Hijra Rahma Dena
Tengku Sulung adalah salah satu pejuang
kemerdekaan yang lahir di daerah Lingga, Kepulauan Riau. Beliau merupakan
seorang pejuang kemerdekaan yang melakukan perjuangan melawan kolonial Belanda
di daerah Reteh atau Sungai Batang. Reteh merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan
Melayu Riau pada saat itu yang terletak di sepanjang Sungai Gangsal.[1]
Kerajaan Melayu Riau telah mengakui pemerintahan Belanda sebagai pemegang kekuasaan di Riau sejak tahun 1830. Pengakuan tersebut didasari sebab Belanda telah berhasil mengalahkan Raja Haji Fisabilillah dalam perang Riau pada tahun 1784. Akibat kekalahan itu, maka Sultan Mahmudsyah III terpaksa menandatangani perjanjian dengan pihak kolonial Belanda pada tahun 1784. Setalah itu, Sultan Mahmudsyah III kemudian memindahkan pusat kerajaan Riau-Johor-Pahang yang mulanya berada di Bintan ke daerah Lingga. Tujuan pusat kerajaan
tersebut dipindahkan sebagai strategi dalam menghadapi serangan dari pihak kolonial Belanda karena daerah Lingga merupakan daerah yang susah di jangkau dan kondisi alamnya sangat bagus untuk menjadi tempat pertahanan.[2]Setelah Sultan Mahmudsyah III
mangkat pada tahun 1811, maka kedudukannya berturut-turut digantikan oleh Raja Abdul Rahmansyah (1812-1832). Setelah
Raja Abdul Rahmansyah mangkat, maka ia digantikan oleh putranya yaitu Sultan
Abdul Rahman Syah III (1832-1841). Setelah 10 tahun menjalankan pemerintahan,
Sultan Abdul Rahman Syah III mangkat pada tahun 1841. Kemudian beliau
digantikan oleh putra sulungnya yang bernama Sultan Mahmud Muzzaffar Syah
(1841-1857). Pada pemerintahannya, Sultan Mahmud Muzzaffar Syah menunjuk Tengku
Sulung sebagai panglima besar.
Pada masa pemerintahannya,
Belanda memaksa Sultan Mahmud Muzzaffar Syah untuk menandatangani suatu
perjanjian. Tetapi beliau menentang perjanjian tersebut. Selain itu pada masa
pemerintahannya, tanpa sepengetahuan pihak Belanda, Sultan Mahmud Muzzaffar
Syah menjadi dalang yang mengacaukan keamanan prajurit-prajurit Belanda di
lautan dan beliau juga sering berpergian ke Singapura dan Pahang secara
diam-diam, bahkan beliau lebih sering tinggal disana daripada di Istana Lingga.
Oleh karena perbuatan beliau tersebut, maka Kolonial Belanda menilai bahwa
Sultan Mahmud Muzzaffar Syah ini kurang menghormati perwakilan pemerintahan
Belanda di Tanjung Pinang. Maka, pada tanggal 23 September 1857 Sultan Muzzafar
Syah IV dipecat secara sepihak oleh Belanda.[3]
Meskipun Sultan Mahmud Muzaffar
Syah telah dipecat oleh Belanda dan kedudukannya digantikan Sultan Sulaiman
Badrul Alam Syah (1857-1883), namun rakyat Reteh masih tetap mengakui Sultan
Mahmud Muzzaffar Syah sebagai raja yang sah. Pada saat itu, Tengku Sulung tidak
mau tunduk pada Sultan Sulaiman yang diangkat oleh Belanda untuk kawasan yang
sama, menggantikan Sultan Mahmud Muzzaffar Syah.
Akibat pemecatan ini, kolonial Belanda
banyak mendapat tentangan dari Rakyat Riau khususnya pengikut-pengikut Sultan Mahmud
Muzzaffar Syah yaitu rakyat Reteh dan Panglima Besar Tengku Sulung. Mereka
melakukan berbagai perlawanan terhadap Belanda salah satunya yaitu dengan cara
bertindak sebagai bajak laut yang menganggu pelayaran dan perdagangan Belanda.
Belanda yang kerepotan kemudian mengadakan perjanjian dengan Tengku Sulung
tetapi perjanjian tersebut ditolak. Penolakan Tengku Sulung ini sangat
menjengkelkan bagi Belanda sehingga kemudian Belanda melakukan serangan
terhadap Tengku Sulung di Reteh.
