PERKEMBANGAN MASYARAKAT DI HINDIA BELANDA


Wulan Asih Novianti/B/SI3
1.      Pertumbuhan Penduduk
Pada masa pemerintahan Raffles, jumlah penduduk Jawa dilaporkan berjumlah sekitar empat setengah juta jiwa dan merupakan daerah terpadat di Hindia Timur pada masa itu. Kepadatan penduduk di Pulau Jawa itu sendiri tidak terlalu mengherankan karena daerah ini sejak lama sudah menjadi pusat kegiatan politis dan perdagangan.
Menurut sensus penduduk tahun 1930, jumlah penduduk Jawa berkisar 40 juta jiwa. Hal ini berarti dalam waktu sekitar 130 tahun, penduduk Jawa meningkat sepuluh kali lipat. Adanya pertumbuhan yang demikian pesat ini sedikit banyak menimbulkan banyak pertanyaan: apakah hal itu terjadi karena adanya perbaikan kualitas kehidupan, termasuk di dalamnya jaminan kesehatan dan keamanan?
Menurut Widjojo Nitisastro, masalah utama dalam kependudukan bukanlah perkiraan yang hebat itu melainkan bagaimana cara perkiraan itu bisa didapatkan. Hal ini dikarenakan seringkali pencacahan dilakukan oleh pamong desa yang tidak mengerti tentang pencacahan itu, di mana mereka tidak mencatat kelahiran dan kematian bayi. Alasannya, mereka berpikir 'bayi-bayi' itu belum sempat menjadi orang. Oleh karena itu perkiraan jumlah penduduk Jawa pada abad ke-18, 19 dan awal abad ke- 20 kemungkinan besar jauh lebih rendah dari pada keadaan sesungguhnya. Dengan demikian, tahap kecepatan pertumbuhan penduduk barangkali juga tidak sehebat yang dibayangkan.
            Sejak tahun 1905 sampai 1920, ketika sensus yang lebih baik diadakan, perkiraan pertambahan penduduk Pulau Jawa adalah kira-kira 10 per 1000 jiwa. Kecepatan pertambahan penduduk agak tersendat karena masih tingginya angka kematian, yaitu kira-kira 32,5 sampai 35 per seribu jiwa. Angka kematian teertinggi terjadi di tahun 1918, yaitu saat terjadi wabah penyakit yang membunuh puluhan ribu jiwa. Malahan di beberapa daerah terjadi pengurangan jumlah penduduk.
            Pertambahan penduduk yang pesat terjadi sesudah tahun 1920. Hal itu antara lain dikarenakan tidak terjadi lagi wabah-wabah seperti sebelumnya. Dilaporkan bahwa pada saat itu sebagian besar daerah Hindia Belanda telah terbebas dari epidemi cacar dan sesudah tahun 1928 terbebas pula dari wabah kolera. Menurut catatan, antara tahun 1920 sampai 1930 pertumbuhan penduduk Pulau Jawa kira-kira 17,6 per seribu jiwa. Meskipun demikian, diakui bahwa angka itu adalah angka rata-rata karena dalam kenyataannya pertumbuhan di setiap  daerah tidaklah sama.
            Daerah-daerah di luar jawa yang mengalami pertumbuhan pesat dalam kurun waktu 1905-1920 adalah di Sulawesi dan Nusa Tenggara (termasuk Bali). Di kedua daerah ini, perkiraan pertumbuhan penduduk tiap tahunnya masing-masing sekitar 86,8 dan 78,7 per seribu jiwa. Akan tetapi dalam kurun waktu 1920-1930 di Nusa Tenggara terjadi gejala agak aneh, karena laju pertumbuhan penduduknya mengalami hambatan, hanya 24,4 per seribu jiwa. Sebaliknya, daerah Maluku tampil sebagai daerah yang memiliki angka pertuumbuhan penduduk tercepat, yaitu sekitar 28 per seribu jiwa. Ketika sensus tahun 1930 dilakukan, penduduk Hindia Belanda (Indonesia) berjumlah 60,7 juta jiwa, dimana 41,7% di antaranya berdiam di Pulau Jawa.
            Sejak tahun 1930, pemerintah Hindia Belanda merencanakan untuk mengadakan sensus per sepuluh tahun. Namun akibat pecahnya Perang Dunia II, perhatian pemerrintah lebih tertuju pada masalah pertahanan sehingga sensus tahun 1940 tidak terlaksana. Meskipun demikian, menurut perkiraan yang didasarkan pada hasil proyeksi, jumlah penduduk Hindia Belanda pada tahun 1940 diperkirakan sebesar 70,4 juta jiwa. Di Pulau Jawa diperkirakan berjumlah 48,4 juta jiwa, sedangkan penduduk di luar Jawa berjumlah sekitar 22 juta jiwa.
2.      Gerakan Sosial
Sejak zaman Ekonomi Liberal, penetrasi sekaligus dominasi ekonomi Barat masuk hingga ke tingkat desa. Akibatnya, hal tersebut tidak saja membawa perubahan dalam masalah ekonomi, tetapi juga dalam bidang sosial budaya. Penetrasi tersebut banyak menimbulkan kekacauan pada pranata dan struktur sosial setempat, baik dari segi nilai, norma ataupun fungsinya. Bahkan, banyak lembaga-lembaga atau pranata sosial yang sebelumnya sering dijadikan tempat untuk menyalurkan perasaan ketidakpuasan, tidak berfungsi lagi.
Daerah yang paling banyak terjadi huru-hara atau pemberontakan adalah daerah tanah partikelir, yang banyak terdapat di wilayah bagian barat Jawa. Hal ini dikarenakan para pemiliknya yang disebut sebagai tuan tanah, tidak hanya diberi kekuasaan untuk memiliki bidang tanahnya saja melainkan juga penduduk yang ada di atasnya. Di samping itu para tuan tanah diberikan hak istimewa yang dilindungi undang-undang. Dengan hak istimewanya itu para tuan tanah mempunyai keleluasaan dalam mengeksploitasi tanah miliknya. Banyak di antara mereka yang kemudian melakukan eksploitasi secara berlebihan sehingga menimbulkan kesengsaraan bagi penduduk setempat. Adapun pemberontakan petani yang terjadi di daerah ini antara lain : di Cirebon (1811), Ciomas, Bogor (1866), Bekasi (1913) dan Tanjung Oost, Condet (di kalangan masyarakat Betawi dikenal dengan sebutan pemberontakan Entong Gendut tahun 1916).
