Showing posts with label INDONESIA ZAMAN PENJAJAHAN DUA. Show all posts
Showing posts with label INDONESIA ZAMAN PENJAJAHAN DUA. Show all posts

Sistem Monopoli VOC di Kepulauan Maluku



Mara Anjani/A/SI3
Suatu ciri lain sistem perdagangan VOC adalah yang dinamakan partnership (kemitraan). VOC mengupayakan suatu sistem monopoli atas rempah-rempah dengan cara membina kemitraan dengan para penguasa lokal. Sampai sekitar pertengahan abad ke-16 kemitraan itu berhasil dibangun karena para penguasa lokal membutuhkan VOC untuk memerangi bangsa Portugis.Pihak VOC juga berkepentingan secara ekonomis (dagang) maupun secara politis untuk memerangi bangsa Portugis. Hal ini disebabkan adanya kepentingan bersama dalam menghadapi Portugis, walau pada pihak VOC ada tambahan kepentingan dagang sedangkan pada pihak penguasa lokal praktis unsur ekonomi itu tidak ada.
Setelah dominasi Portugis lenyap dari Nusantara karena dilawan VOC, sejak sekitar pertengahan abad ke-16 kemitraan itu dibangun oleh VOC dengan salah satu pihak yang bertikai dalam suatu kerajaan tertentu. Sistem kemitraan itu didukung oleh sistem perbentengan dan armada.
Contoh-contoh yang baik dari kemitraan jenis pertama tersebut adalah antara VOC dengan Ternate. Pada tahun 1570 Sultan Baabullah berhasil mengusir Portugis dari Maluku Utara. Sementara itu, di Portugis terjadi perubahan politik yang berdampak di Maluku.Pada tahun 1580 Raja Spanyol, Philip II, berhasil merebut tahta Portugis dan memerintah dua kerajaan sekaligus. Oleh karena itu, Madrid memerintahkan agar Gubernur Jenderal Spanyol di Manila, Dom Pedro da Cunha, bersama Tidore (sekutu Spanyol) menduduki Ternate, dengan mengerahkan sebuah   pasukan yang sangat besar (3.095 orang)  pada bulan Maret 1606. Sultan Said berhasil melarikan diri bersama sejumlah pejabat kerajaan, sementara da Cunha meeruskan ekspedisi ke wilayah-wilayah Ternate lainnya serta Bacan. Sultan Said akhirnya berhasil dibujuk untuk kembali ke Ternate dan menandatangani sebuah perjanjian dengan Spanyol yang antara lain menetapkan bahwa kerajaan Ternate mengakui kekuasaan dan memberi hak monopoli cengkeh kepada Spanyol. Sebelum kembali ke Manila, da Cunha menempatkan pasukan di benteng Gamalama (yang dibangun Portugis, tetapi sejak 1575 digunakan oleh sultan-sultan Ternate), Sultan Said bersama sejumlah bangsawan Ternate dibawa pula ke Manila sebagai sandera.
Sementara itu, pihak-pihak yang menolak kekuasaan Spanyol mengetahui bahwa di Banten telah tiba sebuah armada Portugis dari negeri Belanda. Seorang bangsawan dikirim sebagai utusan untuk meminta bantuan Belanda mengusir Spanyol dari Ternate dengan imbalan monopoli cengkeh.Laksamana Cornelis Matelieff menyetujui permintan itu dengan syarat Ternate menyertakan 1.500 pasukan untuk membantu armadanya. Karena bantuan Ternate hanya beberapa ratus orang, Matelieff memutuskan untuk tidak menyerang Gamalama, tetapi membangun benteng baru di pantai Malayu berseberangan dengan benteng Spanyol tersebut. Benteng VOC itu kemudian dikenal dengan nama Fort Oranye. Matelieff mengharuskan Sultan Muzafar Syah menandatangani sebuah perjanjian (kontrak) yang antara lain menetapkan bahwa VOC akan menjaga keamanan Ternate terhadap Spanyol dengan imbalan monopoli cengkeh di seluruh kerajaan Ternate.
Untuk kepentingan pertahanan itu dalam waktu singkat VOC membangun benteng-benteng lain kecuali Fort Oranye. Di Pulau Moti dibangun Fort Nassau, di Pulau Ternate dibangun benteng kedua di Takome, yaitu Fort Willemstad. Benteng Spanyol di Pulau Bacan direbut dan diberi namaFort Barnevelt. Dalam waktu dua tahun VOC berhasil membangun tembok-tembok pertahanan (fortification) selain benteng-benteng tersebut yang dipertahankan oleh 500 tentara, yaitu di Taloko, Takome dan Kalamata di Pulau Ternate, Tapasoho, Ngofakiaha dan Tabalola di Pulau Makian, dan beberapa lagi di Jailolo (Halmahera) dan Pulau Tidore.
Kebijakan monopoli cengkeh VOC di Maluku mengalami perubahan di sekitar tahun 1650-an. Perubahan itu sudah tampak sejak Sultan Hamzah (1627-1648), adik Sultan Baabullah, masih muda. Ketika Gubernur Jenderal Spanyol Pedro da Cunha menyandera Sultan Said ke Manila, Hamzah termasuk dalam rombongan itu. Ia baru kembali ke Ternate sekitar 1627 dan langsung dipilih oleh Dewan Kerajaan sebagai Sultan. Selama berada di Manila rupanya ia tertarik pada cara Spanyol memerintah di Filipina, yaitu mencoba menerapkan sistem pemerintahan tangan besi itu dan mengabaikan kebiasaan para sultan sebelumnya yang senantiasa bermusyawarah dan bermufakat dengan para bangsawan di Ternate.
Salah satu hambatan yang dihadapi Hamzah untuk melaksanakan cara pemerintahan yang otoratis itu adalah perlawanan dari keluarga Tomagola yang sejak abad ke-16 telah diberi hak untuk berkuasa di Jazirah Hoamoal di Seram dan di pulau-pulau sekitarnya, termasuk di Jazirah Hitu (di Pulau Ambon). Pusat kekuasaan Tomagola di Hoamoal itu terletak di negeri Luhu yang juga merupakan pelabuhan ekspor cengkeh utama di masa itu. Keluarga Tomagola adalah salah satu dari empat keluarga bangsawan yang menentukan politik kerajaan Ternate. Tiga keluarga lainnya adalah Tomaitu, Marsaoli, dan Lumatau yang disebut sebagai "Fala Raha" (empat rumah) yang berpengaruh dalam politik Ternate. Sultan Ternate selalu dipilih dari salah satu "rumah" itu.Hamzah sendiri adalah seorang Tomagola. Untuk menghilangkan otonomi dari keluarga Tomagola di Hoamoal dan Hitu, Hamzah mengatakan bahwa mereka dibutuhkan di Ternate sebagai penasihat sultan.Keinginan Hamzah itu selalu ditolak oleh keluarga Tomagola.  Oleh karena itu, Hamzah mencari jalan lain untuk mematahkan kekuasan Tomagola dengan cara meminta gubernur VOC di Ambon untuk memerintah di Hoamoal dan Hitu atas namanya.
