Mara Anjani / SIV / A
Kapten Andi Azis yang bekas ajudan Presiden NIT di Makassar melakukan pemberontakan pada pemerintahan RIS. Pada tanggal 30 Maret 1950, Andi Azis bersama dengan pasukan yang ada di bawah komandonya, sudah menggabungkan diri ke dalam APRIS pada upacara resmi di depan Letnan Kolonel A.J. Mokoginta, Ketua Komisi Militer dan Teritorial Indonesia Timur. Ternyata, kurang dari satu minggu setelah penggabungan itu, Andi Azis melakukan pemberontakan. Motifnya adalah menolak masuknya
pasukan APRIS yang berasal dari TNI ke Makassar. Pada waktu itu situasi politik di Makassar memang tidak stabil, akibat adanya demonstrasi dari dua kelompok yang berseberangan. Kelompok anti federal menuntut agar NIT secepatnya membubarkan diri dan bergabung dengan RI, sedangkan kelompok profederal berdemonstrasi untuk tetap mempertahankan NIT.
pasukan APRIS yang berasal dari TNI ke Makassar. Pada waktu itu situasi politik di Makassar memang tidak stabil, akibat adanya demonstrasi dari dua kelompok yang berseberangan. Kelompok anti federal menuntut agar NIT secepatnya membubarkan diri dan bergabung dengan RI, sedangkan kelompok profederal berdemonstrasi untuk tetap mempertahankan NIT.
Dalam suasana politik yang cukup tegang itu terdengar berita bahwa pada tanggal 5 April 1950 pemerintah RIS mengirimkan kira-kira 900 pasukan APRIS yang berasal dari TNI ke Makassar untuk menjaga keamanan di sana. Kesatuan TNI/APRIS ini di bawah pimpinan Mayor H.V. Worang, diangkut dengan dua buah kapal dan sudah berada di perairan Makassar. Berita ini mengkhawatirkan pasukan bekas KNIL yang takut akan terdesak oleh pasukan baru yang akan datang itu. Mereka bergabung dan menamakan diri "Pasukan Bebas" di bawah pimpinan Andi Azis.
Pada pukul 05.00 pagi tanggal 5 April 1950 Andi Azis dan pasukannya yang dibantu oleh anggota Koninklijke Leger (pasukan Belanda) dan KNIL menyerang markas APRIS di Makassar. Kekuatan mereka jauh melebihi kekuatan APRIS dan karena itu dengan mudah mereka berhasil menguasai kota Makassa. Beberapa orang prajurit APRIS/TNI jatuh menjadi korban dan beberapa orang perwira termasuk Letnan Kolonel A.J. Mokoginta ditawan.
Untuk menghadapi pemberontakan Andi Azis ini, pada tanggal 7 April 1950 pemerintah memutuskan untuk mengirim pasukan ekspedisi ke Sulawesi di bawah pimpinan kolonel A.E. Kawilarang. Esok harinya, 8 April, pemerintah mengultimatum Andi Azis agar dalam waktu 2x24 jam melaporkan diri ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ia juga diperintahkan mengonsinyasi pasukannya, mengembalikan senjata-senjata yang mereka rampas, dan membebaskan semua tawanan. Ultimatum itu ditanggapi Andi Azis setelah batas waktu terlampaui selama tiga hari. Ia berjanji akan ke Jakarta pada tanggal 13 April. Akan tetapi, atas desakan Soumokil, janji itu diingkarinya dank arena itu ia dianggap pemberontak. Ia menyerahkan diri kepada Letnan Kolonel Mokoginta, kemudian dibawa ke Jakarta pada tanggal 15 April untuk diadili. Sementara itu, Batalion Worang yang belum sempat mendarat di Makassar meneruskan perjalananke Jeneponto dan mendarat di situ dengan di kawal oleh Korvet Banteng dan Hang Tuah. Pasukan Worang kemudian bergerak kearah Makassar dan pada tanggal 21 April berhasil memasuk kota tanpa perlawanan yang berarti dari pasukan pemberontak.1
Setelah seminggu lamanya Batalion Worang menduduki Makassar, pada tanggal 26 April mendaratlah pasukan ekspedisi di bawah Kolonel A.E. Kawilarang di pantai timur, tenggara, dan barat Sulawesi Selatan. Pasukan ini berkekuatan lebih kurang 12.000 personel, diangkut oleh 12 kapal yang juga membawa dua tank pendarat. Kapal-kapal itu antara lain ialah Korvet Hang Tuah, Banteng dan Rajawali. Untuk membantu kelancaran operasi di darat, APRIS mengerahan dua pesawat pengebom B. 25 Mitchell. Markas komando APRIS ditempatkan di Makassar.
