Showing posts with label INDONESIA ZAMAN ORDE LAMA. Show all posts
Showing posts with label INDONESIA ZAMAN ORDE LAMA. Show all posts

PENYIKSAAN PARA JENDERAL OLEH PKI; DIBANTAH OLEH DOKTER VISUM


RINALDI AFRIADI SIREGAR / PIS


"Dugaan terhadap penyiksaan yang menimpa jendral indonesia,semuanya di bantah oleh dokter yang memfisum akan keadaan jendral.."
Orang sering menjadi terkesima ketika membongkar-bongkar gudang yang bertimbun dan berdebu. Sementara iseng membolak-balik ratusan halaman fotokopi rekaman stenografis dari sidang pengadilan Letkol AURI Atmodjo di depan Mahmilub, saya temukan dokumen-dokumen yang saya terjemahkan di bawah ini, yang aslinya merupakan lampiran-lampiran pada berkas sidang pengadilan itu.
Dokumen itu adalah laporan yang disusun oleh sebuah tim terdiri dari lima orang ahli kedokteran forensik, yang telah memeriksa mayat-mayat enam orang jendral (Yani, Suprapto, Parman, Sutojo, Harjono, dan Pandjaitan), dan seorang letnan muda (Tendean) yang terbunuh pada pagi-pagi buta tanggal 1 Oktober 1965. Laporan mereka yang lugas merupakan lukisan paling obyektif dan tepat yang pernah kita miliki, tentang bagaimana tujuh orang itu mati. Mengingat kontroversi yang telah lama tentang masalah ini, dan berita-berita yang disajikan oleh suratkabar dan majalah umum berlain-lainan, maka saya memandang perlu menerjemahkan dokumen-dokumen tersebut sepenuhnya untuk kepentingan kalangan ilmiah.
Bagian atas setiap visum et repertum (otopsi) menunjukkan bahwa tim tersebut bekerja pada hari Senin tanggal 4 Oktober, atas perintah Mayjen Suharto selaku Komandan KOSTRAD ketika itu, kepada kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Tim terdiri dari dua orang dokter tentara (termasuk Brigjen Roebono Kertopati yang terkenal itu), dan tiga orang sipil ahli kedokteran forensik pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Di antara ketiga orang ini yang paling senior ialah Dr. Sutomo Tjokronegoro, ketika itu ahli paling terkemuka dalam kedokteran forensik di Indonesia. Tim bekerja sama selama 8 jam, yaitu dari pukul 4.30 sore tanggal 4 Oktober sampai 12.30 lewat tengah malam tanggal 5 Oktober, bertempat di Kamar Bedah RSPAD. Jelas mereka harus bekerja cepat, oleh karena dari berita-berita pers kita ketahui mayat-mayat itu baru bisa diangkat dari lubang sumur di Lubang Buaya (di mana para pembunuh telah melemparkannya) menjelang siang tanggal 4 Oktober, lebih 75 jam setelah pembunuhan terjadi. Dalam jangka waktu itu, dalam iklim tropis bisa diperkirakan mayat sudah sangat membusuk. Dan sesudah hari siang, Selasa tanggal 5 Oktober, mayat-mayat itu dimakamkan dengan upacara militer di Taman Pahlawan Kalibata. Satu hal yang pasti patut diperhatikan. Mengingat bahwa otopsi itu dilakukan atas perintah langsung Mayjen Suharto, maka kiranya tidak akan mungkin jika laporan para dokter tersebut tidak segera disampaikan kepadanya, segera setelah tugas dilaksanakan.
Tujuh buah laporan itu masing-masing disusun menurut bentuk yang sama:
Pernyataan adanya perintah Mayjen Suharto kepada lima orang ahli itu;
Identifikasi atas mayat;
Deskripsi tubuh, termasuk pakaian atau hiasan-hiasan badan;
Uraian rinci tentang luka-luka;
Kesimpulan tentang waktu dan penyebab kematian;
Pernyataan di bawah sumpah dari kelima ahli itu,
bahwa pemeriksaan telah dilaksanakan sepenuh-penuhnya dan sebagaimana mestinya.
Karena gambaran umum tentang matinya tujuh tokok itu, kita, sebagaimana halnya masyarakat pembaca di Indonesia tahun 1965, harus banyak bersandar pada apa yang diberitakan oleh dua suratkabar tentara, yaitu Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, serta dinas informasi ABRI yang memasok suratkabar-suratkabar tersebut. Walaupun ada beberapa suratkabar non-militer yang tetap terbit, namun pers kiri telah ditindas pada petang hari tanggal 1 Oktober, sedangkan radio dan televisi yang dikuasai negara, dan telah ada di tangan militer sepenuhnya menjelang 1 Oktober, tidak mengudara. Karena itu perlu diperbandingkan berita-berita yang disajikan oleh suratkabar-suratkabar tentara tersebut, dengan ini laporan dari para ahli kedokteran yang ditunjuk militer yang selesai tersusun pada hari Selasa tanggal 5 Oktober, yang bisa kita simpulkan dari dokumen-dokumen lampiran itu.
