Halaman

PEREKONOMIAN INDONESIA PASCA ERA REFORMASI

COSCASIANI/SIV/A

A.    Revisi RAPBN, Monopoli Jalan
Di tengah Indonesia sedang mengalami kegoncangan, DPR justru kebingungan dan tidak bisa memberikan tanggapan dengan cepat setelah RAPBN diajukan. Maka, ketika sidang Pleno DPR akan membahasRAPBN 1998/99 (15 Januari 1998), tiba-tiba wakil ketua DPR Abdul Gafur setelah membuka dan membacakan tata terib DPR langsung mengetuk palu menutup sidang. Dengan kata lain, sidang tidak jadi dilaksanakan karena mendapat suratdari kantor sekretaris Negara bahwa RAPBN akan direvisi
kembali. Tampak bahwa gerak langkah DPR ini bener-bener  tidak mengetahui apa yang sedang terjadi.[1]
Melihat kenyataan dan menyadari persoalan yang merisaukan ini, pada akhir januari pemerintah mulai agak panik. Angka-angka RAPBN yang tidak realistis terpaksa direvisi (23 januari 1998). Jika US $ 1 dipatok senilai Rp 4.000,00 oleh pemerintah dalam laporan awal tahun, maka kali ini patokan itu diubah menjadi R 5.000,00 per dolar. Kemudian, target pertumbuhan yang dipatok setinggi 4% direvisi menjadi 0%. Inflasi setahun yang ditargetkan sebesar 9% direvisi menjadi 20%. Pemerintah menetapkan anggaran sebesar 1%dari produk domestik bruto. Setelah dilakukan berbagai revisi, nilai rupiah yang semula mencapai Rp 17.000,00 kembali menguat menjadi Rp 12.000,00 per dolar. Revisi RAPBN yang belum dilaksanakan ini merupakan kejadian untuk pertama kali sepanjang Orde Baru.
Pengamat ekonomi Sri Mulyani Indrawati menilai bahwa revisi atas RAPBN 1998/1999 jelas memiliki banyak dimensi yang bisa dianalisis. Dalam dimensi ekonomi, makna perubahan anggaran dimaksudkan untuk memfokuskan kembali fungsi instrumen fiskal sebagai counter cycle dari perekonomian yang sedang meluncur lesu. Dengan demikian, selain fungsi perbaikan distribusi, fungsi untuk menciptakan permintaan agregat menjadi sentral.dalam fungsi distribusi ini,yang sangat penting adalah kemampuan fiskal membantu membagibeban penyesuaian ekonomi yang berat secara lebih adil diantara golongan masyarakat. Oleh karena itu, fokus pengeluaran pembangunan dimaksudkan untuk mengurangi beban masyarakat golongan bawah, baik di desa maupun di kota, dengan menciptakanproyek pembangunan terutama infrastuktur sosial ekonomi yang mampu menciptakan lapangan kerja baru. [2]
Sementara itu, menurut Sri Mulyani, revisi rencana bujet  pemerintah ini cukup penting dari segi dimensi politik. Campur tangan IMF yang sangat nyata dan terkesan tanpa kompromi dirasakan mengusik rasa nasionalisme bagi kebanyakan kelompok masyarakat. Berbagai lontaran tentang hilangnya kedaulatan ekonomidan politik Indonesia sering di munculkan. Hal ini jelas akan sangat mempengaruhi tingka dukungan nyata masyarakat terhadap revisi anggaran dan reformasi yang akan diusulkan IMF. Dukungan dan kepercayaan rakyat itu menjadi syarat mutlak agar reformasi ekonomi dapat berjalan efektif dan menciptakan proses penyesuaian yang lebih cepat dengan beban seminimal mungkin.
Selain itu, menurut Sri Mulyani, dimensi revisi bujet merupakan cermin dari kebutuhan untuk melakukan reformasi birokrasi, reformasi kelembagaan terutama birokrasi menjadi kebutuhan dan menimbulkan kesan yang tak dapat dielakkan. Tentu saja, hal ini dilakukan untuk menjaga agar liberalisasi pasar yang disyaratkan IMF dapat mencapai target yang diharapkan.
