Halaman

Sejarah Pemberontakan PETA di Blitar 14 Februari 1945


Siska Maya Renti/014 B

            Apabila kita bertanya kepada banyak orang tentang apa yang mereka ingat jika menyebut tanggal 14 Februari, tentulah mayoritas dari mereka akan berkata 'Hari Valentine', apalagi kalau yang ditanya adalah anak-anak muda zaman sekarang yang hobinya tidak jauh dari 'percintaan' dan 'kegalauan'. Padahal, tanggal 14 Februari dicatat dalam sejarah nasional Indonesia sebagai peringatan peristiwa Pemberontakan PETA (Pembela Tanah Air) di Kota Blitar pada tahun 1945 - hanya setengah tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia - yang dipimpin oleh Shodancho Supriyadi, seorang pemuda yang dilahirkan pada tanggal 13 April 1925 di Trenggalek, Jawa Timur. Ayahnya bernama Darmadi, seorang pejabat Pamongpraja sejak zaman Hindia Belanda hingga di zaman kemerdekaan. Bapak Darmadi mula-mula seorang wedana di Gorang-garing, Madiun, kemudian menjadi Fukukenco atau Patih pada zaman Jepang dan diangkat sebagai Bupati Blitar pada zaman RI. Supriyadi adalah putera sulung. la masih mempunyai dua belas saudara lagi. Ibu kandung Supriyadi bernama Rahayu, meninggal waktu Supriyadi masih kecil. Kemudian anak sulung itu diasuh oleh ibu tirinya bernama Susilih.

