Kinanti Fitriani
Kesultanan Pelalawan atau Kerajaan Pelalawan yang sekarang
terletak di Kabupaten Pelalawan adalah satu dari beberapa kerajaan yang pernah
berkuasa di Bumi Melayu yang turut serta berpengaruh dalam mewarisi budaya
Melayu dan Islam di Riau, sedangkan gelar atau sebutan bagi Raja Pelalawan
adalah Tengku Besar.
Wilayah kerajaan pelalawan berawal dari kerajaan pekantua yang didirikan oleh maharaja indera (sekitar tahun 1380 M). Beliau adalah bekas orang besar kerajaan temasik (singapura) setelah kerajaan temasik dikalahkan oleh majapahit. Sedangkan raja Temasik terakhir yang bernama permaisura, (prameswara) mengundurkan dirinya ketanah semenanjung, dan mendirikan kerajaan malaka. Maharaja indera kemudian membangun kerajaan Pekantua di Sungai Pekantua (anak sungai Kampar,sekarang termasuk desa Tolam,Kecamatan Pelalawan,kabupaten Pelalawan ) pada tempat bernama “Pematang Tuo”dan kerajaan nya di namakan “Pekantua”. setelah maharaja Indera, kerajaan pekantua di pimpin oleh Maharaja Pura dan Maharaja Jaya[1].
Pada masa Sultan Syarif ali berkuasa
di Siak, beliau menuntut agar Pelalawan mengakui Siak sebagai yang “dipertuan”
karena beliau adalah pewaris Raja Kecil, Putera Sultan Mahmud Syah II Johor.
Pelalawan yang pada waktu itu diperintah oleh Maharaja Lela menolaknya, serta
terjadilah peperangan antara kerajaan Siak dan kerajaan Pelalawan, pada perang
pertama Siak mengalami kekalahan akan tetapi pada perang yang selanjutnya
Pelalawan mengalami kekalahan dan Siak langsung mengambil alih kekuasaan.
Kemudian
Sultan Said Abdurrahman melakukan ikatan persaudraan yang diberi nama “Begito”
(pengakuan bersaudara dunia akhirat) Said Abdurrahman kemudian dinobatkan
menjadi Raja Pelalawan dengan gelar Sultan Syarif Abdurrahman Fakhruddin. Sejak
itu kerajaan Pelalawan diperintah oleh raja-raja keturunan Said Abdurrahman,
dan salah satunya adalah anaknya yang bernama Tengku Said Jaafar.
Keturunan
Said Abdurrahman yang bernama Tengku Said
Jaafar,
yang ditabalkan menjadi Sultan Pelalawan ke-5. Terlahir dari keluarga kerajaan Pelalawan, beliau menduduki tahta kesultanan Pelalawan
pada tahun 1866 yang mana pada saat itu beliau menggantikan kakaknya yang
bernama Sultan Syarif Hamid yang pada saat itu mangkat (wafat).[2]
Sultan
Syarif Jafar diketahui memiliki 2 (dua) orang istri, tetapi hanya satu orang
yang diketahui atau yang namanya tercatat, yaitu Encik Timah. Dan dari kedua
pernikahannya tersebut Sultan Syarif Jafar kemudian dikaruniai 5 orang anak,
yaitu :
dengan
Istri pertama (Encik Timah):
- Tengku Sembuk
- Tengku Kelana Said Hasyim
- Tengku Syarifah Yuk
- Tengku Empuh (Empuk)
atau Tengku Entih
dengan
Istrinya kedua (belum diketahui):
- Tengku Syarifah Yah[3]
Periode pemerintahan di Pelalawan dibagi menjadi dua periode pra Islam dan
pasca Islam. Pada era pra Islam, kerajaan ini masih bernama Pekantua. Sementara
pada era Islam, ada tiga kali pergantian nama, dari Pekantua Kampar,
kemudianTanjung Negeri, dan terakhir Pelalawan.