Sekalipun demikian, menurut Sri Mulyani, pemerintah tampaknya perlu menjelaskan dan bahkan meminta maaf kepada rakyat atasterjadinya beban itu. Demikian pula, reformasi yang merupakan kebijaksanaan public harus mampu menenangkan hati rakyat sebelum dijalankan agar kebijaksanaan itu mencapai sukses yang diharapkan.
Dalam perjalanan selanjutnya, persoalan depresiasi rupiah tetap tak mampu di atasi. Masyarakat semakin panik ketika isu harga-harga kebutuhanpokok akan ikut bergerak naik. Isu dan rumor terus berkembang, sementara banyak pengusaha malang-melintang memikirkan utang. Pemborongan barang kebutuhan pokok terjadi dimana-mana. Pasar swalayan di kota-kota besar di Indonesia diserbu kalangan yang beruang, sementara banyak pedagang atau pengusaha telah jauh hari siap-siap melakukan penimbunan. Mereka menimbun bukan hanya barang, tetapi juga mata uang dolar.
B.     Berbagai Kerusuhan Dan Akhir Pemerintahan Orde Baru
Peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang akan di selenggarakan pada tanggal 20 Mei 1998 direncanakan oleh gerakan mahasiswa sebagai momen Hari Reformasi Nasional. Namun, ledakan kerusuhan terjadi lebih awal dan di luar dugaan. Pada tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti yang berlokasi di daerah Grogol, Jakarta Barat terjadi peristiwa  penembakan terhadap empat orang Mahasiswa oleh aparat keamanan. Keempat orang mahasiswa Trisakti tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hendriawan Sie, Heri Hartanto, dan Hafidhin Royan. Mereka tertembak ketika ribuan mahasiswa Trisakti lainnya baru memasuki kampusnya setelah menggelar aksi keprihatinan. [3]
Kematian keempat mahasiswa Trisakti tersebut memicu berbagai gerakan proreformasi untuk menyatukan langkah dan mendesak Presiden Soeharto mengundurkan diri. Senat mahasiswa UI menyerukan agar seluruh rakyat Indonesia mulai tanggal 13 Mei 1998 mengenakan pita hitam di tangan kiri, sebagai tanda berkabung nasional serta lambang perjuangan reformasi dan suksesi kepemimpinan nasional. Seruan ini mendapat tanggapan secara luas.
Pada tanggal 13 mei 1998, setelah acara pemakaman keempat mahasiswa tersebut, ribuan mhasiswa Trisakti mengadakan aksi berkabung di kampusnya. Massa mulai membanjiri sekitar kampus Universitas Trisakti untuk bergabung dengan mahasiswa. Aparat keamanan berusaha mencegah aksi massa itu, akibatnya massa mengamuk dan memulai melakukan aksi pelemparan serta perusakan.
Keadaan yang hampir sama pun terjadi pula di Universitas Katolik Atma Jaya di Jalan Jenderal Soedirman, Jakarta,tempat para mahasiswa menggelar aksi keprihatinan dan rasa dukacita bagi mahasiswa Trisakti yang telah menjadi mortar-mortir bangsa. Warga sekitar melakukan pembakaran di kompleks pertokoan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Peristiwa it terus berkembang dan menyebar menjadi kerusuhan rasial. Toko-toko warga Indonesia keturunan Cina menjadi sasaran penjarahan massa yang tidak dikenal. Selain itu, rumah-rumah mereka pun di rusak dan di bakar.[4]