VOC sangat gembira dengan tindakan Sultan Hamzah itu karena Hoamoal dan Hitu selalu menjadi titik lemah sistem monopolinya di Kepulauan Ambon. Para pedagang Eropa dari Makassar senantiasa mengirim para nakhoda Bugis dan Makassar untuk membeli cengkeh secara tersembunyi di kedua wilayah itu untuk dijual kembali kepada para pedagang Eropa. Hal itu juga dilakukan oleh para pedagang dari kepulauan Banda.
Sepeninggal Hamzah pada tahun 1648, Dewan Kerajaan memilih sebagai sultan putranya yang tertua yang bernama Mandar Syah (1648-1675).Berbeda dengan ayahnya, Mandar Syah adalah seorang sultan yang sangat lemah. Untuk mempertahankan diri ia membina kerja sama yang sangat erat dengan VOC. Sikap itu mendapat kecaman dari para anggota Dewan Kerajaan, dan pada tahun 1950 menurunkan Mandar Syah dan menggantikannya dengan adiknya, Kaicili Manilha, yang oleh pihak VOC dianggap "tidak sanggup mengendalikan pikirannya" . Pihak-pihak yang menentang Mandar Syah adalah Kaicili (gelar bangsawan keluarga sultan) Said dan Hukum (kadi atau pemimpin agama) Laulata dari keluarga Tomagola, Kimelaha (kepala distrik atau sama dengan bupati) Terbile dari keluarga Tomaitu, Jougugu (menteri utama) Kaicili Musa dan Kimelaha Marsaoli dari keluarga Marsaoli. Sultan Mandar Syah melarikan diri ke Fort Oranye dan meminta perlindungan VOC, dan dengan bantuan VOC ia dapat dipulihkan kembali sebagai sultan Ternate pada tahun 1655.
Sementara itu, pada tanggal 31 Januari 1652 Mandar Syah menandatangani sebuah perjanjian (kontrak) dengan VOC dalam Fort Oranye. Dalam perjanjian itu Ternate menerima keinginan VOC agar di kerajaan itu tidak diperdagangkan cengkeh. Untuk mengawasi pelaksanaan ketentuan itu, VOC diizinkan setiap tahun melaksanakan patroli dengan sebuah armada yang terdiri dari kontingen VOC dan kontingen Ternate. Ekspedisi pemeriksaan cengkeh itulah yang dikenal dengan nama hongitochten (Pelayaran Hongi). Pohon cengkeh (yang berbuah maupun tidak) akan ditebang oleh tentara ekspedisi itu. Penebangan pohon-pohon cengkeh itu dikenal dengan sebutan extierpatie.
Pelaksanaan administrasi monopoli di Maluku Utara itu dilakukan oleh sebuah birokrasi yang memusat di kota Ternate. Berbeda dengan di Ambon dan di Banda, di Maluku Utara VOC tidak memiliki administrasi yang tersebar di seluruh wilayah itu. Pemerintahan yang dilakukan oleh aparat tradisional dari ketiga kerajaan (Ternate, Tidore dan Bacan), yang sultannya masing-masing dalam awal abad ke-17 menjadi sekutu VOC, kemudian berubah status menjadi vasal. Sistem pemerintahan VOC di Maluku Utara itu dinamakan Gouvernement der Molukken (Pemerintah Maluku).
Dengan demikian, VOC mengharapkan dapat mengendalikan perdagangan cengkeh secara tuntas dengan menghilangkan para penyelundup cengkeh yang umumnya adalah orang Jawa, Melayu, dan Banda. Selain itu, ekstirpasi pohon cengkeh setiap tahun di Maluku Utara menguntungkan VOC. Dalam pertengahan abad ke-17 sudah terjadi kelebihan produksi cengkeh sehingga harganya di Eropa mulai merosot. Pengurangan produksi di Maluku Utara itu akan menormalkan kembali harga cengkeh di pasaran dunia.
Dalam Perjanjian 1652 antara VOC dan Sultan Mandar Syah ditentukan juga harga beli cengkeh. Selanjutnya VOC akan membayar 50 ringgit (realen) bagi setiap bahar cengkeh yang berukuran 625 pon. Namun, di kemudian hari VOC menghentikan pembayaran dengan ringgit (realen), tetapi dengan bahan-bahan kebutuhan untuk setiap bahar cengkeh. Kebijakan itu diambil karena para pedagang yang mendatangi Ternate lebih tertarik pada ringgit (realen).
Ketentuan lain dari Perjanjian tahun 1652 itu berdampak politik. Dalam perjanjian itu VOC berjanji akan menyerahkan recognitie penningen (pembayaran atas jasa-jasa yang diberikan) pada setiap tahun pada sultan dan para bangsawan. Pembayaran itu merupakan ganti rugi atas penerimaan sultan dan bangsawan Ternate selama itu atas perdagangan cengkeh. Ditentukan bahwa setiap tahun sultan akan menerima 12.000 ringgit dan para bangsawan membagi di antara mereka 1.500 ringgit. Sekalipun dengan para bangsawan tersebut telah dibuat juga sebuah perjanjian pada tanggal 28 Maret 1653 yang mengandung ketentuan itu, dalam kenyataannya VOC menyerahkan seluruh jumlah itu kepada sultan agar bagian dari para bangsawan dibagikan sesuai keinginan sultan. Dengan cara itulah VOC melumpuhkan kekuasaan "Fala Raha" dan memperkuat kedudukan otoriter dari sultan.
Sesungguhnya sejak pertengahan abad ke-17 sultan Ternate (dan Bacan serta Tidore) dapat dikendalikan oleh VOC. Keadaan politik itu diformalkan setelah Gubernur Ternate Padbrugge berhasil mengatasi pemberontakan para bangsawan yang bernama Sultan Sibori pda tanggal 17 Juli 1683. Pada tahun itu sultan dan para bangsawan menandatangani sebuah perjanjian lagi. Dalam perjanjian itu kerajaan Ternate dinyatakan sebagai daerah kekuasaan Belanda karena direbut melalui perang, tetapi para sultan dan bangsawan diperkenankan memerintah terus sebagai vassal dari VOC. Bahkan, VOC mendapat hak untuk mengangkat sultan baru. Dengan pengubahan status politik dari sekutu menjadi bawahan itu, recognitie penningen juga dihapus. Selanjutnya sultan akan menerima 6.400 ringgit setahun untuk pengeluarannya, para pejabat kerajaan bersama-sama menerima 600 ringgit, para pemimpin Pulau Makian bersama-sama menerima 2.000 ringgit dan para penguasa dari Pulau Moti bersama-sama menerima 150 ringgit. Walau jumlah uang itu tidak diberikan untuk penganti penghasilan dari penjualan cengkeh, patut dikatakan disini bahwa kedua pulau itu pernah menjadi produsen cengkeh terbesar di Maluku Utara.
Ketentuan lain dalam Perjanjian 1652 itu adalah bahwa wilayah keluarga Tomagola di Hoamoal dan Hitu dialihkan sepenuhnya dari kerajaan Ternate kepada VOC di kepulauan Ambon. Sejak itu wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh Ternate sepenuhnya menjadi wewenang VOC.