Setelah munculnya organisasi-organisasi sosial dan politik yang didirikan orang-orang bumiputera, pengaruhnya terlihat pula dalam beberapa gerakan sosial. Sebagai contoh pada tahun 1918 terjadi suatu gerakan pembangkangan oleh keluarga Haji Hasan dari Cimareme, Garut (Keresidenan Priangan) terhadap tuntutan pemerintah kolonial. Haji Hasan menolak menjual padinya kepada pihak pemerintah dengan jumlah dan harga yang telah ditentukan pihak pemerintah. Akhirnya, polisi menyerbu rumahnya sehingga Haji Hasan beserta sebagian besar keluarganya tewas di tempat. Menurut pihak pemerintah, Haji Hasan adalah anggota Sarekat Islam (SI) afdeling-B. Pada tahun yang sama, di Toil-toli juga terjadi pembangkangan petani terhadap tuntutan pihak pemerintah kolonial, yang juga oleh pihak pemerintah dikatakan dihasut oleh SI afdeling-B.
Di samping itu, penetrasi ekonomi kapitalisme juga telah mendorong munculnya beberapa gerakan sektarian. Adapun yang dimaksud dengan gerakan sektarian di sini adalah beberapa gerakan keagamaan yang muncul sebagai reaksi terhadap kepercayaan atau agama besar yang ada, yang dinilai sudah tidak mampu menjawab tantangan zaman atau menjadi penyebab terpuruknya kesejahteraan mereka. Contoh dari gerakan ini adalah Syahadat Kalimusada, Mad Rais, dan Kaum Wira-i.
3.      Kontrol Pemerintah Terhadap Kehidupan Beragama
Menurut artikel 119 Regeeringsreglement Tahun 1854 (dan artikel 173 Staatsregeling) pemerintah mengakui kemerdekaan beragama dan bersikap netral terhadapnya, kecuali bila praktek keagamaan itu berlawanan dengan hokum yang berlaku atau merusak ketenangan dan ketentraman. Untuk mempertahankan ketenangan dan ketentraman ini, maka para pendeta dan misionaris harus memperoleh izin khusus dari gubernur jenderal untuk memasuki suatu wilayah tertentu di Hindia Belanda (Indonesia) dan melarang aktivitas penyebaran agama Kristen di daerah yang dihuni oleh penduduk muslim.
      Keluarnya undang-undang tersebut di atas pada dasarnya bukan karena pemerintah kolonial bertindak liberal dan ingin bertindak adil dalam masalah agama, akan tetapi untuk menghindari pertikaian antarkelompok dalam agama Kristen sendiri (baik Protestan maupun Katolik). Persaingan dan pertikaian antara kelompok Kristen itu sendiri membuat kesukaran bagi pemerintah untuk memberikan sokongan bagi kelompok tertentu. Meskipun demikian, pada tahun 1854 muncul keputusan raja Willem 1 yang mengemukakan bahwa administrasi gereja mempunyai tugas untuk menegakkan ajaran Injil. Oleh karena itu, gereja dan kelompok misisonaris  menikmati sejumlahh kemudahan melalui peraturan-peraturan pemerintah, termasuk kebebasan dari berbagai macam pajak dan bea, subsidi untuk pembangunan gereja, biaya bagi misionaris untuk pergi ked an kembali pulang dari Hindia Belanda, serta subsidi untuk sekolah, rumah sakit, dan rumah yatim piatu.
Sementara itu, bagi agama lain, khususnya agama Islam yang menjadi agama mayoritas kaum pribumi waktu itu,  pemerintah justeru mengeluarkan berbagai peraturan yang bersifat membatasi ruang gerak mereka. Hal itu sendiri didasarkan pada nasehat Snouck Hurgronje yang menyatakan agar pemerintah kebebasan keapada kuam muslimin selama kegiatannya berhubungan agama (kultural) namun membatasi kegiatan Islam yang mengarah ke politik. Misalnya, pada tahun 1905 keluar Goeroe Ordonnantie (Staatsblad 1905, No.550) yang isinya mewajibkan setiap penyelenggaraan pendidikan Islam harus mendapat izin tertulis dari bupati atau pejabat yang setara kedudukannya. Di samping itu, setiap guru diwajibkan untuk membuat daftar nama murid-muridnya lengkap dengan segala keterangannya, yang harus dikirimkan secara periodic kepada pejabat yang bersangkutan.
Peraturan tahun 1905 itu dinilai oleh kaum muslim sebagai sikap diskriminatif dari pemerintah kolonial. Setelah terjadi protes dalam kongres Al-Islam tahun 1922, peraturan itu dicabut oleh pemerintah kolonial dan diganti dengan peraturan tahun 1925 (Staatsblad 1925 No.219) yang juga disebut "ordonansi guru". Pada dasarnya peraturan baru itu tidak jauh berbeda dengan peraturan sebelumnya. Perbedaannya hanyalah terletak dalam masalah izin, di mana izin dari bupati tidak diperlukan lagi. Oleh karena itu dalam Kongres Al-Islam tahun 1926 diambil keputusan untuk menolak bentuk pengawasan pemerintah kolonial seperti itu sekaligus menuntut agar pemerintah segera mencabutnya. Akan tetapi pihak pemerintah tidak menggubrisnya. Sebaliknya, sejak bulan Januari 1927 peraturan itu diperluas ke luar Jawa, dan diberlakukan di Aceh, Sumatera Timur, Palembang, Tapanuli, Manado, Lombok, dan Bengkulu.
Di beberapa daerah seperti di Sumatera Barat, reaksi juga bermunculan sehingga pada bulan Agustus 1928 di Bukittinggi diadakan pertemuan untuk membicarakan peraturan tersebut yang dinilai jelas-jelas mengancam kemerdekaan agama yang telah tertanam dalam hati sanubari mereka. Lebih dari 800 orang ulama, baik dari kalangan tradisional maupun reformis atau modernis, hadir dalam pertemuan itu, yang sekaligus menunjukkan betapa risaunya mereka terhadap peraturan tersebut. Hadir pula dalam pertemuan itu L. De Vries dari kantor Inlansche Zaken (masalah-masalah bumiputera).
