SENGKETA BATAS WILAYAH INDONESIA DAN MALAYSIA


MIDO EMERO / SI5
A.      LATAR BELAKANG TERJADINYA SENGKETA INTENASIONAL
1.        Segi Politis (adanya pakta pertahanan / pakta perdamaian).
Pasca Perang Dunia II (1945) muncul dua kekuatan besar yaitu Blok Barat (NATO pimpinan AS) dan Blok Timur (PAKTA WARSAWA pimpinan Uni Soviet). Mereka bersaing berebut pengaruh di bidang Ideologi, Ekonomi, dan Persenjataan. Akibatnya sering terjadi konflik di berbagai negara, missalnya Krisis Kuba, Perang Korea (Korea Utara didukung Blok Timur dan Korea Selatan didukung Blok Barat), Perang Vietnam dll.
2.        Batas Wilayah.
Suatu Negara berbatasan dengan wilayah Negara lain. Kadang antar Negara terjadi ketidak sepakatan tentang batas wilayah masing – masing. Misalnya Indonesia dengan Malaysia tentang Pulau Sipadan dan Ligitan (Kalimantan). Sengketa ini diserahkan kepada Mahkamah Internasional dan pada tahun 2003 sengketa itu dimenangkan oleh Malaysia.
Dengan runtuhnya Blok Timur dengan ditandai runtuhnya Tembok Berlin tahun 1989 maka AS muncul sebagai kekuatan besar (Negara Adikuasa). Sehingga cenderung membawa dunia dalam tatanan yang bersifat UNIPOLAR artinya AS bertindak sebagai satu – satunya kekuatan yang mengendalikan sebagian besar persoalan di dunia. Akibatnya cenderung muncul sengketa di dunia internasional.
Selain terkait dengan kepentingan internasional (baca: negara-negara maju), Indonesia sebenarnya menghadapi beberapa persoalan latent dengan sesama negara anggota Asean. Penyebabnya selain karena perbedaan kepentingan masing negara yang tak dapat dipertemukan, juga karena berbagai sebab lain yang muncul sebagai akibat dinamika sosial politik dimasing-masing negara. Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina, mungkin saja bisa bekerjasama dalam mengatasi persoalan aksi terorisme di kawa-san ini. Namun, sikap masing-masing negara tentu akan berbeda dalam soal tenaga kerja illegal, illegal loging, pelanggaran batas wilayah dalam penangkapan ikan, dan sebagainya.
Hal yang sama juga bisa terjadi dengan Singa-pura dalam soal pemberantasan korupsi, penyelundupan dan pencucian uang. Sedangkan dengan Ti-mor Leste masalah pelanggaran hak asasi manusia dimasa lampau dan lalulintas perbatasan kerap masih jadi ganjalan bagi harmonisasi hubungan kedua negara.
Mengenai pengendalian pelayaran di kawasan Asia Tenggara, hingga kini Singapura tetap keras menolak usulan Indonesia untuk mengalihkan seba-gian lalu lintas pelayaran kapal berukuran besar dari Selat Malaka ke Selat Lombok/Selat Makasar. Padahal jalur pelayaran di selat ini tidak hanya diper-gunakan untuk armada niaga tetapi juga bagi kapal perang. Dan Indonesia tentu ikut terganggu bila ka-pal-kapal perang dari dua negara yang sedang bertikai berpapasan di perairan Indonesia.
Dalam satu dekade terakhir tampak adanya upaya beberapa negara Asean telah melipatgandakan kekuatan militernya. Terutama Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
Dari beberapa data tampak bahwa dalam aspek persenjataan, Thailand menunjukkan peningkatan yang signifikan diantara negara-negara di Asia Teng-gara. Untuk memperkuat angkatan laut, misalnya negara gajah putih ini telah memiliki kapal perang canggih, dan siap beroperasi hingga sejauh di atas 200-300 mil demi mengamankan kepentingan negaranya. Tentu, termasuk menjaga keselamatan nelayan Thailand yang banyak beroperasi di perairan teritorial Indonesia.
Malaysia juga tak ketinggalan menambah armada perangnya. Angkatan Tentara Laut Diraja Malaysia, setidaknya dengan memiliki beberapa freegat dan korvet baru. Dengan penambahan kekuatan, kedua negara tersebut sangat berpeluang jadi mitra negara-negara maju demi mengimbangi Indonesia dalam soal pengamanan kawasan Asia Tenggara.
Dengan berbagai perkembangan itu, maka tantangan Indonesia dalam aspek pertahanan dan keamanan negara jadi berat. Indonesia selain dituntut mampu mempertahankan keamanan dalam negerinya, juga mesti dapat memainkan peran yang berarti demi terpeliharanya keamanan regional di Kawasan Asia Pasific. Padahal disisi lain, kekuatan elemen pertahanan dan keamanan Indonesia tidak dalam kondisi prima. Baik dari aspek kemampuan sumber daya manusianya maupun dari segi kesiapan materil dan dukungan finansial. Inilah kondisi dilematis yang dihadapi Indonesia dewasa ini yang patut segera dicari jalan keluarnya.
