TITIN SUMARNI/S/A
Lahirnya OPM di kota Manokwari pada tanggal itu ditandai dengan penyerangan orang-orang Arfak terhadap barak pasukan Batalyon 751 (Brawijaya) di mana tiga orang anggota kesatuan itu dibunuh. Picu "proklamasi OPM" yang pertama itu adalah penolakan para anggota Batalyon Papua (PVK = Papoea Vrijwilligers Korps ) dari suku Arfak dan Biak untuk didemobilisasi, serta penahanan orang-orang Arfak yang mengeluh ke penguasa setempat karena pengangguran yang tinggi serta kekurangan pangan di kalangan suku itu.
Pada tanggal 26 April 1984 pemerintah Indonesia melakukan sesuatu yang justru semakin menumbuhkan kesadaran nasional Papua di Irian Jaya, yakni menciptakan seorang martir yang kenangannya (untuk sementara waktu) mempersatukan berbagai kelompok OPM yang saling bertikai. Pada tanggal itulah seorang tokoh budayawan terkemuka asal Irian Jaya, Arnold Clemens Ap, ditembak di pantai Pasir Enam, sebelah timur kota Jayapura, pada saat Ap sedang menunggu perahu bermotor yang konon akan mengungsikannya ke Vanimo,
Kematian budayawan asli Irian Arnold ap menambah simbol nasionalisme Papua, karena berbagai fraksi OPM di luar negeri, berlomba-lomba mengklaim Arnold Ap sebagai orang yang diam-diam menjadi "Menteri Pendidikan & Kebudayaan" mereka di dalam kabinet bawah tanah OPM di Irian Jaya.Namun selang beberapa tahun, legenda itu mulai pudar. Lebih-lebih karena para penerus Kelompok Mambesak yang masih tetap bernaung di bawah kelepak sayap museum Uncen, tak ada yang mampu (atau berani?) menghidupkan kembali peranan kelompok senibudaya itu menjadi ujung tombak kebangkitan kebudayaan Irian.
Pada tanggal 14 Desember 19 "proklamasi dan pengibaran bendera OPM" yang dilakukan Tom Wanggai di stadion Mandala, Jayapura, sangat berbeda dari pada berbagai proklamasi dan pengibaran bendera OPM sebelumnya. Tampaknya cendekiawan asli Irian asal Serui ini, sudah berpamitan dengan (sebagian besar) bekal historis OPM yang sebelumnya.Bendera "Melanesia Barat" yang dikibarkannya, berbeda dari bendera "Papua Barat" yang sebelumnya.
Menurut cerita, bendera "Papua Barat" yang sebelumnya, termasuk yang dikibarkan Seth Jafet Rumkorem di Markas Victoria pada tanggal 1 Juli 1971, dirancang oleh seorang bangsa Belanda yang lazim dipanggil "Meneer Blauwwit", mertua tokoh OPM tua di Belanda, Nicholaas Jouwe. Ketiga warnanya yaitu merah, putih, dan biru meniru ketiga warna bendera Belanda.
Nama Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah nama yang diberikan oleh pemerintah Republik Indonesia pada setiap organisasi atau fraksi baik di Irian Jaya maupun diluar negeri yang dipimpin oleh putra-putra Irian Jaya pro-Papua Barat dengan tujuan untuk memisahkan atau memerdekakan Irian Jaya (West Papua) lepas dari negara Kesatuan Republik Indonesia. Nama OPM pertama kali diperkenalkan di Manokwari pada tahun 1964 yaitu pada saat penangkapan pimpinan "Organisasi dan Perjuangan menuju Kemerdekaan Papua" Terianus Aronggear (SE) dan kawan-kawannya oleh pihak keamanan dan mengajukan mereka kedepan pengadilan. Nama itu juga semakin populer yaitu pada saat meletusnya pemberontakan bersenjata yang dipimpin oleh Permenas Ferry Awom pada tahun 1965 di Manokwari, serta berbagai pemberontakan atau aksi militer sporadis lainnya diberbagai wilayah di Irian Jaya. Dalam proses pemeriksaan baik oleh militer polisi dan jaksa, para pemimpin pemberontakan menerima baik nama OPM yang diberikan oleh para pemeriksa (Pemerintah Indonesia) sebab menurut mereka nama itu tepat, singkat, mudah diingat dan dipopulerkan bila dibandingkan dengan nama Organisasi yang mereka bentuk dan berikan itu panjang serta sulit diingat.
