Halaman

ASAL USUL KOTA PELALAWAN

 
EKO ADI PUTRA/ SR

Asal usul Pelalawan berawal dari sebuah kerajaan yang diberi nama "Kerajaan Pekantua". Kerajaan Pekantua berkaitan erat dengan sejarah Kerajaan Temasik (Singapura) dan Malaka. Kerajaan Pekantua berada di tepi Sungai Pekantua, anak sungai Kampar yang sekarang telah menjadi wilayah Desa Kuala Tolam, Kecamatan Pelalawan, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Kerajaan tersebut didirikan oleh Maharaja Indera pada tahun   1380 M. Pusat pemerintahan bekas Kerajaan Pekantua berjarak lebih kurang 45 km dari kota Pangkalan Kerinci. Wilayah tersebut dapat ditempuh melalui jalan darat dengan cara menyusuri jalan Lintas Timur dan jalan Lintas Bono serta dapat pula ditempuh melalui jalan air dengan cara menyusuri Aliran Sungai Kampar.

            Pendiri Kerajaan Pekantua, Maharaja Indera, adalah bekas Orang Besar Kerajaan Temasik yang takluk kepada Kerajaan Majapahit pada akhir abad XIV. Sementara Raja Temasik yang terakhir bernama Permaisura (Prameswara) mengundurkan diri ke Tanah Semenanjung dan mendirikan Kerajaan Malaka. Kerajaan Malaka akhirnya berkembang pesat menjadi Imperium Melayu sampai akhirnya kalah dari Portugis pada tahun 1511 M.
            Sejarah perjalanan Kerajaan Pekantua bermula pada tahun 1380 M. dan berakhir pada tahun 1946 M. Dalam perjalanannya, Kerajaan tersebut beralih nama menjadi "Kerajaan Pekantua Kampar" dan terakhir menjadi "Kerajaan Pelalawan". Pusat pemerintahannya pun berpindah-pindah dari Sungai Pekantua ke Bandar Tolam (sekarang: Desa Kuala Tolam) kemudian pindah ke Tanjung Negeri di Sungai Nilo. Setelah itu berpindah pula ke Sungai Rasau (Kota Jauh dan Kota Dekat), terakhir berpindah ke Kuala Sungai Rasau atau disebut juga dengan Ujung Pantai di pinggir Sungai Kampar. Di tempat ini Sultan bersama masyarakat Pelalawan membangun perkampungan baru yang disebut Kampung Dalam dan Kampung Pinang Sebatang. Terakhir Kampung Dalam disebut Dusun Raja dan Kampung Pinang Sebatang disebut Dusun Pinang Sebatang. Pada awal zaman kemerdekaan, banyak masyarakat pendatang dari wilayah pedalaman atau daratan yang berpindah dan menetap di Pelalawan sehingga terbukalah sebuah dusun baru yang diberi nama Dusun Makmur. [1]
Sejarah perjalanan Kerajaan Pelalawan dikelompokkan menjadi 6 zaman, yaitu :


A.    Zaman Pekantua atau Dinasti Temasik (1380 – 1505 M)

Raja pertama yang mendirikan Kerajaan Pekantua adalah Maharaja Indera yang memerintah dari tahun 1380 M sampai tahun 1420 M.. Untuk menunjukkan rasa syukur dapat melarikan diri dari kejaran Majapahit di Temasik dan keberhasilannya mendirikan kerajaan baru yang diberi nama Kerajaan Pekantua, beliau membangun Candi Hyang di Bukit Tuo yang sekarang termasuk wilayah Desa Lubuk Mas, Kecamatan Bunut, Kabupaten Pelalawan. Setelah Maharaja Indera wafat, digantikan oleh puteranya yang bergelar Maharaja Pura yang memerintah dari tahun 1420 M sampai tahun 1445 M. Pada masa pemerintahannya beliau terus berusaha mengembangkan Pekantua menjadi bandar besar di perairan Sungai Kampar.
Maharaja   Pura   digantikan    oleh    anaknya    yang   bergelar   Maharaja  Laka   yang
memerintah dari tahun 1445 M sampai tahun 1460 M. Pada saat itu hubungan dagang dengan Malaka yang telah dirintis oleh ayahndanya terus ditingkatkan. Maharaja Laka wafat dan digantikan oleh Maharaja Syisya yang memerintah dari tahun 1460 M. sampai tahun 1480 M. Beliau membangun bandar baru di seberang hulu Bandar Pekantua yang dinamakan Bandar Nasi dan terakhir bernama Bandar Nasi Nasi. Bandar tersebut berkembang menjadi pusat perniagaan sehingga kerajaan memiliki dua bandar di mana Bandar Pekantua tetap berfungsi sebagai pusat pemerintahan.
Maharaja Syisya wafat dan digantikan oleh Maharaja Jaya yang memerintah dari tahun 1480 M. sampai tahun 1505 M. Pada saat Maharaja Jaya memerintah, Pekantua diserang oleh Kerajaan Melaka di bawah pimpinan Sri Nara Diraja. Pada saat itu sultan yang memerintah Melaka adalah Sultan Mansyur Syah. Pasukan Melaka dihadang oleh Maharaja Jaya tetapi beliau tewas dan Kerajaan Pekantua berikut Bandar Nasi-Nasi jatuh ke tangan Malaka.