Akhirnya pemerintah kolonial mencabut ordonansi guru. Namun para ulama dan pengelola pendidikan Islam kembali harus berhadapan dengan peraturan lain, yaitu De Wilde Schoolen Ordonnantie, yang meskipun sebenarnya ditujukan untuk membatasi penyebaran paham kebangsaan Indonesia namun ternyata efektif pula bagi pembatasan ruang gerak penyebaran Islam.
Pengurus besar Muhammadiyah mulanya memperlihatkan sikap ragu terhadap ordonansi guru itu. Hal ini mungkin disebabkan sebagian sekolahnya menerima subsidi dari pemerintah kolonial. Namun akhirnya dalam suatu konferensi darurat antara para konsulnya di Yogyakarta, secara tegas diambil satu keputusan untuk menolak ordonansi tersebut. Demikian pula organisasi-organisasi Islam lainnya seperti Permi menyelenggarakan rapat-rapat umum untuk menjelaskan kepada masyarakat ramai, betapa buruk akibat yang ditimbulkan oleh Wilde Schoolen Ordonnantie. Bahkan Permi beserta Taman Siswa kemudian bergabung dalam perlawanan pasif menolak ordonansi tersebut.
Perlawanan terhadap ordonansi itu dari tahun ke tahun ternyata semakin meluas. Marah Sutan, seorang pendidik dari Minangkabau yang tidak pernah ikut kegiatan politik menagatakan dalam rapat Komite Penyokong Perguruan Indonesia di Yogyakarta , bahwa seluruh daerah Minangkabau sepakat dengan aksi perlawanan pasif yang dilancarkan Taman Siswa. Kemudian pada bulan Desember 1932 dibentuk panitia khusus di bawah pimpinan Haji Rasul yang mengeluarkan manifesto untuk menggagalkan Wilde Schoolen Ordonnantie. Namun manifestonya disita pihak pemerintah.
Rupanya pemerintah tidak menduga akan muncul perlawanan dari rakyat Indonesia yang demikian tegas dan pasti sehingga pada Februari 1933 pemerintah kolonial memutuskan untuk mencabut Wilde Schoolen Ordonnantie beserta penggantinya. Walaupun demikian, pengawasan terhadap pengajaran, khususnya pengajaran agama Islam, masih terus berlangsung dalam bentuk-bentuk tertentu yang sifatnya represif.
Daftar Pustaka :
Iskandar, Mohammad dkk. 2007.  Sejarah : Indonesia dalam Perkembangan Zaman untuk SMA Program IPS.  Jakarta : Ganeca Exact.

POLITIK PASIFIKASI : MENEGAKKAN PAX NEDERLANDICA



Wulan Asih Novianti/B/SI3
Sepanjang abad ke-19, kekuatan luat dan perdagangan Inggris di Nusantara melebihi kemampuan yang dimiliki Belanda. Hal itu sendiri didasarkan oleh kepentingan Inggris di Selat Malaka, yang merupakan penghubung jalur perdagangan antara Cina dan India. Untuk itu Inggris menguasai daerah-daerah yang berada di kawasan Selat Malaka guna menjaga keamanan jalur perdagangannya.
Sesuai dengan isi Perjanjian London, Inggris memperoleh sejumlah wilayah di sekitar Selat Malaka yang sebelumnya dikuasai Belanda sebagai imbalan pengembalian wilayah Hindia Timur. Di antara wilayah tersebut terdapat Penang, Singapura, Dindings (muara Sungai Perak), Malaka, dan Province of Wellesley. Daerah-daerah tadi kemudian disebut Straits Settlement dan menjadi wilayah jajahan Inggris.
Perjanjian London juga memuat sejumlah aturan untuk menghindari terjadinya konflik bersenjata antara Inggris dan Belanda dengan mengatur ruang lingkup kekuasaan mereka. Di antara aturan-aturan tersebut, terdapat dua aspek penting, yaitu sebagai berikut:
1.      Perdagangan Inggris dengan Sumatera tidak boleh dibatasi walaupun dominasi politik Belanda di daerah itu cukup kuat.
2.      Kemerdekaan Aceh dijamin.
Pengalaman dipaksa oleh Inggris inilah yang menjadi salah satu faktor pendorong
Belanda untuk mengukuhkan kembali kekuasaannya, terutama di daerah luar Jawa. Faktor lainnya yang tidak kalah penting adalah sebagai berikut:
1.      Terjadinya beberapa kasus perampokan, perampasan, dan gangguan-gangguan keamanan lainnya, yang dampaknya bisa mengundang kekuatan Eropa lain masuk ke Hindia Belanda. Sebagai contoh, kasus Hak Tawan Karang dari para raja Bali. Secara tradisional, para raja Bali berhak menahan dan menyita kapal-kapal yang terdampar di Pulau Bali.
2.      Ditemukannya barang tambang di daerah-daerah tertentu, yang membuat wilayah tersebut bernilai ekonomi bagi rezim kolonial. Contohnya adalah penemuan tambang batubara di Kalimantan Selatan dan Timur.
3.      Adanya intervensi personal dari seorang Inggris bernama James Brooke (1808-1868) di Serawak. Pada tahun 1839, Brooke berlayar dari Singapura untuk berpetualang di Serawak di wilayah tersebut, dia ikut campur dalam pertikaian istana dengan membantu salah satu Pangeran Brunei yang bertikai. Ketika Pangeran yang didukungnya menang, pada tahun 1841 Brooke diangkat sebagai gubernur Daerah Kucing. Akan tetapi, Brooke kemudian mengangkat dirinya menjadi raja, dan beserta kedua orang penggantinya, mereka kemudian dikenal sebagai tiga 'raja putih'. Para raja dinasti Brooke itu kemudian melakukan ekspansi dan menguasai wilayah yang lebih luas, sehingga membuat Belanda menjadi cemas. Demikian juga Spanyol di Manila, dibuat khawatir oleh tindakan Brooke karena Wilayah Mangindanau dan Sulu belum sepenuhnya mereka kuasai.