Sejak tahun 1695 dapat dikatakan bahwa Portugis sudah terusir dari kepulauan Maluku, meskipun masih menimbulkan kekhawatiran penguasa lokal. Portugis masih memiliki kedudukan di Timor yang sewaktu-waktu dapat mengancam kerajaan-kerajaan di Maluku. Demikian pula dengan keberadaan Spanyol di Tidore. Namun oleh VOC keberadaan Spanyol ini tidak terlalu membahayakan kedudukan Belanda di Maluku. Spanyol juga terusir dari Tidore (Maluku) pada tahun 1663. Inggris di Maluku gagal menghadapi VOC.
DAFTAR PUSTAKA
·         Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajah di Indonesia(1700-1900). Jakarta: Balai Pustaka
·         Aziz, Dra. Maleha dan Asril S.Pd. (2006), Sejarah Indonesia III, Pekanbaru: Cendikia Insani

PERTEMPURAN LIMA HARI LIMA MALAM DIPALEMBANG

 OLEH: DEWI SETIASIH/SI5
 Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang terjadi pada tanggal 1 hingga 5 Januari 1947. Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang merupakan perang tiga matra yang pertama kali kita alami, begitu pula pihak Belanda. Perang tersebut terjadi melibatkan kekuatan darat, laut, dan udara. Belanda sangat berkepentingan untuk menguasai Palembang secara total karena tinjauan Belanda terhadap Palembang dari aspek politik. ekonomi dan militer. Dalam aspek politik, Belanda berusaha untuk menguasai Palembang karena ingin membuktikan kepada dunia internasional bahwa mereka benar-benar telah menguasai Jawa dan Sumatera. Ditinjau dari aspek ekonomi berarti jika Kota Palembang dikuasai sepenuhnya maka berarti juga dapat menguasai tempat penyulingan minyak di Plaju dan Sei Gerong. Selain itu, dapat pula perdagangan karet dan hasil bumi lainnya untuk tujuan ekspor. Sedangkan jika ditinjau dari segi militer, sebenarnya Paskan TRI dan pejuang yang dikonsentrasikan di Kota Palembang merupakan pasukan yang relatif mempunyai persenjataan yang terkuat, jika dibandingkan dengan pasukan-pasukan di luar kota.
Front Pertempuran Lima Hari Lima Malam
1.      Front Seberang Ilir Timur
Front Seberang Ilir Timur meliputi kawasan mulai dari Tengkuruk sampai RS Charitas - Lorong Pagar Alam - Jalan Talang Betutu - 16 Ilir - Kepandean - Sungai Jeruju - Boom Baru - Kenten.
 Pertempuran pertama terjadi pada hari Rabu 1 Januari 1947. Belanda melancarkan serangan dan tembakan yang terus menerus diarahkan ke lokasi pasukan RI yang ada di sekitar RS Charitas. RS Charitas berada di tempat yang strategis karena berada di atas bukit sehingga menjadi basis pertahanan yang baik bagi Belanda. Basis strategi pertahan di Front Seberang Ilir Timur terutama berlokasi di depan Masjid Agung, simpang tiga Candi Walang, Pasar Lingkis (sekarang Pasar Cinde), Lorong Candi Angsoko dan di Jalan Ophir (sekarang Lapangan Hatta). Dibawah pimpinan Mayor Dani Effendi, Pasukan TRI melancarkan serangan ke Rumah Sakit Charitas dan daerah di Talang Betutu. Tujuan serangan ini adalah untuk memblokir bantuan Belanda yang datang dari arah Lapangan Udara Talang Betutu menuju arah Palembang dan menghalangi hubungan antara pusat pertahanan Belanda di RS Charitas dengan Benteng. Pada sore harinya, pihak Belanda telah mengerahkan pasukan tank dan panser untuk menerobos pertahanan dan barikade Pasukan TRI di sepanjang Jalan Tengkuruk. Mereka kemudian berhasil menduduki Kantor Pos dan Kantor Telepon melalui perlawanan yang seru dari Pasukan TRI. Dengan berhasilnya Belanda menduduki Kantor Telepon, maka hubungan melalui alat komunikasi menjadi terputus secara total. Setelah itu, belanda memperluas gerakannya hingga menduduki Kantor Residen dan Kantor Walikota. Pasukan TRI yang berada di daerah tersebut mengundurkan diri ke Jalan Kebon Duku dan Jalan Kepandean sedangkan di RS Charitas, kekuatan Belanda semakin terdesak karena serangan dari Pasukan TRI.
Pada pertempuran hari kedua, konsentrasi pasukan terutama diarahkan terhadap pasukan dan pertahan Belanda di RS Charitas. Namun, Belanda berhasil menerobos lini Talang Betutu setelah terlebih dahulu berhadapan dengan Lettu Wahid Uddin bersama Kapten Anima Achyat. Belanda telah memperkuat tempat-tempat yang telah mereka kuasai, terutama di depan Masjid Agung. Secara spontanitas, rakyat dan pemuda di dalam kota dan luar kota turut serta bertempur melawan Belanda. Melihat kemajuan-kemajuan dipihak kita, Belanda pun segera mengadakan pengintaian, bahkan melakukan tembakan dari udara terhadap kereta api yang membawa bahan makanan, bantuan dari Baturaja, Lubuk Linggau, dan Lahat. Oleh karena lokasi Markas Besar Staf Komando Divisi II tidak lagi aman, maka dipindahkan dari Sungai Jeruju ke daerah Kenten, tepatnya di Jalan Duku. Hal ini disebabkan karena Belanda terus-menerus melakukan pengintaian dan pengeboman terhadap markas-markas Pasukan TRI/Lasykar. Keberhasilan pengeboman jarak jauh yang dilakukan Belanda tidak terlepas dari peranan para pengintai atau mata-mata.
            Pertempuran hari ketiga berlangsung pada hari Jum'at, tanggal 3 Januari 1947. Saat itu, Kolonel Mollinger memerintahkan angkatan perangnya (Darat, Laut, dan Udara) untuk menghancurkan semua garis pertahanan Pasukan TRI/Lasykar. Ini menunjukan terjadinya konsep perang tiga matra yang dilakukan Belanda di Palembang. Berdasarkan perintah tersebut, maka konvoi kendaraan berlapis baja keluar dari Benteng menuju RS Charitas menerobos Jalan Tengkuruk, melepaskan tembakan di sekitar Masjid Agung dan Markas BPRI. Gerakan penerobosan Belanda ke Charitas itu dihambat oleh pasukan kita yang berada di Pasar Cinde dengan ranjau-ranjau, manun gagal karena ranjau-ranjau tersebut gagal meledak. Akibatnya Pasar Lingkis (Cinde) dapat dikuasai oleh musuh. Tapi, sore harinya pasar itu dapat dikuasai kembali oleh pasukan kita (Resimen XVII). Senjata dan amunisi yang dimiliki pasukan RI jumlahnya terbatas, dan sebagian besar senjata yang digunakan oleh pasukan kita banyak yang telah tua (out of date) sebagai hasil rampasan dari serdadu Jepang. Sampai hari ketiga, keadaaan Palembang sebenarnya sudah parah. Hampir seperlima kota telah hancur terkena serangan bom dan peluru mortir Belanda.