B.       MENGAPA AMBALAT JADI REBUTAN?
ENTAH dari mana kata awal Ambalat. Sebab tiba-tiba muncul menjadi berita di media massa nasional dan internasional. Ibarat artis dadakan, kawasan di perbatasan Indonesia – Malaysia tersebut langsung populer. Bahkan sinarnya melebihi kesohoran induknya Kabupaten Nunukan. Ada yang memahami Ambalat adalah singkatan dari Ambang Batas Laut. Tapi ternyata dalam wikipedia bahasa Indonesia tidak disebutkan demikian. Itu berarti Ambalat adalah kata tunggal. Lagi pula ada banyak perbatasan laut Indonesia dengan negeri tetangga selain dengan Malaysia seperti Singapura, Thailand, Vietnam dan Filipina. Tapi perbatasan laut itu tidak pernah disebut dengan kata Ambalat.Di Malaysia, rakyat, pemerintah federal dan pihak kerajaan juga memakai kata Ambalat. Malah sering dibumbui dengan kalimat daerah kontroversi yang kaya minyak. Seolah-olah Malaysia ingin mengklaim bahwa negeri itu sudah diterima masuk dalam 'kawasan sengketa'. Yang tidak kita ketahui; apakah kata Ambalat itu sudah didaftarkan sebagai hak paten bahasa atau nama kawasan negeri Jiran? Sehingga suatu saat kelak - kalau sengketa batas negara ini muncul di pengadilan internasional - kita akan 'gelagapan' lagi seperti pada sidang Pulau Sipadan dan Ligitan.
Barangkali ada yang meremehkan 'apa arti sebuah nama'. Tapi dalam sebuah sengketa hukum, urusan nama – bahkan kesalahan satu huruf saja – sudah bisa menjadi kesalahan besar yang menentukan kalah dan menang sebuah gugatan.Dalam perkembangannya, Ambalat malah semakin bias seolah-olah nama itu adalah sebuah daerah yang berpenduduk dan bermasyarakat. Ada tokoh masyarakat memberikan komentar di pemberitaan media dengan menyebut kalimat 'masyarakat Ambalat', padahal sebenarnya kawasan tersebut merupakan perairan lautan Selat Makassar atau laut Sulawesi alias sebelah Utara Pulau Sebatik Kabupaten Nunukan.Hamparan air 15.235 kilometer persegi. Tapi di sinilah dua negeri jiran ini kerap adu nyali. Saling ngotot, saling  gertak, saling klaim. Ambalat, perairan yang terjepit antara Sulawesi dan Kalimantan itu adalah titik paling didih dalam hubungan Indonesia dengan Malaysia beberapa tahun terakhir. Malaysia sudah mengincarnya sejak 1979. Ketika negeri jiran itu menerbitkan peta yang memasukkan Sipadan dan Ligitan sebagai basis untuk mengukur zona ekonomi eksklusif mereka. Di dalam peta mereka, Ambalat masuk Malaysia. Terang saja pemerintah Indonesia menepis klaim Malaysia.  Soalnya, dari riwayata sejarahnya saja Ambalat masuk wilayah Kesultanan Bulungan (Kalimantan Timur) yang kini menjadi bagian dari Indonesia. Membuka lembaran hukum laut internasional atau konvensi hukum laut PBB yang telah dituangkan dalam UU No.17 tahun 1984, ternyata Ambalat juga diakui dunia Internasional sebagai wilayah Indonesia. Anehnya, Malaysia tetap ngotot. Mereka mengirim kapal perangnya untuk patroli di perairan ini. Ada nelayan Indonesia melaut ditangkap dan dipukul, juga diusir.
Sesungguhnya yang mereka incar bukan hanya keinginan memperluas batas wilayah negara, di sini ada kekayaan alam yang berlimpah di sini. Bahkan menurut Departemen Energi dan Sumber Daya Manusia di Ambalat ada tambahan kandungan minyak dengan produksi 30.000 - 40.000 barel per hari.Masyarakat kawasan perbatasan sendiri seperti Nunukan, Tarakan dan Bulungan, baru mengetahui ada Ambalat di dekat rumah mereka. Selama ini yang mereka ketahui adalah Karang Unarang, sebuah kawasan prairan yang sering dimasuki kapal militer Malaysia. Para nelayan di utara Kalimantan Timur sudah hafal mana kawasan lintasan untuk perahu motor mereka, yakni kawasan yang lebih dalam. Di sana banyak terdapat 'gusung' alias gundukan pasir yang ketika air surut akan membuat kandas perahu atau kapal yang terjebak di situ.Ketika ada kapal berbendera Malaysia dan kapal perang militer negeri Jiran itu terlihat memasuki perairan Indonesia di Karang Unarang tersebut, para nelayan umumnya memaklumi karena kemungkinan kapal tersebut menghindari 'gusung' dan terpaksa meliuk memasuki perairan Indonesia. Nah, pada posisi itulah kemudian muncul ketegangan di Indonesia. Seolah-olah terjadi pelanggaran yang disengaja oleh Tentara Diraja Malaysia. Pemberitaan media massa sering pula meningkatkan tensi kemarahan, sehingga melontarkan kata-kata 'perang'.Dalam setiap perundingan, Malaysia tetap berkeras bahwa Blok Ambalat merupakan bagian dari teritorinya. Bahkan mereka mengirimkan salinan nota diplomatik yang intinya memprotes kehadiran kekuatan TNI di Blok Ambalat.