Sebuah pesawat Dakota AURIS menyebarkan surat selebaran ke seluruh Sulawesi Selatan yang memberitahukan kepada penduduk tentang pendaratan pasukan, diperintahkan kepada penduduk untuk tidak keluar rumah sesudah pukul 07.00, kecuali dalam jarak 40 km dari Makassar. Di samping kekuatan Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, pihak Kepolisian Pusat di Jakarta mengerahkan dua kompi Mobiele Brigade (Mobbrig sekarang Brimob) yang berasal dari Jawa Timur.
Dalam rencana pendaratan APRIS di Sulawesi Selatan dilaukan pembagian tugas sebagai berikut:
1. Batalion Worang mendarat di Jeneponto menuju Makassar.
2. Korvet Rajawali menembaki Pare-Pare dari Selat Makassar.
3. Batalion Andi Mattalata mendarat di Pancana, kemudian bergerak ke Pare-Pare.
4. Pesawat-pesawat AURIS menembaki kota Makassar.
5. Korvet Banteng menembaki Bonthain.
6. Brigade Garuda Mataram Divisi II di bawah pimpinan Letnan Kolonel Soeharto mendarat di Bonthain menuju Makassar.
7. Brigade 18 Divisi I di bawah pimpinan Letnan Kolonel S. Sokowati mendarat di Balangnipa dan Sinjai.
Dengan datangnya pasukan ekspedisi ini, keamanan di Makassar berhasil dipulihkan. Akan tetapi, situasi aman itu tidak berlangsung lama sebab di daam kota masih terdapat pasukan KL dan KNIL yang menunggu penarikan ke luar kota Makassar. Pasukan KL-KNIL ini sering mengadakan provokasi dan memancing bentrokan dengan pasukan APRIS.
Penduduk yang bertempat tinggal di dekat tangsi KNIL sering dianiaya atau dipukul. Tindakan yang sama juga dilakukan terhadap anggota APRIS yang sedang berjalan tanpa senjata. Provokasi mereka semakin lama semakin meningkat. Lebih dari itu, mereka mulai berani melancarkan serangan menembaki pos-pos APRIS, terutama asramanya yang berada di Kampemen Kis dan Tangsi Mattoangin. Keduanya terletak di kota bagian selatan.
Pertempuran antara KNIL dan APRIS/TNI meletus pada tanggal 15 Mei 1950. Dalam pertempuran tersebut APRIS berhasil memukul mundur pasukan lawan. Sore harinya pertempuran umum berhenti setelah KL-KNIL merasa tidak mampu mengimbangi kekuatan APRIS/TNI. Walaupun demikian, bentrokan-bentrokan bersenjata masih juga terjadi di Mattoangin, Mariso (Kampemen Kis), Boomstraat (dekat pelabuhan), dan di Markas Staf KNIL di Hogepad.
Kemudian pasukan APRIS mengadakan pengepungan terhadap tangsi-tangsi KNIL itu karena mereka tetap bersikap provokatif, seperti show of force dengan berkendaraan truk dan panser lewat di tengah kota untuk memancing bentrokan bersenjata. Dengan pertimbangan bahwa pertempuran mungkin akan berlangsung di dalam kota Makassar, Komandan APRIS Sektor Makassar Letkol Soeharto memerintahkan kepada tiap-tiap subsector untuk mengirimkan satu kompi pasukan ke kota.