OPM itu lahir dan tumbuh di Irian Jaya yang pada awalnya terdiri dari 2 (dua) fraksi utama yaitu organisasi atau fraksi yang didirikan oleh Aser Demotekay pada tahun 1963 di Jayapura dan bergerak dibawah tanah. Fraksi ini menempuh jalan kooperasi dengan pemerintah Indonesia serta mengaitkan perjuangannya dengan gerakan Cargo yang bercirikan spiritual yaitu campuran antara agama adat/gerakan Cargo dan agama Kristen. Organisasi ini muncul ke permukaan pada tahun 1970 setelah selesai PEPERA dan terus aktif membina para pengikutnya di Kabupaten Jayapura terutama di kecamatan-kecamatan pantai timur, pantai barat, Depapre dan Genyem. Salah satu anak binaan Aser Demotekay adalah Jacob Pray.
Menurut pengakuan Aser Domotekay, bentuk perjuangan yang dilakukan untuk mencapai kemerdekaan Papua atau Irian Jaya adalah kerja sama dengan pemerintah Indonesia. Ia meminta kepada pemerintah Indonesia untuk menyerahkan kemerdekaan kepada Irian Jaya sesuai dengan Janji Alkitab, Janji Leluhur dan Janji tanah ini bahwa bangsa terakhir yang terbentuk dan menuju akhir jaman adalah bangsa Papua. Dalam pembinaan massa pengikutnya, ia selalu memberikan pengarahan yang berkaitan dengan agama, adat istiadat/gerakan Cargo adat dan melarang tindakan Radikal dalam mencapai tujuan kemerdekaan Papua. Untuk mendukung aktivitasnya maka ia menulis beberapa artikel Rohani dengan menyisipkan pesan-pesan politik didalamnya. Organisasi ini tidak diberikan nama dengan tegas tapi merupakan usaha persiapan bagi kemerdekaan Papua Barat (West Papua) yang diketuai oleh Aser Demotekay, dan seorang pembantu umum. Untuk kepentingan keamanan, maka nama dari anggota organisasi lainnya tidak diungkapkan. Dalam petualangannya, Aser Demotekay yang adalah pensiunan Pegawai Negeri Sipil daerah Propinsi Irian Jaya beberapa kali harus berurusan dengan pihak keamanan yaitu ditahan dan diinterogasi, serta selalu mengaku akan perbuatannya yang dilakukan sendiri.
Secara organisasi kegiatan OPM pimpinan Aser Demotekay ini merupakan kegiatan Cargo Cults versi baru dan sangat tergantung pada Aser Demotekay sendiri apalagi dengan semakin tuanya Aser Demotekay sedang proses kaderisasi tidak dilakukan. Aktivitas OPM pimpinan Aser Demotekay ini tidak efektif apalagi tidak radikal, walaupun Jacob Pray dalam kondisi-kondisi tertentu harus memilih jalan yang radikal untuk melindungi diri serta mewujudkan keinginannya. Organisasi ini tidak mempunyai suatu perencanaan yang matang program-program apa yang harus dilakukan baik dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Adapun kegiatan yang dilakukan selama ini hanya berupa pengarahan-pengarahan, penyampaian pesan-pesan serta harapan dan dilakukan secara temporer saja sesuai dengan kesempatan dan kebutuhan. Yang dimaksudkan disini adalah bahwa wilayah kabupaten Jayapura merupakan wilayah operasi militer pada tahun-tahun 1970 hingga kini. Jadi bila rakyat dikampung-kampung mengalami hal-hal yang kurang baik dari pihak militer, maka Aser Demotekay selalu mengirim pesan agar rakyat selalu bersabar dalam menghadapi penderitaan itu sebab penderitaan itu sebentar saja dan segera akan berakhir sesuai dengan waktu Tuhan yang kian mendekat dan menuju pada kemerdekaan Papua.
Aser Demotekay juga dalam aktivitasnya tidak lepas dari bagaimana berusaha untuk berkomunikasi dengan Jacob Pray mulai dari pedalaman Irian Jaya hingga ke luar negeri. Bentuk komunikasi yang dilakukan adalah dengan mengirimkan surat melalui kurir melintasi perbatasan untuk menginformasikan berbagai peristiwa dan keadaan yang terjadi di Irian Jaya pada umumnya dan khususnya keadaan di Jayapura.
Aser Demotekay mendirikan atau membuat aktivitas ini atas 2 (dua) alasan pokok, yaitu:
Menurut pesan-pesan spiritual bahwa pada masa mendatang Irian Jaya harus mencapai kemerdekaannya sebagai bangsa yang terakhir dan menuju kepada akhir dari jaman ini.
