KHOLIFA TULHASSANA
Aceh memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan. Aceh
banyak menghasilkan lada dan tambang serta hasil hutan. Oleh karena itu,
Belanda berambisi untuk mendudukinya. Sebaliknya, orang-orang Aceh tetap ingin
mempertahankan kedaulatannya. Sampai dengan tahun 1871, Aceh masih mempunyai
kebebasan sebagai kerajaan yang merdeka.
Pada awal abad 19 pemerintah Hindia Belanda mulai melebarkan sayap kekuasaannya
diluar pulau Jawa, termasuk wilayah Sumatra. Hal tersebut untuk melindungi
wilayah jajahan Belanda supaya tidak direbut oleh Inggris yang pada saat itu
menguasai Semenanjung Malaya. Pada tahun 1930-an Belanda berhasil menguasai
daerah Sibolga dan Tapanuli yang maĆz menjadi daerah kekuasaan Aceh. Selain itu
pada tanggal 1 februari 1858 Sultan Siak diikat perjanjian oleh pemerintah
Hindia Belanda. Menurut Wikipedia, bahwa akibat perjanjian yang ditandatangani
oleh Sultan Ismail dengan pihak Hindia Belanda membuat daerah Deli, Langkat,
Asahan dan Serdang jatuh kepada pihak Belanda. Padahal daerah-daerah tersebut
sejak Sultan Iskandar Muda, berada di bawah kekuasaan Aceh.
Dengan dikuasainya Siak oleh Belanda, menunjukkan bahwa Belanda sudah tidak konsisten dengan isi traktat London 1924. Hal tersebut benar-benar membuat Aceh marah dan tidak tinggal diam. Akhirnya Aceh pun menyusun rencana dalam menghadapi pihak Belanda, pemerintah Hindia Belanda juga mempersiapkan diri guna menyerang Aceh. Akhirnya pada tanggal 26 maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan melakukan serangan di daratan Aceh.
A. Latar Belakang Terjadinya Perang Aceh
1. Belanda menduduki daerah Siak
Sultan Ismail dari Siak (1827-1867) merupakan penguasa yang tidak pernah berhasil menjadi penguasa di negerinya yang penuh gejolak. Setelah lepas dari kendali ayahnya pada tahun 1840, ia berhadapan dengan pemberontakan yang dilancarkan oleh iparnya sendiri. Sultan Ismail meminta bantuan dari pihak Belanda untuk mengalahkan saudaranya. Tetapi sebelum memberi bantuan kepada Sultan Ismail, Belanda lebih dahulu mengikat Ismail dengan sebuah perjanjian. Nieuwenhuyzen, Residen Riau dikirim ke Siak untuk mengatasi masalah Sultan Ismail dan Tengku Putra.
Nieuwenhuyzen membuat perjanjian persahabatan dengan Sultan Ismail jika nantinya bantuan yang diberika Belanda berhasil mengalahkan musuh Sultan Ismail maka Siak harus tunduk dibawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Sultan Ismail menyetujui isi perjanjian yang diajukan oleh Residen Riau teresbut. Belanda pun mulai melancarkan serangannya terhadap Tengku Putra, akhirnya Tengku Putra pun melarikan diri dari Siak karena tidak mampu melawan serangan dari pihak Belanda.
Sesudah Tengku Putra melarikan diri dari Siak, Sultan Ismail naik tahta menjadi pemimpin di Siak. Tetapi berdasarkan perjanjian yang sudah disepakati antara Sultan Ismail dan Pemerintah Hindia Belanda maka Siak harus tunduk kepada Pemerintah kolonial, padahal daerah Siak sejak pemerintahan Sultan Iskandar Muda berada dibawah kekuasaan Aceh. terjadinya perang Aceh. Karena hal tersebut bertentangan dengan hegemoni Aceh maka untuk mencegah penetrasi lebih lanjut banyak kapal perang Aceh yang dikerahkan di pantai timur Sumatera, tetapi akhirnya wilayah Deli, Serdang, dan Asahan tetap jatuh ke tangan Belanda (Kartodirjo,1987:386). Hal tersebut juga menjadi salah satu faktor tejadinya perang Aceh.
2. Dibukanya Terusa Suez oleh Ferdinand de Lesseps
Dibukanya Terusan Suez pada awal abad 19 membuat Aceh mempunyai kedudukan strategis karena terletak dalam urat nadi perkapalan internasional. Belanda memandang situasi tersebut sangat gawat karena memasuki masa dimana imperialisme dan kapitalisme mulai memuncak dan negara-negara barat mulai berlomba mencari daerah jajahan baru (Kartodirjo,1987:386). Lalu lintas Selat Malaka juga semakin ramai sesudah dibukanya Terusan Suez dan Aceh merupakan pintu gerbang utama untuk menuju Selat Malaka (Poesponegoro dan Notosusanto,1993:242). Hal tersebut juga melatarbelakangi ekspansi Belanda terhadap Aceh.