Sultan Syarif Jaafar memerintah dikerajaan Pelalawan sejak
tahun 1866, dan selama Sultan Syarif Jaafar memerintah tidak terjadi adanya
konflik atau perang besar diwilayah tersebut. Sultan Syarif Jaafar dikenal
sebagai pemimpin yang adil, bijaksana dan pandai menata struktur dalam menata
struktur dan administrasi kerajaan.
Kebijakannya
yang berhasil beliau terapkan pada masa pemerintahannya adalah dalam
menyempurnakan penataan adat di Istana. Dia mengatur tata cara berpakaian para
Pembesar Istana, Orang Besar Kerajaan, Batin-Batin, Penghulu dan sebagainya.
Ketentuan yang Dia susun pada prinsipnya berdasarkan pada adat dan tradisi
Melayu Johor, dan sebagian lainnya bersumber dari adat tempatan yang ada dalam
masyarakat.
Pada masa pemerintahannya Sultan
Syarif Jaafar, Beliau menetapkan 4 (empat) orang Wazir Istana (dalam bahasa
persia yang berarti Penasehat, Menteri Politik atau petinggi Kerajaan),
diantaranya adalah :
- Datuk
Engku Raja Lela Putera, yang berasal dari Orang Besar Pelalawan, diberi
jabatan sebagai Pucuk segala Batin dan Penghulu
- yang
jumlahnya 29 orang, dengan sebutan "Batin Kurang Oso Tigo
Puluh". (Jabatan yang semula sudah dipegang oleh Datuk Engku Raja
Lela sejak masa pemerintahan Sultan Syarif Abdurrahman).
- Datuk
Bandar Setia Diraja, diberi tanggung jawab dalam memimpin para pendatang
(perantau) yang disebut "Orang Dagang".
- Datuk
Laksemana Mangku Diraja, diberi tanggung jawab dalam memimpin serta
mengepalai penduduk asli tempatan (di luar pesukuan Batin Kurang Oso Tigo
Puluh).
- Datuk
Kampar Samar Diraja, diberi jabatan dalam mengepalai urusan Adat istiadat
dan bertindak pula sebagai Syahbandar yang mengatur "pancung
alas" (pajak penghasilan hutan) yang dibawa ke luar dari wilayah
kerajaan Pelalawan.[4]
Selanjutnya,
Sultan Syarif Jaafar juga
mengatur panji (Bendera) pesukuan dari setiap persukuan, sesuai menurut
lambang-lambang, adat dan tradisi masing-masing pesukuan. Dengan demikian,
setiap Batin atau Penghulu yang menghadiri upacara kerajaan di Pelalawan
diwajibkan untuk membawa panji-panjinya yang dipasang ditempat tertentu sesuai
menurut ketentuan adat tempatan. Batas
wilayah pada masa kerajaan Pelalawan dengan kerajaan Siak pada masa itu aliran
sungai Kampar kanan,seberas-beras dekat teratak buluh dan dengan kerajaan
Kampar kiri di aliran sungai Kampar kiri di hulu rantau Tayas. Sedangkan
wilayah kekuasaan kerajaan Pelalawan sama dengan wilayah kabupaten Pelalawan
sekarang ini.
Kemudian,
Sultan Syarif Jaafar meneruskan kebijakannya dalam menertibkan perbatasan tanah
dan wilayah yang menjadi milik pesukuan, hal ini dilakukan untuk meneruskan
kebijaksanaan kakaknya Sultan Syarif Ismail (1828 – 1844) sultan ke III pada
kerajaan Pelalawan, yaitu memberi surat pengesahan kepemilikan hutan dan tanah
bagi pesukuan, yang dasarnya ditentukan menurut "tombo" atau
"terombo" (Silsilah atau Asal Usul) pesukuan itu. Sedangkan
sumber pendapatan kerajaan pelalawan
pada masa itu memilki usaha sendiri (
kebun karet, ladang dan hasil hutan), disamping itu juga dari pajak hasil bumi,
perdagangan dan sumbangan masyarakat yang tidak mengikat.
Dan dalam menjalankan tugasnya,
Sultan Syarif Jaafar dibantu oleh
Mangkubumi, dan beberapa Orang Besar yang mengepalai daerah tertentu dalam
wilayah Kerajaan Pelalawan.