1.      Ekspedisi Militer ke Bali dan Nusa Tenggara
Pada awalnya, pada tahun 1841, pihak Belanda berhasil meyakinkan para raja Bali untuk hidup di dalam lingkungan Hindia Belanda (Pax nederlandica) dengan jaminan bahwa kedaulatan dalam negeri mereka tidak akan dibatasi. Para raja Bali sendiri menerima tawaran itu dengan harapan pihak Belanda mau membantu mereka menaklukkan Mataram dan Lombok.
Akan tetapi beberapa raja, seperti penguasa Buleleng dan Karangasem, kemudian menolak meratifikasi perjanjian tersebut. Perlawanan kedua raja itu ternyata mendapat dukungan dari raja Klungkung, yaitu Dewa Agung. Pembangkangan ini menyebabkan Belanda mengirimkan tiga ekspedisi militer ke Bali, yaitu pada tahun 1846, 1848, dan 1849.
             Meskipun Belanda berhasil mengalahkan raja-raja Bali, akan tetapi hingga tahun 1853 mereka tidak pernah ikut campur dalam urusan intern kerajaan-kerajaan di pulau tersebut. Campur tangan Belanda dalam urusan istana baru terjadi setelah pecahnya pemberontakan di Bulelang pada tahun 1853. Sejak itu Belanda menempatkan para pegawainya di Bali Utara dan Barat (Bulelang dan Jembrana).
             Keadaaan status quo itu berakhir setelah terjadinya perampasan terhadap sebuah kapal yang terdampar pada tahun 1904. Peristiwa tersebut dijadikan alasan oleh Belanda untuk mengirimkan pasukan militernya. Satu persatu kerajaan Bali dipaksa untuk menyerah. Perlawanan terakhir terjadi pada tahun 1908, Ketika penguasa Kerajaan Klungkung, Dewa Agung, beserta pengikutnya melakukan perang habis-habisan (puputan). Tewasnya Dewa Agung dan para pengikutnya menandai berakhirnya kemerdekaan Bali.
             Setelah Bali ditaklukkan, Belanda mengarahkan perhatiannya ke sebelah timur. Mereka kemudian bergerak menguasai Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores, Savu, Roti, dan Timor. Perlawanan yang cukup berarti terjadi di Lombok, di mana pada tahun 1894 ekspedisi Belanda sempat dikalahkan oleh sebuah Kerajaan Hindu yang berpusat di Mataram. Akan tetapi, perlawanan mereka akhirnya dapat dipatahkan Belanda.
2.      Ekspedisi Militer ke Sulawesi dan Papua
             Perluasan wilayah Belanda di selatan Sulawesi ditentang oleh mantan sekutu utama VOC, yaitu Bone yang telah tumbuh menjadi kerajaan terkuat di wilayah ini. Sejak Belanda dikalahkan Inggris, banyak tokoh Bone menilai Perjanjian Bongaya (1667) tidak memiliki kekuatan mengikat lagi dan menganggap bahwa hubungan mereka dengan Belanda telah putus.
             Pada tahun 1824, Gubernur Jenderal Van der Capellen mengunjungi daerah ini dan membujuk kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan untuk memperbaharui perjanjian Bongaya, tapi Bone menolaknya. Setelah Van de Capellen pergi, Ratu Bone memimpin negara-negara Bugis menyerang garnisun Belanda dan merebut wilayah-wilayah yang dikuasai Belanda. Untuk menindas pemberontakan ini, Belanda bergabung dengan musuh Bone, Makassar. Pada tahun 1825 pasukan gabungan Belanda dan Makassar berhasil mengalahkan Bone. Akan tetapi, pecahnya Perang Diponegoro membuat pasukan Belanda terpaksa ditarik ke Jawa. Akhirnya, Bone kembali melanjutkan perlawanannya.
             Setelah perang di Jawa berakhir Belanda mengirimkan kembali pasukan ke Sulawesi Selatan dan pada tahun 1838 penguasa Bone dipaksa memperbaharui kembali isi perjanjian Bongaya. Setelah itu, Belanda memperluas kekuasaannya atas rakyat Toraja di Sulawesi Tengah yang masih animis dan dikenal sebagai suku bangsa pengayau.
             Setelah berhasil memantapkan kekuasaannya di Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara, Belanda memalingkan perhatiannya ke Papua (Irian Jaya). Pada tahun 1828, Belanda mendirikan Benteng Du Bus di Lobo, sebagai bukti eksistensi mereka di sana, sekaligus untuk mencegah masuknya kekuasaan Eropa lainnya ke wilayah itu. Namun, setelah mengamati wilayah ini, Belanda menilai daerah ini kurang menarik secara ekonomi. Masyarakatnya masih hidup di zaman batu sementara nyamuk malaria banyak mengambil korban di kalangan anggota garnisun Benteng Du Bus, sehingga pada tahun 1836 benteng tersebut terpaksa ditinggalkan. Meskipun demikian, Belanda tidak meninggalkan pulau ini. Malahan pada tahun 1898 wilayah ini secara permanen dimasukkan ke dalam lingkungan Hindia Belanda. Di kemudian hari, ganasnya wilayah Papua menyebabkan Belanda menjadikannya sebagai tempat pembuangan para tokoh pergerakan kebangsaan Indonesia, seperti yang terlihat di daerah Boven Digul.
3.      Ekspedisi Militer Belanda ke Kalimantan
             Pada dasawarsa 1820-an dan 1830-an, pemerintah kolonial Belanda berhasil mengadakan perjanjian dengan Pontianak, Mempawah, Sambas dan negeri-negeri kecil di pesisir barat lainnya. Di Banjarmasin dan Kalimantan Tenggara, Belanda tidak usah memeras keringat karena Sultan Banjarmasin masih menghormati perjanjiannya dengan VOC.
             Hingga tahun 1840, kepentingan Belanda di daerah Kalimantan dapat dikatakan hanya terbatas pada daerah-daerah pesisir. Perhatian itu kemudian berubah setelah James Brooke memasuki Serawak dan diangkat sebagai raja muda oleh Sultan Serawak. Hal ini menyebabkan pemerintah kolonial Belanda khawatir dengan kemungkinan masuknya kekuatan Eropa lainnya ke Kalimantan. Oleh karena itu, Belanda memandang perlu untuk menghadirkan kekuatannya di pulau tersebut sekaligus memperluas wilayah jajahannya. Perhatian Belanda terhadap Kalimantan menjadi semakin kuat, terutama setelah tahun 1846 ditemukan batu bara, sehingga wilayah ini mempunyai nilai ekonomi yang lebih besar bagi pemerintah kolonial Belanda.