Supriyadi mula-mula bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS), Sekolah Dasar berbahasa Belanda. Sesudah tamat ia melanjutkan pelajarannya di MULO, setingkat dengan SMP, kemudian meneruskan pelajaran di Sekolah calon Pamongpraja (MOSVIA) di Magelang. Ketika pasukan Jepang mendarat di Indonesia Supriyadi bersekolah di Sekolah Menengah Tinggi (SMT), kemudian mengikuti pendidikan semi militer atau Latihan Pemuda (Seinindojo) di Tanggerang.
Supriyadi merasa terpanggil masuk Tentara Pembela Tanah Air atau Peta. Ia mendapat latihan yang keras dalam barisan Peta dan diangkat menjadi Syodanco Dai Ici Syodan dari Dai San Cudan atau Komandan Peleton I dan Kompi III Tentara Peta di Blitar, Kompi III adalah kompi bantuan yang menguasai persenjataan berat dari Daidan Blitar. Sementara itu keadaan masyarakat Indonesia di bawah kekuasaan Jepang makin menyedihkan. Penghidupan rakyat sudah sangat berat, bahkan dapat dikatakan morat-marit. Mereka kekurangan makanan, pakaian dan obat-obatan. Jumlah orang yang menderita kelaparan serta penyakit makin banyak. Pihak balatentara Jepang tidak tampak ada usahanya untuk mengatasi keadaan yang buruk itu. Mereka hanya mementingkan keperluan tentara dan orang-orang Jepang sendiri, bahkan bertindak kejam dan memeras rakyat dengan membentuk Romusya, tenaga kasar yang dikirim ke luar Indo­nesia untuk keperluan perangnya. Syodanco Supriyadi bersama kawan-kawannya merasa prihatin menyaksikan penderitaan rakyat akibat perbuatan pemerintah Jepang yang tidak mengenal perikemanusiaan. la keras sekali berkeinginan untuk mengakhiri penderitaan rakyat. Hal ini niscaya tercapai dengan kemerdekaan Indonesia. Merenungkan dan mempertimbangkan hal itu Syodanco Supriyadi sampai pada kesimpulan untuk memberontak. Itulah jalan satu-satunya.
            Pada suatu siang antara jam 12.00 sampai jam 14.00 di kamar Bundanco Halir Mangkudijaya diadakan pertemuan rahasia pertama yang dipimpin oleh Syodanco Supriyadi dan dihadiri oleh Syodanco Muradi, dan Bundanco Sumanto. Mereka bersepakat untuk melakukan pemberontakan melawan pemerintahan pendudukan Jepang. Persiapan segera dilakukan. Para perwira, bintara dan tamtama dalam Daidan Bihar sendiri dihubungi dan diajak serta memberontak. Demikian pula anggota pasukan Peta dari Daidan-daidan lainnya. Dihubungi pula tokoh-tokoh masyarakat untuk bantuannya.
Rupanya para anggota Peta yang mendukung rencana pemberontakan makin banyak. Pada akhir bulan Juni 1944, di waktu malam hari antara jam 21.00 sampai 24.00 di kamar Bundanco Halir mangkudijaya, kembali diadakan pertemuan rahasia yang kedua. Di dalam pertemuan ini tampak wajah-wajah baru scperti Syodanco Sumardi, Bundanco Sudarmo dan Bundanco Suryono, sedangkan Bundanco Tarmuji diberi tugas menjaga keamanan. Pada pertemuan tersebut Syodanco Supriyadi kembali berkata, "Kita sebagai bangsa yang ingin merdeka tidak dapat membiarkan tentara Jepang terus menerus bertindak sewenang-wenang menindas dan memeras rakyat Indonesia. Tentara Jepang yang makin merajarela itu harus dilawan dengan kekerasan. Apa pun dan bagaimana pun pengorbanan yang diminta untuk mencapai kemerdekaan In­donesia kita harus rela memberikannya". Kemudian Syodanco Supriyadi menambahkan, "Akibat dan resiko dari perjuangan kita sudah pasti. Paling ringan dihukum tahanan dan paling berat dihukum mati.
Kita yang berjuang jangan sekali-kali mengharapkan pangkat, kedudukan atau pun gaji yang tinggi. Bagaimana kalau kita mengadakan pemberontakan melawan tentara Jepang?"
Semua yang hadir menyetujui dan siap melakukan pemberontakan. Mereka menyadari bahwa menyetujui pemberontakan berarti "teken mati". Sebab yang akan dihadapi adalah musuh yang kejam dan bengis terhadap rakyat di mana-mana. Sementara itu Cudanco dr. Ismail, Syodanco Darip dan Syodanco Partoharjono juga mendukung rencana tersebut.
Pada pertengahan bulan Agustus 1944, kembali diadakan pertemuan rahasia yang ketiga. Yang nadir makin bertambah banyak. Rencana sudah makin matang. Pembagian tugas sudah diadakan. Kebetulan sepuluh Daidan di Daerah Jawa Timur akan melakukan latihan gabungan yang dipusatkan di Tuban dan Bojonegoro. Syodanco Supriyadi dan kawan-kawannya merencanakan untuk melakukan pemberontakannya di Tuban itu. Pada awal Pebruari 1945, diadakan lagi pertemuan rahasia kelima dihadiri oleh dua belas orang seperti pertemuan sebelumnya. Persiapan sudah makin mantap. Waktu akan dilakukannya latihan gabungan sudah ditetapkan.Sementara itu dibentuk organisasi pelaksana pemberontakan terdiri dari:
Pemimpin                                : Syodanco supriyadi
Komandan pertempuran         : Syodanco muradi
Komandan-komandan                       
Pasukan                                   : Syodanco Sunaryo
                                                : Syodanco S. Jono
                                                : Syodanco Dasrip
Perbekalan                               : Syodanco Sumardi 
                                                : Bundanco Halir Mangkudijaya
Keuangan                                : Bundanco Pracoyo
Peralatan                                 : Bundanco Sungkono
Angkutan                                : Bundanco Atmojo
Pergudangan                           : Bundanco Tarmuji
Penasehat                                : Bundanco dr. Ismail
                                                : Bundanco Halir Mangkudijaya
Menurut rencana, pemberontakan akan dicetuskan di Tuban. Begitu pemberontakan di mulai, semua peluru dan senjata Daidan Blitar harus dibawa ke Madiun lewat Tulungagung, Trenggalek, dan Ponorogo. Daidan Blitar akan menuju ke sana. Pada tanggal 2 Pebruari 1945, sebagian Daidan Blitar sudah berangkat menuju Tuban dan Bojonegoro. Sebagian besar perwira, bintara, staf dan pelatih, termasuk para peserta pertemuan rahasia semuanya sudah berangkat dalam rombongan pertama ini. Tiga hari kemudian, yaitu tanggal 5 Pebruari 1945, gelombang kedua diberangkatkan. Semua peralatan dan makanan diangkat dengan kereta api. Kepada para anggota pasukan sudah dibagikan peluru. tetapi rupanya ada sesuatu hal yang dirasakan agak luar biasa. Rombongan kedua ini setibanya di Kertosono, secara mendadak diperintahkan untuk kembali ke Blitar.
Latihan gabungan sepuluh daidan juga dibatalkan. Mengapa terjadi demikian? Alasannya ialah Daidanco Bojonegoro lelah meninggal dunia. Apakah komandan Daidan Bojonegoro itu meninggal karena sakit, ataukah karena alasan lain? Demikian banyak di antara para anggota Peta yang mengajukan pertanyaan pada diri sendiri. Yang jelas ialah gagalnya latihan gabungan berarti gagalnya pemberontakan Peta yang diprakarsai Syodanco Supriyadi dan yang direncanakan akan dicetuskan di Tuban. Rupanya pihak Jepang sudah mencium adanya rencana pemberontakan. Peraturan ketat segera diumumkan, para prajurit Peta dilarang bergerombol melebihi lima orang. Tidak diberikan kebebasan melancong. Juga pada hari Jum'at tidak ada lagi kebebasan. Dilarang keras membicarakan tentang keadaan Daidan kepada para tamu. Pengawasan makin diperketat. Syodanco Supriyadi dan kawan-kawannya makin disorot dan diawasi.
Akhimya para prajurit Peta di Blitar itu mengadakan pertemuan rahasia lagi dan bersiap benar-benar untuk melakukan pemberontakan. Pada tanggal 13 Pebruari 1945 jam 20.00 mereka mengadakan rapat yang terakhir dikunjungi oleh dua puluh lima perwira dan bintara. Sepasukan khusus ditugaskan untuk mcngawasi markas Kempeitai dan rumah-rumah orang Jepang. Apabila ada gerakan orang Jepang yang mencurigakan, maka akan diambil tindakan, tanpa membunyikan senapan.
Dalam rapat tersebut dikemukakan, bahwa pihak Jepang sudah mengetahui rencana pemberontakan, bahkan sepasukan Kempeitai dari Semarang sudah datang dengan kereta api pada jam 14.00. Sudah jelas mereka itu akan digunakan untuk menangkap para prajurit Peta Blitar dan menganiaya mereka. Syodanco Supriyadi Ialu berkata,"Lebih baik kita mati terhormat melawan tentara Jepang yang sudah jelas bertindak sewenang-wenang terhadap bangsa Indonesia. Lebih baik kita melakukan pemberontakan melawan Jepang sekarang juga. Dengan terjadinya pemberontakan ini besar kemungkinan kemerdeka-an Indonesia akan lebih cepat datangnya. Selanjutnya ia pun menegaskan,"Kita mengadakan pemberontakan sekarang juga, tidak lain untuk mencapai kemerdekaan tanah air dengan secepat-cepatnya. Kemerdekaan Indonesia harus kita rebut dengan kekerasan senjata. Sebagai bangsa yang ingin merdeka kita harus berani berjuang dan rela berkorban untuk menghentikan penindasan dan pemerasan yang sewenang-wenang terhadap rakyat Indonesia. Akibat dari pemberontakan paling ringan kita dihukum atau disiksa, dan paling berat dibunuh. Dan kita harus mencegah sejauh mungkin jangan sampai berhadapan dengan bangsa sendiri".
