Halaman

HUBUGAN ASIA TENGAH DENGAN NEGARA LAIN

ADE WULANDARI

 

            Asia tengah adalah bekas pecahan negara Uni Soviet, dimana negara-negara asia tengah yaitu : Afghanistan ibukota (Kabul), Kirgiztan (Bishkek), tajikistan (Dushenbe), Turkmenistan (Ashbad), dan Uzbekistan (Tashkent). Setelah negara-negara tersebut merdeka, mereka menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain, baik hubungan dalam bentuk ekonomi, sosial, politik, keamanan, dan lain-lain. Hubungan Asia Tengah yang pertama terjalin dengan Amerika Serikat, dimana Amerika Serikat lebih spesifik lagi berhubungan dengan kepentingan ekonomi strategis; bisa terlihat dari deviasinya saat menghadapi rezim otoriter di sub-kontinen ini dengan sangat bersahabat, padahal biasanya AS merupakan pengusung nilai-nilai demokrasi. Jajaran pemerintah AS yang lekat dengan petinggi-petinggi perusahaan minyak pun menunjukkan betapa besar signifikansi energi bagi pembangunan AS. Menteri Luar Negeri AS saat ini, Condoleezza Rice, sebelumnya adalah salah seorang petinggi di

perusahaan minyak terbesar AS, Chevron, pada 1991-1995 sebagai seorang pakar Uni Soviet. Saat itulah Chevron berhasil menguasai kue terbesar dari ladang minyak Tengiz, Kazakhstan, yang punya cadangan potensial 25 miliar barrel. Wakil Presiden Dick Cheney juga merupakan pucuk pimpinan perusahaan infrastruktur perminyakan Halliburton dan merupakan anggota Dewan Penasihat Tengizchevroil (TCO) di Kazakhstan, perusahaan perminyakan yang didirikan Pemerintah Kazakhstan setelah runtuhnya Soviet, dengan kepemilikan Chevron 50 persen, ExxonMobil 25 persen, dan Pemerintah Kazakhstan melalui KazMunazGas 20 persen, sisanya 5 persen dimiliki LukArco Rusia. Tidak heran apabila dalam strategi global Amerika Serikat, Asia Tengah memegang posisi strategis. Terutama sejak tahun 1997 ketika AS mulai memprioritaskan kawasan ini dengan kebijakan "New Central Asia Strategy". Dalam strategi ini, AS berusaha membantu negara-negara baru merdeka di Asia Tengah untuk dapat keluar dari pengaruh Rusia dan benar-benar merdeka. Untuk megimplementasikan strategi ini, secara ekonomi AS berusaha menjadikan kawasan ini sebagai basis suplai energinya yang baru, dengan menanamkan investasi, bantuan ekonomi, dan pembangunan. Secara militer AS mulai memberikan bantuan militer berupa peralatan, pelatihan personil militer, latihan militer berkelanjutan dan akhirnya berusahan mendirikan pangkalan militer disana. Hal ini berlanjut dengan intens pasca tragedi 11 September 2001, ketika AS mulai mengembangkan doktrin pertahanan baru dengan mengedepankanpre-emptive strike dan defensive intervention yang sangat berbeda dengan saat perang dingin yang menggunakan doktrin containtment dan deterrence. Sejak itu, AS mulai aktif secara diplomatik, politik dan militer di Asia Tengah dan Uzbekistan menjadi sekutu kunci AS dengan mengijinkan pangkalannya dipakai oleh tentara AS dan dengan cepat pengaruh militer AS meluas ke negara-negara Asia Tengah lainnya. Belum lagi invasi AS ke Afghanistan – yang tidak lepas dari kepentingan pembangunan pipa minyak, dijadikan justifikasi AS untuk menempatkan pasukannya dekat Bishkek serta meningkatkan tensi dengan Rusia. Hal itu dilakukan untuk mengejar sumber energi potensial di Laut Kaspia yang sangat dibutuhkan untuk kelangsungan industri AS. Jika dirunut satu persatu, Kazkhstan yang berpotensi menjadi satu dari lima teratas sebagai eksportir minyak, mengingat produksinya pada tahun 2002 mencapai 900.000 barel per hari dan dapat meningkat menjadi 5 juta barel per hari pada tahun 2015 hingga melebihi produksi Iran atau Kuwait. Turkmenistan merupakan salah satu negara yang mempunyai sumber gas alam terbesar di dunia, mencapai 101 trilyun kaki kabik dan produksi minyaknya 160.000 per hari. Sementara itu Tajikistan dan Kyrgistan menyimpan sumber alam yang dapat dijasikan pembangkit listrik tenaga air yang potensial untuk dapat memenuhi kebutuhan energi listrik di Asia Tengah, Afghanistan dan Asia Selatan. Dari energi hidrokarbon, wilayah Kaspia memiliki cadangan hidrokarbon besar yang belum tersentuh. Cadangan gas terukur di Azerbaijan, Uzbekistan, Turkmenistan, dan Kazakhstan lebih dari 236 triliun kaki kubik. Cukup untuk melayani kebutuhan minyak Eropa selama 11 tahun.

