Showing posts with label PAHLAWAN NASIONAL. Show all posts
Showing posts with label PAHLAWAN NASIONAL. Show all posts

PAHLAWAN DARI JAWA BARAT DEWI SARTIKA (1884-1947)

Andri/SI3/A

Siapa yang tidak mengenal Raden Dewi Sartika. Beliau adalah Pahlawan Wanita Indonesia untuk memperjuangkan  kepentingan para Wanita dan Pendidikan.

Perjuangannya dalam memberikan bekal ilmu pengetahuan dan pendidikan kepada masyarakat luas khususnya kaum perempuan, akhirnya membuahkan penghargaan yang luar biasa dari Pemerintah Republik Indonesia sebagai seorang Pahlawan Nasional di bidang pendidikan.

Itulah Raden Dewi Sartika, sosok perempuan asli dari tanah Pasundan (Jawa Barat) yang semasa hidupnya banyak mengabdikan diri dalam dunia pendidikan terutama pendidikan bagi kaumnya sendiri dengan mendirikan sebuah sekolah bernama "Sakola Kautamaan Istri" (Sekolah Keutamaan Istri). Bertepatan dengan peringatan Hari Ibu Tahun 2012, Redaksi Tabloid 'Taman Pramuka' pada edisi ke-XV, mencoba mengangkat kembali kilas balik sejarah Raden Dewi Sartika, sebagai salah satu tokoh perintis pendidikan di tanah air.

Dewi Sartika yang lahir di Bandung pada 4 Desember 1884 lalu, adalah anak dari pasangan Raden Somanagara dan Nyi Raden Rajapermas yang merupakan keturunan priyayi Sunda. Sejak kecil, Dewi Sartika telah mendapat pendidikan dasar dari orang tuanya dengan disekolahkan di sekolah Belanda. Namun saat ayahandanya wafat yang juga seorang pejuang kemerdekaan. Dewi Sartika kecilpun dirawat oleh pamannya yang tidak lain adalah seorang Patih di Cicalengka dan melanjutkan pendidikannya di sana.

Ketika itulah, bakat sebagai seorang pendidik muncul dalam diri Dewi Sartika kecil, bila ada waktu senggang, Ia menyempatkan diri untuk mengajari baca-tulis anak-anak pembantu yang berada lingkungan kepatihan. Dalam pendidikannya, Dewi Sartika banyak pula mempelajari tentang wawasan kesundaan dari pamannya dan wawasan kebudayaan barat dari seorang Asisten  Residen bangsa Belanda

Bakat dalam cara Dewi Sartika memberi pelajaran kepada para masyarakat terutama kaum perempuan di sekitar lingkungan tempat tinggalnya, telah menjadikan semangat dan cita-cita untuk terus berupaya agar anak-anak dan kaum perempuan pribumi bisa mendapat kesempatan memperoleh ilmu pengetahuan. Semangat dan cita-cita yang besar tersebut, akhirnya Ia upayakan pula ketika kembali lagi menetap di Bandung, dengan dibantu kakeknya R.A.A. Martanegara dan Den Hamer, selaku Inspektur Kantor Pengajaran kala itu, Dewi Sartika berhasil mendirikan sebuah sekolah khusus bagi kaum perempuan yang diberi nama "Sekolah Istri" pada 1904. 

Sekolah baru tersebut baru berisi dua kelas dengan jumlah murid pertamanya sekitar 20 orang ditambah dua tenaga pengajar yakni Ny. Poerwa dan Nyi Oewid. Karena aktivitas belajar mengajarnya banyak, maka Iapun meminjam beberapa ruangan Kepatihan Bandung sebagai ruang kelas tambahan. Di sekolah tersebut, para murid perempuan ini, diajari mulai dari baca-tulis, berhitung, menjahit, merenda, menyulam, dan pelajaran agama.

Tanggapan positif atas berdirinya Sekolah Istri, banyak bermunculan dari masyarakat. Bahkan dari waktu ke waktu jumlah muridnya terus bertambah. Karena jumlah murid makin banyak, akhirnya bangunan kelas tidak mencukupi lagi dan selanjutnya dipindahkan ke tempat yang lebih luas. Kemudian, setelah enam tahun berjalan, tepat di 1910, oleh pihak pengelola, nama sekolah yang sebelumnya bernama 'Sekolah Istri' diperbaharui menjadi 'Sekolah Keutamaan Istri'.