Mengapa Ambalat jadi rebutan?  Blok Ambalat dengan luas 15.235 kilometer persegi, ditengarai mengandung kandungan minyak dan gas yang dapat dimanfaatkan hingga 30 tahun. Bagi masyarakat perbatasan, Ambalat adalah asset berharga karena di sana diketahui memiliki deposit minyak dan gas yang cukup besar. Kelak, jika tiba waktunya minyak dan gas tersebut bisa dieksploitasi, rakyat di sana juga yang mendapatkan dampaknya. Ambalat memang menjadi wilayah yang disengketakan oleh Malaysia dan Indonesia. Bahkan, pada 2005 sempat terjadi ketegangan di wilayah itu karena Angkatan Laut Indonesia dan Malaysia sama-sama dalam keadaan siap tempur.Ahli geologi memperkirakan minyak dan gas yang terkandung di Ambalat ini mencapai Rp 4.200 triliun. Pemerintah melihat potensi ini. Dua perusahaan perminyakan raksasa diizinkan beroperasi di perairan Ambalat yang terbagi dalam tiga blok, yaitu East Ambalat, Ambalat, dan Bougainvillea, itu. Yaitu Eni Sp. A dan Chevron Pacific Indonesia. Pada 1999 Eni, perusahaan multinasional terbesar di Italia yang berdiri sejak 1953, masuk ke Ambalat (Blok Aster dan Bukat). Di level Eropa, Eni perusahaan penyulingan nomor tiga terbesar. Nama Eni itu semula adalah akronim dari Ente Nazionale Indrocarburi, belakangan kepanjangan itu tak pernah digunakan lagi. Jadi tinggal bernama Eni saja.
Bergerak di bidang eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi, perusahaan Eni memiliki 76 ribu karyawan dan beroperasi di 70 negara. Sahamnya pun di perdagangkan di Milan Stock Exchange dan juga New York Stock Exchange. Adapun Chevron Pacific Indonesia (CPI) mendapatkan izin mengeksplorasi Ambalat Timur pada 2004. Ini juga bukan sembarang perusahaan. CPI adalah anak Chevron Corporation NYSE, salah satu perusahaan energi terbesar dunia. Chevron berkantor pusat di San Ramon, California, AS dan beroperasi di 180 negara. Chevron didirikan pada 1879 di Pico Canyon, California, dengan nama awal Standard Oil Company of California atau Socal.Di Indonesia, Chevron memang tak asing lagi. Beroperasi sejak 1924 dengan nama NV. Nederlansche Pacific Petroleum Maatshappij, ini perusahaan patungan Socal dan Texas Oil Company (Texaco). Perusahaan inilah yang pertamakali menemukan sumur minyak terbesar di Asia Tenggara di Minas, Sumatera.  Perusahaan ini belakangan berganti nama menjadi Caltex Pacific Oil Company, wilayah eksplorasinya banyak di Sumatera. Setelah Socal dan Texaco membentuk Chevron pada 2001, empat tahun berselang Caltex pun menjadi CPI. Belakangan CPI mengelola salah satu blok Ambalat.Rupanya Malaysia juga tergiur dengan isi perut Ambalat. Dua blok penghasil minyak di Ambalat itu mereka beri nama Blok Y dan Z. Belakangan Malaysia menyebutnya dengan Blok ND6 dan ND7. Negara yang berupaya mengklaim Ambalat masuk ke wilayahnya ini pun belakangan meminta Petronas Carigali Sdn Bhd, perusahaan minyak dan gas lokal Malaysia, masuk Ambalat, pada 2002.
C.      UPAYA PEMERINTAH MEMPERTAHANKAN KEDAULATAN NKRI
Di mata Pemerintah Indonesia, Ambalat bukan wilayah sengketa, dan juga tak ada tumpang tindih wilayah. Jika Malaysia masuk, itu artinya upaya perampasan wilayah kedaulatan. Akan tetapi masyarakat perbatasan membutuhkan jawaban dan kepastian. Jangan biarkan mereka hidup dalam kebimbangan. Lantaran itu TNI bersama dengan Pemerintah Kabupaten Nunukan dan masyarakat sudah bertekad untuk menjaga Ambalat dan Karang Unarang sebagai wilayah teritorial Indonesia. Mereka menancapkan bendera Merah Putih di perairan tersebut, sekaligus juga membiarkan nelayan mendirikan bagang lebih banyak lagi.Sengketa blok Ambalat antara Indonesia-Malaysia tercatat telah sering terjadi. Terhitung sejak Januari hingga April 2009 saja, TNI AL mencatat kapal Malaysia telah sembilan kali masuk ke wilayah Indonesia.Betapa istimewanya Ambalat, blok laut seluas 15.235 kilometer persegi yang terletak di laut Sulawesi atau Selat Makassar itu, hingga menjadi titik konflik antara dua negara bertetangga ini. Wilayah Ambalat merupakan wilayah yang memiliki potensi ekonomi cukup besar karena memiliki kekayaan alam, berupa sumber daya minyak. Oleh karena itu, wajar jika muncul berbagai kepentingan yang mendasari munculnya masalah persengketaan ini. Bukan saja kepentingan ekonomi, melainkan juga adanya faktor kepentingan politik di antara dua negara. Bagi Malaysia, secara internasional akan merasa "menang" terhadap Indonesia, jika berhasil mengklaim blok Ambalat.Beda lagi bagi Indonesia yang secara politik ingin mempertahankan blok Ambalat, karena dianggap sama dengan mempertahankan kedaulatan bangsa.Diketahui, pada 25 Mei lalu kapal perang milik angkatan laut Malaysia yakni KD Yu-3508 ditemukan oleh kapal Indonesia KRI Untung Suropati berada di wilayah Ambalat. KD Yu mengatakan bahwa tujuannya ke Tawau, namun begitu KRI Untung Suropati berhasil mengusirnya.