Mengingat bahwasanya dua suratkabar tersebut adalah harian-harian pagi, sehingga edisi 5 Oktober mereka mungkin sudah "ditidurkan" sementara para dokter masih menyelesaikan pekerjaannya, maka tidak aneh bila pemberitaan mereka tentang hari itu barangkali tergesa-gesa, tanpa memanfaatkan informasi yang panjang lebar itu. Angkatan Bersenjata memuat beberapa buah foto kabur mayat-mayat yang telah membusuk, dan menggambarkan pembunuhan tersebut sebagai "perbuatan biadab berupa penganiayaan yang dilakukan di luar batas perikemanusiaan". Berita Yudha yang selalu lebih garang, mengatakan bahwa mayat-mayat itu penuh dengan bekas-bekas penyiksaan. "Bekas-bekas luka di sekujur tubuh akibat siksaan sebelum ditembak masih membalut tubuh-tubuh pahlawan kita." Mayjen Suharto sendiri dikutip menyatakan, "jelaslah bagi kita yang menyaksikan dengan mata kepala (jenazah-jenazah itu), betapa kejamnya aniaya yang telah dilakukan oleh petualang-petualang biadab dari apa yang dinamakan 'Gerakan 30 September'". Suratkabar itu meneruskan dengan menggambarkan saat-saat terakhir kehidupan Jendral Yani, mengatakan bahwa sesudah ditembak rubuh di rumahnya, ia dilemparkan hidup-hidup ke dalam sebuah truk dan terus menerus disiksa sampai "penyiksaan terakhirnya di Lubang Buaya." Bukti-bukti tentang penyiksaan ini ditunjukkan dengan adanya luka-luka pada leher dan mukanya, dan kenyataan bahwa "anggota-anggota tubuhnya tidak sempurna lagi". Apa yang dimaksud oleh kata-kata yang agak kabur itu menjadi lebih jelas pada hari- hari berikut. Pada hari Kamis tanggal 7 Oktober, Angkatan Bersenjata menyatakan bahwa "matanya (Yani) dicungkil". Berita ini dikuatkan dua hari kemudian oleh Berita Yudha dengan menambahkan bahwa muka mayat itu ditemukan terbungkus dalam sehelai kain hitam.
Pada tanggal 7 Oktober itu juga Angkatan Bersenjata melukiskan lebih lanjut, tentang bagaimana Jendral Harjono dan Jendral Pandjaitan tewas oleh berondongan tembakan senjata api di rumah masing-masing, lalu mayat mereka dilempar ke dalam sebuah truk yang menghilang dalam kegelapan malam dengan "deru mesinnya yang seperti harimau haus darah". Sementara itu Berita Yudha memberitakan tentang bekas-bekas siksaan pada kedua tangan Harjono.
Pada tanggal 9 Oktober Berita Yudha memberitakan, bahwa meskipun muka dan kepala Jendral Suprapto telah dihancurkan oleh "penteror-penteror biadab", namun ciri-cirinya masih bisa dikenali. Pada Letnan Tendean terdapat luka-luka pisau pada dada kiri dan perut, lehernya digorok, dan kedua bola matanya "dicungkil". Harian ini pada hari berikutnya mengutip saksi mata pengangkat mayat bulan Oktober itu, yang mengatakan bahwa di antara kurban beberapa ada yang matanya keluar, dan beberapa lainnya "ada yang dipotong kelaminnya dan banyak hal-hal lain yang sama sekali mengerikan dan di luar perikemanusiaan." Pada tanggal 11 Oktober Angkatan Bersenjata menulis panjang lebar tentang matinya Tendean, dengan menyatakan bahwa ia mengalami siksaan luar biasa di Lubang Buaya, sesudah diserahkan kepada para anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Ia dijadikan benda "permainan jahat" perempuan- perempuan ini, digunakan sebagai "bulan-bulanan sasaran latihan menembak sukwati Gerwani."