Panglima Besar Tengku Sulung
mengirim beberapa orang utusan ke Singapura untuk menemui Sultan Mahmud
Muzzaffar Syah yang tinggal di Singapura pasca dipecat Belanda. Utusan ini
bertugas meminta dukungan Sultan Mahmud Muzzaffar Syah terhadap gerakan
perlawanan Tengku Sulung serta untuk membeli perlengkapan senjata. Menanggapi
permohonan ini, Sultan Mahmud Muzzaffar Syah merestui tindakan Panglima Besar Tengku
Sulung itu sekaligus menyerahkan bantuan buat modal membeli perlengkapan
perang. Selain Tengku Sulung mempersiapkan alat senjata, dibeberapa tempat
strategis beliau juga membangun pula benteng-benteng yang kokoh. Rakyat Reteh dan
Tengku Sulung bekerja keras siang hingga malam untuk menyelesaikan benteng-benteng
pertahanan tersebut. Selanjutnya pada semua benteng terdapat meriam-meriam
ukuran besar dan kecil. Pada benteng pusat dipasang meriam ukuran 6,8 dan 12 pon sebanyak
13 pucuk, sedangkan dibenteng yang ukurannya lebih kecil daripada benteng pusat
di pasang 6 pucuk meriam ukuran 3,6,8 pon. Begitu pula perahu-perahu ukuran
besar dan kecil juga dipersenjatai dengan meriam yang mempunyai berbagai
ukuran. Penjagaan di
muara-muara sungai juga diadakan, gunanya untuk memberitahukan tentang
kedatangan kapal-kapal atau perahu-perahu yang dicurigai lebih awal sehingga semua
pasukan Reteh yang siap tempur segera dapat berkumpul di dalam dan disekitar
benteng. [4]
Untuk mempertebal semangat juang,
rakyat Reteh yang dipimpin Panglima Besar Tengku Sulung mengadakan acara
mengucapkan sumpah setia yang dilakukan di benteng
pusat. Pasukan Reteh yang sudah siap tempur ini diperkirakan berjumlah 800 orang. Yang bukan
hanya terdiri dari penduduk Reteh, tetapi juga banyak pula yang berasal dari
daerah-daerah lain.[5]
Akibat sikap dan tingkah laku
Tengku Sulung yang sering mengganggu dan membajak pelayaran orang-orang Belanda
di lautan atau perairan Kepulauan Riau. Maka, pihak Belanda menjadi marah. Setelah
mempertimbangkan akan tingkah laku Tengku Sulung yang benar-benar sangat memberontak
itu, maka pihak Belanda tidak hanya berdiam diri. Pada tanggal 9 Oktober 1858
sejumlah kapal perang Belanda meninggalkan pelabuhan Tanjung Pinang yang akan menuju
Reteh. Armada itu terdiri dari kapal api yang bernama "Sumbing", diikuti
5 kapal penjelajah serta 20 perahu yang dipersenjatai. Kapal api yang bernama
"Sumbing" ini khusus dikirim untuk dipergunakan guna menyeret semua
kapal dan perahu yang tidak memiliki mesin. Komandan kapal "Sumbing"
Letnal AA.J. Kroef sekaligus bertindak sebagai pimpinan operasi itu. Tidak lama
setelah itu, sebagian pasukan Belanda diperintahkan untuk memblokade semua aliran
sungai yang mengalir ke wilayah Reteh untuk mengepung daerah tersebut. Kemudian,
Sebuah kapal pejelajah dan beberapa perahu yang diketuai oleh Letnal A.J. Van
Mansvelt bergerak ke daerah Kuala Enok yang bertujuan untuk menjaga muara
sungai disana.[6]
Kemudian akibat blokade tersebut
maka pada tanggal 13 Oktober 1858,
pasukan Tengku Sulung dikepung oleh Belanda dari berbagai jurusan. Namun
walaupun sudah dikepung Tengku Sulung tetap mendapat bantuan dari orang-orang
Melayu asli Reteh, Enok dan Mandah. Bahkan Tengku Sulung juga mendapatkan
bantuan dari pasukan Indragiri yang mana pasukan indragiri malakukan bantuan
perjuangan Tengku Sulung tersebut dengan cara menyamar. Disamping itu, pasukan
Belanda telah berhasil memasuki Sungai Sampi. Pasukan Belanda telah mendekati
kubu pusat pertahanan rakyat Reteh. Panglima Besar Sulung segera memutar otak
untuk mengatur pasukannya karena mengetahui pasukan musuh sudah memasuki
daerahnya dan mendekati benteng pertahanannya.