Lalu pada 29 Mei belasan kapal berbendera Malaysia, berhasil terdeteksi pesawat pengintai TNI Angkatan Udara di perairan batas terluar blok Ambalat. Salah satu diantaranya adalah kapal perang patroli Jerong milik Tentara Diraja Malaysia. Ci vis pacem para bellum -yang berarti jika ingin damai, bersiaplah untuk berperang- adalah ungkapan klasik untuk menggambarkan suasana hati sebagian rakyat Indonesia dalam melihat sengketa wilayah Ambalat, Kalimantan Timur. Seakan-akan, tidak ada pilihan lain kecuali berperang untuk mempertahankan Blok Ambalat.Sementara itu, diplomasi menjadi pilihan yang tidak populer. Hal itu
terbukti dengan maraknya pendirian posko-posko sukarelawan di seluruh wilayah tanah air dengan memanfaatkan retorika Bung Karno pada 1960-an ketika menginginkan konfrontasi dengan negeri jiran, "ganyang Malaysia".Sementara, pemimpin kedua negara masih berusaha mengedepankan dialog dan perundingan dalam menyelesaikan sengketa perbatasan dan pemilikan wilayah Ambalat tersebut. Hal itu bisa dilihat dari statemen kedua pemimpin, baik dari Malaysia maupun Indonesia, tentang perlunya menyelesaikan kasus tersebut dengan cara-cara damai.
Agar tidak terjadi konflik berkepanjangan hendaknya pemerintah melalukan :
1.        pemetaan kembali titik-titik perbatasan Indonesia
Pemetaan kembali titik-titik perbatasan wilayah Indonesia harus dilakukan. Hasil pemetaan baru tersebut harus dibandingkan dengan pemetaan yang pernah dilakukan sebelumnya. Koordinat titik-titik perbatasan sangat penting untuk kita inventarisir dan dimasukkan dalam sebuah undang-undang mengenai perbatasan wilayah Indonesia. Apabila perlu, daripada konstitusi diubah-ubanh hanya untuk keperluan rebutan kekuasaan, masukkan klausul mengenai titik-titik perbatasan tersebut dalam UUD.
2.        Bangun jalan di sepanjang perbatasan darat. Pandangan kita mengenai perbatasan sebagai wilayah terpencil harus kita ubah. Mulai saat ini kita harus memandang perbatasan sebagai wilayah strategis. Strategis untuk mempertahankan wilayah kita. Oleh karena itu, pemerintah pusat dan daerah yang memiliki wilayah perbatasan darat dengan negara tetangga seperti Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur dan Papua harus memprioritaskan pembangunan prasarana jalan di sepanjang perbatasan. Jalan tersebut dihubungkan ke pusat kota atau pusat pemukiman terdekat. Tujuan pembangunan jalan tersebut adalah untuk merangsang pembangunan kota atau pemukiman baru di dekat perbatasan.
3.        Bangun wilayah baru di dekat perbatasan. Setelah di sepanjang perbatasan dibangun jalan yang terhubung ke pusat kota atau pusat pemukiman terdekat, pemerintah daerah diharuskan membangun wilayah baru di dekat perbatasan. Pembangunan untuk perluasan kota yang sudah mapan harus dihambat dan masyarakat dirangsang untuk mengembangkan wilayah baru. Untuk melakukan hal tersebut, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus menyusun konsep pengembangan wilayah perbatasan secara komprehensif agar wilayah baru yang dibentuk dapat hidup baik secara ekonomi maupun sosial.
Selain itu, wilayah baru yang dibangun sebaiknya diarahkan untuk memiliki spesialsisasi. Misalnya, ada blok khusus jeruk Pontianak, blok khusus kebun aren, blok khusus sawah padi, dll. untuk merangsang masuknya investasi bisnis pendukung di sana.
4.        Pembangunan pangkalan militer di dekat perbatasan. Saat ini kita melihat gelaran pasukan TNI kita kurang memadai untuk melakukan upaya menjaga perbatasan negara. Gelaran pasukan justru diletakkan di wilayah-wilayah padat penduduk yang sudah terbangun. Gelaran pasukan seperti ini harus diubah. Batalyon-batalyon yang berada di wilayah "aman" dari gangguan luar sepantasnya direlokasi ke wilayah perbatasan. Apalagi, urusan keamanan dan ketertiban saat ini sudah menjadi tanggung jawab kepolisian.
5.        Galakkan kembali transmigrasi. Program transmigrasi yang dulu gencar dilaksanakan pada era Orde Baru harus digalakkan kembali. Transmigran diarahkan untuk mendiami wilayah-wilayah baru yang dibentuk di dekat perbatasan. Saya yakin, apabila infrastruktur transportasi dan komunikasi disiapkan, banyak penduduk dari wilayah-wilayah padat yang bersedia bertransmigrasi.
6.        Pilih pemimpin yang kuat dan tegas. Pemimpin yang kuat dan tegas sangat penting. Terlepas dari segala kekurangan yang dituduhkan, kita pernah memiliki dua sosok pemimpin yang tegas sehingga dihormati kawan dan disegani lawan. Kedua pemimpin yang kuat dan tegas itu adalah Soekarno dan Soeharto. Pada saat kedua orang itu memimpin, tidak ada yang berani melecehkan negara kita. Akan tetapi, setelah berganti pemimpin, negara kita menjadi bulan-bulanan pelecehan terutama oleh Malaysia dan kadang-kadang Singapura.