B.     Zaman Pekantua Kampar atau Dinasti Malaka (1505 – 1590 M.)

Raja Malaka, Sultan Mansyur Syah mengangkat Munawar Syah menjadi raja Pekantua yang memerintah dari tahun 1505 M sampai tahun 1511 M. Pada waktu itu nama pekantua diganti menjadi Kerajaan Pekantua Kampar yang lambat laun dikenal pula sebagai Kerajaan Kampar.
Setelah Raja Munawar Syah wafat, penggantinya adalah puteranya yaitu Raja Abdullah yang memerintah dari tahun 1511 M sampai tahun 1515 M. Saat itulah, yaitu pada tahun 1511 M. Kerajaan Malaka di bawah pemerintahan Sultan Mahmud Syah I ditaklukkan  Portugis. Sultan Mahmud Syah I bersama isterinya, Tun Fatimah, puteranya, Raja Ahmad dan orang-orang besar Kerajaan Malaka mundur ke Pagoh, Muar, kemudian sampai ke kota Kara dan Kopak di Pulau Bintan. Raja Abdullah yang telah dijadikan menantu oleh Sultan Mahmud Syah I ternyata tidak berpihak kepada mertuanya karena berharap dijadikan Sultan Malaka oleh Portugis. Setelah Sultan Mahmud Syah I mengetahui pengkhianatan sang Menantu, Raja Abdullah, maka dikirimlah pasukan untuk menyerang Pekantua di bawah pimpinan menantunya yang lain yaitu Raja Lingga. Raja Abdullah telah diselamatkan dan diungsikan ke Malaka oleh Portugis. Pasukan Sultan Mahmud Syah I dipukul mundur oleh Portugis kemudian kembali ke Bintan melalui Indragiri. Terakhir Raja Abdullah dihukum bunuh oleh Portugis karena dianggap tidak diperlukan lagi.
Setelah Raja Abdullah wafat, di Kerajaan Pekantua Kampar terjadi kekosongan pimpinan. Agar roda pemerintahan tetap berjalan, diangkatlah orang besar kerajaan untuk memangku raja yang disebut Datuk Mangkubumi yang memerintah dari tahun 1515 M. sampai tahun 1526 M. Pada saat itu Datuk Mangkubumi membantu Sultan Mahmud Syah I melawan Portugis di perairan Selat Malaka. Pekantua dipersiapkan sebagai kubu pertahanan terakhir. [2]

C.    Zaman Pekantua Kampar atau Dinasti Johor (1590 – 1720 M.)

Di Pekantua Kampar, Raja Abdurrahman dinobatkan menjadi raja dengan gelar Maharaja Dinda I. Beliau memerintah dari tahun 1590 M sampai tahun 1630 M. Pada masa pemerintahannya, Pekantua Kampar maju pesat. Hubungan dagang dengan Johor, Kuantan, dan lain-lainnya terus ditingkatkan. Sekitar tahun 1595 M. beliau membangun Bandar Tolam (sekarang Desa Kuala Tolam, Kecamatan Pelalawan) yang berada di sebelah hilir Pekantua. Pusat pemerintahan dipindahkan ke Bandar Tolam karena lebih mudah melakukan hubungan laut melalui Sungai Kampar dan hubungan darat melalui Pangkalan Bunut ke wilayah Petalangan. Pada masa itu pula datang utusan dari Pagarruyung untuk menentukan tapal batas antara adat Johor dan adat Perpatih (Minangkabau). Setelah diadakan pertemuan kedua belah pihak, disepakati bahwa perbatasan antara keduanya adalah kawasan Sigalang yang terletak di antara Langgam dan Suangai Terusan. Dalam perkembangannya sebutan Adat Johor lazim diubah menjadi Adat Melayu Pesisir di mana kelompok masyarakatnya lazim mendiami wilayah pesisir Sungai Kampar dan wilayah-wilayah yang mendapat pengaruh adat Perpatih lazim disebut Adat Petalangan di mana kelompok masyarakatnya lazim mendiami wilayah pedalaman atau daratan. Untuk mendukung kemajuan perdagangan, Maharaja Dinda I membangun limbungan kapal atau pabrik pembuatan kapal di Petatalan, tidak jauh dari Telawa Kandis (sekarang wilayah tersebut termasuk Desa Ransang, Kecamatan Pelalawan). [3]