Kemudian pada tahun 1872 Sultan Syarif Jaafar mangkat dengan gelar : MARHUM
TENGAH dan sesuai dengan yang telah digariskan secara turun temurun,
meninggalnya Sultan Syarif Jaafar ini kemudian akan digantikan oleh adik
laki-lakinya yaitu Tengku Said Abu Bakar (Sultan Syarif Abu Bakar) yang mana beliau
adalah adik tertua pada saat itu yang berhak menggantikan kakaknya Sultan
Syarif Jaafar.
Berikut ini adalah urutan Penguasa Negri
Pelalawan dibawah kekuasaan Johor :
a. Kerajaan Pekantua (1380-1505)
- Maharaja Indera (1380-1420)
- Maharaja Pura (1420-1445)
- Maharaja Laka (1445-1460)
- Maharaja Sysya (1460-1480)
- Maharaja Jaya (1480-1505).
b. Kerajaan Pelalawan (1725-1946)
- Maharaja
Dinda II/Maharaja Dinda Perkasa/Maharaja Lela Dipati (1725-1750)
- Maharaja
Lela Bungsu (1750-1775)
- Maharaja
Lela II (1775-1798)
- Sayid
Abdurrahman/Syarif Abdurrahman Fakhruddin (1798-1822)
- Syarif Hasyim (1822-1828)
- Syarif Ismail (1828-1844)
- Syarif Hamid (1844-1866)
- Syarif Jafar (1866-1872)
- Syarif Abubakar (1872-1886)
- Tengku Sontol Said Ali
(1886-1892 )
- Syarif Hasyim II (1892-1930)
- Tengku Sayid Osman/Pemangku
Sultan (1930-1940)
- Syarif Harun/Tengku Sayid Harun
(1940-1946).[5]
KESIMPULAN
Wilayah
kerajaan pelalawan berawal dari kerajaan pekantua yang didirikan oleh maharaja
indera (sekitar tahun 1380 M), kerajaan ini dibawah kekuasaan Johor. Pada masa
Sultan Syarif ali berkuasa di Siak, beliau menuntut agar Pelalawan mengakui
Siak sebagai yang dipertuan, kemudian terjadilah peperangan antara kerajaan
siak dan kerajaan pelalawan yang menjadikan Said Abdurrahman sebagai Sultan dikerajaan
pelalawan dan sejak itu kerajaan Pelalawan diperintah oleh raja-raja keturunan
Said Abdurrahman, dan salah satunya adalah anaknya yang bernama Tengku Said
Jaafar, yang mana pada masa pemerintahan Sultan Syarif Jaafar tidak ada terjadi
konflik atau perang besar dan dia dikenal dengan pemimpin yang adil, bijaksana
serta pandai mengatur struktur kerajaan hingga kebijakannya menertibkan
perbatasan tanah dan wilayah yang menjadi milik pesukuan sampai akhirnya dia
wafat dan mendapat gelar Marhum Tengah.
[1] Wade
Saputra. Gambaran Umum Kabupaten
Pelalawan. Uin Suska. Pekanbaru. 2017. Hal. 18
[2] Wikipedia
Indonesia https://id.wikipedia.org/wiki/Syarif_Jaafar_dari_Pelalawan
Diakses pada 22 desember 2020
[3]
Wikipedia Indonesia https://id.wikipedia.org/wiki/Syarif_Jaafar_dari_Pelalawan
Diakses pada 22 Desember 2020
[4] Wikipedia Indonesia https://id.wikipedia.org/wiki/Syarif_Jaafar_dari_Pelalawan Diakses pada 22 Desember 2020
[5] Desi
Purnama Indah , Isjoni, Kamaruddin. Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau. October 2017
DAFTAR PUSTAKA
Desi
Purnama Indah , Isjoni, Kamaruddin. Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau. October 2017
Wade
Saputra. 2017. Gambaran Umum Kabupaten
Pelalawan. Uin Suska. Pekanbaru
Wikipedia
Indonesia https://id.wikipedia.org/wiki/Syarif_Jaafar_dari_Pelalawan
Diakses pada 22 Desember 2020
No comments:
Post a Comment