Roselma br Panjaitan/pis
Setelah memasuki tahun 1970-an, negara-negara Barat mulai mempercayai keberhasilan Korea Selatan dalam bidang ekonomi. Berdasarkan kepercayaan itu, selama 7 tahun, antara 1970-1977, AS, Jepang dan negara-negara Eropa Barat memberikan pinjaman kepada Korea Selatan, masing-masing sebesar 1,07milyar, 5,7 juta dan 210,1 juta dolar AS. Seiring dengan pemberian bantuan itu, Korea Selatan mulai menandatangani berbagai macam persetujuan dengan negera-negara Barat untuk meningkatkan hubungan kerjasama bidang ekonomi, seperti misalnya persetujuan jaminan penanaman modal.
Selain itu, sejak awal 1970-an pemerintah Korea Selatan berusaha memperluas pasar internasionalnya ke negara-negara non-komunis dan negara-negara netral di benua Afrika dan Eropa Timur. Dalam menghadapi krisis minyak mentah dunia pada akhir 1973, Korea Selatan sejak awal tahun 1974 meningkatkan kebijakan luar negerinya terhadap dunia Timur Tengah. Keberhasilan usaha politik yang sangat aktif itu menyebabkan Korea Selatan dapat menjalin hubungan kerjasama ekonomi, khususnya kerjasama bidang konstuksi. Selama 3 tahun, antara tahun 1976-1978, Korea Selatan berhasil memperoleh kontrak konstuksi sebesar 14 milyar dolar AS.
Sementara itu, sejak tahun 1970-an, komoditi yang dihasilkan oleh industri Korea mulai berubah. Indusrti berat dan industri kimia dikembangkan dan produknya mulai mencakup 40% dari seluruh produksi industri. Hal ini menggambarkan pergeseran keunggulan komparatif Korea, yaitu dari industri manufaktur ringan dengan tenaga kerja terampil menjadi industri manufaktur berat dengan tenaga kerja yang terdidik.
Ekspor komoditi industri berat dan industri kimia seperti semen, besi dan baja, pupuk dan industri petro kimia yang lain mulai dapat dilaksanakan dengan adanya peningkatan kapasitas produksi sampai melebihi permintaan pasar dalam negeri. Ekspor mesin dan komponen-komponennya menunjukkan peningkatan mulai akhir tahin 1970-an. Namun mesin dan komponen tersebut masih menggunakan bahan-bahan menengah yang diimpor dari negara-negara maju, khususnya dari Jepang, karena bahan-bahan menengah yang dihasilakan Korea Selatan tidak tersedia atau belum memenuhi standar yang dibutuhkan untuk dapat bersaing di pasaran internasional. Hal ini menyebabkan neraca perdagangan Korea dengan Jepang menunjukkan angka defisit meskipun Korea telah dapat mengekspor produk mesinnya.
Kebijakan nilai tukar juga diterapkan untuk mendukung kebijakan peningkatan ekspor pemerintah. Devaluasi mata uang won terus dilakukan karena tingkat inflasi Korea Selatan masih jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara rekan dagangnya. Sejak akhir tahun 1970-an, pemerintah Korea memutuskan untuk mengembangkan nilai tukar won terhadap mata uang negara-negara dagang Korea.
Sebagai negara yang mengalami defisit perdagangan, Korea Selatan menggunakan pembatasan jumlah impor sebagai alat utama pengendalian impor meskipun beberapa usaha untuk meliberalisasikan pengawasan impor dan nilai tukar juga dilakukan oleh pemerintah Korea. Saat neraca perdagangan Korea menunjukkan angka yang hampir seimbang dan perdagangan luar negerinya meningkat pada tahun 1977-1978, pemerintah Korea meningkatkan kebijakan liberalisasi impornya dengan mengurangi jimlah komoditi impor yang dikenai ijin impor.
Di samping berusaha meningkatkan jumlah ekspornya, Korea Selatan juga berusaha mencari pinjaman luar negeri untuk membiayai impor dan defisit perdagangannya. UU Peningkatan Kapital Asing (Foreign Capital Inducement Law) ditetapkan pada tahun 1960 untuk menarik hutang luar negeri. Pemerintah Korea juga menjamin perdagangan dan hutang publik serta membebaskan pajak bagi investor asing. Dengan langkah-langkah tersebut, pinjaman luar negeri dan kapital asing berkembang dengan pesat, terutama setelah tahun 1966 saat perbedaan antara tingkat bunga asing dan domestik semakin melebar sebagai hasil dari kenaikan tingkat bunga domestik.
Hasilnya, jumlah investasi asing langsung meningkat pesat dari awal tahun 1970-an meskipun masih jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan aliran kapital Korea secara keseluruhan. Kecilnya jumlah investasi lansung oleh perusahaan-perusahaan asing itu disebabkan oleh dua faktor utama yaitu sempitnya pasar domestik Korea dan adanya beberapa kebijakan pemerintah yang membatasi gerak perusahaan asing. Perusahaan asing yang bergerak di Korea hanya diperbolehkan memiliki saham minoritas. Hal itu menyebabkan hanya sedikit perusahaan asing yang mau bergerak di Korea, khususnya perusahaan Jepang.
Daftar Pustaka
Yang Seung-Yoon & Mohtar Mas'oed.2004.Politik Luar Negeri Korea Selatan:Gadjah Mada Univercity Press
No comments:
Post a Comment