Akan tetapi, sebagai landlocked countries, kawasan sekitar laut Kaspia terisolasi, menjadikannya sulit untuk mendistribusikan sumber-sumber energi ini untuk dapat mencapai pasaran dunia. Padahal, sumber daya energi Asia Tengah ini dapat menghadirkan tiga keuntungan baru, yakni bagi pasar dunia, kawasan dan Amerika Serikat. Pertama, munculnya pasokan energi baru akan membuat pasokan di dunia menjadi beragam dan dapat mengendalikan harga minyak yang naik ketika permintaan akan minyak meningkat. Banyaknya pasokan minyak dari laut Kaspia akan mengamankan suplai minyak dunia (khususnya sekutu AS) karena suplai terbesar saat ini berasal dari teluk Persia (sebesar 66 %), dimana daerah tersebut rawan konflik dan politisasi sehingga menganggu pasokan energi dunia. Kedua, apabila dikendalikan dengan baik, maka keuntungan dari penjualan minyak dan gas akan memperbaiki pertumbuhan ekonomi negara-negara di Asia Tengah, dimana kemampuan laut Kaspia untuk memasok energi pada pasaran dunia akan memperkuat prospek bagi pertumbuhan ekonomi dan kestabilan politik di kawasan tersebut. Ketiga, ada kesempatan yang sangat besar bagi perusahaan minyak multinasional AS dan negara-negara Barat untuk melakukan investasi pada minyak di laut Kaspia dan juga pada bidang-bidang lain. Meski demikian, tetap harus disadari bahwa kendala geografis – tidak ada jalan yang mudah untuk mengekspor energi posisinya yang terisolasi dan bergantung pada kerjasama dengan negara tetangga yang konfliktual dan 'tidak dapat dipercaya' secara politis oleh AS; kendala teknologi dan biaya transportasi, kurangnya sumber daya manusia, masalah politik dan instabilitas domestik, serta minimnya perangkat hukum untuk melindungi para investor, juga menghambat kertumbuhan ekonomi wilayah ini.