Bahwa sebagai bangsa Papua yang persoalannya dipersengketakan antara Belanda dan Indonesia tanpa melibatkan bangsa Papua itu sendiri adalah tidak Adil, maka bansa Papua harus diberikan kesempatan untuk merdeka lepas dari Indonesia dan untuk itu dipersiapkan oleh pemerintah Indonesia. Makna melibatkan bangsa Papua adalah dengan melibatkan anggota Nieuw Guinea Raad sebagai wakil bangsa Papua.
Fraksi yang kedua didirikan di Manokwari pada tahun 1964 dibawah pimpinan Terianus Aronggear (SE) yang pada mulanya bergerak dibawah tanah untuk menyusun kekuatan melawan pemerintah Indonesia baik secara politik maupun secara fisik bersenjata. Kegiatan ini diberi nama "Organisasi Perjuangan Menuju Kemerdekaan Negara Papua Barat", yang kemudian lebih dikenal dengan nama OPM.
Sebagai ketua umum organisasi tersebut, Terianus Aronggear (SE) menyusun suatu dokumen perjuangan yang ingin diselundupkan ke badan PBB di New York untuk menanyakan tentang status Irian Jaya dan meminta meninjau kembali persetujuan New York 15 Agustus 1962. Persetujuan ini dinilai tidak adil sebab tidak melibatkan wakil bangsa Papua dalam perundingan itu sebagai pihak yang dipersengketakan. Juga dokumen itu berisi suatu rancangan tentang kemerdekaan Negara Papua Barat dengan susunan Kabinetnya.
Rancangan Kabinet dan dokumen yang disusun untuk dikirim ke PBB itu terlebih dahulu dikirim ke Negeri Belanda untuk mendapatkan persetujuan dari markus Kaisiepo dan Nicolaas Jouwe dan tokoh-tokoh Papua lainnya di Negeri Belanda seperti: A. J. F. Marey, Ben Tanggahma, Saul Hindom, Fred Korwa, James Manusawai, B. Kafiar, Semuel Asmuruf dan lain-lain serta Herman Womsiwor yang berdomisili di Jepang.
Namun sebelum dokumen itu diserahkan Terianus Aronggear (SE) kepada Hendrik Joku di Jayapura untuk selanjutnya diselundupkan keluar negeri melalui perbatasan ke Papua New Guinea, Terianus Aronggear (SE) ditangkap di Biak pada tanggal 12 Mei 1965. Ia dikirim kembali ke Manokwari lalu dimasukan kedalam sel tahanan dan mengalami proses pemeriksaan oleh pihak keamanan.
Melalui pemeriksaan tersebut maka seluruh dokumen disita, kegiatan ini terbongkar dan penangkapan terhadap para anggota organisasi dilakukan. Hendrik Joku, setelah mendengar berita tentang tertangkapnya Terianus Aronggear (SE), melarikan diri ke Papua New Guinea dan menginformasikan berita itu ke Negeri Belanda kepada Markus Kaisiepo dan Nicolaas Jouwe. Dokumen itu antara lain juga berisi permintaan agar PBB segera membuka sidang umum agar membahas kembali masalah Irian Jaya, dan menyetujui dan mendukung kemerdekaan bagi bangsa Papua Barat (West Papua) sebagai suatu bangsa dan Negara yang berdaulat yang berdiri sendiri.
Setelah Terianus Aronggera (SE) dan kawan-kawannya Horota, Taran, Watofa tertangkap maka Permenas Ferry Awom dan kawan-kawannya yang bekas PVK melakukan suatu pemberontakan bersenjata di Manokwari secara besar-besaran dengan mulai menyerang kaserme/asrama militer (ex. PVK) di Arfai pada tanggal 28 Juli 1965. Kegiatan pemberontakan yang dilakukan OPM itu menimbulkan berbagai gangguan terhadap keamanan dan ketertiban di wilayah Irian Jaya dan juga ikut mengacaukan keadaan sehingga pada masa Acub Zainal menjadi Panglima Komando Daerah Militer (KODAM) XVII Cenderawasih yang ke-V pada tahun 1970-1973 mengubah dan memberikan nama Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) dan Gerakan Pengacau Liar (GPL) kepada OPM.
