ZURIKA MITRA/IV/B
Pertama kali ide pembentukan Fraksi Nasional berasal dari Muhammad Husni Thamrin, seorang ketua perkempulan kaum Betawi. Fraksi Nasional dibentuk di dalam Volksraad pada tanggal 27 januari 1930 yang letaknya di Jakarta. Anggota Fraksi Nasional terdiri atas sepuluh anggota. Yang mana anggota tersebut merupakan wakil-wakil dari Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Tujuan pembentukan Fraksi Nasional adalah Kemerdekaan Nasional dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, dengan tujuan jalan :
a. Mengusahakan perubahan-perubahan ketatanegaraan
b. Berusaha mengahapuskan perbedaan-perbedaan politik, ekonomi dan intelektual sebagai antithese kolonial
c. Mengusahakan kedua hal tersebut atas dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum . [1]
Yang merupakan pendorong dari Fraksi Nasional adalah sebagai berikut :
1. Sikap pemerintah Belanda terhadap gerakan politik diluar Volksraad khususnya terhadap partai Nasional Indonesia. Tindakan keras Pemerintah Kolonial Belanda lebih menonjol setelah terjadi pemberontakan PKI pada tahun 1926. Para Pergerakan Nasional Indonesia hampir tidak mampu untuk bernapas. Pemberontakan yang sia-sia itu ternyata dijadikan dalih oleh Pemerintah Belanda dalam rangka menciptakan ketertiban umum yang merupakan alasan klise dari penerapan pasal-pasal karet dari KUHP pada saat itu. Di samping itu juga terdapat tindakan-tindakan lain yang dilakukan oleh Pemerintah kolonial khususnya Gubernur Jendral dengan dalih memegang hak istimewa yang tercermin dalam Exarbitante Rechten.
2. Anggapan dan perlakuan yang sama oleh Pemerintah belanda terhadap semua gerakan baik yang non maupun kooperasi. Kejadian ini sangat menghalangi penggalangan kekuatan pada organisasi yang moderat. Pada saat terjadi penangkapan terhadap tokoh PNI, ternyata anggota-anggota perkumpulan yang moderatpun juga ikut diinterogasi. Dengan demikian tindakan pengawasan politik tidak pandanng bulu. Ini tidak lain suatu pencerminan ketakutan yang amat sangat dari Pemerintah Kolonial Belanda terhadap gerakan-gerakan yang terjadi di Indonesia.
3. Berdirinya Vaderlandsche Club (VC) pada tahun 1929 sebagai protes terhadap pelekasanaan "etsch belied", Gubernur Jendral de Graef. Tindakan Zentgraaff dengan VC merupakan usaha kearah pengingkaran terhadap Etthishe Koers dari desakan Fraksi Sosial Demokrat (Troelstra dan kawan-kawan) dalam Tweede Kamer Parlemen Belanda. Kelompok VC menjadi pressure groep dalam upaya menekankan tuntutan kaum Pergerakan Nasional, dan itu berarti semakin jauhnya pelaksanaan perubahan Ketatanegaraan yang dikehendaki oleh kaum humanis di negeri Belanda. Tujuan yang ingin dicapai oleh Fraksi Nasional itu adalah menjamin adanya kemerdekaan Nasional dalam waktu singkat dengan jalan mengusahakan perubahan ketatanegaraan yang merupakan salah satu pelaksanaan Trilogi Van Deventer, berusaha menghilangkan jurang perbedaan warna kulit (Stelsel Kolonial). Tujuan tersebut diusahakan dengan semangat kebangsaan tanpa harus melanggar Hukum Nasional. Perjuangan yang dilaksanakan oleh Fraksi Nasional seperti pembelaan terhadap para pemimpin Partai Nasional Indonesia yang ditangkap kemudian diadili pada tahun 1930. Di samping itu usaha pemborosan dana yang dilakukan oleh Pemerintah kolonial Belanda juga ditentang terutama dalam rangka menigkatkan anggaran pertahanan. Hal ini karena peningkatan anggaran pertahanan merupakan lonceng kematian dari usaha-usaha radikal kaum pergerakan dalam upaya mencapai Indonesia Merdeka.