Pada pertempuran hari keempat (4 Januari 1947), Belanda menfokuskan pertahanan di Plaju. Sehingga pasukan Mayor Dani Effendi berhasil memanfaatkan situasi tersebut untuk menguasai Charitas dan sekitarnya. Akibatnya pasukan Belanda mulai terdesak. Pasukan TRI berhasil mendekati gudang amunisi di RS Charitas dan menembak serdadu Belanda yang berusaha mendekati gudang tersebut.
Pada pertempuran hari kelima (5 Januari 1947), pihak Belanda dapat menguasai beberapa tempat dengan bantuan kapal-kapal perang yang hilir mudik di Sungai Musi dan pesawat terbang yang menjatuhkan bom-bom ke arah posisi Pasukan TRI. Namun demikian pasukan Belanda mengalami hal yang sama dengan Pasukan TRI yaitu letih, kurang tidur dan merasa stress, sedangkan Pasukan TRI telah banyak menderita kerugian baik dari materi ataupun yang gugur dan luka-luka.
2.      Front Seberang Ilir Barat
Front Seberang Ilir Barat meliputi kawasan mulai dari 36 Ilir yaitu meliputi Tangga Buntung - Talang - Bukit Besar - Talang Semut - Talang Kerangga - Emma Laan - Sungai Tawar - Sekanak - Benteng.
Pada pertempuran pertama (1 Januari 1947), pasukan-pasukan disekitar belakang Benteng mulai terdesak lalu mengundurkaan diri ke sekitar Jalan Kelurahan Madu dan Jalan Kebon Duku. TRI/Lasykar yang berlokasi di Bukit terpaksa mengubah taktik yaitu memencarkan diri masuk ke kampung-kampung di sekitar Bukit Siguntang dan sekitarnya. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah pasukan Belanda yang akan menerobos ke 35 Ilir. Karena apabila pasukan Belanda yang akan beroperasi di 36 Ilir, Suro, 29 Ilir dan Sekanak akan terkepung. Usaha pasukan TRI dibawah pimpinan Mayor Surbi Bustam dilakukan untuk menyerang Gedung BPM Handelszaken. Serangan ini dibantu oleh Kapten Makmun Murod, Letnan Satu Asnawi Mangkualam dan Kapten Riyacudu. Belanda dengan menggunakan kendaraan berlapis baja dan persenjataan modern berhasil menguasai Kantor Pos, Kantor Telegraf, Kantor Residen, Kantor Walikota dan di sekitar Jalan Guru-guru di 19 Ilir..
Pada pertempuran hari kedua, Belanda menembakan mortirnya dengan membabibuta ke arah Sekanak sampai ke Tangga Buntung. Tujuan utama adalah menembaki markas batalyon dan pos-pos pertahanan TRI dan rakyat yang terdapat antara Sekanak sampai Tangga Buntung. Gencarnya tembakan yang dilakukan Belanda dari benteng pertahanan dan dan pesawat udara pada 2 Januari 1947 menyebabkan Staf Komando Batalyon 32/XV oleh Mayor Zurbi Bustam bersama Kapten Makmun Murod dipindahkan ke Talang. Keterbatasan senjata tidak membuat pasukan kita menyerah. "molotov" adalah bensin yang dimasukan ke dalam botol dicampur dengan karet untuk kemudian diberi sumbu memjadi alat yang sangat efisien. Kapten Alamsyah memerintahkan Sersan Mayor M. Amin Suhud untuk mencuri persediaan bensin Belanda yang akan digunakan untuk membuat bom molotov. Sersan Mayor M. Amin Suhud mendapatkan bensin. Kesulitan bahan makanan dialami oleh Front Seberang Ilir Barat karena blokade yang dilakukan oleh Belanda. Begitu pula peran anggota Palang Merah Indonesia (PMI) dan PPI (Pemuda Puteri Indonesia) yang mengurus korban pertempuran dan mengurus bahan makanan.
Pada hari ketiga, pertempuran tiga matra yang dilakukan oleh Belanda semakin aktif, setelah dikeluarkan perintah oleh Kolonel Mollinger untuk menghancurkan garis pertahanan RI di Emma Laan (Jalan Kartini) dan Sekolah MULO Talang Semut. Pasukan TRI yang dibawah pimpinan Letda Ali Usman berhasil menghancuran sekitar 3 regu Pasukan Belanda yaitu Pasukan Gajah Merah.
Pada pertempuran hari keempat, Sabtu tanggal 4 Januari 1947, Pasukan TRI/Lasykar terdesak sehingga mundur ke arah Kebon Gede,Talang dan Tangga Buntung. Sebagai resiko perjuangan dari bangsa yang baru merdeka, maka setiap gerakan pasukan musuh berakibat pada pemindahan dislokasi pasukan. Walaupun situasi pertempuran selalu dilaporkan kepada komando pertempuran. Namun laporan tersebut mengalami keterlambatan akibat sulitnya hubungan komunikasi.
Pada hari kelima pertempuran di Front Seberang Ilir Barat terus berlangsung, walaupun Pasukan TRI/Lasykar dan rakyat mulai menampakkan keletihan dan pengiriman makanan dari dapur umum mulai tidak teratur lagi akibat blokade Belanda. Sebenarnya blokade ini juga berdampak pada pihak Belanda juga karena bahan makanan dari luar kota sulit masuk ke Kota Palembang.
3.      Front Seberang Ulu
Front Seberang Ulu meliputi kawasan mulai dari 1 Ulu Kertapati sampai Bagus Kuning, selanjutnya meliputi kawasan Plaju - Kayu Agung - Sungai Gerong.
Pada awal pertempuran tanggal 1 Januari 1947, tembakan mortir dari pasukan Belanda yang dberada di Bagus Kuning, Plaju dan Sungai Gerongterus ditujukan ke markas batalyon yang dipimpin Kapten Raden Mas. Namun demikian, kapal perang Belanda yang berada di Boom Plaju atau Sungai Gerong belum dapat bergerak leluasa, karena dihambat oleh pasukan ALRI di Boom Baru. Motorboat milik Belanda melaju dari arah Plaju menuju Boom Yetty yang diduga membawa bahan persenjataan pasukan Belanda, Pasukan TRI berusaha menyerang namun tidak berhasil. Kompi I yang berkedudukan di Jalan Bakaran Plaju, dipimpin Lettu Abdullah di Jalan Kayu Agung dan Sungai Bakung diberi tugas untuk menghadapi Belanda. Begitu juga Kompi II yang dipimpin Letda Sumaji bertugas menghadapi Belanda di Bagus Kuning dan Sriguna, sedangkan Kompi II dibawah pimpinan Letda Z. Anwar Lizano bertugas menghadapi Belanda di pinggir Sungai Musi yang letaknya sejajar dengan Boom Yetty sampai Pasar 16 Ilir.