Menurut Victor Kaisiepo, OPM itu lahir dari fraksi perjuangan yang ada dan dibentuk di Irian Jaya/Papua Barat. Fraksi-fraksi itulah yang mengirimkan berita/informasi kepada pemimpin Papua yang memilih ikut Belanda ke negeri Belanda agar sama-sama berjuang untuk kemerdekaan Papua Barat. Semula Markus Kaisiepo dan Nicolaas Jouwe ragu-ragu terhadap perjuangan untuk kemerdekaan Papua. Namun setelah mendapatkan informasi tentang perjuangan di Irian Jaya, maka mereka mulai menyusun rencana perjuangan baik politik maupun militer untuk mendukung aktivitas atau perjuangan kemerdekaan di Irian Jaya yang dilakukan oleh OPM. Mereka juga memutuskan untuk menggunakan nama OPM sebagai suatu nama kesatuan dalam perjuangan Bangsa Papua Barat (West Papua).
Jelaslah bahwa OPM itu lahir dan dibentuk di Irian Jaya, dikenal dan disebarkan khususnya oleh fraksi pimpinan Terianus Aronggera (SE) di Manokwari. Jadi dapat dikatakan bahwa fakta tentang lahirnya OPM itu sudah terungkap sehingga menghilangkan berbagai spekulasi selama ini. Berbagai spekulasi yang muncul selama ini misalnya oleh pemerintah Indonesia bahwa OPM itu dibentuk oleh Belanda dengan tokoh-tokohnya yakni Markus Kaisiepo, Nicolaas Jouwe dan kawan-kawan. Atau OPM itu lahir di pedalaman Irian Jaya melalui berbagai kegiatan pemberontakan.
Mengenai Bendera, OPM dipimpin Terianus Aronggera (SE) tetap menggunakan bendera Papua rancangan Mr. De Rijke yang dikibarkan pertama kali pada tanggal 1 November 1961 sedangkan OPM pimpinan Aser Demotekay merancang suatu bendera baru.
Menurut Dinas Sejarah Militer Kodam XVII Cenderawasih, ada lima sebab yang menyebabkan pemberontakan OPM, yaitu:
1. Aspek Politik
Pada masa pemerintahan Belanda, pemerintah Belanda menjanjikan kepada rakyat Papua untuk mendirikan suatu negara (boneka) Papua yang terlepas dari negara Republik Indonesia. Beberapa pemimpin putra daerah yang pro-Belanda mengharapkan akan mendapatkan kedudukan yang baik dalam negara Papua tersebut. Janji pemerintah Belanda itu tidak dapat direalisir sebab Irian Jaya harus diserahkan kepada Indonesia melalui perjanjian New York 1962. Walaupun dalam perjanjian itu terdapat pasal tentang hak untuk menentukan nasib sendiri, namun pelaksanaannya diserahkan kepada Indoenesia dan disaksikan oleh pejabat PBB. Apalagi pada tahun 1965 menyatakan keluar dari PBB, sehingga dukungan dari PBB tidak dapat diharapkan lagi.
2. Aspek Ekonomis
Pada tahun 1964, serta tahun-tahun 1965 dan 1966, keadaan ekonomi di Indonesia pada umumnya sangat buruk, dan memberikan pengaruh yang sangat terasa di Irian Jaya. Penyaluran barang-barang kebutuhan pangan dan sandang ke Irian Jaya macet dan sering terlambat ditambah pula dengan tindakan para petugas Republik Indonesia di Irian Jaya yang memborong barang-barang yang ada di toko dan mengirimnya ke luar Irian Jaya untuk memperkaya diri masing-masing. Akibatnya Irian Jaya mengalami kekurangan pangan dan sandang. Kondisi yang demikian ini tidak pernah dialami oleh rakyat Irian Jaya pada masa penjajahan pemerintah Belanda.
3. Aspek Psychologis
Rakyat Irian Jaya pada umumnya berpendidikan kurang atau rendah diwilayah pesisir pantai dan di wilayah pedalaman tidak berpendidikan, sehingga mereka kurang berpikir secara kritis. Hal ini menyebabkan mereka mudah dipengaruhi. Mereka lebih banyak dipengaruhi emosi daripada pikiran yang kritis dan sehat dalam menghadapi suatu permasalahan. Bila suatu janji itu tidak ditepati maka sikap mereka akan berubah sama sekali. Misalnya sebagai bukti dalam hal ini adalah Mayor Tituler Lodwijk Mandatjan yang menyingkir 2 (dua) kali ke pedalaman Manokwari tetapi kembali lagi dan mengaku taat kepada pemerintah Indonesia.