             Kebijakan baru Belanda itu tentu saja ditentang para raja di Kalimantan, termasuk yang terikat perjanjian dengan Belanda sebelumnya. Perlawanan yang cukup besar terjadi antara tahun 1859-1863, yang dikenal sebagai Perang Banjarmasin. Konflik ini berawal dari campur tangan Belanda dalam proses penggantian Sultan Banjarmasin. Setelah Sultan Adam meninggal tahun 1857, pihak istana menghendaki Pangeran Hidayatullah, naik tahta sebagai pengganti Sultan Adam. Akan tetapi Belanda menunjuk Pangeran Tamdijilah, yang tidak disukai karena terkenal sebagai pemabuk, menjadi sultan yang baru. Dukungan Belanda sendiri dikarenakan Tamdijilah telah menjanjikan konsesi yang lebih besar daripada yang dijanjikan oleh Pangeran Hidayatullah kepada Belanda. Tindakan sewenang-wenang Belanda itu akhirnya menimbulkan keresahan dan ketidakpuasan di kalangan para bangsawan pendukung Hidayatullah serta masyarakat Banjarmasin.
             Pada bulan April 1859, seorang bangsawan Banjarmasin bernama Pangeran Antasari, bekerja sama dengan pemimpin petani bernama Panembahan Aling dan anaknya yang bernama Sultan Kuning, melancarkan suatu pemberontakan. Mereka menyerang pertambangan batubara Belanda dan pos-pos misionaris serta membunuh orang-orang Eropa yang mereka jumpai. Pihak Belanda terpaksa mendatangkan bala bantuan dari daerah lain untuk memadamkan pemberontakan itu.
             Pada tahun 1860 Pemerintah Belanda mengumumkan penghapusan Kesultanan Banjarmasin dan menempatkan daerah ini langsung di bawah Hindia Belanda. Namun, perlawanan rakyat itu sendiri baru dapat diatasi pada tahun 1863, setelah para pemimpinnya meninggal (seperti Pangeran Antasari) dan ditangkap (seperti Pangeran Hidayatullah). Akan tetapi perlawanan sporadic masih tetap terjadi hingga tahun 1906.
4.      Ekspedisi Militer ke Palembang dan Jambi
             Selain Minangkabau, di beberapa daerah di Sumatera yang pernah terikat perjanjian dengan VOC, juga terjadi pemberontakan terhadap Belanda. Salah satu di antara pemberontakan tersebut terjadi di Palembang yang dipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin. Ketika Inggris menyerbu Jawa pada tahun 1811, Sultan Badaruddin mempergunakan kesempatan itu untuk menyerang dan membantai garnisun Belanda yang berada di Palembang. Sikap keras Sultan Badaruddin ini juga diperlihatkan kepada Inggris sehingga pada tahun 1812 Inggris menyerang dan merampok istana Palembang dan melantik adik Badaruddin sebagai raja dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin.
             Ketika Belanda kembali ke Sumatera, pada tahun 1818 mereka mengirimkan ekspedisi militer ke Palembang dan menangkap Najamuddin, yang kemudian diasingkan ke Batavia. Mereka kemudian menunjuk Badaruddin untuk menggantikannya. Akan tetapi, kemudian terjadi bentrokan antara Belanda dan Sultan Badaruddin. Pada tahun 1819 Belanda mengirimkan ekspedisi militer ke Palembang untuk menaklukkan kerajaan itu namun berhasil dipukul mundur oleh Badaruddin. Baru pada tahun 1823 kekuatan Badaruddin dapat dikalahkan dan Belanda menempatkan Palembang di bawah kekuasaan langsung Batavia.
             Selain Palembang, Jambi juga dikenal sebagai daerah yang sudah lama menjalin hubungan dengan VOC. Ketika Belanda kembali ke daerah ini, Sultan Jambi Muhammad Fakhruddin (1833-1941) bersedia bekerjasama dengan Belanda, bahkan meminta bantuan Belanda untuk menumpas para bajak laut di wilayahnya. Akan tetapi, ketika kesultanan berada di tangan Ratu Taha Saifuddin (1855-1858) keadaan berubah. Ratu tidak mau meneruskan kerjasama dengan Belanda sehingga pada tahun 1858 Belanda menyerang Jambi. Ratu Taha berhasil meloloskan diri ke pedalaman dan terus mengadakan perlawanan hingga terbunuh pada tahun 1904.
             Pada tahun 1899, Sultan Jambi terakhir yang diakui Belanda, yaitu Ahmad Zainuddin (1885-1899), mengundurkan diri. Oleh karena Belanda kesulitan mencari penggantinya. Maka pada tahun 1901, kesultanan Jambi diserahkan penanganannya kepada residen Belanda di Palembang. Tindakan Belanda ini menimbulkan perlawanan yang tidak dapat diatasi hingga tahun 1907.
5.       Penaklukkan Tapanuli
             Perang Padri menyebabkan pengaruh Belanda menembus tanah Batak yang terletak di sebelah utara Minangkabau. Dalam peperangan tersebut, baik kaum Padri maupun orang Belanda berusaha menanamkan pengaruhnya di Tapanuli melalui penyebaran agama Islam maupun Kristen.
             Sejak tahun 1860 para misionaris Kristen mulai banyak memasuki Silindung dan Toba dan membangun pos-pos zending di derah tersebut. Pada saat yang bersamaan, pemerintah kolonial mengerahkan ekspedisi militernya ke daerah Barus dan Singkel dan kemudian memasuki daerah pedalaman Aceh. Kegiatan para misionaris itu dipandang penguasa tanah Batak, Si Singa Mangaraja XII, sebagai ancaman terhadap tanah Batak maupun kedudukannya.
             Sekitar tahun 1877, Si Singa Mangaraja XII mengajak rakyatnya untuk mengusir para misionaris Kristen dan mencegah kegiatan mereka. Sejalan dengan itu, tersiar kabar bahwa penguasa Batak itu, dengan bantuan Sultan Aceh, merencanakan penyerangan ke pos misionaris di Silindung. Kabar itu terdengar oleh garnisun militer Belanda di Sibolga., sehingga mereka mengirimkan pasukan ke daerah Silindung dan mempersiapkan diri menghadapi serangan Si Singa Mangaraja. Masuknya militer Belanda ke Silindung segera dijawab oleh Si Singa Mangaraja XII dengan pernyataan perang.