Tapi semua mata pelajarannya masih tetap seperti sediakala. Diakui, pembangunan sekolah ini, sebelumnya sempat menuai pertentangan, terutama karena budaya 'pengekangan' kaum wanita masih kuat dijalankan pada saat itu.  Namun karena niat baik, cita-cita serta kegigihan Dewi Sartika yang tiada putusnya serta kebijakan dari keluarga, maka sekolah tersebut tetap terwujud.

Di saat yang bersamaan dengan perjalanan perjuangannya ingin mengentaskan kebodohan bagi kaum perempuan pribumi, Dewi Sartikapun menemukan jodohnya yaitu Raden Kanduruan Agah Suriawinata seorang Guru di Sekolah Karang Pamulang. Kemudian mereka menikah pada 1906.

Karena penilaian positif terhadap upaya pengembangan sumber daya kaum perempuan pribumi melalui dunia pendidikan yang di rintis Dewi Sartika begitu besar. Akhirnya banyak diantara kaum perempuan Sunda yang memiliki cita-cita dan harapan yang sama mendirikan 'Sekolah Keutamaan Istri' di beberapa tempat. Sekitar 9 sekolah berdiri di Kota Kabupaten se- Pasundan. Termasuk yang didirikan di Bukit Tinggi Sumatera Barat oleh Encik Rama Saleh.

Atas jasa-jasanya memperjuangkan hak kaum perempuan pribumi dalam bidang pendidikan terutama di tanah Pasundan. Pada September 1929, dalam acara peringatan 25 Tahun berdirinya 'Sekolah Keutamaan Istri',yang sekaligus dirubah namanya menjadi 'Sakola Raden Dewi', Dewi Sartika mendapat penghargaan dari Pemerintah Kerajaan Hindia-Belanda berupa Bintang Jasa.

Namun perkembangan Sekolah yang Ia bina sejak masih remaja dan telah banyak bermunculan di mana-mana, tidak membuat dirinya kuat untuk terus mengembangkannya.

Tepat di usia ke 62 tahun, pada 11 September 1947, Dewi Sartika meninggal dunia di Tasikmalaya dan oleh keluarga serta kerabat dan para sahabatnya, almarhumah dimakamkan di pemakaman Cigagadon Desa Rahayu Kecamatan Cinean. Namun tidak lama kemudian jasadnya dipindahkan ke pemakaman Bupati Bandung Jalan Karang Anyar Kota Bandung. Atas jasa-jasanya pula, Pemerintah Republik Indonesia (RI) pada 1 Desember 1966 menganugrahkan kepada Raden Dewi Sartika gelar Pahlawan Nasional.

Begitu lah besar jasa­-jasa Dewi Sartika kepada Bangsa Indonesia, beliau mencurah kan seluruh jiwa dan raga untuk memperjuangkan hak­­-hak para wanita. Dan menghapuskan Emansipasi Wanita. Di era modern sekarang ini kita wajib untuk menghargai jasa­-jasa Dewi Sartika. Semoga beliau mendapat tempat yang baik di sisinya amin.

Daftar pustaka :
2.      Sutrisno Kurtoyo dkk, Buku Seri Pahlawan,Penerbit Mutiara Jakarta, 1979