4. Aspek Sosial
Pada masa Belanda para pejabat pemerintah lokal di Irian Jaya pada umumnya diangkat dari kalangan kepala suku (dibanding dengan di Jawa dimana Belanda mengangkat pegawai dari golongan Priyayi). Kalau mereka itu memberontak maka mereka akan mendapat dukungan dan pengaruh dari sukunya serta dalam suasana yang genting pada kepala suku itu harus berada ditengah-tengah sukunya itu. Misalnya, Lodwijk Mandatjan.
5. Aspek Ideologis
Di kalangan rakyat Irian Jaya hidup suatu kepercayaan tentang seorang pemimpin besar sebagai Ratu Adil yang mampu membawa masyarakatnya kepada kehidupan yang lebih baik atau makmur. Gerakan ini di Biak disebut gerakan Koreri (Heilstaat) atau Manseren Manggundi. Kepercayaan ini yang memberikan motivasi bagi pemberontakan yang dipimpin oleh M. Awom di Biak, dimana M. Awom dianggap sebagai pimpinan besar menyerupai Nabi Musa yang oleh para pengikutnya dianggap Sakti.
Ketidakpuasan terhadap keadaan ekonomi yang buruk pada awal integrasi dan terutama pada tahun-tahun 1964 , 1965 dan 1966 dan juga terhadap sikap aparat pemerintah dan Keamanan yang tidak terpuji. Juga tidak puas terhadap sikap memandang rendah atau sikap menghina orang Irian yang sering sengaja ataupun tidak sengaja menggeneralisir keadaan suatu suku dengan suku-suku lainnya seperti: Pakai Koteka`, "masih biadab", "Goblok, Jorok", dan lain sebagainya dimana pada masa pemerintahan Belanda ungkapan-ungkapan demikian tidak pernah atau dengan mudah diucapkan kepada orang Irian.
LATAR BELAKANG MUNCULNYA ORGANISASI PAPUA MERDEKA
a. Pengaruh pemerintahan Belanda pada masa Residen J. P. Eechoud yang ditandai dengan lahirnya elit Papua terdidik yang bersikap pro-Papua. Belanda akan memberi kemerdekaan kepada Papua Barat selambat-lambatnya tahun 1970-an, namun cita-cita Papua Barat untuk menjadi negara yang merdeka telah dihadang oleh Perjanjian New York (15Agustus 1962) antara Belanda dengan Indonesia yang tidak melibatkan bangsa Papua dan Papua Barat menjadi wilayah Indonesia;
b.Kekecewaan rakyat Irian Jaya kepada Pemerintah Indonesia yaitu pemerintah Indonesia mempunyai kepentingan atas Irian Jaya/Papua Barat dan tidak ingin melepaskan Irian Jaya kepada pihak lain (Belanda) maupun kepada rakyat Papua Barat sebagai negara yang merdeka. Indonesia mengambil tanah Papua Barat bukan karena alasan kemanusiaan terhadap bangsa Papua yang terjajah oleh Belanda, tetapi karena alasan ekonomi. Untuk menentukan status Papua Barat setelah perjanjian New York, yaitu merdeka atau berintegrasi dengan Indonesia, maka Indonesia melaksanakan PEPERA pada tahun 1969. Dalam perjanjian New York telah terjadi kesepakatan untuk menentukan status Papua yaitu dengan sistem ONE MAN ONE VOTE (satu orang satu suara). Namun oleh pemerintah Indonesia diganti dengan sistem musyawarah (perwakilan). Indonesia membentuk Dewan Musyawarah Pepera (DMP) berjumlah 1025 orang yang ditentukan oleh pemerintah Indonesia bukan pilihan rakyat Papua. Dan untuk memenangkan pelaksanaan PEPERA, pemerintah Indonesia melakukan intimidasi, teror, ancaman atas rakyat dan para pejuang Papua yang tidak mau memilih bergabung dengan Indonesia. Sejak 19 November 1969 Papua menjadi wilayah/berintegrasi dengan NKRI. Setelah berintegrasi dengan Indonesia terjadi dominasi politik oleh etnis non-Irian baik di pusat maupun di Pemda Irian. Dengan berputarnya waktu, di Irian Jaya muncul aspirasi rakyat Irian Jaya untuk merdeka lepas dari NKRI;
PERJUANGAN ORGANISASI PAPUA MERDEKA:
a. Melakukan pemberontakan atau perlawanan kepada pemerintah Indonesia diantaranya pemberontakan fisik yaitu dengan melakukan penyerangan terhadap pasukan TNI yang menjaga pos keamanan di Irian Jaya yang menimbulkan korban jiwa dari TNI. Sedangkan pemberontakan non-fisik yaitu melakukan pengibaran bendera Bintang Kejora, penculikan dan proklamasi pemerintahan Papua Barat di Viktoria;
b. Mencari dukungan kepada rakyat Irian Jaya.