DAFTAR PUSTAKA
·  Kahar, Jounil, 2004. Penyelesaian Batas Maritim NKRI . Pikiran Rakyat 3 Januari 2004
Tim Redaksi, 2004. Pulau-pulau terluar Indonesia. Buletin DISHIDROS TNI AL edisi 1/ III tahun 2004
.

Kebijakan Presiden Setelah Kemerdekaan Indonesia


EGGI MAKHASUCI / SI5

Politik luar negeri suatu negara lahir ketika negara itu sudah dinyatakan sebagai suatu negara yang berdaulat.  Sejak deklarasi kemerdekaan yang digaungkan pada 1945, Indonesia sebagai suatu negara yang merdeka dan berdaulat serta anggota aktif masyarakat internasional telah ikut berkiprah dalam percaturan politik internasional.Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan tanda bahwa Indonesia mampu menjadi sebuah negara yang merdeka dan lepas dari penjajahan.Sejak merdeka hingga kini, tentu Indonesia mengalami pasang surut dalam pelaksanaan politik luar negerinya. Pasang surut yang terjadi tentu juga dipengaruhi oleh keadaan politik internasional saat itu. Penentuan formulasi kebijakan yang tepat tentu membutuhkan waktu yang tidak sebentar agar tepat mengenai sasaran yang diinginkan, yaitu tercapainya kepentingan nasional.Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat juga menjalankan politik luar negeri yang senantiasa berkembang disesuaikan dengan kebutuhan dalam negeri dan perubahan situasi internasional. Pergantian kepemimpinan mulai dari Presiden Soekarno hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandakan telah berlangsungnya proses demokrasi di Indonesia, meski dengan berbagai persoalan yang mengiringinya.
Politik Luar Negeri Indonesia Masa Pemerintahan Presiden Soekarno
Pada masa awal kemerdekaan, Indonesia dipimpin oleh Presiden Soekarno yang didampingi oleh Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden Indonesia. Pada masa awal-awal kemerdekaan, arah kebijakan politik luar negeri dan diplomasi Indonesia lebih ditujukan untuk memperoleh pengakuan internasional atas proses dekolonisasi dan menentang segala macam bentuk penjajahan di atas dunia. Agenda politik luar negeri Indonesia pada saat itu lebih banyak ditentukan oleh kepentingan politik domestik, daripada semata-mata mengikuti tekanan lingkungan internasional. Hal ini dikarenakan Indonesia adalah sebuah negara yang baru merdeka yang belum secara penuh mendapatkan pengakuan kedaulatan dari negara-negara di dunia. Sedangkan syarat suatu negara diakui sebagai suatu negara yang berdaulat penuh adalah mendapatkan pengakuan dari negara-negara di dunia bahwa negara tersebut adalah sebuah negara baru yang telah merdeka dan berdaulat.
Orientasi kebijakan Indonesia pada saat itu adalah mempertahankan kedaulatan dan membentuk otoritas negara itu sendiri, sambil menata kehidupan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Soekarno sebagai aktor sentral (dalam hal ini berperan sebagai seorang presiden) berusaha memainkan peranannya sebagai seorang nasionalis sejati yang mempertahankan keutuhan bangsa dan negaranya.
Sejak Bung Hatta menyampaikan pidatonya berjudul "Mendajung Antara Dua Karang" (1948), Indonesia menganut politik luar negeri bebas-aktif yang dipahami sebagai sikap dasar Indonesia yang menolak masuk dalam salah satu blok negara-negara superpower, menentang pembangunan pangkalan militer asing di dalam negeri, serta menolak terlibat dalam pakta pertahanan negara-negara besar. Namun, Indonesia tetap berusaha aktif terlibat dalam setiap upaya meredakan ketegangan di dunia internasional (Pembukaan UUD 1945).
Politik luar negeri RI yang bebas dan aktif itu dapat diartikan sebagai kebijaksanaan dan tindakan-tindakan yang diambil atau sengaja tidak diambil oleh Pemerintah dalam hubungannya dengan negara-negara asing atau organisasi-organisasi internasional dan regional yang diarahakan untuk tercapainya tujuan nasional bangsa. (Jusuf, 1989, hal. 31) Politik luar negeri bebas aktif inilah yang kemudian menjadi prinsip dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia pada masa pemerintahan selanjutnya. Tentunya pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif ini juga disesuaikan dengan konstelasi politik internasional pada saat itu.
Pada masa Soekarno (1945-1965), politik luar negeri Indonesia bersifat high profile, flamboyan dan heroik, yang diwarnai sikap anti-imperialisme dan kolonialisme serta bersifat konfrontatif. Dengan nilai ingin menyejahterakan bangsa, Soekarno lebih memilih gaya politik revolusioner (domestik maupun luar negeri).Presiden Soekarno pada masa itu diasosiasikan dengan kelompok negara-negara komunis. Kedekatannya dengan para pemimpin negara komunis menyebabkan kebijakan yang diterapkan pada masa pemerintahannya terkesan mendekati garis kiri dan Indonesia dikenal sebagai negara yang bersahabat dengan negara-negara komunis. Soekarno punya agenda politik luas yang mencakup gagasan-gagasan kiri. Kebijakan politik luar negeri Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno telah membawa Indonesia pada aliran arah kiri dengan Poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Pyongyang-Peking yang beliau buat. Poros ini kemudian menempatkan Indonesia pada posisi yang aneh di kalangan negara-negara Barat. Puncaknya adalah keluarnya Indonesia dari keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). (Anwar, 2005, hal. 76-77) Namun, Soekarno sendiri menyatakan bahwa dirinya bukan seorang komunis.
