Putri lestari /2014B/Sejarah Pendidikan
Myanmmar atau Bruma merupakan salah satu Negara di Asia tenggara, yang mana Negara itu hingga saat ini masih menebar konflik dalam politik maupun social yang ada didalam Negara tersebut. Sehingga Martin Smith, salah seorang jurnalis dan dokumentator sekaligus penulis dalam spesialisasi negeri Myanmar, pada tahun 1991, menyebutkan bahwa Negara Myanmmar merupakan Negara yang menakutkan, hal ini terjadi karena konflik yang berkepanjangan didaerah tersebut. Dia menuliskan:
Kondisi saat ini di Burma secara kualitatif berbeda dari banyak negara-negara lain di mana sensor yang ketat sedang berlaku. Hukum Negara dan Ketertiban Restorasi Masyarakat (SLORC), yang menempel kekuasaan,adalah pemerintah ilegal. Meskipun pemerintah yang berkelanjutan berupaya untuk memanipulasi pemilu pada bulan Mei 1990, National
League for Democracy (NLD) menang telak dari 392 kursi keluar dari 425 yang tersedia. Pada September 1991, bagaimana pun, lebih dari 100 NLD anggota parlemen yang baik akan di penjara, diasingkan atau menghilang.
Beginilah gambaran keadaan pemerintahan Myanmar pada saat itu dimana pemerintahan tidaklah di jalankan dengan jujur dan penuh dengan kepentingan, sehingga Aung San Suu Kyi pemimpin NLD sebagai pemenang utama pada saat itu tidak bisa menjeblos kursi pemerintahan. Dan banyak lagi kaum minoritas lain dari berbagai etnis dan golongan yang terpinggirkan dinegara itu. Salah satunya adalah masyarakat Rohingya yang beragama Islam didaerah Arakan, disini kita akan membahas tentang Islam Myanmar, khususnya Masyarakat Rohingnya, dalam bidang yang kita batasi yaitu masalah politik dan keterkaitannya dengan pendidikan di Negara Myanmar.Penduduk asli memiliki hak untuk menentukan dan mengatur sistem dan lembaga pendidikan yang menyediakan pendidikan dalam bahasa ibu mereka, dalam sebuah cara yang sesuai dengan pola budaya belajar dan mengajar mereka.
Birma Myanmar adalah tempat tinggal bagi lebih dari empat juta etnis Karen, hampir setengah dari jumlah itu tinggal di wilayah Karen di Birma bagian Tenggara, perbatasan Thailand. Banyak suku Karen dipindahkan oleh tentara Birma selama hampir 60 tahun pada masa perang saudara dan hidup sebagai penduduk yang terpinggirkan di Birma, atau sebagai pengungsi di negara lain. Keadaan ekonomi dan pemerintahan yang buruk di Birma belakangan ini menimbulkan protes-protes demokrasi yang menunjukkan betapa sulitnya situasi bagi penduduk Birma, namun kelompok minoritas penduduk asli Birma mengalami berbagai perlakuan dan kondisi yang jauh lebih buruk di negaranya.
Tidak seperti kebanyakan negara-negara di Asia Tenggara, yang mungkin bekerja dengan pemerintahan nasional dan mendukung Pendidikan Untuk Semua [PUS] bagi kelompok pribumi, kediktatoran militer Birma secara gencar melarang banyak kelompok pribumi dan program-program pendidikan mereka. Hal ini memiliki implikasi yang besar bagi kelompok seperti Karen dalam hal mengakses dan merasakan pendidikan.
Mencapai tujuan PUS sangat sulit dalam situasi rapuh yang dipengaruhi konflik [CAFS] bagi negara seperti Birma, yang pemerintahannya tidak mampu atau tidak berkeinginan menyediakan pendidikan yang berkualitas baik dan relevan secara budaya bagi seluruh anak-anak. Kelompok minoritas penduduk asli, khususnya mereka yang terpinggirkan, dalam hal ini berada pada resiko tersingkirkan dari pendidikan formal. Kasus ini banyak dijumpai dalam penduduk Karen yang memiliki sedikit akses di sekolah formal di Birma. Hanya sedikit anak Karen yang dapat bersekolah negeri di Birma, disebabkan oleh sebuah sistem yang menolak mangajar bahasa, sejarah dan budaya Karen bahkan di daerah di mana orang Karen menjadi penduduk mayoritas.