Organisasi Papua Merdeka dalam mencari dukungan rakyat Irian Jaya yaitu dengan cara mempengaruhi rakyat yang tinggal dipedalaman, karena mudah diprovokasi; c. Mencari dukungan kepada dunia internasional, yaitu negara-negara yang serumpun, Negara Eropa Barat, dan negara Afrika.
USAHA PEMERINTAH RI DALAM MEMADAMKAN PEMBERONTAKAN
Organisasi Papua Merdeka adalah dengan menggunakan pendekatan keamanan yaitu mengirim pasukan TNI untuk melakukan Berbagai operasi untuk menumpas Organisasi Papua Merdeka dan pendekatan kesejahteraan, yaitu pemerintah melibatkan TNI untuk melakukan operasi di daerah sasaran operasi kemudian setelah daerah itu dikuasai oleh TNI, baru diselenggarakan pembangunan.
Berbagai perundingan antara pemerintah Indonesia dengan Belanda mengenai status wilayah Nieuw Guinea tidak pernah membawa hasil bagi pemerintah Indonesia, hal ini terlihat bahwa pemerintah Belanda bersikukuh mempertahankan wilayah Nieuw Guinea. Terbukti pemerintah Belanda menjalin mitra dengan Australia untuk menyusun rencana bersama yaitu memisahkan wilayah New Guinea dari Republik Indonesia (Tuhana Taufik A, 2001: 17).
Di pihak Indonesia dalam menghadapi politik dekolonisasi dari pemerintah Belanda, maka Soekarno mencetuskan Tri Komando Rakyat (TRIKORA) pada tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta. TRIKORA berisi tentang:
1) gagalkan pembentukan negara Papua buatan Belanda kolonial.
2) kibarkan sang merah putih di Irian Barat, tanah air Indonesia.
3) bersiaplah untuk memobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa (JRG.Djopari, 1993: 37). TRIKORA merupakan momentum politik bagi pemerintah Indonesia. Sebab dengan Trikora, Pemerintah Belanda di paksa untuk menandatangani perjanjian di PBB. Perjanjian itu di kenal dengan Perjanjian New York, yang di tandatangani pada tanggal 15 Agustus 1962 yaitu mengenai Nieuw Guinea. TRIKORA juga merupakan ajang bagi terciptanya serangan-serangan militer terbatas dari Indonesia, untuk melawan Belanda di Irian Barat pada akhir tahun 1961. Dicetuskannya TRIKORA telah mempercepat pencapaian Perjanjian New York antara Indonesia dan Belanda mengenai Irian Barat atau Nieuw Guinea.
Salah satu Persetujuan dari perjanjian New York, adalah Belanda akan mengalihkan administrasi Irian Barat kepada United Nation Temporary Executive Authority (UNTEA) pada tanggal 1 Oktober 1962. Setelah tanggal 1 Mei 1963, UNTEA dan Indonesia akan memerintah Irian Barat secara bersama-sama.
Indonesia melaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di Irian Barat pada Juli-Agustus 1969. Hasil PEPERA akhirnya diterima oleh Majelis Umum PBB melalui Resolusi No. 2504 (XXIV) pada tanggal 19 November 1969 dengan perincian 84 (setuju), 0 (menentang), dan 30 (abstain). Dengan demikian secara hukum internasional sejak saat itu Irian Barat menjadi Irian Jaya yang resmi menjadi wilayah Indonesia (Syamsudin Haris, 1999:190).
Irian Barat kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yaitu melalui penyerahan kedaulatan dari Pemerintah Negara Kerajaan Belanda ke RI pada tanggal 1 Mei 1963 dengan melalui suatu badan PBB yang bernama UNTEA. Pembangunan yang diselenggarakan di Irian Barat dihadapkan kepada berbagai permasalahan. Salah satu bentuk permasalahannya adalah tantangan terhadap kegiatan integrasi di Irian Barat (JRG. Djopari, 1993:1).