Untuk mengatasi kemelut tersebut, pada tanggal 18 Mei 1950 diadakan perundingan antara pimpinan APRIS dan KNIL. Pihak APRIS diwakili oleh Kolonel Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Abdul Haris Nasution, sedang pihak Belanda diwakili oleh Kolonel Pereira. Dalam perundingan itu disepakati untuk melakukan penjagaan bersama oleh Polisi Militer (PM) dari pihak APRIS/TNI dan MP (Militer Politie) dari pihak KNIL di daerah tangsi-tangsi KNIL. Di daerah tersebut KNIL tidak boleh masuk. Di dalam kota dilakukan patrol bersama.
Hasil perundingan ini ternyata hanya ditaati selama beberapa bulan. Pertempuran berobar lagi. Penyebabnya ialah tindakan anggota KNIL menembak mati seorang perwira APRIS, Letnan Jan Ekel, pada tanggal 1 Agustus 1950. Perwira ini baru datang dari daerah Nusa Tenggara. Karena dan tidak mengetahui adanya peraturan mengenai garis demarkasi, ia memasuki daerah KNIL-KL.
Pertempuran meletus pada tanggal 5 Agustus petang ketika Markas Staf Brigade Garuda Mataram secara tiba-tiba diserang oleh KNIL-KL. Mereka dapat dipukul mundur lagi ke tangsinya masing-masing di Kampemen Kis dan Mattoangin. Di sini KNIL-KL kemudian dikepung, Serangan umum dilakukan oleh APRIS dengan mengikutsertakan unsur-unsur infanteri maupun artileri, serta kekuatan udara dan laut. Pada tanggal 8 Agustus KNIL-KL sudah sangat lemah. Menyadari kedudukannya yang sangat kritis, pada tanggal 8 Agustus pihak KNIL-KL, minta berunding. Perundingan diadakan antara Kolonel Kawilarang dan Mayor Jenderal Scheffelaar dari KNIL-KL. Hasil perundingan ini ialah kedua pihak setuju menghentikan tembak-menembak dan dalam waktu dua hari pasukan KNIL-KL harus sudah meninggalkan Makassar. Dengan ditandatanganinya persetujuan ini maka gencatan senjatapun dilakukan antara kedua belah pihak, sehingga kota Makassar bisa dikuasai kemballi. Pada 8 April 1953, Andi Azis dijatuhi hukuman penjara selama 14 tahun potong masa tahanan.
Andi Azis akhirnya menjalani hukumannya di Jakarta hingga bebas dimana dia memperoleh keringanan hukuman menjadi 8 tahun. Pembebasan itu bersyarat karena setiap hari Senin Andi Azis harus melapor pada pihak yang berwajib.2 Sejak berakhirnya peristiwa Andi Azis Affair, yang biasa disebut Pemberontakan Andi Azis, nama Andi Abdul Azis tidak pernah lagi disebut dalam buku sejarah Indonesia.3
NOTES:
1. Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia (±1942-1998). Jakarta: Balai Pustaka. Hal: 352.
2. Disjarahad, Sejarah TNI AD (1945-1973) Peranan TNI AD dalam Menegakkan Negara Kesatuan RI. Hal 131.
3. Matanasi, Patrik. 2009. PERISTIWA ANDI AZIS: Kemelut Mantan KNIL di Sulawesi Selatan Pasca Pengembalian Kedaulatan. Yogyakarta: Media Pressindo. Hal: 100
DAFTAR PUSTAKA:
1. Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia (±1942-1998). Jakarta: Balai Pustaka.
2. Matanasi, Patrik. 2009. PERISTIWA ANDI AZIS: Kemelut Mantan KNIL di Sulawesi Selatan Pasca Pengembalian Kedaulatan. Yogyakarta: Media Pressindo.
3. Soetrisno, Eddy. 2002. Buku Pintar Indonesia Abad XX. Jakarta: Taramedia & Restu Agung.
No comments:
Post a Comment