 Pertempuran kedua tanggal 2 Januari 1947. Pasukannya dibantu dari Lasykar Pesindo, Napindo dan Hizbullah. penyerbuan tersebut membuahkan hasil. Pasukan TRI/Lasykar dapat menguasai gudang-gudang persenjataan musuh, sedangkan pasukan Belanda mengundurkan diri ke kapal-kapal perang mereka. Bendera Belanda si tiga warna yang terpancang di depan asrama telah diturunkan, kemudian dirobek warna birunya dan dinaikkan kembali dengan keadaan si Dwiwarna, Sang Saka Merah Putih. Namun kemenangan ini tidak berlangsung lama pasukan Belanda kemudian melepaskan tembakan-tembakan mortir ke arah kedudukan Pasukan TRI/Lasykar.
Pertempuran hari ketiga, Setelah Komandan Mollinger mengeluarkan perintah kepada seluruh unsur kekuatan darat, laut dan udara. Belanda untuk meningkatkan gempuran dan berusaha menerobos setiap garis pertahanan TRI dan badan-badan perjuangan rakyat. Pewasat-pesawat terbang dan kapal-kapal perang Belanda semakin menggiatkan aksinya, terutama di daerah-daerah yang menjadi tempat bertahan pasukan-pasukan TRI yang berada di Seberang Ulu dan Ilir. Kapal perang jenis korvet menembakan mesin kesepanjang Sungai Musi terutama di pos-pos pertahanan RI, terutama yang berlokasi di sekitar 7 Ulu. Akibatnya Pasukan TRI dan Lasykar terpaksa membalas dengan menggunakan senjata bekas persenjataan Jepang, yaitu meriam pantai milik kompi III Batalyon 34 di 7 Ulu di tepi Sungai Musi. Dengan menggunakan senjata seperti itu, pasukan Hizbullah dibawah pimpinan Letkol (Lasykar) M. Ali Thoyib berhasil menembak sebuah motorboat Belanda yang sedang mengangkat amunisi milik Belanda dari Plaju menuju ke Benteng.
Pertempuran keempat,tanggal 4 Januari 1947 di Front Seberang Ulu pasukan Belanda semakin memperhebat tekannya terhadap pasukan RI sehingga pasukan TRI yang berada di Bagus Kuning mengundurkan diri ke 16 Ulu. Kapal-kapal perang Belanda melakukan patroli mulai dari perairan Sungai Gerong di bagian Hilir sampai ke perairan Kertapati, Keramasan di bagian Hulu.
Pada hari kelima, tanggal 5 Januari 1947, pasukan kita dalam keadaan lelah, sekalipun hal itu tidak mengendorkan semangat perjuangan.
Upaya Perundingan dan Pengakhiran Pertempuran
Sejak tanggal 4 Januari 1947 di Kota Palembang telah menerima kedatangan Kapten A.M. Thalib, utusan Panglima Divisi II Bambang Utoyo, yang mengabarkan tentang keinginan Mollinger untuk berunding. Ternyata Gubernur Muda telah menerima berita dari Jakarta lewat telegram yang diterima oleh pemancar darurat dibawah pimpinan Herry Salim, bahwa akan datang ke Palembang secepatnya Dokter Adnan Kapau Gani sebagai utusan pemerintah pusat untuk melakukan perundingan gencatan senjata dengan pihak Belanda.
Perundingan ini dilakukan oleh pihak RI dikarenakan ada kepentingan strategis dengan alasan:
·         pertama, mencegah korban lebih banyak
·         kedua, kita perlu mengadakan konsolidasi kekuatan kembali
·         ketiga, dari segi politis akan memberikan gambaran kepada dunia internasional bahwa RI cinta perdamaian, sekaligus menegaskan bahwa pemerintah pusatnya dipatuhi oleh daerah-daerahnya.
Perhitungan yang melandasi berunding dari pihak RI adalah berdasarkan:
·         Pertama, perjuangan kemerdekaan akan memakan waktu cukup lama, mungkin bertahun-tahun.
·         Kedua, hampir 60% pasukan RI di Sumatera Selatan berada di Kota Palembang, bila sampai bertempur habis-habisan akan memperlemah kekuatan pada masa selanjutnya.
Setelah itu, ditetapkan tiga orang delegasi yang melakukan pejajakan perundingan. Mereka adalah dr. M. Isa, Gubernur Muda yang mewakili Pemerintah Sipil; Mayor M. Rasyad Nawawi, Kepala Staf Divisi Garuda II yang mewakili pasukan-pasukan dari Komando Pertempuran dan Komisaris Besar Polisi, Mursoda, yang mewakili Kepolisian. Perundingan antara RI - Belanda dilaksanakan pada tanggal 5 Januari 1947, di Rumah Sakit Charitas. Formasi delegasi pun ditambah dengan Kolonel Bambang Utoyo, Komandan Divisi Garuda II, yang ditunjuk sebagai Ketua dan Mayor Laut A.R. Saroingsong.
Akhirnya Pertempuran Lima Hari Lima Malam diakhiri dengan gencatan senjata (cease fire) antara kedua belah pihak, dimana TRI/Lasykar harus kelur dari Kota Palembang sejauh 20 Kilometer kecuali Pemerintah Sipil RI dan ALRI masih tetap berada di dalam kota. Sedangkan pos-pos Belanda hanya boleh sejauh 14 Km dari pusat kota. Jalan raya di dalam kota dijaga pasukan Belanda dengan rentang wilayah 3 Km ke kiri dan kanan jalan. Hasil perundingan ini selanjutnya segera disampaikan ke markas besar TRI di Yogyakarta.
Daftar pustaka:
Nugroho Notosusanto. Marwatidjoened Poesponegoro (1987). Sejarah Indonesia V Balai Pustaka
Dimjati, M. (1951). Sedjarah Perdjuangan Indonesia, Djakarta: Widjaja

Batavia sebagai Pusat VOC Sejak Tahun 1619

Oleh : Siti Khairiah/B/SI3
Pelayaran di mulai pada awal abad XVI tercantum nama salah satu nama kota pelabuhan di pantai Utara Jawa Barat , Kalapa atau Sunda Kalapa. Diberitakan lebih lanjut bahwa Sunda Kalapa adalah Pelabuhan dari kerajaan Pajajaran yang mempunyai ibu kota di pedalaman, pada tahun 1522 Hendrique Leme singgah di kalapa untuk mengadakan hubungan dengan raja Sunda dan ketika kembali pada tahun 1528 untuk mengadakan perjanjian, situasi telah berubah, Kalapa telah dikuasai oleh Banten sejak tahun 1527 dan diberi nama Jayakarta. Pada awal abad XVII Jayakarta ada di bawah Suzerianitas Banten dan pemguasanya, Pangeran Jayakarta, masih warga Wangsa Banten. Dalem terletak ditepi kiri sungai Ciliwung menghadap suatu paseban di mana kemudian dibangun loji Inggris dan Gereja Potrugis. Beberapa ratus rumah dari bambu terletak di tepi sungai membujur mudik sampai satu mil dari pantai. Pemukiman itu di pihak daratan di kelilingi oleh semak-semak dan hutan rimba. Dalam musim hujan berubah menjadi tanah berpaya – paya.