Begitu suratkabar-suratkabar tentara memulai, maka yang lain pun segera serta merta mengikuti. Misalnya Api Pantjasila, orang partai IPKI yang bernaung di bawah militer, pada tanggal 20 Oktober memberitakan, bahwa "alat pencungkil" yang digunakan untuk jendral-jendral itu telah ditemukan oleh pemuda-pemuda anti komunis, ketika mereka menyerbu gedung-gedung Partai Komunis, di desa Harupanggang di luar kota Garut. Walaupun tanpa diterangkan, mengapa partai tersebut memandang desa itu cocok untuk menyimpannya. Pada tanggal 25 Oktober suratkabar ini juga memuat pengakuan seseorang bernama Djamin, anggota organisasi pemuda Partai Komunis, Pemuda Rakyat, yang mengatakan telah menyaksikan bagaimana Jendral Suprapto telah disiksa "di luar batas kesusilaan" oleh anggota-anggota Gerwani. Pengakuan-pengakuan serupa itu dimuat berturut-turut, dan memuncak pada cerita menarik tentang Nyonya Djamilah, disiarkan pada tanggal 6 Oktober oleh Dinas Penerangan ABRI kepada seluruh kalangan pers. Nyonya Djamilah diceritakan sebagai hamil tiga bulan, pimpinan Gerwani dari Pacitan berumur lima belas tahun, mengaku bahwa ia dan kawan-kawannya di Lubang Buaya telah menerima pembagian pisau kecil serta silet dari anggota-anggota pasukan Gerakan 30 September. Lalu mereka, yang seluruhnya berjumlah seratus orang itu, mengikuti perintah orang- orang itu pula, mulai memotong dan menyayat-sayat kemaluan jendral-jendral yang telah mereka tangkap itu. ("Dibagi-bagikan pisau kecil dan pisau silet… menusuk-nusuk pisau pada kemaluan orang-orang itu. Api Pantjasila, 6 November 1965). Malahan tidak berhenti di situ saja. Antara yang telah dikuasai militer itu, pada tanggal 30 November melukiskan bagaimana orang-orang Gerwani itu dengan mudahnya telah menyerahkan tubuh mereka kepada para personel AURI yang ikut serta dalam Gerakan 30 September. Sementara itu pada tanggal 13 Desember Angkatan Bersenjata melukiskan mereka bertelanjang menarikan "Tarian Bunga Harum" di bawah pimpinan Ketua Partai Komunis Dipa Nusantara Aidit, sebelum terjun dalam pesta pora massal bersama para anggota Pemuda Rakyat.
Di dalam cerita-cerita yang memenuhi suratkabar selama bulan- bulan Oktober, November dan Desember ini — sementara itu pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang yang berhubungan dengan Partai Komunis terus berjalan — terkandung dua hal yang sangat menarik diperhatikan. Pertama, ditiup-tiupkan bahwa tujuh kurban itu mengalami siksaan yang mengerikan — khususnya dicungkil mata dan dipotong kemaluan mereka; kedua, ditonjolkan bahwa pelaku-pelaku kejahatan adalah orang-orang sipil dari organisasi yang berafiliasi dengan komunis.
Apakah yang diberitakan kepada kita oleh laporan para ahli forensik pada tanggal 5 Oktober itu? Pertama, dan terutama, bahwa tidak ada satu biji mata pun dari para kurban yang telah dicungkil, dan bahwa semua kemaluan mereka pun masih utuh. Kepada kita bahkan diberitakan bahwa empat berkhitan dan tiga tidak berkhitan.
Kecuali itu, barangkali perlu kurban-kurban itu dibagi ke dalam dua golongan: mereka yang dengan sebagian besar bukti non-forensik menunjukkan telah dibunuh dengan ditembak selagi masih di rumah oleh para penculik mereka, yaitu Jendral Yani, Jendral Pandjaitan, dan Jendral Harjono; dan mereka yang dibunuh sesudah dibawa ke Lubang Buaya, yaitu Jendral Parman, Jendral Suprapto, dan Jendral Sutojo, serta Letnan Tendean.
Golongan I. Berita paling lengkap tentang kematian mereka terbit jauh sesudah peristiwa terjadi: tentang Yani dalam Berita Yudha tanggal 5 Desember; Pandjaitan dalam Kompas tanggal 25 Oktober; Berita Yudha Minggu tanggal 21 November, dan Berita Yudha tanggal 13 Desember; dan Harjono dalam Berita Yudha Minggu tanggal 28 November. Semua pemberitaan menunjukkan, bahwa jendral-jendral itu telah dibunuh dengan mendadak dan seketika di rumah dengan berondongan tembakan yang dilakukan oleh anggota-anggota Resimen Kawal Cakrabirawa, di bawah pimpinan operasi Lettu Doel Arief. Gambaran demikian hanya sebagian saja dibenarkan oleh laporan forensil. Para ahli forensik itu menyatakan bahwa luka-luka pada tubuh Yani sajalah yang merupakan sepuluh luka tembuk masuk dan tiga tembus. Pandjaitan mengalami tiga luka tembak pada kepala, serta luka robek kecil di tangan. Pada luka-luka yang dialami Harjono timbul tanda tanya, karena tidak disebut-sebut sebagai akibat tembakan. Penyebab kematiannya rupanya adalah torehan panjang dan dalam pada bagian perut, luka yang lebih mungkin disebabkan oleh bayonet ketimbang pisau lipat atau silet. Sebuah luka serupa yang tak mematikan terdapat pada punggung korban. Cedera lain satu-satunya digambarkan "pada tangan dan pergelangan tangan kiri, luka-luka disebabkan oleh barang tumpul." Tak ada cara lain yang lebih tepat untuk menafsirkan luka-luka ini kecuali harus mengatakan, bahwa luka-luka tesebut tidak mungkin karena siksaan — jarang penyiksa memilih pergelangan kiri dalam melakukan pekerjaan mereka — dan luka itu barangkali karena mayat itu dilempar ke dalam sumur di Lubang Buaya yang 36 kaki dalamnya.