D.    Zaman Pelalawan atau Dinasti Johor (1720 – 1798 M.)

Maharaja Dinda II menggantikan ayahandanya, Maharaja Muda Lela. Beliau memerintah dari tahun 1720 M. sampai tahun 1750 M. Pada masa itu akhirnya diperoleh kesepakatan untuk memindahkan pusat kerajaan ke tempat yang pernah dilalaukan (ditandai, dicadangkan) oleh moyangnya, Maharaja Lela Utama, yakni di Sungai Rasau, salah satu anak Sungai Kampar jauh di hilir Sungai Nilo. Sekitar tahun 1725 M, dilakukan upacara pemindahan kerajaan dari Tanjung Negeri ke Sungai Rasau. Pada upacara adat tersebut, Maharaja Dinda II mengumumkan bahwa dengan kepindahan itu, nama Kerajaan Pekantua Kampar diganti menjadi Kerajaan Pelalawan. Nama Pelalawan diambil dari kata lalau (pe-lalau-an) yang berarti penandaan/pencadangan. Gelar "Maharaja Dinda II" juga disempurnakan menjadi "Maharaja Dinda Perkasa" atau disebut "Maharaja Lela Dipati". Setelah Maharaja Lela Dipati mangkat, tampuk pemerintahan digantikan oleh anakndanya, Maharaja Lela Bungsu (1750 M. – 1775 M)
Maharaja Lela Bungsu memerintah dengan arif dan sangat memperhatikan nasib rakyatnya. Beliau juga yang mula-mula membuat rumah di atas air (dengan pelampung yang terbuat dari rakitan kayu-kayu balok) sebagai tempat kediamannya yang disebut Rumah Rakit, dan masyarakat banyak yang membuat rakit sebagai rumah tinggal. Sultan Siak pada periode 1761 M. – 1766 M. mengirim utusan ke Pelalawan agar Pelalawan bernaung di bawah Kerajaan Siak. Sekaligus mengaku sebagai pewaris tahta Johor yang waktu itu dipegang oleh Sultan Sulaiman. Sultan Pelalawan menolak dan berkata bahwa Pelalawan hakekatnya berdiri sendiri karena Johor pun sudah berganti raja yang bukan keturunan Sultan Mahmud Syah I. Akhirnya Pelalawan diserang oleh Siak di bawah pimpinan Panglima Perang Siak, Said Osman. Pertempuran berlangsung sangat sengit di Benteng pertahanan Pelalawan yaitu di Kuala Mempusun. Pelalawan berhasil memukul mundur Siak. Menurut cerita yang masyhur, berdasarkan anjuran Panglima Kerajaan Pelalawan saat itu, Datuk Maharaja Sinda, agar menentang Siak, maka seluruh pembesar Kerajaan mengambil sikap "menentang Siak". Sikap penentangan terhadap Siak ini dibuktikan dengan seluruh rumpun pisang yang berjantung ke arah Siak dipancung dan ayam yang berkokok  menghadap ke Siak dibunuh. Bukti penentangan terhadap Siak masih ada hingga saat ini yaitu batu nisan Datuk Maharaja Sinda yang makamnya terletak di Desa Kuala Tolam, Kecamatan Pelalawan tetap condong ke Selatan, tidak ke Barat (ke arah Siak) walaupun sudah diperbaiki berulang-ulang.
Pengganti Maharaja Lela Bungsu adalah Maharaja Lela II (1775 M. – 1798 M.). Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Siak Sri Indera Pura telah mengembangkan wilayah ke pesisir timur Pulau Sumatera dan berhasil menguasai daerah Temiang, Bilah, Panai, Kualuh, Batu  Bahara, Deli, Serdang, Langkat, Asahan, Tanjung Pura, dan sebagainya bahkan sampai ke Sambas Kalimantan Barat namun gagal. Sultan Siak pada saat itu, Syarif Ali, mengirim  angkatan perangnya untuk menyerang Pelalawan di bawah pimpinan Panglima Besar Siak, Syarif Abdul Rahman. Serangan Siak ke Palalawan yang kedua tersebut dilakukan melalui dua arah serangan yaitu pasukan angkatan daratnya melalui hulu Sungai Rasau dan pasukan angkatan lautnya melalui muara Sungai Kampar. Pertempuran tersebut berlangsung sengit. Panglima perang Kerajaan Pelalawan satu per satu gugur, termasuk Panglima Kudin dan tunangnya, Zubaidah, gugur di benteng pertahanan Tanjung Pembunuhan. Akhirnya Kerajaan Pelalawan pun takluk. Kekalahan tersebut juga dikarenakan adanya pengkhianatan dari salah seorang masyarakat Pelalawan yang berasal dari Siak, yaitu orang tersebut menyirami seluruh mesiu yang berada di gudang Benteng Pertahanan Mempusun dengan air sehingga tidak dapat dipergunakan lagi. Sultan Pelalawan beserta beberapa pengikutnya mengungsikan diri ke Luhak Berlima (daerah Kuantan Indragiri). Jenazah Panglima Kudin dan tunangnya dimakamkan di Kampung Pinang Sebatang Pelalawan. [4]    