Jakarta pada kedatangan bangsa Barat sudah kurang berarti sebagai pelabuhan, hanya tempat singgah untuk mengambil air bersih dan bahan makanan segar, sebagai pelabuhan yang telah lama di bawah bayangan Banten. Kalau titik pangkal di daerah Indonesia Timur bagi VOC telah berwujud benteng dan faktorai dan pada pertengahan abad XVII telah berhasil memegang monpili rempah – rempah di bagian Barat, Indonesia rendez-vous ( tempat pertemuan) dan faktorai pusat dimana kegiatan VOC dapat di atur dan di kelola.  Selain itu pembangunan benteng di tempat itu juga harus di kelola juga, pada awalnya di pikirkan untuk menjadikan Malaka, Johor, Aceh, Bangka, Singapore, dan Jepara sebagai tempat rendez-vous.
Meskipun VOC telah mempunyai faktorai di Banten sejak 1603 dan perdagangannya yang ramai, akan tetapi kondisi tempat itu tidak menguntungkan,karena: pertama, keadaan keamanan yang menyedihkan, banyak terjadi pencurian, perampokan, dan pembunuhan. Kedua , kehadiran Inggris dan Portugis di tempat itu meninbulkan hubungan politik yang komleks sehingga serig terjadi bentrokan. Pada tahun 1609 Pieter Both sebagai Gubernur Jendral VOC pertama,berusaha melaksanakan rencana konsentrasi pemerintahan VOC, maka mohon izin pangeran Jakarta untuk membangun suatu benteng dengan yurisdiksi sendiri dan bebas dari bea-cukai. Persetujuan dari tuan-tuan XVII ( Heren XVII ) terunda – tunda saja, oleh karena pertimbangan yang pokok sekali ialah bahwa pendirian benteng di Jakarta itu tidak menimbulkan permusuhan dari pihak Banten. Pada bulan Januari 1611 maka di buat kontrak yang berisikan pemberian izin kepada VOC untuk membuat bangunan dari batu dan kayu di suatu lapangan di pecinan dengan ukuran 50 dan 50 vadem, dan sebagai ganti rugi VOC membayar 1200 real kepada pangeran Jakarta.
Kedudukan Banten sebagai pusat perdagangan lada tetap kuat dengan kedatangan pedagang Barat membawa banyak keuntungan serta kekayaan bagi pengusaha da pedagang Cina, Khususnya  Pangeran Aria Ranamenggala, paman dari wali raja Banten, setelah pedagang asing kuat kedudukannya dan mulai menyisihkan peranan perantara pengusaha dan pedagang tersebut di atas pihak terakhir , mulai mempersulit transaksi dengan bermacam – macam cara: antara lain menuntut persekot tetapi tidak menjamin ketertiban , menyediakan barangnya, menaikkan harga, melarang pembuatan gedung, dan sebagainya. Penderian rendez-vous di Jakarta oleh VOC perlu diterangkan dengan latar belakang percaturan politik yang berkaitan dengan hubungan multilateral antara kerajaan – kerajaan dan badan- badan perdagangan asing. Antagoisme antara Banten dan Mataram selama bagian pertama pada abad XVII sedemikian kuatnya sehingga dalam menghadapi lawan yang sama ialah VOC tidak terjadi pendekatan, jangankan aliansi. Kondisi politik di Jawa hanya menguntungkan VOC saja. Meskipun Jakarta berstatus vasal terhadap Banten akan tetapi cukup mempunyai otonomi untuk melakukan kontrak sendiri dengan kumpeni dan badan pedagangan asing lainnya. Kedua kerajaan ini dengan pelabuhannya ada rivalitas dan kemajuan Banten hanya menimbulkan iri hati pada pangeran Jakarta, maka maksud VOC mendirikan loji di Jakarta di sambut dengan baik, dengan hadirnya pedagang – pedagang asing d harapkan dapat meningkatkan perkembangannya serta membawa keuntungan. Oleh karena itu para pedagang Inggris juga di berikan izin untuk mendirikan faktorai disana, kecuali menjunjung tinggi prinsip perdagangan terbuka, dengan maksud supaya persaingan di antara pedagang dapat mencegah pengaruh yang di pelopori satu pihak yaitu pihak yang mendomisili perdagangan. Sehubungan dengan itu pula Pangeran Jakarta tidak menghendaki adanya benteng di teritoriumnya.
Sebaliknya, rencana VOC, khususnya J.P.Coen, membangun benteng tidak hanya untuk melindungi perdagangannya, tetapi juga menjadi basis politik untuk mempertahankan kedudukannya dalam menghadapi keadaan darurat atau krisis politik. Di mata Pangeran Jakarta, mengizinkan pendirian benteng berarti " memasukkan kuda Troya".
Persaingan antara Belanda dan Inggris menambah proses politik, suatu faktor yang menjadi keuntungan bagi kerajaan – kerajaan, karena pihak Inggris merupakan potensi berharga sebagai sekutu. Meskipun Belanda dan Inggris bersekutu di medan perang eropa dalam melawan Spanyol, di Indonesia mereka melakukan persaingan hebat dengan segala pertentangan dan bentrokan – bentrokan. Salah satu alasan untuk mencari lokasi brau untuk kantor pusatnya ialah bahwa di Banten sering terjadi Insiden anatara anak buah Kumpeni dan orang Inggris. Pada tahun 1617 dua kapal Inggris di sita oleh VOC di Maluku di mana perdagangan rempah – rempah di tutup bagi bangsa Inggris. Pendirian faktorial Inggris yang terletak di seberang sungai Ciliwung mwrupakan " Duri di Mata" Kumpeni. Penyerangan loji Jepara pada tanggal 8 Agustus 1618 mendorong Coen untuk memperkuat lojinya di Jakarta, maka di buatnya bangunan pertahanan yang agak tinggi di tepi sungai. Pangeran Jakarta menganggap hal itu sebagai pelanggaran dalam perjanjian dan ancaman terhadap dalem-nya. Oleh karena itu, ia juga mulai membangun tembok juga di tepi pantai untuk melindungi istananya. Pada akhir tahun 1618 pertentangan memuncak dengan adanya konsentrasi angkatan laut Inggris di Banten. Pada tanggal 15 Desember 1618 sebuah kapal Belanda di sita. Tindakan balasan Coen ialah penyerbuan loji Inggris di Jakarta dan penghancuran kampung di dekatnya, bangunan pertahanan di tambah dan di perkuat, sedangkan angkatan lautnya di kerahkan di sekitar Pulau Onrust, orang lebih cendrung dan mempertahankan benteng dari pada mengosongkannya dan mengungsi ke Ambon. Strategi Coen kemudian ialah melakukan serangan terhadap angkatan laut Inggris. Pertempuran pada tanggal 2 Januari 1619 tidak memberikan kemenangan pada pihak mana pun, tetapi karena menghadapai kekuatan yang lebih besar, delapan lawan empat belas kapal, kompeni bersiap – siap untuk mengungsi ke Maluku.