ROBERT WOLTER MONGONSIDI



Rizki Aiditya/SI3/B
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 berkumandang di seluruh penjuru tanah air. Gemanya membangkitkan para rakyat pejuang bangsa yang sudah lama bersiap menunggu komando untuk merebut dan menegakkan kemerdekaan.
Di Sulawesi Selatan para pemuda pejuangpun bangkit dan bersatu menyongsong hari depan yang mulia itu, tetapi kaum penjajah Belanda segera datang ke Indonesia dan ingin kembali menguasai tanah air dan bangsa Indo­nesia. Dalam pada itu seluruh bangsa kita sudah bertekad "Merdeka atau mati". Diantara pejuang itu, ialah Robert Wolter Monginsidi seorang Pahlawan Bangsa yang kemudian gugur di depan regu tembak Belanda.
Robert Wolter Monginsidi dilahirkan pada tanggal 14 Februari 1925 di desa Malalayang, tidak jauh dari kota Manado. Robert adalah putra ketiga dari Petrus Monginsidi. Ibunya bernama Lina Suawa, dalam lingkungan keluarga dan teman-teman akrabnya, ia biasa dipanggil Bote.
Keluarga Petrus Monginsidi orang tua Robert, bukanlah keluarga yang kaya. Ayah Robert hanyalah seorang petani kelapa, tetapi bercita-cita luhur. Anak-anaknya sedapat-dapatnya disekolahkan sejauh dan setinggi mungkin.
Robert mula-mula bersekolah di Hollands Inslanche School (HIS. setingkat SD). Sejak kecil ia adalah anak yang gagah, tampan, keras kemauan dan cerdas. Sesudah tamat dari HIS ia melanjutkan ke MULO, yaitu SMP pada jaman Hindia Belanda.
Pada jaman kedudukan Jepang mula-mula Robert belajar bahasa Jepang (Nihonggo Gakko). Ia memang berbakat pada bahasa asing dan karena itu lulus dengan memuaskan. Ia lalu diangkat sebagai guru pada Kursus Bahasa Jepang padahal usianya masih muda. Mula-mula ia mengajar di Liwutung (Minahasa), lalu dipindahkan ke Luwuk (Sulawesi Tengah).
Robert gemar membaca dan pandai berbahasa Belanda, Inggris dan Jepang tetapi ia masih ingin belajar, karena itu ia meninggalkan pekerjaannya sebagai guru dan memasuki Sekolah Menengah Pertama di Ujung Pandang.
Ketika pasukan Jepang menyerah pada Perang Asia Timur Raya dan Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan Robert Wolter Monginsidi sedang berada di Rantepao, Tanah Toraja. Ia segera menuju ke Ujung Pandang dan bergabung dengan para pemuda pejuang. la bertekad untuk membela Negara Republik Indonesia, dan melawan pasukan penjajah yang datang untuk menguasai tanah air dan bangsa kita. Robert Wolter Monginsidi terkenal seorang pemuda yang bersemangat dan cinta tanah air dan bangsa.
Bersama-sama dengan para pemuda pejuang di Sulawesi Selatan, Wolter menyusun rencana perlawanan dan pertahanan, demikian pula kawan-kawan sekolah di SMP Nasional Ujung Pandang giat membantu perjuangan. Mereka menempelkan plakat-plakat perjuangan di seluruh kota, bahkan di depan tangsi pasukan NICA / Belanda.
Wolter Monginsidi bersama Maulwi Saelan dan kawan-kawannya memimpin Barisan Angkatan Muda Pelajar yang bertindak dengan keberanian di tengah-tengah pasukan Belanda.
Pada tanggal 27 Oktober 1945 seluruh kekuatan pemuda pejuang di Ujung Pandang dipusatkan untuk mengadakan serangan umum. Robert Wolter Monginsidi juga ikut mengambil peranan penting. Para pemuda pejuang akan merebut tempat-tempat strategis, bangunan-bangunan vital dan gedung-gedung penting yang telah diduduki tentara Belanda. Mereka akan menyerbu Stasiun Pemancar Radio Makasar, Tangsi Belanda di Mariso, Stasiun Radio di Mattoanging, Stasiun Radio di Mara Dekaya, Tangsi dan Kantor Polisi NICA.
Wolter dan kawan-kawannya para pelajar SMP mendapat tugas menyerbu Hotel Empres dan menangkapi para perwira Belanda, mereka juga bertugas membuat barikade di jalan-jalan.