Prajurit Peta di Blitar itu pun sepakat dan mereka mendukung dan persiapan pemberontakan pun segera dimulai pada malam itu juga. Tepat pada jam 03.00 dinihari, tanggal 14 Pebruari 1945, pasukan pun sudah bersiap. Syodanco Supriyadi keluar dan berdiri di dekat penembak mortir, lalu berteriak memberi komando : Hajimee …"yang berarti mulai!". Kemudian tembakan mortir pun berdentuman dan pemberontakan Peta Blitar sudah dimulai. Bendera Merah Putih pun sudah dikibarkan di lapangan besar di seberang jalan di depan Daidan.
Prajurit Peta itu masing-masing lalu membagi dirinya ke dalam rombongan yang menuju ke medan utara, medan timur, medan selatan dan medan barat. Syodanco Supriyadi mula-mula berada di medan timur, kemudian menuju ke medan barat. Berbagai aksi pemberontakan telah dilakukan. Mereka memutus kabel-kabel telpon dan menewaskan orang-orang Jepang di kota maupun di luar kota yang sempat dijumpai.
Sementara itu tentara Jepang segera mengambil tindakan. Mereka bersikap berhati-hati dan tidak bertindak ceroboh. Mereka menyadari, sikap yang gegabah akan menyulitkan kedudukan mereka. Pesawat-pesawat terbang dikirimkan untuk melakukan pengintaian. Jepang pun tidak langsung menghadapi para prajurit Peta yang melawan itu, tetapi menggunakan para pemimpin Indonesia, seperti Daidanco, Cudanco, bahkan seorang guru kebatinan, Mbah Kasan Bendo yang terkenal di Blitar itu, untuk memadamkan pemberontakan. Karena para prajurit Peta itu masih muda dan belum cukup mempunyai pengalaman liku-liku hidup, maka mereka pun dapat dilemahkan hatinya sehingga percaya akan janji-janji pihak Jepang yang ternyata tidak dipenuhi.
Kolonel Katagiri atau Katagiri Taisan sendiri telah menemui Syodanco Muradi di medan barat dan berjanji akan memperlakukan para prajurit Peta yang telah memberontak itu sesuai dengan persyaratan yang diminta. Tetapi ternyata janji tersebut tidak dilaksanakan. Para pemimpin pemberontakan Peta Blitar beserta para prajurit, kemudian ditangkap dilucuti dan dijatuhi hukuman. Enam perwira dihukum mati di pantai Ancol, Jakarta. Banyak yang dihukum penjara seumur hidup, 15 tahun, 10 tahun, 7 tahun, 4 tahun, 3 tahun, 7 bulan di penjara Cipinang, Jakarta dan Sukamiskin, Bandung. Banyak pula yang dihukum secara kolektif, diasingkan di daerah Gambyok di Jawa Timur yang tandus. Sesudah Proklamasi kemerdekaan mereka dibebaskan dan terus ikut berjuang mempertahankan Republik Indonesia. Mengenai nasib Syodanco Supriyadi sendiri tidak ada yang mengetahui secara pasti. Sementara pihak berpendapat, Supriyadi gugur dalam pertempuran melawan pasukan Jepang, atau dibunuh sesudah ditangkap.
Pendapat lain mengatakan Supriyadi dapat meloloskan diri dan berjalan menuju ke barat sampai di daerah Banten dan gugur disana. Tidak seorangpun yang mengetahui keadaan yang sebenarnya. Tetapi bangsa Indonesia pada tahun 1945 mempunyai dugaan bahwa Supriyadi mungkin masih hidup. Karena itu sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Supriyadi telah diangkat menjadi Menteri Keamanan Rakyat dalam Kabinet Presidential R.I yang pertama (19 Agustus 1945 -14 November 1945), tetapi beliau tidak pernah muncul. Hingga hari ini bangsa Indonesia tetap tidak mengetahui, bagaimana nasib Syodanco Supriyadi di masa akhir hayatnya yang sebenarnya. Pemerintah R.I menghargai jasa-jasa Supriyadi dan memberikannya gelar Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden R.I No. 063/TK/ Tahun 1975, tanggal 9 Agustus 1975
 


DAFTAR PUSTAKA
·         Asril,M.Pd, Sejarah Indonesia Dari Penjajahan Jepang hingga Kemerdekaan, FKIP -Universitas Riau, 2006
·       Marwati Djoened Poesponegoro & NugrohoNotosusanto.1984.Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka
·         Supriatna, Nana, 2006. Sejarah. Jakarta: Grafindo Media Pratama
·         Purwanta dkk, 2007. Sejarah. Jakarta:Grasindo Widiasarana Indonesia
·         Sumber : http://pemberontakan-peta.com/

No comments:

Post a Comment