             Dengan memanfaatkan benteng alam dan juga beberapa benteng buatan, pasukan Si Singa Mangaraja berkali-kali berhasil mematahkan serangan Belanda dan merepotkan mereka dengan melancarkan serangan pukul lari. Barulah pada awal tahun 1907 pasukan Belanda mampu memotong hubungan Si Singa Mangaraja dengan Aceh dan membatasi ruang gerak pasukan Si Singa Mangaraja di sekitar Barus-Sidikalang dan Singkel.
             Akhirnya pada bulan Juni 1907, berkat keterangan mata-mata, sebuah pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Hans Christoffel berhasil menemukan Si Singa Mangaraja di sekitar Aik Sibulbulon, di daerah Dairi. Dalam kondisi terkepungd an sangat lemah, Si Singa Mangaraja beserta pengikutnya tetap melakukan perlawanan. Dalam pertempuran itu Si Singa Mangaraja beserta dua orang putranya, Sutan Nagari dan Patuan Anggi, serta seorang putrinya yang bernama Lopian gugur bersama para pengikut lainnya. Istrinya dan anak-anaknya yang lain masih hidup kemudian ditangkap  dan ditawan yang kemudian dibuang ke luar daerah Batak. Semua harta pusaka Si Singa Mangaraja dirampas oleh belanda.
6.      Perang Belanda di Aceh
             Berdasarkan Perjanjian London, Belanda tidak diperbolehkan mengganggu kedaulatan Aceh. Akan tetapi, perkembangan di Aceh antara dasawarsa 1850-an dan 1860-an membuat pemerintah kolonial Belanda menjadi cemas dan tidak bias membiarkan Aceh tetap merdeka. Di antara perkembangan tersebut adalah adanya unsur kesengajaan dari Aceh untuk membiarkan pihak-pihak luar (seperti Amerika Serikat, Turki, dan kekuatan Eropa lainnya selain Inggris dan Belanda) ikut campur di wilayah ini. Oleh karena itu pada tahun 1857 Belanda kembali menghidupkan perjanjian dengan Sultan Siak dan memasukkan kesultanan ini sebagai wilayah Belanda. Perjanjian ini jelas melanggar yurisdiksi Aceh, karena batas-batas Siak ditarik sampai ke Alas dan Langkat, yang termasuk wilayah hukum Aceh.
             Tindakan Belanda ini sempat menimbulkan kemarahan Inggris, yang mengirimkan kapal perangnya ke pelabuhan-pelabuhan lada di wilayah Alas dan Langkat. Akan tetapi Inggris kemudian berubah pikiran dan 'mengizinkan' Belanda untuk meneruskan ekspedisinya ke wilayah Aceh. Pada bulan November 1871 Inggris dan Belanda mengadakan suatu kesepakatan di mana Belanda mendapatkan kebebasan mutlak di Sumatera. Sebagai gantinya, Belanda menyerahkan Pantai Emas di Afrika, memperbolehkan Inggris mengirim kuli-kuli India ke Suriname (jajahan Belanda di benua Amerika), serta memberikan hak yang sama kepada Inggris dalam perdagangan dari Siak ke utara.
             Pada awal tahun 1873 konsul Amerika di Singapura mengadakan pembicaraan dengan utusan Aceh mengenai kemungkinan terwujudnya suatu perjanjian Aceh-Amerika. Belanda memandang hal ini sebagai alasan untuk ikut campur. Pada bulan Maret 1873, Belanda menyerang Kutaraja dan mendaratkan pasukan berkekuatan 168 perwira dan 3.200 orang prajurit. Akan tetapi serangan itu berhasil dipukul mundur pasukan Aceh di bawah pimpinan Teuku Imam Lueng Bata. Bahkan panglima ekspedisi itu, yaitu Mayor Jenderal J.H.R. Kohler, terbunuh. Oleh karena penyebab perang ini adalah Belanda, maka orang-orang Aceh waktu itu menyebutnya "Perang Belanda di Aceh".
             Belanda berusaha menebus kekalahan itu dengan mengirimkan ekspedisi kedua yang berkekuatan tiga kali lipat dari ekspedisi yang pertama. Selain itu, angkatan laut Belanda melakukan blokade terhadap perairan Aceh, terutama jalur-jalur yang menghubungkan Aceh dengan tetangganya di Semenanjung Malaya, seperti Penang. Sasaran utama penyerangan Belanda adalah istana kesultanan karena mereka percaya bahwa jatuhnya istana akan menghentikan perlawanan Aceh.
             Setelah melalui pertempuran sengit, pada tanggal 24 Januari 1874, pasukan Belanda berhasil menduduki Istana Kutaraja. Akan tetapi Sultan Mahmudayah dan kerabatnya berhasil meloloskan diri. Meskipun demikian, panglima Belanda, Letnan Jenderal J. van Swieten, mengumumkan bahwa kerajaan Aceh telah berhasil ditaklukkan dan daerah Aceh Besar dinyatakan sebagai pemilik pemerintah Hindia Belanda.
             Perkiraan Belanda kembali keliru. Jatuhnya Istana Kutaraja dan penghapusan kesultanan Aceh oleh Belanda ternyata tidak menyurutkan perlawanan Aceh. Rakyat tetap mengakui keberadaan kesultanan Aceh. Perlawanannya pun tidak lagi sekedar perlawanan kerajaan tetapi telah menjadi perlawanan rakyat Aceh. Kebencian rakyat Aceh terhadap orang-orang Belanda yang dinilai sebagai oranf kafir telah mengobarkan semangat perang jihad di kalangan rakyat Aceh. Dalam perkembangannya, sejak tahun 1881 terjadi pergeseran kepemimpinan dalam perlawanan rakyat Aceh. Apabila sebelumnya perlawanan terutama dipimpin oleh para bangsawan atau petinggi istana, maka kini pimpinan perlawanan didominasi oleh para alim-ulama. Salah satu tokoh ulama yang terkenal adalah Tengku Cik Di Tiro (1836-1891). Perlawanan pun telah berubah menjadi perang suci, perang fisabilillah.