Golongan II. Cerita lengkap tentang matinya korban-korban ini terdapat dalam suratkabar-suratkabar berikut: Parman, Berita Yudha, 17 Oktober dan juga Berita Yudha serta Angkatan Bersenjata tanggal 2 Desember; Soeprapto, Berita Yudha Minggu tanggal 5 Desember; Sutojo, Berita Yudha Minggu tanggal 21 November. Terhadap empat orang inilah berita-berita tentang siksaan biadab dan seksual paling banyak diberikan. Apa yang diungkapkan oleh laporan forensik adalah sebagai berikut:
S. Parman mengalami lima luka tembak, termasuk dua yang mematikan pada kepala; dan, di samping itu, "robek dan patah tulang pada kepala, rahang, dan kaki kiri bawah, semuanya sebagai akibat benda tumpul dan keras — popor bedil atau dinding dan lantai sumur — tetapi jelas bukan luka-luka "siksaan", juga tidak sebagai akibat silet atau pisau lipat.
Soeprapto mati oleh karena sebelas luka tembak pada berbagai bagian tubuhnya. Luka-luka lain berupa enam luka robek dan patah tulang sebagai akibat dari benda tumpul pada kepala dan muka; satu disebabkan oleh benda keras tumpul pada betis kanan; luka- luka dan patah tulang itu "akibat benda tumpul" yang sangat keras pada bagian pinggul dan pada paha kanan atas"; dan tiga sayatan yang, melihat pada ukuran dan kedalamannya, mungkin disebabkan oleh bayonet. Sekali lagi "benda tumpul" mempertunjukkan terjadinya benturan dengan benda-benda keras yang besar dan berbentuk tak menentu (popor bedil dan batu-batu sumur), dan bukannya silet atau pisau,
Sutojo mengalami tiga luka tembak (termasuk satu yang fatal pada kepala), sedang "tangan kanan dan tempurung kepala retak sebagai akibat benda tumpul keras". Sekali lagi kombinasi ganjil antara tangan kanan, tulang tengkorak, dan benda pejal berat yang memberikan kesan popor bedil atau batu-batu sumur.
Tendean mati akibat empat luka tembak. Kecuali itu para ahli tersebut menemukan luka gores pada dahi dan tangan kiri, demikian juga "tiga luka akibat trauma pejal pada kepala."
Tak terdapat sepatah kata pun di laporan-laporan ini tentang adanya siksaan yang tak tersangkal, dan tak ada juga bekas silet atau pisau kecil apapun. Bukan saja karena hampir semua luka-luka bukan tembak itu dilukiskan sebagai akibat dari benda pejal dan keras, tetapi karena pembagiannya secara jasmaniah pun "pergelan gan kaki, tulang kering, pergelangan tangan, paha, pelipis dan lain-lain — pada umumnya tampak sembarangan. Adalah sangat menarik, bahwa sasaran para penyiksa yang lazim yaitu pelir, dubur, mata, kuku, telinga, dan lidah tidak disebut-sebut. Maka dengan cukup meyakinkan bisa dikatakan bahwa enam orang dari korban-korban itu mati oleh tembakan senjata api (perihal Harjono yang mati di dalam rumahnya tetap membingungkan); dan jika tubuh mereka mengalami tindak kekerasan lain adalah akibat pemukulan dengan gagang bedil yang mematahkan peluru-peluru mematikan itu, atau cedera yang mungkin diakibatkan karena jatuh dari ketinggian 36 kaki — yaitu kira-kira tiga tingkat lantai — ke dalam sumur yang berdinding batu.
Perlu juga dikemukakan, bahwa dalam pidatonya tanggal 12 Desember 1965 kepada Kantor Berita Indonesia Antara, Presiden Soekarno mengutuk para wartawan yang telah membesar-besarkan pernyataan mereka, dan menegaskan bahwa dokter-dokter yang telah memeriksa mayat para kurban menyatakan, tentang tidak adanya perusakan mengerikan pada mata dan alat kelamin sepeti telah diberitakan dalam pers (Lihat Suara Islam, 13 Desember 1965, dan FBIS, 13 Desember 1965). Ditulis Oleh Ben Andersonyang diatas adalah versi panjangnya
di bawah ini,sedikit lebih singkat..tapi dengan narasumber yang berbeda yaitu dr liem joey thay atau dr arif budianto..