 Mendengar pertempuran tersebut Pangeran Aria Ranamanggala mengirimkan angkatan laut Banten ke Jakarta untuk menengahi pertikaian itu. Tujuannya ialah untuk mencegah pengusiran Belanda karena kehadiran mereka di Banten dibutuhkan, maka dari itu ia lebih memihak VOC yang sedang menghadapi Inggris dan Pangeran Jakarta. Diharapakannya agar dihapuskannya loji VOC di Jakarta membawa keuntungan bagi Banten. Pada tanggal 4 Januari 1619 tejadilah pertempuran , sepuluh hari kemudian Pangeran Jakarta telah memerintahkan untuk menghentikan pertempuran itu, selain itu pangeran Jakarta juga membuka perundingan dengan VOC, perjanjian yang di tanda tangani pada tanggal 19 Januari menentukan bahwa pangeran Jakarta menyetujui berlakunya kontrak – kontrak terdahulu dan suatu status quo mengenai keadaan bangunan di loji. Beberapa hari kemudian pimpinan VOC P. Van den Broeke beserta beberapa pengikutnya di tangkap waktu menghadap Pangeran Jakarta antara lain,  karena kompeni tidak mau memenuhi tuntutannya yaitu membongkar tembok bentengnya. Untuk memenuhi kehendaknya kompeni memutuskan akan menyerahkan benteng seluruhnya, sementara itu diplomasi dari Loji Banten berhasil membebasakan para tawanan dan merundingkan soal nasib benteng VOC di Jakarta dengan P.A Ranamanggala. Atas perintahnya Inggris di suruh meninggalkan faktorianya dan Pangeran Jakarta di hentikan jadi penguasa Jakarta. Dengan demikian kemenangan ada di pihak VOC yang berhasil mempertahankan kedudukannya di Jakarta, pada tanggal 12 Maret 1619 benteng secara resmi di beri nama Batavia. Coen sebenarnya menghendaki nama benteng itu adalah Nieuw Hoorn karena dia sendiri berasal dari Hoorn . keputusan pimpinan VOC memilih nama Batavia ialah untuk memuaskan ketujuh provinsi. Menurut Hadrianus Julinus, Batavia berarti Bato's have, tempat tinggal Bato, yaitu pahlawan suku(stamhero). Sementara itu, pasukan Bantam lah yang menduduki Jakarta. Sebalinya dari Maluku, Coen terlebih dulu membebasakan orang kumpeni yang tertawan di Banten. Pada tanggla 30 Mei di jadikan hari pendirian Batavia. Pada akhir abad ke 18 kumpeni mundur dengan cepat, kumpeni tidak berhasil mengatasi pukulan – pukulan di bidang keuangan yang di deritanya selama perang Inggris – Belanda pada tahun 1780 – 1784 . tahun 1796 para direktur VOC terpaksa menyerahkan kekuasaan mereka kepada panitia pro-Prancis, 31 Desember 1799 VOC di bubarkan. Dalam jangka waktu 16 tahun setelah itu, Inggris dan Prancis menguasai harta Belada di Indonesia, sampai tahun 1811 bangsa Beanda secara nominal masih memerintah Indonesia, tetapi penguasa yang sebenarnya berasal dari Kepulauan Hindia dan juga negeri Belanda sendiri adalah Napoleon.
            September 1811 , Jawa jatuh ketangan Inggris sampai tahun 1816 , dimana seluruh bekas milik Belanda di kembalikab kepada Belanda sesuai dengan konvensi London. Pemerintahan Hindia – Belanda di lantik di Batavia pada 19 Agustus 1816 , dan tetap memegang kekuasaan Belanda di Indonesia, sampai mereka di usir oleh Jepang tahun 1942.
Pemerintahan baru itu membawa ke Indonesia suatu jenis tata pemerintahan yang lain dari suatu jenis tata pemerintahan yang ada di negeri ini sebelumnya. Kumpeni Hindia – Belanda merupakan perusahaan dagang yang mengejar laba, yang hanya memikirkan transaks jual beli dengan mengesampingkan apa saja. Kumpeni tidak memiliki misi budaya , tidak berhasrat melakukan campur tangan terhadap tatanan hidup rakyat yang di ajak berniaga. Ia hanya mendorong produksi barang ekspor, tetapi dalam hal kopi dan gula,.
Pemerintah Hindia – Belanda pada abad ke 19 dan ke 20 merupakan usahawan besar. Tanpa di sadari lambat laun Indonesia di jadikan mesin produksi model barat. Dalam proses ini mereka memperkenalkan perkebunan, dinas – dinas sosial, dan sedikit industrialisasi, sedangkan berbagai peraturan serta ordonasi pemerintahan mulai melibatkan jutaan penduduk indonesia yang nenek moyangnya hampir tidak menyadari kehadiran kompei Hinda Timur Belanda.
DAFTAR PUSTAKA
Sartono Kartodirdjo.Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500 – 1900 Dari Emporium Sampai Imperium Jilid 1. GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA, JAKARTA.
Ali Mohammad, Soedjatmoko, G.McT.Kahin, G.J.Resink, Historiografi Indonesia Sebuah Pengantar , Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 10270.
 

SEJARAH ORGANISASI PERGERAKAN NASIONAL BUDI UTOMO

Oleh : SRI WAHYUNINGSIH/B/SI3
Pada awal abad kedua puluh keadaan bangsa Indonesia sangat menyedihkan. Kesempatan memasuki sekolah belum terbuka secara luas bagi rakyat. Hanya mereka yang tergolong anak priyayi dapat diterima di sekolah. Baru pada tahun 1901 diperdengarkan seruan raja belanda agar Pemerintah Hindia  Belanda mulai memperhatikan pendidikan orang Indonesia. Keadaan yang sangat menyedihkan itu disadari juga oleh para pelajar jawa, yang pada waktu itu sedang menjalani pendidikan di STOVIA.
Kemudian timbullah hasrat untuk mendirikan suatu perhimpunan belajar yang bertujuan mempercepat usaha kearah kemajauan rakyat. Kebetulan pada akhir tahun 1907 dokter pensiunan Wahidin Sudirohusodo mengadakan ceramah didepan semua pelajar STOVIA yang berisi anjuran untuk mendirikan badan bantuan pendidikan atau Studiefons. Tujuannya iyalah untuk menolong para pemuda Indonesia agar dapat menuntut pelajaran di perguruan tinggi. Ceramah dokter wahidin itu mendapat sambutan baikdari para pelajar.
Sehingga dibentuklah perkumpulan  Budi Utomo (Boedi Oetomo) adalah sebuah organisasi pergerakan nasional yang paling berpengaruh di Indonesia. Organisasi ini didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 oleh sejumlah mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen= Sekolah Pendidikan Dokter BimiPutra) seperti Soetomo, Gunawan, Cipto Mangunkusumo, dan R.T Ario Tirtokusumo. K.H.Dahlan dari Yogyakarta pun tidak ketinggalan aktif dalam perjuangan Budi Utomo.  Demikian berita berdirinya perkumpulan Budi Utomo tersina dalam surat kabar, para pelajar di Yogyakarta, magelang dan probolinggo segera mendirikan cabang Budi Utomo di tempatnya masing-masing. Sebagai langkah lanjut berdirinya Budi Utomo, maka tanggal 3,4 an 5 Oktober 1908 di Yogyakarta diselenggarakan kongres budi utomo yang pertama. Sebagai tuan rumah, penyelenggara kongrestersebut masyarakat Yogyakarta menyambut dengan gembira. Para pelajar para priyayi di Yogyakarta aktif mengambil bagian untik suksesnya kongres budi utomo.
