Oleh : Imantri Perdana / SI-5
Kasus Kudeta 17 Oktober 1952 merupakan suatu Konspirasi yang belum jelas hingga saat ini sehingga menarik untuk dikaji kembali supaya bangsa ini dapat membaca sejarahnya, Kudeta 17 Oktober merupakan peristiwa salah satu anggota perwira mengarahkan moncong meriam ke Istana dengan alasan untuk melindungi Presiden dari demonstrasi mahasiswa[1].
Menurut Salim Said (2001 : 10 ) "kasus 17 Oktober 1952 adalah konflik terbuka yang pertama antara tentara dan politisi sipil setelah pengakuan kedaulatan" disini terlihat bahwa peranan militer sangat dominan dibandingkan peranan sipil sehingga tidak adanya perimbangan antara sipil dan militer, selain itu pada masa orde lama situasi politik sangat kacau ditambah adanya perang dingin dalam menentukan ideology suatu Negara khususnya Indonesia.
Hal yang melatar belakangi peristiwa ini adalah pemilu yang tertunda-tunda yang dianggap sebagai taktik Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) yang didukung oleh pihak Soekarno untuk mempertahankan keadaan, selain itu meruncingnya konflik intern militer dan partai-partai. Kolonel Bambang Supeno, orang dekat Bung Karno yang sering keluar-masuk Istana, mengirim surat ke Perdana Menteri Wilopo, Presiden dan DPRS, menyatakan tak mempercayai lagi pimpinan Angkatan Perang, khususnya Angkatan Darat (dipimpin Nasution). Bambang Supeno-lah yang melobi Bung Karno sampai Bambang Sugeng akhirnya mengganti Nasution sebagai KSAD. Nasution dipecat. Tujuh perwira daerah ada yang ditahan dan digeser kedudukannya.
Akibat pertentang internal di dalam Angkatan Darat maka ia (A.H Nasution) menggalang kekuatan dan melawan pemerintahan yang terkenal dengan peristiwa 17 Oktober 1952. Akibat peristiwa ini Presiden Soekarno mencopotnya dari jabatan KASAD dan menggantinya dengan Bambang Sugeng. Posisi Bambang Sugeng yang senior maka Pemerintah menunjuknya untuk menjadi wakil Panglima Besar Sudirman atau Wakil 1 Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP).
Sosoknya yang bisa diterima semua pihak yang menjadikanya satu-satunya alternatif bagi Presiden Soekarno saat mencopot AH Nasution yang mendalangi peristiwa 17 Oktober 1952.
Bambang menggunakan pendekatan unik khas Indonesia yaitu musyawarah untuk menyatukan para perwira TNI yang terbelah akibat peristiwa Oktober 1952 dan menghasilkan Piagam Djogja 1955. Piagam yang meredam friksi di dalam militer membuat Soekarno yang pada akhirnya mengangkat kembali AH Nasution menjadi KSAD[2]. Setelah islah akhirnya pada November 1955 ia menjabat kembali posisinya sebagai KASAD. Tidak hanya itu, pada Desember 1955 ia pun diangkat menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia..
Kejadian peristiwa 17 Oktober dikarenakan adanya demonstrasi semula masa mendatangi gedung parlemen kemudian menuju Istana Merdeka untuk mengajukan tuntutan, pembubaran parlemen dan menggantinya dengan parlemen baru serta tuntutan segera dilaksanakan pemilihan umum. Penyebab utama dari peristiwa ini adalah terlalu jauhnya campur tangan kaum politisi terhadap masalah intern Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI)
Demonstrasi ini direncanakan Markas Besar Angkatan Darat atas inisiatif Letnan Kolonel Sutoko dan Letnan Kolonel S. Parman. Pelaksanaannya diorganisasi oleh Kolonel dr. Mustopo Kepala Kedokteran Gigi Angkatan Darat dan Perwira Penghubung Presiden, dan Letnan Kolonel Kemal Idris, Komandan Garnisun Jakarta. Seksi Intel Divisi Siliwangi mengerahkan demonstran dari luar Ibukota dengan menggunakan kendaraan truk militer[3].
Pada waktu bersamaan Pasukan Tank muncul di Lapangan Merdeka, dan beberapa pucuk meriam diarahkan ke Istana Presiden, setelah meninggalkan Istana Presiden Soekarno mereseskan Parlemen pada sore harinya tentara memutuskan jaringan telepon di seluruh Indonesia dan melarang surat kabar beredar, bahkan tokoh politik ditangkap diantaranya M.Yamin,dan Kasman Singodimejo bahkan jam malam serta berkumpul lebih dari lima orang dilarang.