Dikenal dengan nama dr. Arif Budianto, tak banyak yang menyadari Lim Joey Thay adalah tokoh penting. Sangat penting, bahkan. Dia adalah satu dari segelintir orang yang berada di titik paling menentukan dalam sejarah negara ini setelah Proklamasi 1945.
Pagi hari 4 Oktober 1965 pasukan yang dipimpin Pangkostrad Mayjen Soeharto menemukan tujuh mayat perwira Angkatan Darat yang diculik dan dibunuh Gerakan 30 September tiga hari sebelumnya. Ketujuh perwira naas itu adalah Menteri Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani, Deputi II Menpangad Mayjen R. Soeprapto, Deputi III Menpangad Mayjen MT. Harjono, Deputi IV Menpangad Brigjen DI. Panjaitan, Oditur Jenderal/Inspektur Kehakiman AD Brigjen Soetojo Siswomihardjo, Asisten I Menpangad Mayjen S. Parman, dan Lettu P. Tendean (Ajudan Menko Hankam/KASAB Jenderal AH Nasution).
Mayat enam jenderal dan seorang perwira muda Angkatan Darat ini ditemukan di dalam sebuah sumur tua sekitar 3,5 kilometer di luar Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusumah
Lim Joey Thay yang ketika itu adalah lektor Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI) merupakan satu dari lima ahli forensik yang, berdasarkan perintah Soeharto, memeriksa kondisi ketujuh mayat tersebut sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, siang hari 5 Oktober.
Empat dokter lain di dalam tim ini adalah dr. Brigjen Roebiono Kertopati, perwira tinggi yang diperbantukan di RSP Angkatan Darat; dr. Kolonel Frans Pattiasina, perwira kesehatan RSP Angkatan Darat; dr. Sutomo Tjokronegoro, ahli Ilmu Urai Sakit Dalam dan ahli Kedokteran Kehakiman, juga profesor di FK-UI; serta dr. Liau Yan Siang, rekan Lim Joey Thay di Ilmu Kedokteran Kehakiman FK-UI.
Kini dari lima anggota tim otopsi itu, tinggal Lim Joey Thay dan Liu Yang Siang yang masih hidup. Lim Joey Thay kini sakit-sakitan, sementara sejak beberapa tahun lalu, Liu Yan Siang menetap di Amerika Serikat dan tidak diketahu pasti kabar beritanya.
Berpacu dengan waktu dan proses pembusukan, mereka berlima bekerja keras selama delapan jam, dari pukul 4.30 sore tanggal 4 Oktober, hingga pukul 12.30 tengah malam 5 Oktober, di kamar mayat RSP Angkatan Darat.
Pagi di bulan Juni tahun lalu saya dihubungi Dandhy Dwi Laksono, kawan jurnalis yang ketika itu masih bekerja sebagai kordinator liputan sebuah stasiun televisi.
"Dr. Arif jatuh. Sekarang dirawat di St. Carolus. Gua mau ke sana. Lu nyusul ya," begitu pesan pendeknya.
Satu jam kemudian kami bertemu di kantin RS St. Carolus, Salemba, Jakarta Pusat. Setelah sarapan dan membeli buah-buahan di kantin untuk dr. Lim Joey Thay, kami berjalan menuju kompleks rawat inap Ignatius-II tempat ia dirawat.
Di teras Ignatius-II, Lim Joey Thay duduk sendirian menghadap taman kecil di depannya. Istri dan beberapa kerabatnya yang berada di bagian dalam paviliun itu menyambut kami.
Informasi yang kami terima menyebutkan bahwa dr. Lim Joey Thay terjatuh karena serangan struk. Namun Ny. Arif menjelaskan bahwa suaminya terjatuh saat hendak naik ke kursi roda di rumahnya. Mungkin karena terlalu lelah. Keadaannya tidak mengkhawatirkan, kata Ny. Arif. Dibandingkan tahun sebelumnya, kondisi dr. Lim Joey Thay lebih baik, sambungnya.
Dandhy menemukan kembali visum et repertum ketujuh Pahlawan Revolusi dan kisah tentang dr. Lim Joey Thay saat menyiapkan sebuah program liputan khusus untuk menyambut peringatan peristiwa Gerakan 30 September yang oleh Bung Karno dianggap sebagai resultan dari konflik internal Angkatan Darat, petualangan pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) dan operasi kaum nekolim di tanah air. Tim liputan yang dipimpin Dandhy melakukan riset ekstensif mengenai penyiksaan yang dialami ketujuh Pahlawan Revolusi itu. Dalam liputan khusus itu, wawancara Dandhy dengan dr. Lim Joey Thay juga disertakan.