Pada tanggal 16 Oktober 1858,
pasukan Reteh berusaha menyerang kapal-kapal Belanda yang berada di Kuala Patah
Parang. Pasukan Reteh menggunakan dua buah perahu pada penyerangan itu. Terjadi
pertempuran sengit antara pihak belanda dan Reteh, akan tetapi pasukan Reteh
tidak sanggup mempertahankan diri dari pasukan Belanda karena pasukan Belanda
lebih kuat. Kemudian, Belanda mendatangkan bantuan dari Tanjung Pinang untuk
memperkuat pasukannya.
Pada tanggal 4 November 1858,
dengan menggunakan kekuatan penuh pasukan Belanda melakukan penyerbuan dan
penyerangan ke benteng pertahanan Reteh. Pasukan Belanda melakukan serangan
mendadak dari darat dan berhasil masuk ke dalam benteng. Pada tanggal 5
November 1858, ultimatum dari Residen Riau dikirimkan kepada Panglima Besar
Tengku Sulung. Ultimatum ini berisi tuntutan agar Panglima Besar Tengku Sulung
menyerahkan diri kepada komandan ekspedisi untuk menghadap Sultan Sulaiman.
Setelah itu Sultan Sulaiman lah nanti
yang akan memutuskan apa yang akan dilakukan kepada Tengku Sulung, karena
beliau telah melepaskan diri dari kekuasaan Sultan Sulaiman tersebut. Dalam
ultimatum, Residen Riau menyebutkan bahwa akan menjamin pengampunan dan keselamatan
jiwa Tengku Sulung. Residen Riau memberikan masa untuk mempertimbangkan isi
ultimatum selama dua hari. Disamping itu, selama dua hari tersebut segala permusuhan
dan penyerangan diminta dihentikan untuk sementara waktu. Akan tetapi, tidak
perlu menunggu dua hari, pada hari yang sama Tengku Sulung telah menjawab
ultimatum Residen Riau itu. Jawaban yang diberikan oleh Tengku Sulung atas
ultimatum tersebut sama sekali tidak memuaskan bagi pihak kolonial Belanda dan
membuat Belanda marah sehingga sejak saat itu pertempuran hebat antara pihak
Belanda dan pihak Tengku Sulung berkobar kembali.[7]
Pada akhirnya sampailah kepada
puncaknya yaitu pada tanggal 7 November 1858, keadaan cuaca pada saat itu
sangat buruk. Sepanjang hari angin kencang dan hujan lebat menyelimuti wilayah
Reteh. Pasukan Reteh sangat tidak menyangka ternyata akan ada serangan
besar-besaran terhadap wilayahnya pada keadaan buruk seperti itu. Tengku Sulung
dengan sigap segera mengatur taktik dan anak buahnya dalam menghadapi serangan
ini. Terjadi pertempuran yang sangat dahsyat pada saat itu karena jarak pihak
Belanda dan pihak reteh yang berdekatan. Pasukan Reteh sangat kewalahan
menghadapi serangan musuh karena harus menghadapi serangan dari dua arah karena
Reteh sudah dikepung oleh Belanda. Panglima Besar Tengku Sulung yang sudah
terluka dua hari yang lalu akibat terkena tembakan ketika memeriksa pelindung
bentengnya, dengan gigih semangat masih mampu memimpin pertempuran besar itu.
Dalam pertempuran itu, beberapa
orang pimpinan penting Reteh, Said Usman dan Raja Ismail ditangkap oleh pasukan
Belanda. Penangkapan tokoh-tokoh penting tersebut mengakibatkan pasukan Reteh
kehilangan pimpinan yang mengatur strategi dan taktik dalam pepeperangan itu.
Walaupun demikian, mereka masih tetap semangat dan bertahan karena beberapa
tokoh pimpinan lainnya termasuk Panglima Besar Tengku Sulung masih tetap
berjuang bersama mereka. Ditengah-tengah pertempuran yang sedang berkecamuk,
Panglima Besar Reteh yaitu Tengku Sulung tertembak tepat ditengah lehernya. Hal
itu menyebabkan beliau gugur di dalam benteng. Ketika berita kematian Tengku
Sulung tersebar ketelinga para pasukannya, semangat bertempur mereka mulai menurun
hingga pertempuran itu berakhir.