Birma menjadi salah satu negara yang menandatangani Deklarasi PBB mengenai Hak Penduduk Asli, di sisi lain dalam hal pelanggaran deklarasi, sekolah-sekolah Karen yang mengajarkan kurikulum Karen secara sistematis menjadi sasaran perusakan oleh kemiliteran Birma.
Di samping itu, para guru dan anggota masyarakat Karen lainnya menghadapi banyak resiko keseharian yang berhubungan dengan konflik dalam Pemerintahan Karen yang mengancam pertahanan dasar mereka dan menahan kemampuan mereka untuk menyediakan dan mengakses pendidikan.
Resiko-resiko ini termasuk:
· Pembunuhan
· Pemerkosaan
· kematian atau kecelakaan serius akibat ranjau darat, kerja paksa, penyakit dan kelaparan.
Meskipun penuh tantangan, orang Karen telah mengembangkan sebuah program yang inovatif untuk menyalurkan orang Karen pada pusat pendidikan, guru-guru, pelatihan guru dan material pendukung bagi pendidikan dalam masyarakat di Wilayah Karen.
Kelompok Kerja Guru Karen [KTWG] adalah salah satu organisasi garis depan yang mewujudkan impian pendidikan orang Karen dalam Wilayah Karen. KTWG adalah sebuah LSM yang berdiri pada tahun 1997 yang menyampaikan kebutuhan bagi sistem pendidikan Karen di dalam daerah konflik di Wilayah Karen. KTWG dikembangkan dalam kamp pengungsi yang cukup aman di Thailand dan pendirinya mengetahui bahwa meskipun kebutuhan pendidikan dasar terpenuhi bagi Pengungsi Karen di kamp-kamp pengungsian, kebutuhan-kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi di dalam Birma sendiri. Berkaitan dengan ini, KTWG membuat sebuah program dalam melatih pelatih guru kunjung untuk menyediakan pelatihan in-servis dan mendukung para guru di Wilayah Karen. Pada tahun 2004, KTWG mendirikan Akademi Pelatihan Guru Karen [KTTC] di wilayah perbatasan Birma. Ini adalah yang pertama dan satu-satunya institusi di Birma, yang menyediakan sebuah model, berkaitan dengan budaya Karen, mempunyai program awal pelatihan guru selama 2 tahun bagi para guru yang berkomitmen untuk mengajar di dalam Wilayah Karen setelah menyelesaikan program pelatihan. KTTC juga melanjutkan pelatihan bagi pelatih guru kunjung. Di samping prakarsa pelatihan guru, KTWG dengan bantuan penyandang dana dari luar, menyediakan subsidi-subsidi dasar dan materi pendukung bagi para guru dan pelajar di lebih dari 1000 sekolah yang dikepalai oleh orang Karen dalam Wilayah Karen.
Koordinator KTWG, Ler Htoo, dan Scott O'Brien mendiskusikan pelatihan guru Karen dan apa artinya bagi para guru, pelajar dan masyarakat di Wilayah Karen.
Kurikulum Karen
Kurikulum yang di ajarkan menggabungkan pengetahuan penduduk asli Karen dengan bentuk-bentuk pengetahuan lain. Sebagai contoh, banyak terdapat tumbuh-tumbuhan di daerah , dalam masyarakat keren guru Karen mungkin mempelajarinya pada waktu kecil. Ada pengetahuan setempat tentang tumbuh-tumbuhan dan bagaimana mereka dapat digunakan sebagai obat-obatan, atau bangunan atau berbagai hal lain. Di KTTC mengajarkan Ilmu pengetahuan dunia Barat tentang tumbuhan dan menghubungkannya dengan ilmu pengetahuan setempat, kami meminta pelatih guru kami untuk pergi ke desa-desa yang berbeda dan meminta penduduk setempat yang memiliki pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan kemudian kembali dari pedesaan yang berbeda-beda dan menyampaikannya . Pada saat yang bersamaan menggunakannya sebagai metode partisipasi, sehingga mereka dapat kembali dan bekerja dalam kelompok-kelompok.