3. Ditandatanganinya perjanjian Sumatera antara Inggris dan Belanda pada 1871 yang melanggar isi Traktat London 1824
Kebijakan Inggris terhadap Aceh mengalami perubahan pada tahun 1860-an dan tidak lagi memberi kedaulatan penuh bagi Aceh. Ketika persaingan diantara keluatan-kekuatan Eropa untuk mendapatkan daerah jajahan meningkat, maka London memutuskan lebih baik Belanda yang menguasai Aceh dari pada negara yang lebih kuat seperti Perancis dan Amerika yang akan menguasainya.
Hasilnya adalah ditandatanganinya perjanjian Sumatera pada 1871 yang memberikan kebebasan bagi Belanda untuk melakukan ekspansi diseluruh wilayah Sumatera termasuk Aceh atas persetujuan Inggris dan sebagai gantinya Belanda menyerahkan pantai emas Afrika kepada Inggris. Perjanjian tersebut juga mengumumkan bahwa Belanda ingin menguasai Aceh. Hal tersebut juga memicu terjadinya perlawanan dari Aceh pada pihak Belanda.
B. Jalannya Perang Aceh Dari Tahun 1873 Sampai Tahun 1904
Pemerintahan Belanda pada tanggal 18 februari 1873 memerintahkan Gubernur jendral di Batavia untuk mengirimkan kapal dan pasukan yang kuat ke Aceh. Kemudian dikirimlah komisaris Hindia Belanda untuk Aceh yaitu F.N Nieuwenhuysen yang berangkat ke Aceh dengan menggunakan dua kapal perang lengkap dengan pasukannya. Nieuwenhuysen berangkat pada tanggal 7 Maret 1873, tidak lama kemudian datang juru bicara Belanda yang bernama Said Tahir menghadap Sultan Mahmud Syah untuk menyampaikan surat dari Komisaris Nieuwenhuysen.
Surat tersebut berisi permintaan kepada Sultan Aceh untuk mengakui kedaulatan Hindia Belanda atas negaranya. Sultan Mahmud Syah menolak isi surat tersebut dan tidak bersedia menerima perintah dari komisaris Hindia Belanda tersebut. Surat-surat selanjutnya dari komisaris Hindia Belanda juga tidak diberi jawaban serta ditolak oleh Sultan Aceh, sehingga pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda mulai menyerang Aceh (Poesponegoro dan Notosusanto,1993:243). Beberapa periode perang Aceh terhadap Belanda, yaitu:
1) Perang periode pertama tahun 1873-1874
Aceh sudah mempersiapkan diri dalam menghadapi serangan yang akan dilaksanakan oleh Belanda. Sepanjang pantai Aceh besar dibangun benteng-benteng untuk memperkuat wilayah. Demikian juga untuk tempat-tempat yang penting seperti istana raja, masjid raya Baiturrachman, dan Gunongan juga diperkuat.
Pada tanggal 5 April 1873, tampaklah suatu kesatuan penyerbu Belanda yang kuat dan dipimpin oleh Mayor Jendral J.H.R. Kohler. Pada penyerangan Belanda yang pertama ini, Belanda berhasil menyerang dan mengepung Masjid Raya Baiturrachman serta menembakkan peluru api ke arah masjid tersebut, sehingga Masjid tersebut terbakar dan berhasil diduduki oleh pihak Belanda.
Tetapi setelah Belanda berhasil menduduki Masjid tersebut, panglima perangnya yakni Jendral Kohler tewas, akibat ditembak oleh pasukan Aceh. Kekuatan pasukan Aceh semakin lama bertambah besar. Orang-orang Aceh yang sudah lama bersikap anti Belanda dan mengetahui negerinya akan diserang oleh Belanda, membuat masyarakat Aceh mengobarkan semangat juang untuk mempertahankan negerinya dari serangan Belanda.
Pemimpin perang periode pertama dari pihak Aceh adalah Panglima Polem Cut Banta, Panglima Sagi XXII Mukim, Dan Teuku Imam Luengbata. Setelah berhasil menduduki Masjid Raya Baiturachman, Belanda kini memusatkan penyerangan pada Istana Sultan. Serangan Belanda atas istana Sultan ternyata mengalami kegagalan dan atas persetujuan pemerintah Hindia Belanda di Batavia akhirya pasukan Belanda meninggalkan Aceh pada 29 April 1873.