Tepat jam 5.00 pagi, tanggal 20 Oktober 1945 mulai terdengar tembak menembak di jalan Gowa. Pagi itu sudah terjadi pertempuran di seluruh penjuru kota Ujungpandang. Stasiun radio di Mattoanging dan Maradekaya telah dapat dikuasai para pemuda. Mula-mula pasukan Australia yang bersenjata lengkap itu bersikap menonton saja. Mereka tidak berbuat apa-apa. Tetapi pasukan Belanda berhasil membujuk dan mempengaruhi pasukan Australia. Akhirnya pasukan Australia ikut campur melawan serbuan para pejuang.
Mereka menyerbu markas pejuang di Jonggaya pada siang hari jam 11.00. Pasukan Australia memiliki senjata lengkap dan modern, sedangkan pasukan pemuda pejuang bersenjata sederhana dan seadanya. Tentu saja sungguh berat melawan pasukan Australia itu. Meskipun demikian para pemuda melawan dengan semangat tinggi. Dalam pertempuran itu banyak pemuda pejuang yang gugur, dan 46 pemuda ditangkap tentara Sekutu (Aus­tralia) termasuk Robert Wolter Monginsidi. Beruntunglah, Wolter mahir berbahasa asing dengan kepandaiannya berdiplomasi, Wolter dapat menyakinkan para perwira Australia itu bahwa mereka itu pemuda pejuang yang sedang menegakkan kemerdekaan bangsa dan tanah airnya, akhirnya mereka yang ditangkap itu dibebaskan.
Sementara itu pasukan NICA Belanda terus melancarkan pengejaran terhadap para pejuang, terpaksalah para pejuang mengundurkan diri dari kota dan membentuk markas-markas di daerah-daerah seperti Plongbangkeng, Jeneponto, Bulukumba, Bantaeng, Palopo, Kolaka, Majene, Enrekang, dan Pare-pare. Dari markas-markas daerah itu seringkali pemuda memasuki kota mengadakan aksi penyerangan. Mereka menculik dan membunuh mata-mata kaki tangan Belanda, sebaliknya pasukan Belanda sering pula melancarkan serangan ke daerah-daerah untuk menghajar dan menghancurkan kekuatan pemuda. Di antara para pejuang itu, maka para pelajar SMP Nasional menduduki tempat dan memperoleh nama yang baru. Mereka seringkali mengadakan gerakan yang merugikan pasukan Belanda, terutama sekali pemuda Robert Wolter Monginsidi. la sangat berani dan bergerak sangat lincah, karena itu menjadi sasaran pasukan Belanda.Robert Wolter Monginsidi menggabungkan diri pada pasukan Ronggeng Daeng Rono yang bermarkas di Plongbangkeng. la bertugas sebagai penyelidik, karena mahir berbahasa asing dan mempunyai wajah yang mirip orang Indo-Belanda.
Wolter seringkali memasuki kota Ujung Pandang seorang diri, la menyamar sebagai anggota tentara Belanda, ditengah jalan Ia menghentikan Jeep tentara Belanda lalu ikut menumpang.Ditengah jalan Wolter segera menodongkan pistolnya ke arah pengemudi yang dibuatnya tidak berdaya, senjatanya dirampas dan demikian pula mobilnya.
Pada hari yang lain ia memasuki markas Polisi Militer Belanda dan menempelkan plakat berisi ancaman yang ditanda tanganinya sendiri. Dapatlah dibayangkan, betapa terkejutnya tentara Belanda itu. Nama Robert Wolter Monginsidi bagaikan hantu yang sangat ditakuti pasukan Belanda.
Berkali-kali Ia melakukan aksi dan selalu berhasil. Wolter adalah seorang pejuang yang selalu bersungguh-sungguh, ia pun seorang pemimpin yang tangguh. Pada tanggal 17 Juli 1946 Robert Wolter Monginsidi bersama-sama para pemuda pejuang lainnya mendirikan organisasi perjuangan bernama Lasykar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS), terdiri dari 19 satuan perjuangan. Ranggong Daeng Romo menjadi panglima dari barisan LAPRIS ini, sedangkan Robert Wolter Monginsidi diserahi tugas Sekretaris Jenderal yang langsung memimpin operasi. Adapun program perjuangan Lapris ialah :
1.      Membasmi dan membersihkan mata-mata serta kaki tangan NICA (Belanda)
2.      Mengganggu lalu lintas dengan menghadang mobil tentara dan polisi Belanda, menghalangi kendaraan yang mengangkut barang dan bahan untuk kepentingan Belanda.
3.      Membakar dan memusnahkan rumah serta bangunan vital milik Pemerintah dan tentara Belanda.
4.      Merampas senjata musuh.
