Halaman

PEMBERONTAKAN DI/TII JAWA TENGAH DAN ACEH

FITRI VIDIANINGSIH/ S I V/A

Pengantar
Ketika para bapak pendiri Indonesia mempersiapkan perangkat ketatanegaraan yang hendak dibentuk, terjadi perbedaan pendapat mengenai masalah Dasar Negara RI. Para tokoh muslim menginginkan agar Islam di jadikan dasar Negara, namun tokoh lainnya menginginkan Indonesia menjadi Negara sekuler. Walaupun tidak setuju, para tokoh muslim akhirnya menerima bahwa Islam tidak akan dijadikan agama Negara. Akan tetapi, beberapa tokoh Islam tidak bersedia menerima kesepakatan tersebut. Mereka
membentuk Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia yang lebih dikenal dengan nama DI/TII. 
Kartosuwiryo
            Pendiri DI/TII adalah S.M, Kartosuwiryo (1907-1962). Ia adalah anak pejabat perdagangan candu yang lahir di Cepu. Ia dibesarkan dan di didik menurut cara liberal barat. Dibawah pengasuhan pamannya, penulis Mas Marco Kartodikromo, Kartosuwiryo berkenalan dengan brebagai bentuk gerakan nasionalis, termasuk Marxisme. Namun, kemudian ia lebih tertarik dengan gerakan keagamaan dan memiliki hubungan dekat dengan Serekat Islam.
            Kartosuwiryo bergabung ke berbagai kelompok nasionalis Islam dan akhirnya dikeluarkan dari sekolah kedokteran di Surabaya. Ia mendirikan pesantrennya sendiri di dekat Garut, Jawa Barat dan berhasil menarik pengikut setia. Selama masa pendudukan Jepang, Kartosuwiryo mendapat pelatihan militer dalam milisi Hizbullah.
Ketika Jepang menyerah, Kartosuwiryo berada di Jakarta dan mengeluarkan proklamasi kemerdekaannya sendiri. Proklamasi ini ditariknya kembali setelah Soekarno dan Hatta menyatakan proklamasi merdeka. Selanjutnya timbul perselisihan dengan para pemimpin republic karena Kartosuwiryo tidak menyukai para politis sekuler. Ia mengabaikan perintah para pemimpin republic untuk mengikuti hijrah TNI ke wilayah RI setelah perjanjian Renville. Ia memilih tetap tinggal di Jawa Barat bersama para pengikutnya.
Perluasan DI/TII
            Kartosuwiryo memperoleh pengakuan dan dukungan dari mereka yang sepahan di sejumlah tempat di luar Jawa Barat. Di Jawa Tengah, pendukung DI/TII tergabung dibawah pimpinan Amir Fatah di daerah Brebes, Tegal dan Kyai Somolangu di Kebumen. Perselisihan tentang kepemimpinan APRIS di Sulawesi Selatan menyebabkan Kahar Muzakar membelot dari TNI.[1] Ia melarikan diri ke hutan bersama sejumlah pengikutnya. Pada tahun 1952, ia menyatakan daerah Sulawesi Selatan merupakan bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) Kartosuwiryo.
            Di Aceh, perang saudara antara kelompok ulama dan uleebalang mengantar Daud Beureuh dan organisasi  Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) ke tampuk kekuaaan di wilayah ini. Untuk mengatsi perang saudara di Aceh, pemerintah RI mengakui pemerintah Daud Beureuh dan memberikan Aceh status "Daerah Istimewa" .
Setelah pengakuan kedaulatan pemerintah pusat melakukan penyederhanaan administrasi pemerintah. Status Aceh diturunkan dari Daerah Istimewa menjadi keresidenan dibawah Provinsi Sumatra Utara. Daud Beureuh tidak puas dan mengeluarkan maklumat yang menggabungkan Aceh dengan TNI pimpinan Kartosuwiryo.
Dukungan terhadap NII juga dating dari Kalimantan Selatan. Kelompok pendukung Kartosuwiryo di wilayah ini dipimpin oleh Ibnu Hajar, tokoh gerakan Kesatuan Rakjat Jang Tertindas. Ia bergabung dengan DI/TII pada tahun 1954 dan di angkat menjadi Panglima TII untuk wilayah Kalimantan.[2]   