             Pihak Belanda pun menyadari bahwa mereka tidak tahu apa-apa selain daerah-daerah yang telah didudukinya secara permanen oleh garnisun-garnisun mereka. Biaya perang pun sangat besar sehingga pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1884-1885 memerintahkan untuk melakukan penghematan. Pada periode itu, banyak daerah pedalaman yang sebelumnya dikuasai Belanda kembali jatuh ke tangan orang-orang Aceh. Dalam situasi seperti itu akhirnya Belanda menemukan pemecahan dalam kebijakan yang diajukan oleh Dr.Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) dan Johannes Benedictus van Heutsz (1851-1924). Snouck Hurgronje adalah seorang ilmuwan Belanda yang ahli tentang Islam. Sejak tahun 1891 hingga 1906 dia menjadi penasehat utama pemerintah kolonial dalam masalah Islam dan penduduk asli. Menurutnya untuk melawan rakyat Aceh fanatik di bawah pengaruh para ulama, tiada jalan lain kecuali menumpasnya. Namun, kekuatan mereka dapat dipecah melalui pendekatan kepada para uleebalang yang dinilai lebih sekuler (semacam para priyayi di Jawa atau penghulu di Minangkabau).
             Berdasarkan nasehat Snouck Hurgronje inilah pihak Belanda melakukan pendekatan kepada para uleebalang dan upaya itu secara berangsur-angsur membuahkan hasil. Banyak kaum uleebalang yang mau berkompromi yang nantinya berbuah perpecahan di kalangan masyarakat Aceh. Sekitar tahun 1903 dibentuk suatu pemerintahan yang benar-benar stabil berdasarkan hasil persekutuan dengan para uleebalang yang mau berkompromi.
             Mengenai van Heutsz, dia adalah seorang jenderal yang berpengalaman dalam perang Aceh, yang kemudian diangkat sebagai Gubernur Aceh (1898-1904). Dalam upayanya untuk menghadapi orang Aceh, van Heutsz menciptakan sebuah pasukan gerak cepat bernama Marechausee (Marsose). Pasukan yang sangat ditakuti ini kemudian memiliki peranan besar dalam mematahkan perlawanan orang Aceh.
             Pada tahun 1903 Sultan Tuanku Daud Syah menyerah karena mendapat ultimatum dari pihak Belanda yang akan membunuh anak dan isterinya yang telah tertangkap. Meskipun demikian dia tetap menjalin hubungan dengan para gerilyawan. Bahkan pada tahun 1905 dia berusaha menjalin hubungan dengan konsul Jepang di Singapura untuk menyerang garnisun Belanda di Banda Aceh. Tapi upaya itu gagal dan Sultan diasingkan. Dalam tahun 1903 pula Panglima Polem Muhammad Daud, pemimpin militer utama dalam tahun-tahun terakhir, juga menyerah.
             Sejak Sultan menyerah dalam periode 1903-1912 justru terjadi kericuhan sosial. Pada masa ini Van Heutsz diangkat menjadi Gubernur Jenderal (1904-1909). Kedudukannya sebagai Gubernur Aceh digantikan oleh Letnan Kolonel G.C.E. van Daalen, yang menjalankan pemerintahannya secara kejam. Menurut kolonial verslag tahun 1908, tindakan van Daalen yang bertujuan agar Aceh aman, justru mendorong semakin bertambahnya perlawanan yang dilakukan secara sistematis. Pihak Belanda sendiri menyalahkan sultan Aceh atas terjadinya perlawanan tersebut karena dianggap memberi angin kepada rakyat.
             Perang Aceh dianggap berakhir pada tahun 1912 dan pejuang Aceh berangsur-angsur menyerah. Meskipun demikian, serangan terhadap orang-orang Belanda masih tetap berlangsung di berbagai tempat. Antara tahun 1910 hingga 1921 tercatat 79 kali pembunuhan terhadap orang-oarang Belanda. Dan pemberontakan terakhir yang cukup besar terjadi tahun 1927 di Bakongan.
Daftar Pustaka :
Iskandar, Mohammad dkk. 2007.  Sejarah : Indonesia dalam Perkembangan Zaman untuk SMA Program IPS.  Jakarta : Ganeca Exact.

STRUKTUR BIROKRASI PEMERINTAHAN KOLONIAL


Wulan Asih Novianti/B/SI3

1.      Pemerintahan VOC
Pada masa VOC, gubernur jenderal merupakan penguasa tertinggi di Hindia. Dalam hal ini, kekuasaannya menjadi sangat tak terbatas karena tidak ada undang-undang yang khusus mengatur hak-hak dan kewajibannya. Demikian pula dengan struktur pemerintahannya di Asia, khususnya Hindia Timur, nyaris tidak ditentukan pula. Salah satu pasal yang penting dari octroi VOC adalah hak monopolinya, sehingga dengan haknya itu VOC merupakan salah-satunya badan dari Belanda yang boleh mengirimkan kapal-kapal ke daerah sebelah timur Tanjung Harapan.
Dalam melaksanakan pemerintahannya, gubernur jenderal didampingi oleh Raad van Indie (Dewan Hindia yang dalam prinsipnya terdiri atas enam orang anggota dan dua anggota luar biasa, di mana gubernur jenderal merangkap sebagai ketua). Laporan-laporan mengenai aktivitas VOC secara berkala dikirimkan ke Heeren XVII, yang merupakan pimpinan pusat VOC yang berkedudukan di Amsterdam.
Dalam menangani wilayah kekuasaannya, VOC lebih banyak melakukannya melalui pemerintahan tidak langsung. Hanya daerah-daerah tertentu saja, seperti Batavia, yang diperintah secara langsung oleh VOC. Dalam sistem seperti ini, kaum bumiputera nyaris tidak terlibat dalam struktur kepegawaian VOC. Artinya, meskipun kaum elit bumiputera terlibat dalam pemerintahan, tetapi status mereka bukan pegawai VOC dan tidak digaji secara tetap ooleh kongsi dagang tersebur. Kedudukan kaum elit bumiputera itu sendiri lebih banyak diperlakukan sebagai mitra yang bekerja demi kepentingan VOC. Hal ini terlihat jelas di daerah-daerah yang diperintah secara tidak langsung. Di daerah-daerah semacam ini, VOC membiarkan struktur lama (tradisional) tetap berdiri seperti semula. Melalui para pemimpin tradisional inilah kepentingan VOC disalurkan, antara lain dalam hal penarikan-penarikan wajib hasil produksi serta pajak-pajak yang dikenal dengan sistem leverantie dan contingenten.