Peristiwa 17 Oktober 1952 ini diupayakan diselesaikan melalui pertemuan, pada waktu itu Presiden Soekarno setuju dengan Pemilihan Umum tapi menolak pembubaran Parlemen dan tuntutan itu tidak dimuat di surat kabar, ternyata hal tersebut bocor ke media masa terutama Media masa Merdeka tanggal 24 Oktober 1952. Pasca peristiwa dianggap kudeta atau setengah kudeta belum jelas tapi Kol Soetoko membantah dan mengatakan "seperti anak-anak menemui bapak mereka" tidak ada kata "Kami Menuntut" atau "jika tidak, maka…" mereka datang ke Istana untuk menyampaikan permohonan bukan intimidasi.[4]
Rapat Collegial (Raco) tanggal 25 Februari 1955 yang melahirkan kesepakatan Piagam Keutuhan Angkatan Darat yang ditandatangani oleh 29 perwira senior Angkatan Darat. Peristiwa ini bersumber pada kericuhan yang terjadi di lingkungan Angkatan Darat. Kolonel Bambang Supeno tidak menyetujui kebijaksanaan Kolonel A.H. Nasution selaku KSAD. Ia mengajukan surat kepada Menteri Pertahanan dan Presiden dengan tembusan kepada Parlemen berisi soal tersebut dan meminta agar Kolonel A.H. Nasution diganti. Manai Sophian selaku anggota Parlemen mengajukan mosi agar pemerintah membentuk panitia khusus untuk memepelajari masalah tersebut dan mengajukan usul pemecahannya. Hal demikian dirasakan oleh pimpinan AD sebagai usaha campur tangan Parlemen dalam lingkungan AD.
Dapat dimaklumi pada masa itu system administrasi ketentaraan bahkan organisasi militer pada masa itu belum rapi seperti masa sekarang, Hierarki di antara pimpinan militer belum jelas kebanyakan elite tentara tersebut memiliki pangkat yang sama, ada juga perbedaan paham tentara-tentara yang berasal dari KNIL dan eks PETA tidaklah sepandangan peristiwa tersebut adanya kombinasi-kombinasi penggunaan mobilisasi massa untuk kepentingan politik serta ancaman verbal dan tekanan senjata sehingga disini terlihat civil action atau tindakan sipil yang telah didik oleh dinas tentara untuk menggulingkan kekuasaan pemerintah walau hanya dikulit untuk meletakkan kekuasaan ditangan Presiden tapi tujuannya adalah kudeta merangkak disamping itu adanya perbedaan paham tentang organisasi kemiliteran pada saat itu.
Tentara yang lemah akan merepotkan Negara dan tentara yang kuat akan menyusahkan rakyat, dimana bangsa Indonesia tidak ingin pertahanan Negara terpecah-pecah, walaupun tidak mau tentara yang kuat seperti masa Orde Baru yang mengerjakan tugas diluar pokoknya sehingga masyarakat menjadi merasa tercekam pada saat itu, hal inilah yang menyebabkan perbedaan pandangan antara Eks PETA dan KNIL pada saat itu dan ada hal yang aneh siapa dalang dibalik semuanya ini apakah pihak asing-sipil-militer tapi adanya mutasi menyebabkan para pimpinan daerah merasa asing dengan daerah lain dan tidak merasa cocok, walaupun peluru atau bom tidak memakan korban jiwa pada saat itu baru memakan korban ketika terjadinya pergolakan didaerah-daerah pada masa berikutnya.
Lantas siapa dalang dari peristiwa tersebut : A.H Nasution, T.B Simatupang, Soetoko, S.Parman, Moestopo (hal ini dikutip dari buku seabad Kontroversi) menurut penulis adanya merujuk pada salah satu pihak asing atau ada yang memanfaatkan situasi politik pada masa itu sehingga menimbulkan crash (tubrukan) dalam sistem pemerintahan ditambah peranan sipil tidak begitu kuat ditambah revolusi yang naik merupakan pihak militer pada masa orde lama militer tidak hanya sebagai basis pertahanan melainkan elite politik yang memainkan peran pada saat itu hingga orde baru. semoga hal ini bisa menjadi pelajaran jangan sampai bangsa ini terpecah belah yang mudah di kotak-kotakan lalu dimanfaatkan untuk menyerang yang lain bahkan membanting situasi untuk merubah keadaan.
Daftar Pustaka
- Asvi Warman Adam.2007."Seabad Kontroversi".Penerbit Ombak : Yogyakarta
- Julius Pour.2010."30 September Pelaku,Pahlawan,Petualang". Kompas :Jakarta
- Wikipedia : Peristiwa 17 Oktober 1952
- Sejarah Modern Indonesia. M.C Ricklefs. UGM Press
[1] Padahal presiden tidak pernah menggunakan kekuatan militer untuk menghalau unjuk rasa semasa orde lama, dimana pada masa itu pemilu tertunda
[2] Anehnya walau menjadi ajudan kepercayaan Presiden yang mencopot jabatan Jenderal A.H Nasution tiga tahun kemudian diangkat kembali
[3] Menurut Sundhaussen seorang pengamat militer: pengambila inisiatif di MBAD adalah Kol. Soetoko dan S.Parman dan demonstrasi di jalan digerakkan oleh Kol. Dr Moestopo yang mengepalai dinas kesehatan gigi AD, Keterlibatan menggunakan truk-truk tentara untuk mengangkut massa demonstran dari luar kota (Civil Action)
[4] Hal ini bisa dilihat pada buku 30 september pelaku, pahlawan,& petualang Julius Pour terbitan Kompas salah satu kutipan Soekarno semasa peristiwa Getok/Gestapu "mau diapakan saya ini oleh Anak-anak"
No comments:
Post a Comment