Kedekatan Indonesia dengan negara-negara komunis pada saat itu ternyata mempengaruhi agresivitas politik luar negeri Indonesia. Hal ini tidak lepas dari faktor-faktor determinan yang mempengaruhi pola pembentukan kebijakan pelaksanaan politik luar negeri. Faktor pertama, kondisi politik dalam negeri pasca proklamasi masih kurang stabil dan diwarnai pertentangan basis pencarian dan pemilihan ideologi negara. Faktor kedua, kondisi ekonomi Indonesia yang sangat kacau dan terpuruk, di antaranya ditandai dengan inflasi yang sangat tinggi bahkan hingga mencapai 600%. Faktor ketiga, pengambilan keputusan pada saat itu bersifat sangat sentral dan sangat terpaku pada sosok kharismatik Soekarno. Soekarno menjadi tokoh andalan Indonesia dalam forum internasional, bahkan karena hal tersebut, Soekarno juga dinobatkan sebagai "Presiden Seumur Hidup" oleh rakyat Indonesia. Sentralisasi peran Soekarno ini juga yang akhirnya mendorong beliau melakukan pendekata-pendekatan "terpimpin" hingga akhirnya terbentuk Demokrasi Terpimpin Pancasila yang menggantikan Demokrasi Parlementer RIS. Faktor keempat, lingkungan internasional pada saat itu berada pada masa Perang Dingin, di mana dunia terbagi menjadi dua kekuatan besar, yaitu blok barat dan blok timur. Kepentingan Indonesia sendiri adalah dalam rangka menjaga dan memelihara integritas politik bangsa Indonesia yang baru merdeka sebagai fondasi bagi nation-building dan state-building. Di sinilah Indonesia menentukan posisinya dalam kerangka Politik Luar Negeri Bebas-Aktif.
Pada masa pemerintahan Soekarno, Indonesia telah memprakarsai dan mengambil sejumlah kebijakan luar negeri yang sangat penting dan monumental, seperti Konferensi Meja Bundar, Konferensi Asia Afrika, Konferensi Irian barat dan Malaysia, dan politik poros-porosan Jakarta-Peking-Hanoi-Phnom Penh-Pyong Yang.Kepentingan nasional yang paling utama ketika itu tidak lain adalah untuk memperoleh pengakuan internasional atas kedaulatan negara Indonesia yang sudah diproklamasikan pada Agustus 1945. Konferensi dan kebijakan tersebut merupakan wujud usaha yang dilakukan oleh pemerintahan Soekarno untuk mendapatkan pengakuan dari negara lain. Namun, ada yang menilai bahwa konferensi dan kebijakan tersebut tidak murni untuk mencari dan mendapatkan pengakuan dari negara lain, tetapi juga memperlihatkan bahwa politik luar negeri Indonesia masih rapuh. Pemimpin-pemimpin Indonesia belum memberikan perhatian besar pada politik luar negeri. Pada waktu kemerdekaan bangsa diproklamirkan, politik luar negeri merupakan suatu wilayah diskursus yang banyak dikenal, yang oleh Rosihan Anwar diistilahkan dengan sebutan "terra incognita". (Wuryandari, 2008, hal. 58)
Konsep politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif merupakan gambaran dan usaha Indonesia untuk membantu terwujudnya perdamaian dunia. Salah satu implementasinya adalah keikutsertaan Indonesia dalam membentuk solidaritas bangsa-bangsa yang baru merdeka dalam forum Gerakan Non-Blok (Non-Aligned Movement / NAM). Forum ini merupakan refleksi atas terbaginya dunia menjadi dua kekuatan besar, yakni blok barat (Amerika) dan blok timur (Uni Soviet).  Konsep politik luar negeri yang bebas aktif ini berusaha membantu bangsa-bangsa di dunia yang belum terlepas dari belenggu penjajah. Selain itu pada masa ini, konsep politik luar negeri Indonesia cenderung berlawanan dengan konsep hegemoni negara-negara barat dalam bentuk kebijakan-kebijakan luar negeri negara-negara tersebut, khususnya negara-negara besar.
Prioritas utama politik luar negeri dan diplomasi Indonesia pascakemerdekaan hingga tahun 1950an lebih ditujukan untuk menentang segala macam bentuk penjajahan di atas dunia, termasuk juga untuk memperoleh pengakuan internasional atas proses dekolonisasi yang belum selesai di Indonesia, dan menciptakan perdamaian dan ketertiban dunia melalui politik bebas aktifnya.Usaha dekolonisasi yang dilakukan oleh pihak Belanda dan sekutu membuat Indonesia memberikan perhatian ekstra pada bagaimana mempertahankan kemerdekaan yang telah digapai dan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Indonesia dituntut untuk cerdas dalam menentukan strategi agar kemerdekaan yang telah diraih tidak sia-sia.
Berkaitan dengan penggunaan instrumen politik luar negeri, instrumen politik luar negeri yang dominan digunakan pada masa pemerintahan Soekarno adalah diplomasi. Diplomasi ditempuh untuk memuluskan jalan Indonesia dalam mendapatkan pengakuan dari negara-negara di dunia akan kemerdekaannya. Selain itu, diplomasi juga dominan dipilih karena sesuai dengan konteks pelaksanaan politik luar negeri Indonesia yang berprinsip bebas aktif. Pemerintah Indonesia menyadari bahwa cita-cita bangsa tidak mungkin dicapai tanpa diplomasi untuk memperoleh dukungan internasional.