Saya tak menyaksikan liputan khusus yang diputar Oktober 2007 itu. Tetapi dari e-mail yang disampaikan Dandhy pada sebuah milis ketika dia mengumumkan penayangan program tersebut saya menangkap penegasan sekali lagi dr. Lim Joey Thay bahwa cerita tentang alat kelamin Pahlawan Revolusi yang disilet dan juga cerita tentang mata mereka yang dicungkil adalah bohong belaka. Sayangnya, kebohongan ini sudah kadung dianggap sebagai fakta sejarah dan diajarkan di sekolah-sekolah.
Tulis Dandhy dalam e-mailnya, "Hasil wawancara sebenarnya hanya mengonfirmasi apa yang tertera dalam dokumen visum et repertum, bahwa enam Pahlawan Revolusi tewas akibat luka tembak, dan satu orang (Mayjen M.T. Haryono) akibat luka tusuk. Ada sejumlah luka lebam yang diragukan apakah akibat pemukulan atau akibat jenazah dijatuhkan ke dalam sumur sedalam 12 meter."
"Karena masalah komunikasi, dalam wawancara, Prof Arief [Lim Joey Thay] didampingi dr. Djaja Admadja, bekas muridnya yang kini adalah dokter forensik di RSCM (ahli DNA). dr. Djaja yang lebih banyak mengurai detil, sementara Prof Arief sesekali menimpali," demikian tulis Dandhy.
Visum et repertum jenazah Pahlawan Revolusi ini jelas bukan barang baru. Benedict Anderson dari Cornell University telah menyalin ulang visum et repertum itu dalam artikelnya, How Did the Generals Die? di jurnal Indonesia edisi April 1987. Artikel Ben Anderson ini membuat pemerintahan Soeharto marah besar, dan sejak itu Ben Anderson diharamkan menginjakkan kaki di Indonesia.
Ketujuh pahlawan revolusi itu jelas mati dibunuh. Dan pembunuhan dengan cara apapun jelas di luar nilai-nilai kemanusiaan. Namun dari hasil otopsi yang dilakukan dr. Lim Joey Thay dan teman-temannya sama sekali tidak menemukan tanda-tanda rusaknya jenazah seperti yang dilaporkan media massa yang dikuasai Angkatan Darat, yaitu Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha, dan beberapa media cetak lain yang diperbolehkan beredar selagi mengikuti aturan main dan kemauan pihak militer. Sumber berita lain di masa itu adalah RRI, TVRI dan Kantor Berita Antara yang seperti dua koran sebelumnya juga dikontrol militer.
Dalam artikelnya ini, sebelum menyalin ulang visum et repertum ketujuh mayat Pahlawan Revolusi untuk komunitas akademik, Ben Anderson lebih dulu mengutip beberapa pemberitaan media massa mengenai detil pembunuhan para perwira.
Mata Jenderal Ahmad Yani dicungkil, tulis Angkatan Bersendjata edisi 6 Oktober. Berita Yudha menegaskan sekali lagi soal pencungkilan mata ini dua hari kemudian sambil menambahkan bahwa saat ditemukan mayat para perwira Angkatan Darat terbungkus kain hitam.

Sehari kemudian, 7 Oktober, Angkatan Bersendjata mempublikasikan cerita tentang detail pembunuhan Brigjen Panjaitan di depan rumahnya. Setelah dihujani tembakan, mayat Brigjen Panjaitan dilemparkan ke dalam truk yang kemudian membawanya ke Lubang Buaya. Sebegitu mengerikannya kekuatan pasukan penculik Panjaitan ini, sampai-sampai deru mesin kendaraan yang mereka pakai saja seperti "suara harimau yang haus darah."
Sementara, walaupun wajah Suprapto dan tengkoraknya dihantam oleh "penteror2 biadab" namun dia masih dapat dikenali, begitu tulis Berita Yudha edisi 9 Oktober. Sehari kemudian koran yang sama menurunkan berita yang disebut bersumber dari saksi mata yang berada di lokasi pembantaian. Menurut pengakuan saksi ini, biji mata beberapa korban dicungkil keluar, sementara kemaluan beberapa lainnya dipotong.
Edisi 11 Oktober Angkatan Bersendjata menuliskan laporan yang lebih detil tentang pembunuhan Lettu Tendean. Ajudan Jenderal Nasution ini disebutkan menjadi sasaran latihan tembak anggota Gerwani.