DI/TII  Jawa Tengah

Pemberontakan DI di Jawa tengah khususnya di daerah Pekalongan, sudah dimulai pada masa perang kemerdekaan. Pemimpinnya adalah Amir Fatah. Pada bulan Agustus 1948 ia membewa tiga kompi pasukan Hizbullah yang tidak mau di-TNI-kan ke daerah Pekalongan yang sudah ditinggalkan oleh TNI akibat Persetujuan Renville. Ia berhasil mempengaruhi penduduk setempat dengan mengatakan bahwa ia di kirim oleh Panglima Besar Soedirman untuk mencegah Belanda mendirikan Negara boneka di dearah Pekalongan. Untuk menghimpun kekuatan, ia mendirikan Majelis Islam dan pasukan bersenjata Mujahidin.
Pada waktu Belanda melancarkan Agresi Militer Kedua, pasukan TNI dibawah pimpinan Mayor Wongsoatmodjo melakukan wingate ke daerah Pekalongan. Selain itu, terdapat pula kesatuan Mobiele Brigade ( Mobbrig ) polisi dibawah pimpinan Komisaris Bambang Suprapto. Pada mulanya terdapat kerja sama antara TNI/Polri dan Amir Fatah untuk bersama-sama menghadapi Belanda. Kerja sama ini kemudian dilanggar oleh Amir Fatah setelah ia diangkat oleh  Kartosuwirjo. Bumiayu dijadikan sebagai basis pertahanan pasukannya. Serangan terhadap pos-pos TNI mulai dilancarkannya, termasuk pos-pos TNI di kota Pekalongan. Pasukan Mobbrig yang sedang mengadakan patroli juga mereka serang dan Komisaris Bambang Suprapto mereka bunuh.
Untuk menghadapi pemberontakan ini, TNI melancarkan operasi terhadap konsentrasi pasukan DI di Tembangrejo dan Pengarasan. Akibatnya, kekuatan DI mulai melemah. Operasi dilanjutkan setelah berakhirnya perang kemerdekaan. Pada tahun 1950 TNI membentuk komando tempur yang disebut Gerakan Benteng Negara (GBN) dibawah pimpinan Letnan Kolonel Sarbini (kemudian digantikan oleh Letnan Kolonel Bachrun)tujuan utamanya adalah memisahkan DI Jawa Tengah dengan DI Jawa Barat.[3] Dalam operasi-operasi yang dilancarkan GBN, banyak tokoh DI yang terbunuh  atau tertangkap. Amir Fatah tertangkap pada tanggal 22 Desember 1950 dalam perjalanan ke Jawa Barat untuk bergabung dengan Kartosuwirjo.