Strategi ganda Indonesia dalam menjalankan kebijakan luar negerinya pada masa revolusi di atas pada tingkatan tertentu menunjukkan ambivalensi. Pada satu sisi, pendekatan pertama melalui perjuangan fisik di atas jelas menunjukkan optimisme dan kepercayaan yang tinggi dari Indonesia bahwa Indonesia dengan kemampuannya sendiri bisa melawan kekuatan asing, khususnya dengan Belanda yang secara militer lebih kuat. Pada sisi lain, pendekatan yang juga menekankan pada diplomasi menggunakan bantuan pihak ketiga juga menunjukkan sisi lemah dalam kebijakan luar negeri Indonesia. (Wuryandari, 2008, hal. 75).
DAFTAR PUSTAKA
·  Anwar, D. F. (1998). The Habibie Presidency. Dalam G. Forrester, Post Suharto Indonesia : Removal or Chaous? (hal. 4). Bathurst: Crawford House Publishing.
·  Effendi, T. D. (t.thn.). Agenda Kebijakan Luar Negeri Indonesia Pasca Pemilihan Presiden 2009.

KONGRES RAKYAT RIAU (KRR) II


RESTU FAUZI / B / SR

Dampak dari Reformasi terhadap  daerah Riau telah melahirkan berbagai pendapat di masyarakat baik melalui media massa, media cetak, elektronik maupun secara lisan dalam berbagai pertemuan. Para pemuka masyarakat Riau telah bergabung dalam FKPMR yaitu Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau sebagai wadah berhimpunya anggota masyarakat Riau yang merasa senasib dan sepenanggungan serta terpanggil untuk membangun daerah Riau di segala bidang, Forum ini mengarifi gejala-gejala yang berkembang supaya masyarakat Riau tetap satu. Maka karena itu lahirlah gagasan untuk menyelenggarakan suatu Kongres yang kemudian dikenal dengan Kongres Rakyat Riau (KRR) II.
Kongres ini menggariskan berbagai ketentuan diantaranya meliputi :
1. Pengertian KRR II adalah kongres yang akan di hadiri oleh selutuh komponen rakyat Riau
2. Hubungan KRR I dan II, yaitu KRR II merupakan kelanjutan dari KRR I yang diselenggarakan pada 31 Januari – 2 Februari 1956 dengan keputusan antara lain menuntut supaya daerah Riau yang terdiri dari Kabupaten Kampar, Bengkalis, Indragiri, dan Kepulauan Riau segera dijadikan Daerah Otonomi Tingkat I (propinsi) dan merumuskan pengertian tentang Rakyat Riau yaitu seluruh orang (bangsa indonesia) yang berdiam di daerah Riau karena pekerjaan dan penghidupan serta semua orang yang berdiam di Riau termasuk suku bangsa seperti Jawa, Bugis, Banjar, Mandailing yang berhasil mendirikan Propinsi Riau dengan UU Darurat No. 19 Tahun 1957 tanggal 9 Agustus 1957.
3. Tujuan dan Sasaran Kongres.
Tujuan Kongres adalah menjawab segala bentuk perkembangan sosial, politik, ekonomi, dan budaya serta menyalurkan segala aspirasi secara menyeluruh sehingga terwujud kesamaan persepsi, pandangan(visi), tujuan (misi), serta cara dan upaya (strategi) membentuk masa depan Riau yang berdaulat dan bermartabat.
Sasaran Kongres adalah terhimpunnya saran dan pendapat demi masa depan rakyat Riau yang lebih beradab, demokratis, adil dan makmur, tersusunnya visi, misi dan strategi rakyat Riau dalam menghadapi masa depan yang lebih cerah, dan terpecahkannya berbagai persoalan yang di hadapi rakyat Riau yang penuh tantangan, penuh persaingan.
4. Tema Kongres adalah "Melalui Kongres Rakyat Riau di wujudkan kesepakatan sikap, persepsi, Visi, Misi dan strategi perjuangan menuju masa depan Riau yang berdaulat dan bermartabat.
5. Dasar Kongres adalah Keputusan Presidium Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau No. 01/FKPMR/XI/1999/tgl.15 November 1999 dan No. 03/FKPMR/XI/1999 tgl.16 November 1999.
6. Peserta Kongres semua komponen rakyat Riau yang jumlahnya berkisar 2000 orang.
            Kongres ini berjalan cukup alot, buktinya semula waktu di tetapkan hanya dua hari ternyata tertunda menjadi empat hari. Alotnya kongres ini terbukti mulai dari penetapan tata tertib sampai pembahasan materi dan khususnya pengambilan keputusan terutama mengenai keputusan bidang politik telah dilakukan pemungutan suara. Hasilnya adalah suara terbanyak pertama peserta memilih Riau Merdeka, kedua adalah Riau Federasi, dan ketiga adalah Riau dengan Otonomi.
Pengambilan keputusan terjadi tengah malam dan sebagian besar peserta yang sudah berusia lanjut dan tokoh-tokoh masyarakat tua telah meninggalkan sidang. Itu berarti yang melakuakan pemungutan suara mayoritas kaum usia muda. Pemungutan suara pimpinan sidang kongres di percayakan kepada Prof. Drs. Suwardi MS. Dan pada akhir penutupan sidang paripurna tentang  pemungutan  suara di pimpin oleh Prof. Dr. T. Dahril, MSc.