Cerita-cerita mengenai alat kelamin yang disayat, dipotong dan dimakan telah membangkitkan amarah di akar rumput. Ia bagian dari pretext for mass murder, tulis John Roosa (2006). Dan ia bagai minyak tanah yang disiramkan ke api. Menyambar-nyambar. Selanjutnya, yang terjadi adalah pembantaian besar-besaran di mana-mana terhadap anggota PKI dan/atau siapa saja yang dituduh menjadi anggota PKI dan/atau memiliki relasi dengan PKI.
Tidak ada catatan yang meyakinkan tentang berapa jumlah rakyat yang tewas dalam pembantaian massal itu. Jumlah yang sejauh ini dianggap sebagai kebenaran berkisar antara 500 ribu hingga 1,5 juta. Dalam artikelnya tahun lalu, Exit Soeharto: Obituary for a Mediocre Tyrant yang ditulis khusus untuk mengenang Soeharto yang meninggal tiga bulan sebelumnya, Ben Anderson mengutip pengakuan Jenderal Sarwo Edhie tentang jumlah orang yang tewas dalam pembunuhan massal 1965-1966.
"On his deathbed, the by-then marginalized General Sarwo Edhie, who led the Red Berets in 1965-66, even said he had been responsible for the death of three million people.
DAFTAR PUSTAKA :

AKSI-AKSI TRITURA


Rinaldi Afriadi Siregar / PIS
Sejarah lahirnya G-30S/PKI pada waktu masa pemerintahan demokrasi terpimpin pada saat itu pada tanggal 5 juli 1959 maka presiden mengeluarkan dekrit presiden dan empat hari presiden soekarno mengeluarkan dekritnya  maka Kabinet Djuanda di bubar kan menjadi Kabinet Kerja, chaerul shaleh di tugaskan untuk menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) menurut penetapan presiden No.2 tahun 1959 dengan di bentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).
Pada mulanya DPR hasil pemilu 1955 mengikuti saja kebijakan presiden soekarno akan tetapi mereka kemudian menolak APBN tahun 1960 yang di ajukan oleh pemerintah, karna adanya penolakan tersebut maka di keluarkannya Penpres No.3 tahun 1960 yang menyatakan pembubaran DPR hasil pemilu 1955, lalu pada tanggal 24 Juni 1960 presiden soekarno telah berhasil menyusun anggota DPR baru dengan di beri nama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong (DPR-GR) para anggota DPR-GR di lantik pada tanggal 25 juni 1960.
Dalam komposisi anggota DPR-GR itu perbandingan jumlah golongan nasionalis, islam, dan komunis adalah 44, 43, 30 namun setelah di lakukan penembahan pertimbangan itu berubah menjadi  94, 67,81, dengan demikian partai yang paling di untungkan dari kebijakan presiden tersebut adalah PKI sedangkan dalam pidato presiden pada pelantikan DPR-GR tanggal 25 Juni 1960 adalah melaksanakan Manifestasi Politik (Manipol), merealisai Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera), dan melaksanakan Demokrasi Terpimpin.
Akan tetapi setelah presiden soekarno tiba ke tanah air Liga Demokrasi di bubarkan melalui Penpres No.3 tahun 1959 lalu kemudian presiden soekarno membentuk Front Nasional  yaitu suatu organisai massa yang memperjuangkan cita-cita proklamasi, dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945 sedangkan Front Nasional ini di ketuai  oleh Presiden Soekarno sendiri.
TNI dan Polisi pada tahun 1964 di persatukan menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) mereka kembali pada peran sosial-politiknya seperti selama zaman perang kemerdekaan, ABRI diakui sebagai salah satu golongan fungsional (karya) yang mempunyai wakil dalam MPRS pada masa demokrasi terpimpin itu, presiden soekarno melakukan politik perimbangan kekuatan ( balance of power) bukan hanya antara angkatan dalam ABRI melainkan juga antara ABRI dengan partai-partai politik yang ada.
Dengan semboya " politik adalah panglima" seperti yang di lancarkan oleh PKI usaha untuk mempolitisasi ABRI semakin jelas presiden mengambil ahli secara langsung pemimpin tertinggi ABRI dengan membentuk Komando Operasi Tertinggi (Koti).
Pada tahun 1964 ketua PKI D.N. Aidit berceramah di depan Kursus Kader Revolusi Angkatan Dwikora dalam ceramahnya tersebut D.N.Aidit menyatakan: "bila kita (indonesia) telah mencapai taraf hidup adil dan makmur dan telah sampai kepada sosialisme indonesia maka kita tidak lagi membutuhkan indonesia"  selanjutnya ketika terjadi heboh di masyarakat D.N.Aidit berupaya meneruskannya dengan mengatakan: "Dan di sini lah betulnya pancasila sebagai alat pemersatu sebab kita sudah 'satu' semuanya para saudara pancasila tidak perlu lagi sebab pancasila alat pemersatu bukan ? kalau sudah 'satu' semuanya apa yang kita persatukan lagi".