E.     Zaman Pelalawan atau Dinasti Siak (1798 – 1945 M.)
           
            Syarif Abdul Rahman bin Said Osman Syahabuddin ditabalkan sebagai Sultan Pelalawan dengan gelar Assyaidis Syarif Abdurrahman Fachruddin. Beliau memerintah dari tahun 1798 M. sampai tahun 1822 M. Penaklukan Pelalawan berbeda dengan penaklukan wilayah lainnya karena sejak berdirinya Kerajaan Siak, Pelalawan tidak mengakuinya sebagai Yang Dipertuan. Hal ini disebabkan Pelalawan tidak mengakui Raja Kecil (pendiri Kerajaan Siak) sebagai putera Sultan Mahmud Syah II, tetapi beliau berasal dari Pagarruyung Minangkabau. Pelalawan tetap mengakui Johor sebagai Yang Dipertuan karena Datuk-Datuk (Raja) yang memerintah Pelalawan berasal dari Johor (keturunan Sultan Mahmud Syah II, Sultan Johor). Sultan Siak juga mengakui sebagai pewaris tahta Johor karena Raja Kecil adalah putera Sultan Mahmud Syah II. Walaupun sudut pandang kedua belah pihak sedikit berbeda, tetapi Sultan Siak (Syarif Ali) dapat mengambil suatu kebijakan yang arif yaitu Pelalawan tidak diperlakukan sebagai jajahan, melainkan diberi kekuasaan penuh memerintah kerajaannya sendiri. Assyaidis Syarif Abdurrahman Fachruddin berlaku hati-hati dalam memerintah Pelalawan. Usaha pertama yang dilakukan adalah mendekati orang-orang besar Pelalawan. Beliau membuat maklumat yang isinya semua Orang Besar Pelalawan, termasuk Batin-Batin, Penghulu, dan kepala-kepala persukuan tetap pada kedudukan semula serta menguasai hak milik mereka seperi sedia kala. Penduduk yang melarikan diri selama perang dihimbau segera kembali dan dijamin keselamatnnya. Datuk Engku Raja Lela Putera (Maharaja Lela II) diangkat kembali sebagai Orang Besar Kerajaan Pelalawan membawahi seluruh perangkat pemerintahan yang dahulu ada sekaligus menjadi Pucuk Adat Tempatan, yaitu Pucuk Pebatinan Yang Kurang Esa Tiga Puluh atau 29 Batin. Sultan juga melakukan ikatan persaudaraan dengan Maharaja Lela II yang disebut "Begito" yaitu pengakuan persaudaraan dunia akhirat. [5]

DAFTAR PUSTAKA
[1] Tenas Effendy, dkk (2005), "Lintas Sejarah Pelalawan (Dari Pekantua ke Kabupaten Pelalawan)'', Pemerintah Kabupaten Pelalawan, hlm. 142.
[3] Sudirman Shomary (2005), "Hutan Tanah Wilayat dan Permasalahannya di Kabupaten Pelalawan", Lembaga Kerapatan Adat Melayu Kabupaten Pelalawan, hlm. 40-41.

No comments:

Post a Comment