Massa yang semula berada dijalan S. Parman, Jakarta Barat secara cepat bergerakke arah Jalan Daan Mogot. Mereka melakukan perusakan dan pembakaran mobil-mobil serta gedung-gedung  di sepanjang jalan yang dilalui. Selain itu, terjadi pula pemerkosaan terhadap sejumlah besar perempuan-perempuan Indonesia keturunan Cina. Kerusuhan dan perusakan serupa terjadi pula di kota-kota lainnya, terutama di SOLO. Suasana Jakarta pun seperti kota mati, tidak ada kendaraan yang lalu lalang. Namun, di tempa-tempat tertentu, khususnyankawasan pertokoan, aksi-aksi penjarahan massa terus berlangsung hingga dini hari.
Wakil presiden B.J. Habibie di Istana Merdeka Selatan, atas nama Presiden Soeharto menyampaikan keprihatinan pemerintah atas musibah yang terjadi dalam unjuk rasa mahasiswa. Pemerintah menyerukan agar semua pihakmenahan diri dalam memelihara ketentraman dan stabilitas. Walaupun demikian, pada tanggal 14 Mei 1998 kerusuhan terus melanda hamper seluruh wilayah Jakarta dan sekitarnya. Bantuan pasukan dari luar kota pun mulai didatangkan untuk mengamankan situasi ibu kota. Sementara itu, sejak tanggal 14 Mei 1998, ribuan etnis Cina melakukan eksodus ke luar negeri, khususnya ke Singapura, Bangkok, Hong Kong, dan Australia. Penyelamatan diri ini pun kemudian diikuti oleh warga asing lainnya, seperti staf kedutaan, pekerja asing (ekspatriat) beserta keluarga, dan pejabat-pejabat IMF yang bertugas di Indonesia. Kerusuhan di Jakarta menjadikan beberapa kedutaan besardi Jakarta mulai mengevakuasi sebagian warganya ke Singapura dan Bangkok. Kedutaan besar lainnya menyarankan agar warga negaranya meninggalkan Indonesia. Langkah tersebut juga diikutioleh beberapa perusahaan multinasional dalam rangka menghindari kerusuhan.
Perkembangan situasi tanah air yang semakin tidak menentu menyebabkan Presiden Soeharto mempersingkat kunjungannya di kairo, yang dijadwalkan pulang pada tanggal 16 mei 1998, sehari sebelum nya telah tiba di tanah air. Di kediamannya di Jalan Cendana Presiden soeharto menadakan pertemuan dengan para pembantu-pembantunya untuk meminta laporan kondisi terakhir di dalam negeri. Keesokan harinya pemerintah memutuskan untuk menurunkan harga BBM. Selanjutnya presiden Soeharto berjanji akan melakukan reformasidi segala bidang dan segera mereshuffle cabinet pembangunan VII yang dipimpinnya. Hal ini disampaikan oleh Soeharto ketikaia bertemu dengan para pemimpin DPR di JalanCendana, Jakarta Pusat.[5]
Langkah-langkah kebijakan ini tidak mampu meredam situasi chos saat itu yang menginginkan mundurnya presiden Soeharto. Pertemuan selanjutnyaterjadi antara Presiden Soeharto dan delegasi staf akademis UI yang dipimpin oleh Rektor Prof. Asman Boedisantoso  yang menyampaikan hasil symposium rector seluruh Indonesia agar Presiden mundur dari jabatannya. Presiden Soeharto menjawab bahwa mundur baginya bukan masalah.
Pada tanggal 17 Mei 1998 gerakan mahasiswa memutuskan untuk menduduki Gedung DPR/MPR. Pada hari berikutnya para mahasiswa dari seluruh Jabotabek dan Bandung ikut bergabungdi gedung tersebut. Dalam situasi ini aparat keamanan tidak menghalangi mahasiswa untuk masuk dan menduduki gedung MPR/DPR. Mereka menyerukan slogan-slogan "Reformasi atau Mati" sambil menyanyikan lagu-lagu patriotik.