Asia Tengah dan Major Power lainnya      

Dengan kenyataan seperti itu, tentu bukan hanya AS yang mengincar minyak Kaspia. Rusia sangat memahami betapa berharga energi migas dalam meningkatkan pendapatan negara itu dan gencar mengincar migas di negara-negara tetangganya. Desember 2007, Rusia berhasil membuat kesepakatan dengan Kazakhstan dan Turkmenistan untuk membangun sebuah jaringan pipa gas baru sepanjang pantai timur Kaspia menuju Rusia. Pembangunan jaringan pipa yang diharapkan bisa mengekspor 20 miliar meter kubik per tahun pada tahapan awalnya, dipandang sebagai sebuah pukulan atas harapan AS yang menginginkan pemerintah negara-negara Asia Tengah berkomitmen mengirimkan migasnya ke jaringan pipa trans-Kaspia yang bersambung dengan jaringan pipa di Kaukasus yang dibangun dengan dukungan AS. China juga berusaha mengamankan suplai energi melalui jaringan pipa Asia Tengah dari negara-negara tetangganya di barat. Sebuah jaringan pipa minyak Kazakhstan-China, yang menghubungkan ladang minyak Kazakh di utara Kaspia dengan jaringan pipa di China di Wilayah Otonomi Xinjiang, barat laut China, tengah dibangun dan akan beroperasi Oktober 2009. Sebuah jaringan paralel pipa gas alam juga tengah dibangun menuju ladang-ladang di Uzbekistan dan Turkmenistan. Negara-negara lain juga tidak mau ketinggalan. India ingin mencegah supaya Pakistan tidak memakai Asia Tengah sebagai kegiatan teroris, dan India juga tidak ingin Cina mengepung wilayahnya. Kemudian masih ada Iran yang melihat pentingnya kawasan di luar perbatasannya. Teheran tidak ingin pengaruh terlalu besar Amerika Serikat yang akhirnya akan mengepung Iran. Setiap negara punya kepentingan mendasar di sana. Bahkan jika menganalisa konflik yang terjadi di Georgia bukan semata konflik politik peninggalan masa lalu saat Soviet pecah. Lebih dari itu adalah konflik memburu perdagangan migas dari Kaspia. Dalam hal ini, AS yang sangat bernafsu menguasai sumber daya migas itu hanya bisa berkomentar cukup keras mengenai serbuan tentara Rusia ke Georgia. Namun, walau bagaimanapun, Rusia masih jauh lebih berpengaruh di Asia Tengah ketimbang AS, dan negara-negara kaya migas di Kaspia, yaitu Turkmenistan, Kazakhstan, Uzbekistan, dan Kirgistan, masih lebih memperhitungkan Rusia. Selain itu afghanistan juga sudah menjalin hubungan Bilateral dengan negara indonesia saat masih kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Hubungan Bilateral dilakukan oleh Bapak Susilo Bambang Yudhoyono  dengan Presiden Republik Islam Afganistan Hamid Karzai, di Laguna Resort and Spa, Nusa Dua, Bali, Jumat (9/11) pagi. Kedua pemimpin menyaksikan penandatanganan dua nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU). Kedua MoU tersebut masing-masing mengenai persahabatan dan kerjasama, ditandatangani oleh Menlu Marty Natalegawa dan Menlu Afghanistan Zalmay Rasoul. Kemudian, nota kesepahaman mengenai program pertukaran budaya, diteken oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh dan Menteri Informasi dan Kebudayaan Republik Islam Afghanistan Sayed Makhdoom Raheen.

Dalam keterangan persnya seusai pertemuan, Presiden SBY menyampaikan penghargaan atas kehadiran Presiden Hamid Karzai pada Bali Democracy Forum V. "Kita berharap segala bentuk kerja sama dan hubungan bilateral dapat ditingkatkan," kata SBY. Pertemuan bilateral RI-Afghanistan membahas kerjasama dalam upaya meningkatkan hubungan politik, ekonomi, dan budaya antara kedua negara. Sedang MOU yang ditandatangi antara lain menyangkut pakta kerjasama, kesepakatan mengenai penghapusan persyaratan visa bagi pembuatan paspor, kesepakatan mengenai konsultansi, dan kesepakatan dalam pertukaran pandangan budaya antara Indonesia dan Afghanistan. "Five pacts will be signed during president Hamid Karzai's visit to Indonesia which will include friendship pact, agreement on removal of visa requirements for political and service passports, agreement on mutual consultancy and agreement on cultural views exchange between Afghanistan and Indonesia," kata SBY.

