
Arsip Daerah, Makassar
Kamaruddin , H.D Mangemba, P. Parawangsa, dan M. Mappaseleng, pengkajian (Transiletelasi dan Terjemahan) Lontarak bilang Raja Gowa dan Tallo (Ujung Pandang: Departemen Pendidikan dan kebudayaan, 1986).
Koloniaal Verslag ( 1848-1905 )