 Robert Wolter Monginsidi tidak tinggal di markas saja, tetapi Ia langsung memberi contoh di lapangan, Ia bergerak di sekitar kota Makasar (Ujung Pandang), Woga, Jeneponto, Malino dan Camba. Wolter sendiri langsung memimpin pasukan Harimau Indonesia (HI). Pada tanggal 3 November 1946 dalam suatu pertempuran di kota Barombong, Wolter terluka dan terpaksa mengundurkan diri untuk sementara. Sesudah sembuh, Ia kembali melakukan aksi-aksi penyerangan lagi. Pada tanggal 21 Januari 1947 di Kassi-kassi, terjadi pertempuran. Di sini gugur Emmi Saelan seorang pejuang putri yang sempat menewaskan delapan orang tentara Belanda dengan granat yang diledakkannya tetapi, Robert Wolter Monginsidi dapat meloloskan diri dari kepungan pasukan Belanda yang ketat itu.
Belanda makin gentar menghadapi Robert Wolter Monginsidi, mereka memberi pengumuman, siapa dapat menangkap Wolter hidup atau mati akan diberi hadiah, tetapi Wolter tidak pernah tertangkap.Pasukan Belanda makin hari makin memperkuat penekanannya terhadap para pemuka pejuang. Banyak diantara mereka yang tertangkap, gugur atau meninggalkan Sulawesi Selatan menuju pulau Jawa. Jumlah pemuda pejuang makin tipis, tetapi Robert Wolter Monginsidi tetap berdiri dengan teguh, "Saya berani berjuang untuk Nusa dan Bangsa, karena itu pula saya harus berani menanggung akibatnya "
Ia tetap kuat dengan pendiriannya bahkan Ia sering berjuang seorang diri mengacau pasukan belanda yang terlatih dengan modern itu.Pasukan Belanda makin mengganas untuk menekan perlawanan dan perjuangan rakyat Sulawesi Selatan, Belanda melakukan pembunuhan besar-besaran yang dipimpin oleh algojo yang terkenal bengisnya, yaitu Kapten Raymond Paul Pierre Westerling. Belanda mengancam, barang siapa menyembunyikan, membantu dan melindungi kaum pejuang yang bergerilya di daerah, maka mereka akan dibunuh. Puncak tindakan sewenang-wenang Westerling telah terjadi pada bulan Desember 1946. Mereka melakukan pembersihan dengan cara besar-besaran dan tanpa peri-kemanusiaan sehingga puluhan ribu rakyat tua muda laki perempuan yang terbunuh secara massal. Tidak kurang dari 40.000 jiwa telah menjadi korban keganasan pasukan Westerling selama waktu itu. Selama itu Wolter selalu dapat meloloskan diri dari kepungan pasukan Belanda. Namun pada tanggal 28 Pebruari 1947 merupakan hari naas baginya. Pada hari itu Wolter tertangkap oleh pasukan Belanda dan kemudian dimasukkan ke penjara di Hoogepod Ujung Pandang. Di penjara itu Belanda membujuknya agar melepaskan perjuangannya, dan kalau bersedia akan diberi hadiah-hadiah dan kedudukan yang menggiurkan. Tetapi Wolter tetap menolak, la berkata "Tetap setia pada cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Berani berjuang untuk kepentingan Nusa dan Bangsa dan berani pula menanggung segala akibatnya".
Sementara itu kawan-kawan Wolter di luar berjuang keras untuk membebaskannya dari penjara. Mereka menyelundupkan 2 buah granat tangan yang dimasukkan dalam makanan kiriman. Bersama dengan Abdullah, Lahade, Yoseph dan Lewa Daeng Matari, Robert Wolter Monginsidi dengan bersenjatakan 2 granat berhasil lolos dari penjara dengan melalui atap dapur pada tanggal 19 Oktober 1946.
Alangkah marahnya pasukan Belanda melihat sel-sel penjara tempat Wolter dan kawan-kawannya itu sudah kosong, mereka lalu mengerahkan segenap kemampuannya untuk mencari Wolter.Rupanya sudah ketentuan Tuhan Yang Maha Esa, hanya sembilan hari Wolter dapat menghirup udara kemerdekaan. Pada jam 5.00 pagi hari tanggal 26 Oktober 1948 selagi Wolter berada di Klapperkan lorong 22 A No. 3, Kampung Maricayya, Ujung Pandang ia disergap oleh pasukan Belanda, karena ada yang menghianatinya.
Wolter dimasukkan lagi dalam Penjara Polisi Militer Belanda dan dijaga dengan sangat ketat, Belanda tidak ingin Harimau Indonesia ini lepas untuk kedua kalinya dari penjara. Mereka menyiksa Wolter dengan berbagai cara, tetapi ia tetap teguh pada pendiriannya. Ia seorang pemimpin sejati.Semua tindakan kawan-kawannya diakui sebagai tanggung jawabnya. Kemudian Wolter dipindahkan ke penjara Kis (Kiskampement).