WACANA KERJASAMA KEAMANAN INDONESIA  - REPUBLIK ISLAM AFGHANISTAN                                        Sejak tahun 2004 Afghanistan berubah nama menjadi Republik Islam Afghanistan. Republik Islam Afghanistan terletak di tengah-tengah Benua Asia. Karena letaknya tersebut, Afghanistan merupakan negara yang memiliki letak strategis di Benua Asia. Posisinya yang berada di tengah-tengah Benua Asia menyebabkan Afghanistan seringkali dikelompokkan ke dalam negara kawasan Asia Selatan maupun Asia Tengah. Hubungan bilateral antara Indonesia dan Afghanistan telah terjalin sejak pembukaan hubungan diplomatik pada tahun 1950. Indonesia dan Afghanistan pun telah menandatangani perjanjian persahabatan pada 24 April 1955. Hubungan bilateral yang baik di antara kedua negara tercermin dalam hadirnya Afghanistan dalam Konferensi Asia Afrika yang diselenggarakan di Bandung pada tahun 1955, dukungan yang diberikan Afghanistan kepada Indonesia pada beberapa forum internasional, seperti keanggotaan tidak tetap DK-PBB (2007-2008), Human Rights Council (2007-2010), Executive Board of World Health Organization (2007-2010), External Auditor of WHO (2008-2009 dan 2010-2011), dan United Nations Industrial Development Organization (2010-2011). Sejak tahun 2001 kondisi domestik Afghanistan tidak stabil baik dari bidang politik, keamanan/militer, ekonomi, sosial dan bidang-bidang lainnya. Hal ini dikarenakan tumbangnya pemerintahan Taliban yang sedang memerintah Afghanistan dan invasi yang dilakukan oleh Amerika Serikat pada tahun 2001. Dalam kondisi yang demikian, Afghanistan membutuhkan bantuan untuk membenahi kondisi domestik negaranya. Oleh karena itu, Indonesia berkomitmen untuk turut membantu upaya rekonstruksi dan rehabilitasi kondisi domestik Afghanistan. Indonesia melakukan upaya capacity building kepada Afghanistan dengan mekanisme South-South Cooperation dan skema trilateral di mana Indonesia menyediakan tempat, tenaga ahli dan bantuan teknis, dengan pendanaan dari negara ketiga. Banyak program capacity building yang telah dijalankan sejak tahun 2010 hingga 2011. Di antaranya program-program di bidang perikanan, perairan, perekonomian, politik/pemerintahan/demokrasi, kesehatan, bencana alam, dan pertanian. Kini, masalah keamanan domestik Afghanistan menjadi perhatian dan tantangan utama dalam upaya capacity building di Afghanistan. Pasalnya, pasukan internasional yang tergabung dalam ISAF (International Security Assistance Force) yang selama ini membantu menjaga keamanan domestik Afghanistan sejak Desember 2001, akan meninggalkan Afghanistan pada tahun 2014. Sehingga, Afghanistan harus mampu menjaga keamanan domestiknya dengan kekuatan militer yang Ia miliki sendiri. Dalam Konferensi Afghanistan di Bonn, Jerman, 5-6 Desember 2011, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Marti Natalegawa, menyampaikan bahwa Indonesia akan membantu capacity building di bidang keamanan bagi Afghanistan. Indonesia akan memberikan pelatihan bagi 50 polisi Afghanistan. Pelatihan ini akan difokuskan pada pelatihan lalu lintas, investigasi kriminal dan