Keesokan harinya, tanggal 18 Mei 1998, terjadi pertemuan antara pimpinan DPR dan sejumlah delegasi mahasiswa untuk menduskusikan penyelenggaraan secepat nya Sidang Umum Istimewa. Selanjutnya ketua MPR/DPR Harmoko mengumumkan keputusan secara resmi kepada publik tentang tuntutan pengunduran diri presiden Soeharto. Pengumuman tersebut disambut gembira terutama oleh para mahasiswa yang menduduki gedung MPR/DPR.
Petang harinya, Presiden Soeharto melakukan pertemuan dengan cendikiawan Islam terkemuka Nurcholis Madjid guna membahas pendapatnya tentang langkah terbaik selanjutnya. Dalam pertemuan itu Presiden Soeharto ada petunjuk bahwa ia bersedia turun. Hari berikutnya, tanggal 19 Mei 1998, Presiden bertemu dengan Sembilan orang pimpinan senior muslim dan mengumumkan rencananya untuk membentuk komisi Pembaruan serta kabinet baru.
Dalam sebuah pidato Nasional, Presiden Soeharto secara resmi mengumumkan pembubaran kabinet yang baru berusia dua bulan dan membentuk kabinet baru yang dinamai Kabinet Reformasi. Komisi pembaharuan bertugas menyiapkan undang-undang baru, menyelenggarakan pemilu secepat mungkin, dan dalam hal ini Soeharto tidak akan mencalonkan diri sebagai presiden untuk periode berikutnya jika MPR yang baru sudah bersidang.
Di tengah rencana-rencana Presiden itu, Amien Rais mengordinasikan protes-protes mahasiswa dan mengancam akan menghimpun satu juta demonstran di Jakarta pada tanggal 20 Mei 1998 guna menyerukann pengunduran presiden Soeharto. Pidato Presiden tidak memengaruhi pendirian Amien Rais dan yang lainnya karena mereka mencurigai bahwa Presiden membuat taktik baru untuk mengulur waktu saja.
Pada pagi hari tanggal 19 Mei 1998 pukul 00.01, Yusril Ihza Mahendra staf Sekretariat Negara menelpon Amien Rais yang berada di rumah. Malik Fadjar bersama Nurcholis Madjid dan kawan-kawan memberitahukan bahwa Pak Harto sudah menandatangani naskah pengunduran dirinya. Selanjutnya pada pagi hari pukul 00.02, Amien Rais dan kawan-kawan mengadakan jumpa pers di rumah Malik Fadjar di Jalan Indramayu No. 14, Jakarta Pusat. Mereka menyerukan langkah-langkah yang perlu diambil pemerintah seandainya Presiden Soehartomengundurkan diri. Pada hari Kamis tanggal 21 Mei 1998 sekitar pukul 09.00 WIB, Presiden membacakan pidato pengundurab dirinya sebagai presiden RI di Istana Merdeka. Soeharto mengumumkan, sesuai Pasal 8 UUD 1945, Wapres B.J. Habibie akan melanjutkan sisa masa jabatan Presiden Mandatais MPR 1998-2003. Saat itu Habibie mengucapkan sumpah, disaksikan oleh ketua Mahkamah Agung, sebagai Presiden RI yang baru. Selanjutnya Menhankam/ Pangab Jenderal Wiranto mengumumkan bahwa ABRI akan tetap menjaga keselamatan dan kehormatan mantan Presiden Mandataris MPR, termasuk Presiden Soeharto dan keluarganya.
  
   NOTES:
1.      Aritonang, Diro, Runtuhnya Rezim Dari Pada Soeharto, 2004, Hal:41
2.      Aritonang, Diro, Runtuhnya Rezim Dari Pada Soeharto, 2014, Hal:42
3.  Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia, Sejarah Nasional VI, 2010, Hal:669
4.  Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia, Sejarah Nasional VI. 2010, Hal:669
5.  Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia, Sejarah Nasional VI. 2010, Hal:670

DFATAR PUSTAKA:
1.   Aritonang, Diro. 2004. Runtuhnya Rezim Dari Pada Soeharto. Bandung: PUSTAKA HIDAYAH.
2.  Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. 2010. Sejarah Nasional VI. Jakarta: Balai Pustaka.

No comments:

Post a Comment