Sungguh luar biasa, walaupun Wolter mengetahui apa yang akan terjadi dengan dirinya, dan hukuman apa yang akan diterimanya, namun Ia tetap tabah, dan tampak ketenangan jiwanya.
Robert Wolter Monginsidi adalah pemeluk agama Kristen, sejak kecil ia sudah mendapatkan bekal dan bimbingan iman kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Pengaruh Imam dan agama itu terlihat betul pada Wolter yang baru berusia 23 tahun. Ia makin tenang dan bertawakal, sama sekali tidak terlihat rasa takut dan kegoncangan jiwanya. Ia banyak membaca dan menulis surat pada masa itu. Wolter bersikap pasrah, keikhlasannya terlukis dalam kata-katanya, "Aku telah relakan diriku menjadi korban dengan penuh keinsyafan untuk memenuhi kewajiban dengan masyarakat ini dan yang akan datang".
Tentu saja ia mengalami pemeriksaan Polisi Militer Belanda dengan caranya yang keras dan kejam, namun Wolter tak gentar oleh ancaman dan siksaan. Tekadnya telah bulat, bahwa ia berani, menanggung segala akibat perjuangannya, "Dan saya tunduk pada batin saya" katanya.
Pada tanggal 26 Maret 1949, Wolter diajukan ke muka pengadilan Kolonial Belanda. Pada akhirnya Ia dijatuhi hukuman mati, tetapi Wolter tetap tabah dan berjiwa ksatriya, ia berkata."Aku tidak mengandung perasaan tidak baik terhadap siapapun, juga terhadap mereka yang menjatuhkan hukuman yang paling berat ini kepadaku, karena kupikir mereka tidak mengetahui apa yang mereka kerjakan". Wolter benar- benar bersikap ikhlas pada nasib dan perjuangannya. Ia meninggalkan ucapan,"Apa yang bisa saya tinggalkan hanya rokh-ku saja yaitu rokh setia hingga terakhir pada tanah air dan tidak mundur sekalipun, menemui rintangan apapun menuju cita-cita kebangsaan yang tetap.
Terbatas dari segala pikiran ini, junjunganku senantiasa Tuhan Yang Maha Kuasa, dan dengan kepercayaan yang tersebut belakangan ini, sangguplah saya tahan segala-galanya, teguh iman di dalam kesukaran, tenang ketika keadaan sederhana dan tidak melupakan kenalan-kenalan jika berada dalam kemajuan".Wolter telah diputuskan oleh kolonial untuk dijatuhi hukuman mati, berbagai pihak menganjurkan agar Ia meminta pengampunan atau grasi kepada pemerintah Belanda bahkan secara diam-diam ayahnya sendiri, terdorong oleh rasa kasih sayang kepada putranya, telah memintakan grasi. Tetapi Wolter sendiri telah menolak untuk meminta grasi itu. Ia sudah benar-benar merelakan akibat perjuangannya itu.
Ternyata pemerintah Belanda memang menolak grasi itu. Wolter sendiri setelah mendengar grasi itu ditolak tetap tenang. Ia berkata, "Memang betul, bahwa ditembak bagi saya berarti ada kemenangan batin, dan dihukum apapun tidak ada membelenggu jiwa sebab kegembiraan di dalam keyakinan sendiri memang adalah luas".
Akhirnya Robert Wolter Monginsidi ditembak mati dihadapan regu tembak pada tanggal 5 September 1949 dinihari, disuatu tempat di daerah Pacinang, Wilayah Talo Kecamatan Panakukang, delapan kilometer jauhnya dari kota Ujung Pandang. Ia adalah seorang pahlawan bangsa, ia ditembak tanpa ditutup matanya. dengan memegang kitab Injil di tangan kirinya dan tangan kanannya mengepalkan tinju sambil berteriak : "MERDEKA ATAU MATI", Lima menit sebelum Pahlawan Robert Wolter Monginsidi masih dengan tenang menulis kalimat penghabisan sebagai pesan kepada generasi penerus bangsa "SETIA HINGGA TERAKHIR DALAM KEYAKINAN".Ditanda tangani 5 September 1949 R.W. Monginsidi.
Pemerintah Republik Indonesia menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepada Robert Wolter Monginsidi dengan Surat Keputusan Presiden RI tanggal 6 November 1973 No. 088/TK/TAHUN 1973.
DAFTAR PUSTKA
http://tamanmakampahlawan.com/robert-wolter-mongonsidi/
http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/295-pahlawan/1184-politisi-berpendirian-teguh
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_Pahlawan_Nasional_Indonesia