2.      Pemerintahan Kolonial
Sejak masa Daendels, gubernur jenderal merupakan wakil langsung raja Belanda. Dalam melaksanakan tugasnya, gubernur jenderal masih tetap didampingi oleh Raad van Indie (Dewan Hindia). Namun berbeda dengan masa VOC, pada masa Daendels kedudukan gubernur jenderal tidak berada dalam Raad melainkan di luar lembaga tersebut (tidak lagi sebagai ketua). Selain itu, kekuasaan lembaga tersebut juga dikurangi sehingga lembaga tersebut praktis hanya sebagai dewan penasehat saja.
Salah satu perubahan penting yang dilakukan pada masa Daendels dalam hal struktur birokrasi pemerintahan adalah dimasukannya para bupati bumiputera sebagai pegawai negeri. Selain itu, Daendels juga membentuk badan peradilan dan kontrol keuangan. Akan tetapi karena keterbatasan wilayah yang dikuasainya, maka pembaharuan yang dilakukan Daendels ini boleh dikatakan hanya terpusat di Jawa saja.
Ketika Inggris berkuasa, boleh dikatakan tidak ada perubahan dalam hal birokrasi pemerintahan. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya Raffles dan Daendels adalah pengikut paham liberal yang tidak suka pada hal-hal yang berbau feodal. Oleh karena itu, program menjadikan para bupati sebagai bagian dari birokrasi pemerintah kolonial tetap dipertahankan.
Setelah Hindia Timur diserahkan kembali oleh Inggris kepada Belanda, landasan operasional di Hindia Belanda diatur berdasarkan Regeering Reglement (Peraturan Pemerintah, disingkat RR). Menurut peraturan ini, dalam menjalankan tugasnya gubernur jenderal (anggota Commisaris Generaal) didampingi oleh Raad van Indie yang beranggotakan empat orang. Gubernur Jenderal bersama Raad van Indie inilah yang disebut sebagai Pemerintahan Agung di Hindia Belanda. Sejak tahun 1816, ada dua instansi yang membantu pekerjaan Pemerintahan Agung di Batavia ini, yaitu Generale Secretarie (sekretaris umum) untuk membantu Commisaris General dan Gouvernement Secretarie (sekretaris pemerintahan) untuk membantu gubernur jenderal. Namun kedua lembaga itu berumur pendek dan dihapuskan pada tahun 1819. Kedudukannya kemudian digantikan oleh Algemene Secretarie, yang bertugas membantu gubernur jenderal (terutama memberikan pertimbangan keputusan).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam hal-hal tertentu struktur birokrasi pemerintahan Hindia Belanda sama dengan pemerintahan VOC. Adapun perbedaan yang cukup mencolok di antara keduanya berkaitan dengan kewenangan gubernur jenderal . Apabila pada masa VOC tidak ada aturan khusus yang mengatur kewenangan gubernur jenderal sehingga dai dapat berimprovisasi sendiri dalam menjalankan pemerintahannya, maka pada masa Hindia Belanda terdapat peraturan yang mengatur kewenangan gubernur jenderal yang tertuang dalam RR. Begitu pula dalam hal pertanggung jawaban, apabila pada masa VOC gubernur jenderal memberikan laporannya kepada Heeren XVII,  maka pada masa Hindia Belanda dia bertanggung jawab langsung kepada raja melalui menteri jajahan.
Meskipun ada upaya untuk melakukan modernisasi struktur birokrasi pemerintahan Hindia Belanda, namun dalam batas-batas tertentu struktur sebelumnya masih tetap dipertahankan. Adapun dasar pertimbangannya adalah demi kepentingan praktis dan untuk mempertahankan loyalitas, khususnya loyalitas para elit bumiputera. Hal ini terlihat jelas dari struktur dan jabatan dalam organisasi pemerintahannya. Jabatan-jabatan teritorial di atas tingkat kabupaten tetap dipegang oleh orang-orang Eropa atau Belanda.
Jabatan tertinggi yang dipegang oleh orang Bumiputera adalah kepala kabupaten, yaitu bupati. Bupati ini dibantu oleh seorang patih. Di bawah tingkat kabupaten terdapat kewedanaan yang dijabat oleh seorang wedana. Kecamatan, yang dikepalai seorang camat, merupakan wilayah di bawah kewedanaan. Sedangkan jabatan kepala desa pada dasarnya tidak termasuk dalam struktur birokrasi pemerintah kolonial sehingga bukan merupakan anggota korp pegawai dalam negeri Hindia Belanda.
Korps pegawai dalam negeri Hindia Belanda, atau departemen dalam negeri (Departemen van Binnenland Bestuur, disingkat BB), terdiri atas pegawai bangsa Eropa dan bumiputera. Korp pegawai Eropa disebut Eropees bestuur sementara korps pegawai negeri bumiputera disebut inland bestuur. Kedua korp pegawai ini secara umum disebut binnenland bestuur (BB).  Dalam bahasa bumiputera BB ini disebut Pangreh Praja (Pemangku Kerajaan). Para pejabat bumiputera inilah yang disebut kaum priyayi, suatu istilah yang sebelumnya dipakai dalam kerajaan Jawa.
Meskipun jabatan teritorial dari tingkat kabupaten ke bawah masih tetap dipegang kaum bumiputera, namun dengan alasan untuk mendampingi para pejabat itu maka diadakan jabatan-jabatan non-teritorial setingkat kabupaten, kewedanaan dan akhirnya juga kecamatan. Apabila di tingkat kabupaten ada jabatan asisten residen, maka untuk tingkat kecamatan ada jabatan controleur, sementara di bawahnya lagi ada jabatan aspirant controleur.
Daftar Pustaka :
Iskandar, Mohammad dkk. 2007.  Sejarah : Indonesia dalam Perkembangan Zaman untuk SMA Program IPS.  Jakarta : Ganeca Exact.