Jalannya kongres ini berbeda sekali dengan rapat pembentukan BO tanggal 20 Mei 1908 di gedung Stovia. Memang ini dapat dimengerti, karena rapat 20 mei ini tertutup dan masih rahasia untuk umum, sedangkan rapat untuk bulan oktober di Yogyakarta terbuka untuk umum, Verslag Konggres Budy Utama ( begitu Budi Utomo pada waktu itu ditulisnya dan di buat oleh Cabang yogya serta ditanda tangani oleh "MNGD.Sewaya" sebagai Sekretarisnya). Sehingga pada tanggal berdirinya Budi Utomo, 20 Mei, sampai sekarang diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional kerena organisasi ini dianggap sebagai organisasi kebangsaan yang pertama.
Berdirinya Budi Utomo tak bisa lepas dari peran dr. Wahidin Sudirohusodo, walaupun bukan pendiri Budi Utomo, namun beliaulah yang telah menginspirasi Sutomo dan kawan-kawan untuk mendirikan organisasi pergerakan nasional ini. Wahidin Sudirohusodo sendiri adalah seorang alumni STOVIA yang sering berkeliling di kota-kota besar di Pulau Jawa untuk mengkampanyekan gagasannya mengenai bantuan dana bagi pelajar-pelajar pribumi berprestasi yang tidak mampu melanjutkan sekolah. Gagasan ini akhirnya beliau kemukakan kepada pelajar-pelajar STOVIA di Jakarta, dan ternyata mereka menyambut baik gagasan mengenai organisasi pendidikan tersebut.
Pada hari Minggu tanggal 20 Mei 1908, dihadapan beberapa mahasiswa STOVIA, Sutomo mendeklarasikan berdirinya organisasi Budi Utomo. Tujuan yang hendak dicapai dari pendirian organisasi Budi Utomo tersebut antara lain:
  1. Memajukan pengajaran sesuai dengan apa yang di cita-citakan oleh Dr.Wahidin. sebagai usaha pertama yang akan dijalankan untuk mencapai kemajuan bangsa ialah memperluas pengajaran.
  2. Memajukan pertanian, peternakan dan perdagangan. Jadi sudah dipertimbangkan pula usaha pada bidang perekonomian.
  3. Memajukan teknik dan industri. Kemajuan di bidang ini juga sudah di cita-citakan Budi Utomo pada saat itu.
  4. Menghidupkan kembali kebudayaan. Masalah kebudayaan telah dipersoalkan  di dalam konggres Budi Utomo ini.
Pada tanggal 3-5 Oktober 1908, telah diadakannya kongresnya yang pertama di Kota Yogyakarta. Hingga diadakannya kongres yang pertama ini, BU telah memiliki tujuh cabang di beberapa kota, yakni Batavia, Bogor, Bandung, Magelang, Yogyakarta, Surabaya, dan Ponorogo. Pada kongres di Yogyakarta ini, diangkatlah Raden Adipati Tirtokoesoemo (mantan bupati Karanganyar) sebagai presiden Budi Utomo yang pertama. Semenjak dipimpin oleh Raden Adipati Tirtokoesoemo, banyak anggota baru BU yang bergabung dari kalangan bangsawan dan pejabat kolonial, sehingga banyak anggota muda yang memilih untuk menyingkir.
 
Pada tanggal 9 September di Yogyakarta di selenggarakan rapat pengurus Besar Budi Utomo. Dalam rapat itu Dr. Cipto Mangunkusumo mengajukan usul, supaya budi utomo memperluas keanggotaannya dengan membuka pintu bagi Indears"anak hindia", bagi semua orang yang lahir, hidup dan mati serta dikubur di tanah hindia. Akibat usul tersebut timbul perdebatan sengit antara dokter Cipto Mangunkusumo sebagai pemuka politik dan dokter Rajiman Wedyodipuro (kelak Wedyodiningrat) sebagai pemuka kebudayaan. Usul Dr. Cipto mandapat tantangan dari aliran tua yang dengan berbagai mecam manolak alas an tersebut.
Pada tahun 1911 pangeran Aryo Noto Dirojo dari istana paku alam tampil dan terpilih menjadi katua Budi Utomo, menggantikan R.T. Tirtokusumo yang meletakkan jabatan. Dibawah pimpinan baru ini kelihatan adanya kemajuan dalam keanggotaan, meskipun belum seperti yang diharapkan oleh dokter Cipto Mangunkusumo. Kaum pelajar mrmberikan kepercayaan kepada kaum bangsawan untuk memimpin pergerakan, ini merupakan suatu kehormatan besar bagi kaum bangsawan, sehingga sebagian besar bangsawan Surakarta dan Yogyakarta menaruh simpati kepada Budi Utomo mampu mendirikan tiga sekolah netral, satu di salad an yang dua lagi di Yogyakarta.
Dibawah kepengurusan "generasi tua", kegiatan Budi Utomo yang awalnya terpusat di bidang pendidikan, sosial, dan budaya, akhirnya mulai bergeser di bidang politik. Strategi perjuangan BU juga ikut berubah dari yang awalnya sangat menonjolkan sifat protonasionalisme menjadi lebih kooperatif dengan pemerintah kolonial belanda.
Pada tahun 1928, Budi Utomo masuk menjadi anggota PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia), suatu federasi partai-partai politik Indonesia yang terbentuk atas prakarsa PNI Sukarno.
Jika dilihat dari keanggotaannya, Budi Utomo sebenarnya adalah sebuah perkumpulan kedaerahan Jawa. Namun sejak konggres di Batavia tahun 1931, keanggotaan Budi Utomo dibuka untuk semua orang Indonesia. Budi Utomo juga membuktikan diri sebagai sebuah organisasi yang bersifat nasional dengan cara bergabung di PBI (Persatuan Bangsa Indonesia). Penggabungan inilah yang kemudian membentuk sebuah organisasi baru bernama PARINDRA (Partai Indonesia Raya).
Meskipun pada masanya Budi Utomo tidak memiliki pamor seterang organisasi-organisasi pergerakan nasional. Namun BU tetap memiliki andil yang besar dalam perjuangan pergerakan nasional karena telah menjadi pelopor organisasi kebangsaan. Itulah mengapa hari kelahiran Budi Utomo, pada tanggal 20 Mei diperingati  setiap tahun sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

DAFTAR PUSTAKA
Daerah Istimewa Yogyakarta 1976, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,   DI Yogyakarta 1976.
http://id.wikipedia.org/wiki/Budi_Utomo
http://www.scribd.com/doc/60696456/Organisasi-Budi-Utomo-Ips