MARIA WALANDA MARAMIS


 ANDRI/A/SI3
Beliau adalah Pahlawan Wanita dari Indonesia  Timur, yang di beri julukan kartini dari timur, perjuangannya bagi Negara Indonesia adalah sebagai pendobrak adat, pejuang da emansipasi perempuan di dunia politik dan pendidikan.
Maria Josephine Catherine Maramis (lahir di Kema, Sulawesi Utara, 1 Desember 1872 meninggal di Marumbi, Sulawesi Utara 22 April 1924 (pada umur 51 tahun), atau yang lebih dikenal sebagai Maria Walanda Maramis, adalah seorang Pahlawan Nasional karena usahanya untuk mengembangkan keadaan wanita di Indonesia pada permulaan abad ke-20
Setiap tanggal 1 Desember masyarakat Minahasa memperingati Hari Ibu Maria Walanda Maramis sosok yang dianggap sebagai pendobrak adat, pejuang kemajuan dan emansipasi perempuan di dunia politik dan pendidikan.
Menurut Nicolas Graafland dalam sebuah penerbitan "Nederlandsche Zendeling Genootschap" tahun 1981, Maria ditahbiskan sebagai salah satu perempuan teladan Minahasa yang memiliki "bakat istimewa untuk menangkap mengenai apapun juga dan untuk memperkembangkan daya pikirnya, bersifat mudah menampung pengetahuan sehingga lebih sering maju daripada kaum lelaki".
Untuk mengenang jasanya, telah dibangun Patung Walanda Maramis yang terletak di Kelurahan Komo Luar, Kecamatan Wenang, sekitar 15 menit dari pusat kota Manado yang dapat ditempuh dengan angkutan darat. Di sini, pengunjung dapat mengenal sejarah perjuangan seorang wanita asal  Bumi Nyiur Melambai ini. Fasilitas yang ada saat ini adalah tempat parkir dan pusat perbelanjaan.
Maria lahir di Kema, sebuah kota kecil yang sekarang berada di kabupaten Minahasa Utara dekat Kota Airmadidi propinsi Sulawesi Utara Orang tuanya adalah Maramis dan Sarah Rotinsulu. Dia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara dimana kakak perempuannya bernama Antje dan kakak laki-lakinya bernama Andries. Abdeies Maramis terlibat dalam pergolakan kemerdekaan Indonesia dan menjadi menteri dan duta besar dalam pemerintahan Indonesia pada mulanya.
Maramis menjadi yatim piatu pada saat ia berumur enam tahun karena kedua orang tuanya jatuh sakit dan meninggal dalam waktu yang singkat. Paman Maramis yaitu Rotinsulu yang waktu itu adalah Hukum Besar di Maumbi membawa Maramis dan saudara-saudaranya ke Maumbi dan mengasuh dan membesarkan mereka di sana.
Maramis beserta kakak perempuannya dimasukkan ke Sekolah Melayu di Maumbi. Sekolah itu mengajar ilmu dasar seperti membaca dan menulis serta sedikit ilmu pengetahuan dan sejarah. Ini adalah satu-satunya pendidikan resmi yang diterima oleh Maramis dan kakak perempuannya karena perempuan pada saat itu diharapkan untuk menikah dan mengasuh keluarga.
Pada akhir abad 19 dan awal abad 20 terbagi banyak klan (walak) yang berada dalam proses ke arah satu unit geopolitik yang disebut Minahasa dalam suatu tatanan colonial Hindia Belanda. Sejalan dengan hal ini Hindia Belanda  mengadakan perubahan birokrasi dengan mengangkat pejabat-pejabat tradisional sebagai pegawai pemerintah yang bergaji dan di bawah kuasa soerang residen. Komersialisasi agraria melahirkan perkebunan-perkebunan kopi dan kemudian kopra membuat ekonomi ekspor berkembang pesat, penanaman modal mengalir deras, dan kota-kota lain tumbuh seperti Tondano, Tomohom, Romboken, Kwangkoan, dan Langowan