Puncak tuntutan rakyat Irian Barat terjadi pada tahun 1960-an. Saat itu, banyak tuntutan yang datang kepada Belanda sebagai pihak yang memegang kendali administratif, dan politik di Irian Barat. Tuntutan rakyat Irian Barat adalah Papua diberi kemerdekaan sebagai negara yang merdeka. Tuntutan ini, maka pemerintah Belanda membentuk sebuah badan atau organisasi. Organisasi ini merupakan perwujudan dari demokrasi di wilayah Irian Barat, yang diberi nama Nieuw Guinea Raad (Dewan Nieuw Guinea).
Organisasi ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 1949 dengan jumlah 21 orang, tetapi tidak bisa terealisir karena kondisi masyarakat Papua tidak mungkin untuk diselenggarakan Pemilu. Selanjutnya dewan ini terbentuk 25 Februari 1961, dan disyahkan pada tanggal 5 April 1961 (Yakobus F. Dumupa, 2006:29-30). Tanggal 19 Oktober 1961, di bentuk komite nasional yang beranggotakan 21 orang, komite ini dilengkapi 70 putra Irian Barat yang berpendidikan dan berhasil melahirkan manifestasi yang isinya; menentukan nama negara: Papua Barat, menentukan lagu kebangsaan:Hai Tanahku Papua, menentukan bedera: Bintang Kejora, menentukan lambang negara: Burung Mambruk, Semboyan: One People One Seoul (Safroedin Bahar,1996: 220).
Pada awal masa-masa Irian Jaya berintegrasi dengan Indonesia, lembaga operasi khusus (opsus) Irian Jaya giat melakukan penggalangan dan pembinaan berbagai perangkat yang diperlukan dalam pemantapan integrasi dengan Indonesia. Di pihak lain, kader-kader nasionalis Papua yang dahulu membutuhkan pemerintah Belanda juga membujuk organisasi atau perkumpulan di Irian Barat dengan menghimpun kekuatan dalam bentuk gerakan bawah tanah atau dengan sembunyi-sembunyi. Organisasi gerakan bersifat ilegal ini, bertujuan untuk memperjuangkan kemerdekaan Papua atau Irian Jaya terlepas dari pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia (Tuhana Taufik A, 2001: 119).
Hal ini tercermin dalam pemberontakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang dimulai pada tanggal 26 Juli 1965, gerakan ini dipimpin oleh Sersan Mayor Permanes Ferry Awom mantan anggota batalyon sukarelawan Papua (Papua Vrijwillegers Korp) ciptaan Belanda. Pemberontakan OPM yang berawal di Manokwari, kemudian menjalar keseluruh kabupaten di Irian Barat yaitu: BiakNumfor, Sorong, Paniai, Fakfak, Japen-Waropen, Merauke, Jayawijaya dan Jayapura (JRG. Djopari,1993:1-2).
Menurut Saafroedin Bahar (1996: 223) Pada fase peralihan (1963-1969) ada beberapa masalah di Irian Jaya, yang menyebabkan bangkitnya kembali sikap beberapa kalangan di Irian Jaya antara lain:
1. Sikap sebagian pejabat di Irian Jaya seperti orang yang baru "menang perang", sehingga menumbuhkan persepsi dikalangan penduduk asli bahwa pendatang itu adalah "The New Colonial Masters".
2. Beberapa pejabat sipil dan militer juga mengangkut barang-barang peninggalan Belanda di Irian Jaya, sehingga menimbulkan kesan seolaholah pejabat itu "merampok Irian", walaupun sebenarnya tidak sedikit pejabat pemerintah yang benar-benar berdedikasi dengan semangat untuk membangun Irian Jaya. Namun seperti peribahasa Indonesia "karena nila setitik maka rusak susu sebelangga". Oleh karena itu timbul pula sikap anti-Indonesia di Irian Jaya.
3. Indonesia pada saat itu tengah mengalami masa sulitnya ekonomi. Dampak ekonomi juga merembet ke Irian Barat. Dampak pertama adalah kesulitan untuk membangun Irian Barat, yaitu kebutuhan pokok penduduk pada saat itu sulit didapat di pasar, kalaupun ada harganya sangat tinggi. Kesulitan yang kedua adalah banyaknya migrasi penduduk dari Indonesia bagian Barat dan Indonesia bagian Timur ke Irian Barat. Khususnya dari Sulawesi Selatan dan Tenggara untuk mengadu nasib di wilayah Irian Barat. Hal ini sangat mengecewakan penduduk asli yang bukan saja tidak menikmati pembangunan, tetapi juga terpental dari posisi sebagai pedagang di pasar Irian Barat.