community policing. Pelatihan ini dilakukan sebagai bekal bagi Afghanistan memegang kembali tanggung jawab penuh atas keamanan domestiknya pada tahun 2014. Wacana capacity building di bidang keamanan tersebut ditanggapi positif oleh Ketua Majelis Nasional (Senat) Republik Islam Afghanistan, Fazel Haddi Muslimyar. Tanggapan positif tersebut ditunjukkan dengan niatnya meningkatkan hubungan bilateral negaranya dengan Indonesia. Hal tersebut diutarakan ketika Ia berkunjung ke MPR 13 Desember 2011. Kedatangan Fazel diterima oleh Ketua MPR, Taufiq Kiemas, Wakil MPR, Hajriyanto Y. Thohari, Melani Leimena Suharli dan pimpinan dari fraksi-fraksi partai politik. Salah satu topik yang dibahas dalam pertemuan tersebut adalah keinginan Fazel melakukan kerjasama antara Kepolisian Indonesia dan Afghanistan. Menurutnya, Kepolisian Afghanistan memerlukan bantuan-bantuan pendidikan dan pelatihan agar lebih profesional. Ehsanullah Bayat, Anggota Delegasi Afghanistan, mengharapkan adanya Komisi Indonesia-Afghanistan, agar kerjasama bilateral di antara kedua negara dapat segera direalisasikan. Adapun Taufik Kiemas, menanggapi perbincangan tersebut dengan baik. Menurutnya, kerjasama dengan semua pihak merupakan keinginan Indonesia. Pada tanggal 14 Desember 2011 pun, rombongan delegasi Majelis Nasional (Senat) Republik Islam Afghanistan menemui Presiden SBY beserta Menkopolhukam, Djoko Suyanto, Mensekneg, Sudi Silalahi, Sekretaris Kabinet, Dipo Alam, Wamenlu, Wardana dan staf khusus presiden bidang Hubungan Internasional, Teuku Faizasyah di Kantor Presiden. Seusai pertemuan tersebut Teuku Faizasyah mengatakan bahwa Indonesia siap untuk melatih dan mendidik 50 polisi Afghanistan pada awal 2012. Hal ini dilakukan sebagai bentuk dukungan atas upaya pemulihan Afghanistan paska invasi Amerika Serikat pada tahun 2001. Faiza juga mengungkapkan bahwa Indonesia dan Afghanistan akan menggalang kerjasama di bidang kontra-terorisme. Sebagaimana kita tahu bahwa, Afghanistan diduga menjadi sarang teroris internasional. Invasi yang dilakukan Amerika Serikat pada tahun 2001 pun dilakukan atas nama "war against terrorism". Di mana Pemerintah Taliban dituduh melindungi dan menyembunyikan Osama bin Laden, pelaku terorisme yang sedang diburu oleh Amerika Serikat. Hingga kini pun, masih ada ketakutan dan kecurigaan bahwa aktivitas kelompok terorisme internasional masih berlangsung di Afghanistan. Ancaman terorisme ini menjadi salah satu fokus dan perhatian Indonesia. Indonesia telah berkomitmen untuk ikut serta dalam upaya memerangi terorisme internasional karena kejahatan tersebut sangat berbahaya dan merugikan. Indonesia sendiri pernah mengalami kejahatan teror seperti yang terjadi pada kasus Bom Bali I, Bom Bali II dan Pemboman Hotel Ritz Carlton. Kini, Indonesia telah memiliki Pusat Kontra-terorisme di Semarang[5] sebagai salah satu upaya menangani ancaman terorisme. Tentunya kerjasama kontra-terorisme Indonesia-Afghanistan diharapkan dapat meminimalisasi ancaman dan gangguan terorisme yang terjadi baik di antara kedua negara maupun di kawasan Asia sendiri.