Setelah pindah ke Manado, Maramis mulai menulis opini di surat kabar setempat yang bernama Tjahaja Siang. Dalam artikel-artikelnya, ia menunjukkan pentingnya peranan ibu dalam keluarga dimana adalah kewajiban ibu untuk mengasuh dan menjaga kesehatan anggota-anggota keluarganya. Ibu juga yang memberi pendidikan awal kepada anak-anaknya.
Menyadari wanita-wanita muda saat itu perlu dilengkapi dengan bekal untuk menjalani peranan mereka sebagai pengasuh keluarga, Maramis bersama beberapa orang lain mendirikan Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunannya (PIKAT) pada tangg 8 Juli 1917 Tujuan organisasi ini adalah untuk mendidik kaum wanita yang tamat sekolah dasar dalam hal-hal rumah tangga seperti memasak, menjahit, merawat bayi, pekerjaan tangan, dan sebagainya.
Melalui kepemimpinan Maramis di dalam PIKAT, organisasi ini bertumbuh dengan dimulainya cabang-cabang di Minahasa, seperti di Maumbi, Tondano, dan Motoling. Cabang-cabang di Jawa juga terbentuk oleh ibu-ibu di sana seperti di Batavia, Bogor, Bandung,  Cimahi, Magelang dan Surabaya Pada tanggal 2 Juni 1918. PIKAT membuka sekolah Manado Maramis terus aktif dalam PIKAT sampai pada kematiannya pada tanggal 22 April 1914
Untuk menghargai peranannya dalam pengembangan keadaan wanita di Indonesia, Maria Walanda Maramis mendapat gelar Pahlawan Pergerakan Nasional dari pemerintah Indonesia pada tanggal 20 Mei 1969
Pada tahun 1919, sebuah badan perwakilan dibentuk di Minahasa dengan nama Minahasa Raad. Mulanya anggota-anggotanya ditentukan, tapi pemilihan oleh rakyat direncanakan untuk memilih wakil-wakil rakyat selanjutnya. Hanya laki-laki yang bisa menjadi anggota pada waktu itu, tapi Maramis berusaha supaya wanita juga memilih wakil-wakil yang akan duduk di dalam badan perwakilan tersebut.
Usahanya berhasil pada tahun 1921 dimana keputusan datang dari Batavia yang memperbolehkan wanita untuk memberi suara dalam pemilihan anggota-anggota Minahasa Raad.
Maramis menikah dengan Joseph Frederick Caselung Walanda, seorang guru bahasa pada tahun 1890. Setelah pernikahannya dengan Walanda, ia lebih dikenal sebagai Maria Walanda Maramis. Mereka mempunyai tiga anak perempuan.
Dua anak mereka dikirim ke sekolah guru di Betawi Jakarta Salah satu anak mereka, Anna Matuli Walanda, kemudian menjadi guru dan ikut aktif dalam PIKAT bersama ibunya.
Untuk menghargai peranannya dalam pengembangan keadaan wanita di Indonesia, Maria Walanda Maramis mendapat gelar Pahlawan Pergerakan Nasional dari pemerintah Indonesia pada tanggal 20 Mei 1969
Betapa bangga bangsa Indonesia memiliki seorang ibu, nenek, serta buyut yang mengorbankan seluruh jiwa raga dan buah pikirannya untuk dunia politik dan pendidikan Indonesia.
Daftar Pustaka
1. JJ.Rizal. 2007. Maria Walanda Maramis (1872-1924) Perempuan Minahasa, Pendobrak Adat dan Pemberotak Nasionalisme, dalam "Merayakan Keberagaman", Jurnal Perempuan Vol.54 tahun 2007. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, hal.87-98.
2. N.Graffland dalam Maria Ulfah Subadio, T.O.Ihromi, Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1978.
3.  http://id.wikipedia.org/wiki/Maria_Walanda_Maramis