Pada tanggal 9 Desember 1873, kapal perang Belanda kembali mendarat di pantai Aceh. Dalam penyerangan ini, pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Jendral J. Van Swieten. Tugas utama dari Swieten adalah untuk menyerang dan merebut istana serta mengadakan perjanjian dengan Sultan Aceh. Sesudah Belanda meninggalkan Aceh pada April 1873, masjid raya Baiturrachman kembali diduduki oleh pasukan Aceh.
Ditengah perjuangannya Sultan Aceh meninggal dunia akibat terkena wabah kolera. Kini kepemimpinan Aceh diserahkan kepada putra mahkota yang masih muda yakni Muhammad Daud Syah dan dibantu oleh Dewan Mangkubumi yakni Tuanku Hasyim. Pada tanggal 31 januari 1874 Van Swieten memproklamirkan bahwa Belanda telah menguasai Aceh besar. Tetapi rakyat Aceh tidak gentar dengan seruan Belanda tersebut dan masih merasa merdeka walaupun ibukota Aceh direbut oleh Belanda. Bagi rakyat Aceh sultan masih berdaulat bahkan dengan dikuasainya Aceh besar oleh Belanda, semakin besar pula semangat laskar Aceh dalam merebut kembali Aceh besar (Poesponegoro dan Notosusanto,1993:248-249).
2) Perang periode kedua tahun 1874-1880
Pada tahun 1877, pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Van Der Heyden mulai melakukan ofensif dengan mengirim ekspedisi untuk menakhlukkan Mukim XXII. Panglima Polim terpaksa mengundurkan diri ke daerah lain. Daerah - daerah lain dalam Aceh besar akhirnya jatuh ke tangan Belanda. Suasana yang dianggap sudah damai dan kesulitan keuangan mendorong penguasa Kolonial Hindia Belanda menerapkan sistem pemerintahan sipil. Ternyata langkah yang diambil oleh pemerintah Hindia Belanda itu salah. Paska diberlakukannya pemerintahan sipil, perlawana dari rakyat semakin besar sehingga Belanda kembali menerapkan sistem pemerintahan militer (Kartodirjo,1987:388).
Pada tahun 1877 Habib Abdurrahman kembali dari Turki. Dia berhasil mengadakan perundingan dengan Teuku Cik Di Tiro dan Imam Leungkata di Pidi untuk membicarakan soal strategi perang. Penyerangan Habib Abdurrahman terutama untuk memperlemah pos-pos Belanda yang melingkar antara Krueng, Raba, Lambaroh Uleekarang dan Klieng. Para pejuang juga berusaha membatasi ruang gerak pasukan Belanda dengan menghentikan konvoi pasukan Belanda.
Memasuki tahun 1878 kegiatan laskar Aceh semakin luas. Pertempuran antara pasukan Habib Abdurrahman dengan pasukan Belandadi Blang Ue, Peuka Badak dan Bukit Sirun. Sementara itu, Teuku Cik Di Tiro masih tetap melakukan perlawanan di daerah Pidi. Di Aceh barat perlawanan terhadap Belanda dipimpin oleh Teuku Umar. Ia dibantu oleh istrinya, Cut Nyak Dien yang juga aktif dalam medan pertempuran. Perlawanan Teuku Umar membuat Belanda kesulitan, sehingga Belanda dengan sekuat tenaga berusaha menakhlukkannya (Poesponegoro dan Notosusanto,1993:251-253).
3) Perang periode Ketiga tahun 1880-1896
Memasuki tahun 1880 situasi di Aceh semakin buruk bagi Belanda. Perlawanan rakyat Aceh semakin menghebat dan terjadi diseluruh lapisan msyarakat. Kaum bangsawan seperti Ulebalang langsung memimpin perjuangan di medan pertempuran dan ulama mengobarkan semangat juang di kalangan rakyat Aceh dengan mendengungkan perang Sabil dan mengkhotbahkan kisah-kisah peperangan seperti hikayat perang sabil, dan syair Aceh.
Pemerintah Hindia Belanda mulai menyadari kesulitan menakhlukkan aceh. Karena pejuang-pejuang Aceh selalu berhasil memasukkan perbekalannya melalui pantai utara, maka pada bulan Agustus 1881 pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk menjalankan blokade ketat. Bagi Aceh blokade tersebut tidak terlalu mengkhawatirkan karena penyelundupan perbekalan dan senjata masih dijalankan dengan segala cara.