DI/TII  Aceh

Pada awal Agustus 1949 bekas ketua PDRI Sjafruddin Prawinegara diangkat sebagai Wakil Perdana Menteri dalam Kabinet Hatta II. Ia ditempatkan di Aceh dengan tujuan untuk memimpin perjuangan di Sumatra jika perundingan KMB gagal. Tanpa berkonsultasi dengan cabinet, ia menjadikan daerah Aceh sebagai Provinsi, terlepas dari Provinsi Sumatra Utara. Teungku Daud Beureueh yang pada masa Perang Kemerdekaan memgang jabatan sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo , diangkat sebagai Gubernur.
Pada awal tahun 1951, setelah RIS bubar dan RI kembali kebentuk Negara Kesatuan, status daerah Aceh dikembalikan menjadi keresidenan dalam lingkungan Provinsi Sumatra Utara. Penurunan status dari provinsi menjadi keresidenan ini, sangat mengecewakan Daud Beureuh dan para pendukungnya, terutama anggota Pusat Ulama Seluruh Aceh (PUSA).
Sejak itu, ia mulai membangun kekuatan untuk menentang pemerintah. Untuk mencari dukungan, ia mengorbankan sentimen kedaerahan dan sentimen agama (Islam). Kontak dengan Kartosuwirjo pun diadakan dengan saling mengirim utusan.
Setelah merasa  persiapannya cukup, pada tanggal 21 September 1953 Daud Beureueh memproklamasikan daerah Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia dibawah pimpinan Kartosuwirjo. Dengan proklamasi itu mulailah pembrontakan DI di Aceh. Proklamasi itu segera di susul dengan usaha menduduki kota-kota penting. Pada mulanya beberapa kota dapat mereka kuasai, akan tetapi mereka gagal menduduki Banda Aceh. Serangan paling hebat dilancarkan terhadap kota  Takengon yang dapat mereka kuasai selama hamper tiga bulan.
Untuk menghadapi pemberontakan ini, TNI mendatangkan pasukan dari Sumatra Utara. Begitu pula Kepolisian Negara mengerahkan satuan-satuan Brigade Mobil (Brimob). Pada akhir November 1953, kota-kota yang tadinya di kuasai DI direbut kembali oleh pasukan pemerintah. Para pemberontak mengundurkan diri ke hutan-hutan melancarkan perang gerilya, melakukan sabotase terhadap alat-alat perhubungan, dan meneror rakyat.[4]
Untuk mengatasi gangguan keamanan ini, Komandan Daerah Militer Aceh (KDMA) Letnan Kolonel Sjamaun Gaharu menetapkan kebijakan yang disebut "Konsepsi Prinsipiil bijaksana". Intinya adalah menerima dengan tangan terbuka para pemberontak yang ingin menghentikan perlawanan dan menghancurkan mereka yang masih membangkang. Pendekatan persuasif pun dilakukan dengan beberapa tokoh DI.
Pada tanggal 5 dan 7 Juli 1957 Sjamaun Gaharu yang didampingi oleh M.Insja (Kepala Kepolisian Aceh) mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh DI, yakni Hasan Saleh, Hasan Ali, Gani Mutiara, Ustad Amin, dan Pawang Leman di Desa Lamteh. Pertemuan ini melahirkan "Ikrar Lamteh". Intinya, kedua belah pihak sepakat untuk menghentikan tembak-menembak dan mengusahakan jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah Aceh.
Ikrar Lamteh menimbulkan perpecahan di kalangan DI. Kelompok Hasan Saleh bersedia berunding dengan pemerinta, sedangkan Daud Beureueh menolak. Pada bulan Mei 1959 pemerintah mengirim misi yang dipimpin oleh Mr. Hardi untuk berunding dengan kelompok Hasan Saleh. Hasil penting dalam perundingan itu ialah pemerintah akan memberikan status istimewa untuk daerah Aceh. Akan tetapi, Daud Beureueh menolak hasil perundingan tersebut dan tetap melanjutkan pemberontakannya. Barulah pada masa Demokrasi Terpimpin pemberontakan DI Aceh ini dapat diakhiri. [5]

NOTES:
[1]. Nino Oktorino dkk. 2009. Sejarah dan Budaya: Sejarah Nasional Indonesia 8. Jakarta: PT Lentera Abadi. Hal: 236
[2]. Nino Oktorino dkk. 2009. Sejarah dan Budaya: Sejarah Nasional Indonesia 8. Jakarta: PT Lentera Abadi. Hal: 237
[3]. Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. 2008. Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik. Jakarta: Balai Pustaka. Hal: 362
[4]. Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. 2008. Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik. Jakarta: Balai Pustaka. Hal: 363
[5]. Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. 2008. Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik. Jakarta: Balai Pustaka. Hal: 365

DAFTAR PUSTAKA
Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. 2008. Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik. Jakarta: Balai Pustaka.
Nino Oktorino dkk. 2009. Sejarah dan Budaya: Sejarah Nasional Indonesia 8. Jakarta: PT Lentera Abadi.

No comments:

Post a Comment