Hasil penghitungan suara adalah sebagai berikut :
1. Opsi Merdeka                     270 suara
2. Opsi Federal                        146 suara
3. Opsi Otonomi Luas             199 suara
4. Abstain                                    8 suara
            Jumlah                       623 suara
Dari hasil penghitungan suara tersebut Kongres Rakyat Riau (KRR) II menyatakan banhwa Opsi Merdeka sebagai keputusan akhir KRR II yang di laksanakan dari tanggal 29 Januari – 1 Februari 2000.
Bumi Lancang Kuning yang memiliki kekayaan alam yang berlimpah ruah terhampar dari darat sampai lautan dan terkandung di dalamnya minyak bumi, gas, hutan, perikanan, pasir dan masih banyak kekayaan alam lain yang tak ternilai harga nya. Dari kekayaan-kekayaan yang dimilki tersebut saat ini masyarakat Riau masih sedikit mendapatkan manfaat dari hasil alam dan kesejahteraan rakyat riau masih kurang terjamin.
Hal ini di sebabkan oleh sistem perundang-undangan tidak berpihak kepada pemberdayaan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Riau.
Melalui KRR II ini hendaknya mampu membangkitkan pemberdayaan ekonomi kerakyatan dan menghilangkan sistem yang sentralsitik, otoritas feodalisme dan liberaslisme menuju paradigma ekonomi baru dalam koridor Riau baru yang merdeka.
REKOMENDASI BIDANG SOSIAL DAN BUDAYA
1. Mengembalikan fungsi lembaga adat dan hukum adat Melayu Riau dalam Sistem kemasyarakatan di Riau.
2.  Membangun dan mendesain suatu sistem pendidikan mutakhir (aspek modernisasi sains dan teknologi) yang mengakodomir sekaligus proses stimulanasi budaya/adat istiadat Melayu Riau (bahasa, adat istiadat dan agama) sebagai metode rehabilitasi dan pelestarian budaya Melayu Riau.
3.  Membuat peraturan daerah yang melindungi eksistensi budaya Melayu dari distorasi budaya akibat akulturasi budaya.
4. Memperhatikan dan melakukan pengajian dalam memberdayakan budaya dan masyarakat asli Riau (Suku Sakai, Talang Mamak).
5. Membangun dan memberdayakan pusat kebudayaan Melayu Riau di sentra-sentra pertumbuhan ekonomi.
6. Mengangkat dan mengembangkan nilai-nilai budaya Melayu sebagai dasar dalam membuat Perda.
7. Membuat Perda tentang sarana hiburan yang berbasis pada budaya Melayu Riau dan Mengharamkan judi, prostitusi, minuman keras dan narkoba serta mendesak pemerintah untuk menindaklanjuti pelaku dan pembekingnya.
8. Mengembalikan hak-hak atas tanah/hutan ulayat pada masyarakat adat yang selama ini di rampas hak kepemilikannya. Tanpa menutup kemungkinan menjadikan tanah/hutan ulayat menjadi penyertaan modal (saham) untuk kesejahteraan seluruh masyarakat adat yang diatur dengan Perda.
9. Merumuskan suatu kebijaksanaan dalam bentuk Perda yang memproteksi tenaga kerja asal daerah Riau. Sehingga komposisi tenaga kerja di setiap perusahaan berbanding 60% berasal dari luar daerah Riau. Serta mensinergikan keterampilan dan profesionalisme dengan pelatihan tenaga kerja.
10. Meningkatkan kuantitas dan kualitas SDM Riau dengan pengadaan dan modernisasi sarana pendidikan formal dan informal sesuai dengan keperluan serta memberikan peluang sebesar-besarnya pada masyarakat, pembanggunan dan modernisasi pelayanan kesehatan masyarakat di daerah Riau.
11. Gedung wanita diberi nama dengan nama Wanita Melayu Yang Bejasa.
12. Memberi peluang kepada kaum perempuan melayu untuk ikut serta di berbagai sektor kegiatan pembanggunan di daerah Riau sesuai dengan potensi yang mereka miliki.
13. Bahasa Melayu harus di sosialisasikan secara gencar di Riau.
14. Pemerintah membuat Perda tentang Busana Melayu harus di pakai di sekolah-sekolah dan kantor-kantor (pemerintah dan swasta) setiap hari jumat.
15. Sebutan kata Nyonya harus di ganti dengan Puan yang di singkat dengan (PN) dan Bapak di ganti dengan Encik dengan singkatan (EQ).
16. Pemberian nama jalan, gedung, dan kelurahan ditinjau kembali dan diganti dengan kaidah-kaidah Melayu yang ditetapkan dengan Perda.
17. Mendesak Pemda meningkatkan dana APBD untuk pendidikan dan Kebudayaan Melayu.
18. Mendesak Pemda Melaksanakan dan Mensosialisasikan Kepmen tentang perubahan nama bandara simpang tiga menjadi Bandara Sultan Syarif Kasim II.
DAFTAR PUSTAKA
MS, Suwardi. 2004. Sejarah Perjuangan Rakyat Riau 1959-2002. Pekanbaru, Riau, Indonesia. Percetakan Unri Prees.
Zaili, Asril.dkk.2004. Tragedi Riau Menegakkan Demokrasi. Yogyakarta:
Percetakan PT Mitra Gama Widya.