Metode Pengajaran
Di KTTC mengajarkan metode partisipasi seperti kelompok kerja. Di wilayah lain di Birma, mengajar seperti dalam sebuah perkuliahan, dengan metode pengulangan. Itulah sebabnya mengajarkan cara berpikir kritis dalam membaca dan menulis. Sehingga dapat mengajar dengan cara pengajaran partisipasi. Melihat kpengalaman yang dulu para siswa yang lulus dari akademi pelatihan guru ini , mereka kebanyakan berbeda dari kebanyakan guru-guru yang lain. Sebagai contoh, mereka lebih kritis berpikir dan ingin berpartisipasi dengan baik dan memiliki lebih banyak ide. Mereka juga lebih percaya diri dalam mengajar.
Hubungan antara guru-guru Karen dan Masyarakatnya
Di Wilayah Karen sering tidak tersedia bahan-bahan dan sedikit dukungan bagi para gurunya, sebagai seorang guru harus dapat mengatur segalanya. harus dapat mengerjakan segala sesuatu sendiri, membawa air, membawa kayu bakar, membawa beras dan memasak makanan sendiri. Jadi sekolah haruslah dekat dengan masyarakat. Ketika guru-guru kembali setelah tahun pertama, semua bekerja bersama dengan mereka tentang bagaimana berpikir secara kritis dan bekerja bersama masyarakat. Setelah pelatihan, mereka mengembangkan sebuah pengertian yang lebih baik tentang masyarakat di mana mereka akan mengajar dan telah siap untuk kembali dan bekerja di sana. Hal ini penting karena beberapa pelatih guru berasal dari kamp pengungsian dan tidak memiliki pengalaman bekerja dalam lingkungan masyarakat di Wilayah Karen.
Tantangan mendapatkan bantuan untuk bekerja di Wilayah Karen Karena adanya konflik, sangatlah sulit untuk memperoleh pendanaan bagi pendidikan di Wilayah Karen. Sangatlah penting menunjukkan kepada dunia luar bahwa ada kesempatan bekerja di Wilayah Karen dan bukannya mendanai sebuah perang, tetapi tentang bagaimana membantu orang bertahan dari agresi militer dalam cara yang berbeda dengan membenahi dan mengembangkan kemampuan dasar institusi sosial, pendidikan dasar institusi kesehatan selama masa konflik, sebagai alat umum bagi pertahanan, namun juga terhadap pembangunan masa depan
Memandang masa depan
KTTC saat ini memiliki 35 siswa guru pre servis di tahun pertama dan jumlahnya bertambah setiap tahunnya. Dan juga memiliki sebuah kelompok baru guru kunjung, begitu pula pelatih guru kunjung yang berpengalaman. Dalam kondisi pendidikan seperti di Wilayah Karen meskipun banyak desa dipaksa untuk berpindah-pindah dalam waktu tiga atau empat kali dalam sebulan, tetaplah, salah satu hal utama yang harus dibuka kembali adalah sekolah-sekolah, meski di bawah pohon sekali pun. Jadi, ada sebuah komitmen besar dan menghubungkan dengan pertahanan, pengembangan dan pendidikan. Ini benar-benar membutuhkan dukungan keuangan untuk program bantuan guru, pelajar dan sekolah di Wilayah Karen. Di samping itu sungguh-sungguh mencari cara bagaimana meningkatkan program pelatihan guru dan kualitas pendidikan yang telah sediakan. Disiini mencari cara yang berbeda guna membantu mengubah sistem pendidikan di Wilayah Karen agar menjadi benar-benar Karen, berusaha untuk membenahi integritas akademinya, namun juga melihat bagaimana sekolah-sekolah di Wilayah Karen dapat sungguh-sungguh mendukung kebutuhan masyarakatnya. Bersama ini, sungguh-sungguh berusaha membangun jaringan kerja di antara sesama kelompok penduduk asli Birma.
Daftar Pustaka :
· Taylor, Robert H. 1980. Burma, dalam Harold Crouch "Military Civilian Relation in Southeast Asia". Singapore: Koon Wah Printing.
· Reid, Anthony. 2004. Sejarah Moderen Awal Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
· Steinberg, I. David. 1982. Burma: a Socialist Nation of Southeast Asia. Colorado: Westview Press.
No comments:
Post a Comment