4. Keinginan pemerintah untuk memantapkan tertib administrasi di Irian Jaya, yang menyebabkan banyak orang-orang Irian yang terpental dari posisi di pemerintahan. Pada masa pemerintahan Belanda tidak sedikit orang Irian yang duduk dipemerintahan sebagai pegawai rendah dan menengah. Pemerintah Indonesia menganggap pegawai dari Irian tidak memenuhi standart kepegawaian, sehingga perlu diganti. Namun dampak politiknya timbul pandangan bahwa telah terjadi pengalihan posisi dari penduduk asli kependatang.
Puncak permasalahan politik di Irian Jaya bermula pada perbedaan pandangan antara pihak Indonesia dengan Belanda di dalam KMB akhir tahun 1949. Dalam perundingan itu pihak Indonesia dan Belanda tidak berhasil mencapai kesepakatan mengenai wilayah kedaulatan Indonesia. Delegasi Indonesia yang di ketuai oleh Moh. Hatta tidak mau mundur dari sikap yang pernah dipegang para nasionalis sebelum proklamasi. Bahwa wilayah Indonesia meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda. Keinginan Indonesia untukmemasukkan Irian Barat ke daam wilayahnya telah melahirkan kesepakatan dengan Belanda, bahwa penyelesaian tentang Irian Barat di tunda setahun kemudian.
Penundaan penyelesaian Irian Barat telah dimanfaatkan oleh pemerintah Belanda, yaitu dengan mendirikan lembaga-lembaga untuk mempersiapkan orang-orang Irian dalam menghadapi kemerdekaan. Dipihak lain untuk menghadapi politik dekolonisasi dari pemerintah Belanda, maka Presiden Soekarno mencetuskan Trikora. Dimana Trikora merupakan momentum politik bagi pemerintah Indonesia, sebab dengan Trikora pemerintah Belanda dipaksa untuk menandatangani perjanjian New York. Dengan perjanjian New York ini Belanda akan melakukan pengalihan administrasi di Irian Barat kepada UNTEA 1Oktober 1962 dan 1 Mei 1963 UNTEA akan menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia. Dan Indonesia berkewajiban melaksanakan Pepera, akhirnya Pepera dapat dilaksanakan oleh Indonesia dengan hasil yang diterima oleh Majelis umum
PBB . Hasil Pepera menunjukan bahwa rakyat IRIAN Barat bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Namun dengan hasil Pepera yaitu rakyat Irian Barat bergabung dengan NKRI, ternyata menimbulkan pro dan kontra diantara rakyat Irian Barat ini sendiri. Alasan rakyat yang kontra dengan Pepera adalah persetujuan politik antara Belanda dengan Indonesia yang melahirkan perjanjian New York 1962 itu tidak melibatkan bangsa Papua (wakilnya) sebagai bangsa dan tanah air yang dipersengketakan. Nama Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah nama yang diberikan oleh pemerintah RI kepada setiap organisasi atau faksi baik di Irian Jaya maupun di luar negeri yang dipimpin oleh putra-putra Irian Jaya yang pro Papua Barat dengan tujuan untuk memisahkan atau memerdekakan Irian Jaya (Papua Barat lepas dari NKRI). Sedangkan alasan OPM melakukan pemberontakan di Irian Jaya adalah adanya ketidak puasan terhadap keadaan , kekecewaan dan telah tumbuh suatu kesadaran nasionalisme Papua Barat.
Usaha yang dilakukan oleh pemerintah RI untuk memadamkan geliat rakyat Irian Jaya dengan kemunculan dan aksi OPM, adalah dengan menggunakan dua pendekatan dalam mengatasi gejolak yang terjadi di Papua Barat.
George Junus Aditjondro. 2000.Cahaya Bintang Kejora:Papua Barat Dalam Kajian Sejarah, Budaya, Ekonomi dan hak Asasi Manusia. Jakarta:Elsam
JRG. Djopari. 1993. Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka. Jakarta: PT.Gramedia Widiasarana Indonesia
Syamsuddin Haris, et all. 1999. Indonesia Diambang Perpecahan. Jakarta:Erlangga
Tim SKP Jayapura. 2005. Membangun Budaya Damai dan rekonsiliasi:Dasar Menangani Konflik di Papua. Jayapura:Tim SKP
Tuhan Taufik a. 2001. Mengapa Papua Bergolak. Yogyakarta: Gama Global MediaYakobus F Dumupa. 2006. Berburu Keadilan di Papua. Yogyakarta: Pilar Media.
No comments:
Post a Comment