RI-Afghanistan Capai Kesepakatan Bersama

            NUSA DUA, BALI—Memasuki hari kedua Bali Democracy Forum (BDF) V, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyelenggarakan pertemuan bilateral dengan Presiden Republik Islam Afghanistan Hamid Karzai. Pertemuan bilteral tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan bersama. Kesepakatan bersama tersebut, antara lain, penegasan kembali komitmen Indonesia oleh Presiden SBY untuk mendukung Afghanistan dalam hal kerja sama teknis dan capacity building. Presiden SBY menegaskan kesiapan Indonesia untuk membantu Afghanistan dalam penyelenggaraan pelatihan teknis, termasuk di dalamnya, infrastruktur, pemberdayaan perempuan, pendidikan, pertanian, perikanan, kesehatan, penanganan bencana, tatakelola pemerintahan yang baik, teknologi penanganan sampah, pelatihan diplomat, serta inseminasi dalam peternakan. Pada tanggal 17 September 2012 lalu, telah ditandatangani Nota Kesepahaman dalam bidang Capacity Building for Law Enforcement Personnel antara Indonesia dan Afghanistan. Dengan adanya kerja sama tersebut, POLRI akan melatih 50 personel dari Afghanistan National Police (ANP) dalam bidang manajemen lalu-lintas, pelayanan masyarakat, dan investigasi kejahatan. Indonesia dan Afghanistan juga menyetujui disusunnya perjanjian persahabatan dan kerja sama yang baru antara kedua negara untuk menggantikan perjanjian sebelumnya yang ditetapkan pada tanggal 24 April 1955. Perjanjian baru tersebut menetapkan upaya-upaya yang dapat mendorong hubungan bilateral antara Indonesia dengan Afghanistan ke level yang lebih tinggi dengan Presiden Hamid Karzai juga mengundang Indonesia untuk menjajaki kemungkinan dilakukannya perdagangan dan investasi langsung di negaranya. Untuk itu, kedua kepala negara sepakat untuk dilakukan pertukaran kunjungan yang melibatkan sektor bisnis untuk mengeksplorasi potensi perdagangan dan investasi yang akan menguntungkan kedua negara. Indonesia dan Afghanistan juga akan mempererat kerja sama dalam bidang pemberantasan korupsi dalam rangka mendorong penyelenggaraan tatakelola pemerintahan yang baik di kedua negara. Selain itu, pertemuan bilateral tersebut juga menekankan pada pentingnya pertukaran pengalaman tentang penyelenggaraan Pemilu mengingat Indonesia dan Afghanistan sama-sama akan menyelenggarakannya pada tahun 2014. Menyikapi persoalan terorisme dan kejahatan transnasional, Presiden SBY dan Presiden Hamid Karzai sepakat agar institusi terkait di kedua negaranya perlu meningkatkan kerja sama dalam memerangi narkoba dan pertukaran tim ahli terkait tindakan pencucian uang dan pendanaan terorisme. Selain itu, Presiden SBY dan Presden Hamid Karzai berkomitmen untuk memerangi penyelundupan dan penjualan orang. Keduanya sepakat untuk meningkatkan program capacity building dalam hal kekuatan hukum, kontrol perbatasan, serta pengamanan dokumen perjalanan dalam rangka mengatasi penyelundupan dan imigran ilegal di wilayah. Dalam bidang kebudayaan, Indonesia dan Afghanistan setuju untuk dilakukannya program pertukaran dan misi budaya. Indonesia akan menerima sejumlah pelajar Afghanistan yang belajar di beberapa universitas di Indonesia melalui program beasiswa Darmasiswa sebagaimana melalui program Developing Countries Partnership (KNB). Tidak hanya itu, para dosen Afghanistan pun berkesempatan untuk mendapatkan pelatihan di Indonesia. Presiden Hamid Karzai juga memberikan dukungan bagi proposal yang telah disusun Presiden SBY dalam General Debate of the 67th Session of The UN General Assembly mengenai konsensus internasional dalam hal instrumen pencegahan kerusuhan maupun penganiayaan yang mengatasnamakan agama atau keyakinan. Kedua kepala negara menekankan pentingnya saling menghormati dan memahami di antara para pemeluk agama.

 

DAFTAR PUSTAKA

Internet :http://cybon.blogspot.com/2013/02/hubungan-asia-tengah-dan-amerika-serikat.html

  https://reffisoebagyo4.wordpress.com/2013/02/16/hubungan-bilateral-ri-dengan- negara-afghanistan/

Buku   : Agustinus, Wibowo (2012).Garis Batas. Jakarta: Penerbit PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta: Anggota IKAPI

 

No comments:

Post a Comment