Adapun susunan pengurus Fraksi Nasional di dewan rakyat adalah sebagai berikut :
1. Ketua : Muhammad Husni Thamrin
2. Wakil ketua : Kusumo Utoyo
3. Anggota : dwidjosewojo
4. Anggota : datuk Kajo
5. Anggota : Muchtar Prabu Negara
6. Anggota : Cut Nya' Arief
7. Anggota : Suangkopon
8. Anggota : Pangeran Ali
9. Anggota : Suradi
10. Anggota : Suroso
Kegiatan pertama yang dilakukan oleh fraksi ini adalah pembelaan terhadap pemimpin-pemimpin PNI yang di tangkap di dalam sidang-sidang Volkstraad, Moh. Husni berpendapat bahwa tindakan penggeledahan dab penangkapan terhadap pemimpin-pemimpin PNI oleh pemerintah tidak dapat dipertanggungjawabkan bahkan banyak di antaranya bukan anggota PNI juga digeledah dan dicurigai. Dengan peristiwa ini terbukti bahwa pemerintah dalam tindakkannya telah berlaku tidak bijaksana dan tidak adil terhadap pergerakan rakyat Indonesia. [2]
Thamrin berpendapat bahwa peristiwa-peristiwa butuk yang sering menimpa pergerakan rakyat adalah berpangkal kepada artikel 169 swb, juga artikel 153 bis dan 161 bis. Oleh karena itu ia mengajukan suatu mosi kepada Volksraad mengenai artikel-artikel ini, mosi ini diterima oleh sidang setelah mendapatkan tantangan dari mosi Frui (VC). Kemudian dibentuk suatu komisi untuk meninjau kembali artikel-artikel tersebut. Usul Thamrin agar sidang perkara itu dilakukan di hadapan majelis yang lebih tinggi (Hooggerechtschof) dan bukan puda landraad, ditolak oleh pemerintah dengan alasan bahwa pengadilan tertinggi itu hanya berkenaan hukum pidana.[3]
Sementara itu masalah pertahanan juga dibicarakan dalam sidang Volksraad pada tahun 1930, dimana pemrintah bermaksud akan meningkatkannya. Maksud ini ditentang oleh anggota-anggota Fraksi nasional. Mereka berpendapat bahwa peningkatan kekuatan pertahanan itu pasti akan memerlukan biaya bessar sedangkan keadaan keuangan Negara tersebut sangat buruk, dan lagi tidak ada manfaatnya bagi Indonesia. Daerah-daerah diseluruh Indonesia tidak ada mempunyai sesuatau yang harus dipertahankan juga tidak kemerdekaan, sedangkan yang dimaksud dengan pertahanan terhadap serangan musuh adalah pertahanan terhadap kemerdekaannya. Jelas ia tidak mempunyai kemerdekaan karena Indonesia adalah jajahan. Oleh karena itu adalah lebih baik biaya tersebut digunakan untuk memperbaiki kesejahteraan sosial rakyat.[4]
Pada tahun 1931 diangkatnya de Jonge seorang yang sangat reaksioner sebagai Gubernur Jendral yang baru ternyata telah memberikan akibat yang sangat buruk bagi Indonesia, baik dalam segi sosial-ekonomi maupun kehidupan politik. Sesuai dengan keadaan kehidupan sosial-ekonomi yang sangat tertekan akibat depresi ekonomi, maka kegiatan fraksi juga terutama ditujukan untuk memperbaiki keadaan sosial-ekonomi rakyat. Apalagi kehidupan dibidang politik memang sangat ditekan sekali oleh Pemerintah de Jonge. Masalah sosial yang banyak dibicarakan pada waktu itu adalah bidang pendidikan akibat dengan diumumkannya peraturan sekolah-sekolah liar (wilde schoolen ordonnantie) oleh pemerintah. Dijalankannya peraturan seperti ini pasti akan menghambat kemajuan rakyat Indonesia bahkan juga golongan Cina, India dan Arab, karena itu dengan di pelopori oleh Ki Hadjar Dewantara peraturan ini di tentang keras. Anggota-anggota Fraksi Nasional di dalam sidang Volksraad juga menuntut agar pemerintah mencabut segera peraturan tersebut. Bahkan M.H Thamrin bermaksud akan keluar Volksraad apabila tuntutan itu gagal. Melihat kemungkinan jejak Thamrin akan diikuti oleh anggota-anggota lainnya, bila hal itu memang terjadi berarti Volksraad akan kehilangan artinya oleh karena wakil-wakil bangsa Indonesia praktis tidak ada. Setelah mellihat reaksi-reaksi baik diluar maupun di dalam Volksraad. Yang dapat mengganggu ketenangan masyarakat, pemerintah Kolonial Belanda dengan terpaksa mencabut peraturan tersebut.
Notes :
[1] Handelingen van den Volksraad, tjidens debuitengewon sitting van het jaar 1929-1930, hal.1646
[2] Dr. J.M. Pluvier,op.cit., hal.38
[3] Dr. S.L. Van der Wal,op.cit., hal. 109
[4] D.M.G.Koch,op.cit.,hal.141
DAFTAR PUSTAKA
1. Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka, hal.217
2. Sutrisno Kutojo dan mardanas safwan.nd.M.H.Thamrin Riwayat hidup dan perjuangan.Bandung:Angkasa, hal 27
No comments:
Post a Comment