Pada tahun 1884 Belanda mulai menerapkan sistem konsentrasi (konsentrasi stelsel). Daerah yang dikuasai Belanda dimakmurkan agar orang-orang Aceh yang melakukan perlawanan meletakkan senjatanya dan kembali ke daerah yang aman dan makmur ciptaan Belanda.
Dalam perkembangannya, sistem konsentrasi ini mengalami kegagalan karena strategi konsentrasi ternyata memberi peluang bagi para pejuang Aceh untuk menggalakkan perang gerilya.
4) Perang periode keempat tahun 1896-1904
Belanda sudah melaksanakan perang dengan berbagai strategi dari pemimpin perang yang berbeda pula. Tetapi pertahanan Aceh masih sulit dihancurkan bahkan semangat juang masyarakat Aceh semakin membara. Oleh karena itu Belanda berusaha menyelidiki rahasia dari kekuatan besar Aceh terutama yang menyangkut kehidupan sosial budayanya. Dr. Snouck Hurgrunje yang faham tentang agama islam dan pernah bergaul dengan orang-orang Aceh yang naik haji, oleh pemerintah Hindia Belanda dipandang sebagai orang yang tepat untuk diberi tugas memecahkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi Belanda dalam menakhlukkan Aceh (Poesponegoro dan Notosusanto,1993:256-257).
Sejak tahun 1890 Snouck Hurgronje mempelajari masyarakat Aceh. Hurgronje memberikan nasihat kepada pemerintah Hindia Belanda selama perang Aceh supaya memecah belah persatuan antara kaum Ulebalang dan kaum ulama. Mereka harus didisolir satu sama lain. Bersamaan dengan dengan usaha memecah belah itu, kaum Ulebalang secara militer harus didesak. Apabila ada dari kaum tersebut yang memberontak maka harus dihancurkan dan kaum Ulebalang yang lemah harus dirangkul. Demikian pula dengan kaum ulama, harus dilakukan penidasan militer tanpa ampun, sambil menyalurkan ajaran-ajaran islam hanya pada bidang ubudiyah saja. ajaran-ajaran islam tentang peperangan dan kenegaraan harus dimatikan.
Snouck Hurgronje juga memberi saran kepada pemerintah Hindia Belanda supaya menggempur semua pemimpin aceh yang mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Sultan Muhammad Daud Syah, merupakan sultan yang sangat sulit untuk ditakhlukkan oleh Belanda. Oleh karena itu, Belanda menggunakan taktik baru yaitu dengan menculik istri Sultan. Dengan memberi tekanan-tekanan keras kepada Sultan, akhirnya Sultan Muhammad Dawud menyerah kepada Belanda tahun 1903 (Wiharyanto,2006:163). Cara yang sama juga dilakukan Belanda untuk menangkap Panglima Polim. Isteri, ibu dan anak-anak panglima Polim diculik oleh Belanda, kemudian Belanda menekan Panglima Polim terus-menerus. Akhirnya karena keadaan sudah mendesak maka panglima Polim terpaksa menyerah kepada Belanda pada tanggal 6 september 1903 (Poesponegoro dan Notosusanto,1993:260).
Beberapa rentetan peristiwa mulai dari gugurnya para pemimpin perang sampai menyerahnya para penglima dan Sultan Aceh kepada pihak Belanda perlahan-lahan membuat pertahanan laskar Aceh lemah bahkan benar-benar sulit untuk bangkit dan kuat seperti dahulu. Kesempatan tersebut digunakan pemerintah Hindia Belanda untuk menemukan kekuasaan di seluruh wilayah Aceh . Peristiwa menyerahnya para pemimpin perang dan Sultan Aceh serta melemahnya kekuatan laskar Aceh sekaligus menandakan berakhirnya perang Aceh. Walaupun Belanda sudah berhasil menguasai seluruh Aceh dan menundukkan Sulatan aceh, tetapi rakyat Aceh masih tetap mengadakan perlawanan terhadap Belanda walaupun hanya perlawana dalam skala yang lebih kecil.
DAFTAR PUSTAKA
Deker,Nyoman. 1974. Sejarah Indonesia dalam Abad XIX 1800-1900. Malang: YPTP IKIP Malang.
Kartodirdjo,Sartono. 1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900. Jakarta: Gramedia.
Kartodirdjo,Sartono. 1978. Sejarah Perlawanan-perlawanan Terhadap Kolonialisme. Jakarta: Gramedia.
Pusonegoro, Marwati Joenad. 1990. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka.
No comments:
Post a Comment