Karena begitu berartinya
Perjuangan seorang Tengku Sulung atas tanah Melayu, hingga saat ini nama Tengku
Sulung digunakan dan di abadikan menjadi nama sebuah Rumah sakit Umum
Daerah di Pulau Kijang yaitu RSUD Tengku Sulung.
Kesimpulan
Tengku Sulung adalah salah satu
pejuang kemerdekaan yang melawan kolonial Belanda di daerah Reteh. Tengku
Sulung ditunjuk sebagai panglima besar pada masa pemerintahan Sultan Mahmud
Muzzaffar Syah. Akibat pemecatan Sultan Mahmud Muzzaffar Syah secara sepihak
oleh pemerintah Belanda maka Tengku Sulung beserta rakyat Reteh lainnya
melakukan pemberontakan. Pasukan Reteh yang sudah siap tempur pada saat itu
diperkirakan berjumlah 800 orang. Pada tanggal 13 Oktober 1858, pasukan Tengku
Sulung dikepung oleh pasukan Belanda dari berbagai jurusan. Namun walaupun
sudah dikepung, Tengku Sulung tetap mendapat bantuan dari masyarakat sekitar. Pada
tanggal 5 November 1858, Residen Riau mengirimkan ultimatum kepada Panglima
Besar Tengku Sulung. Ultimatum ini berisi tuntutan agar Panglima Besar Tengku
Sulung menyerahkan diri kepada komandan ekspedisi untuk menghadap Sultan
Sulaiman. Tetapi ultimatum itu ditolak oleh Tengku Sulung dan menyebabkan
Belanda sangat marah. Maka, pada 7 November 1858, terjadilah pertempuran
besar-besaran antara pasukan Belanda dan pasukan Reteh. Pertempuran tersebut
menyebabkan Tengku Sulung tewas karena beliau tertembak tepat ditengah lehernya.
Hal tersebut menjadi berita duka sekaligus pukulan terdalam bagi pasukan Reteh
sehingga semangat bertempur mereka menurun hingga pertempuran itu berakhir.
[1] Asyrul Fikri,. Sejarah Lokal Riau untuk Pengembangan
Materi Ajar Sejarah Indonesia Kelas XI SMA. Jurnal Diakronika. Vol. 19, No. 1, Juni 2019. Hal. 36
[2] Rustam S. Abrus. Sejarah usaha panglima Besar Rateh Tengku
Sulung melawan Belanda Tahun 1858. Pekanbaru. 1998. Hal. 45
[3] Nismawati Tarigan. (Ed). Bibliografi Beranotasi Hasil Penelitian Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang. Tanjungpinang. 2009. Hal. 114
[4] Teuku Abdullah Sulaiman. Jejak Perjuangan Panglima Besar Reteh Tengku Sulung. Seminar Nasional Sejarah Perjuangan Panglima Besar Reteh Tengku Sulung di Tembilahan 24 – 25 Juli 1999. 21 Juni 2011. https://tambeh.wordpress.com/2011/06/21/tengku-sulung-sebagai-panglima-dan-panglima-besar-calon-pahlawan-nasional-asal-riau/. Diakses 7 Desember 2020
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
DAFTAR PUSTAKA
Abrus
S, Rustam. 1998. Sejarah usaha panglima Besar Rateh Tengku Sulung melawan
Belanda Tahun 1858. Pekanbaru: unri press.
Asyrul
Fikri. Sejarah Lokal Riau untuk
Pengembangan Materi Ajar Sejarah Indonesia Kelas XI SMA. Jurnal Diakronika. Vol. 19, No. 1, Juni 2019.
Tarigan,
Nismawati. (Ed). 2009. Bibliografi Beranotasi Hasil Penelitian Balai
Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang. Tanjungpinang:
Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Teuku
Abdullah Sulaiman. Jejak Perjuangan
Panglima Besar Reteh Tengku Sulung. Seminar Nasional Sejarah Perjuangan
Panglima Besar Reteh Tengku Sulung di Tembilahan 24 – 25 Juli 1999. 21 Juni 2011.
https://tambeh.wordpress.com/2011/06/21/tengku-sulung-sebagai-panglima-dan-panglima-besar-calon-pahlawan-nasional-asal-riau/.
Diakses 7 Desember 2020.
No comments:
Post a Comment