Pada masa demokrasi terpimpin PKI memang mendapatkan kedudukan terpenting Kader-kader PKI banyak yang duduk dalam DPR-GR serta Pengurus Besar Front Nasional dan Front Nasional Daerah, ada juga yang di angkat sebagai kepala daerah TNI-AD berusaha mengimbangi dengan mengajukan calon-calon lain tetapi usaha itu menemui kesulitan karena Presiden Soekarno memberikan dukungan yang besar pada PKI.
TNI-AD mensinyalir adanya tindakan-tindakan pengacauan yang dilakukan oleh PKI di Jawa Tengah, Sumatra Selatan, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan pemimpin TNI-AD melaporkan hal itu kepada Presiden Soekarno, berdasarkan Undang-Undang keadaan bahaya TNI-AD mengadakan tindakan pengawasan terhadap PKI melalui surat kabar PKI, Harian Rakyat dilarang terbit dan di keluarkan perintah untuk menangkap D.N.Aidit berserta kawan-kawannya. Di tingkat daerah kegiatan-kegiatan PKI di bekukan tindakan TNI-AD itu tidak di setujui oleh Presiden Soekarno dan memrintahkan agart putusan itu di cabut bahkan Presiden Soekarno tidak jarang mengajurkan agar masyarakat indonesia tidak ber-komunistofobi.
Keadaan ekonomi indonesia pada masa demokrasi terpimpin semakin terpuruk menjadi lahan yang subur bagi PKI dan rakyat yang miskin menjadi sasaran PKI untuk melancarkan propaganda-propaganda politiknya, oleh karena itu jumlah anggota PKI di perkira kan mencapai 20an juta ketika itu PKI juga merupaka organisai yang besar dan memiliki jaringan cabang di seluruh indonesia dan mereka pun juga di dukung oleh puluhan organisasi massa seperti Serikat Buruh (SOBSI), Barisan Tani Indonesia (BTI), Pemuda Rakyat dan Gerwani. Pada awal tahun 1965 hingga september 1965 merupakan masa ofensif radikal yang di tangani oleh ketua PKI Dipa Nusantara (D.N.) Aidit bersama kelomponya.
Sementara itu Angkatan Darat muncul sebagai organisasi militer pejuang yang juga mengemban tugas kemasyarkatan oleh karena itu Angkatan Darat memiliki peran dalam bidang politik dan ekonomi , ketika perusahaan-perusahaan Belanda dan Asing lainnya di ambil ahli oleh pemerintah melalui kebjikan nasionalisasi banyak perwira AD yang mendapat tugas sebagai pemimpin perusahaan-perusahaan itu.
Perkembangan itu tidak di sambut baik oleh PKI para perwira itu menjadi sasaran aksi PKI yang kemudian mereka menamakan sebagai kabir (Kapitalis Birokrat) oleh karena itu slogan PKI yang populer pada tahun 1965 adalah "ganyang kabir", seiring dengan banyaknya partai politikdan organisasi massa yang telah di bubarkan oleh presiden terdapat segitiga kekuatan ketika itu yaitu PKI, Angkatan Darat, dan presiden adanya hubungan yang tidak harmonis antara PKI dan Angkatan Darat semakin mengkukuhkan kedudukan presiden sebagai penengah.
Menjelang terjadinya peristiwa G-30S/PKI di madiun secara berturut-turut terjadi demonstrasi yang melibatkan hampir semua ormas PKI yang meneriakkan yel-yel ganyang kabir,ganyang komprador, antek neokolim dan sebagainya, hal yang sama terjadi pula di solo dan klaten pada hari Rabu tanggal 29 September 1965 terjadi pula hal yang serupa di jalan Thamrin Jakarta dalam demo di jakarta itu terdapat spanduk dengan tulisan yang mencolok "tunggu apa lagi ?"
Pada hari Kamis tanggal 30 september 1965 merupakan hari yang sangat sibuk bago Gerakan 30 September PKI melakukan suatu persiapan yang di selenggarakan di Lubang Buaya pada pukul 10.00 di pimpin oleh Kolonel  Untung Sutopo  yang di hadiri oleh Latief, Suyono, Supeno, Suradi,Sukrisno, Kuncoro, Dul Arief, dan Pono, Untung menjelaskan lokasi Central Komando (Cenko) I metode komunikasi antara unit-unit, koordinasi aktivitas-aktivitas mereka, sandi-sandi, logistik,transportasi, suplai senjata, dan detail-detail teknis militer lainnya semua persiapan itu dilakukan selama siang hari pada tanggal 30 September 1965.
Pada tanggal 30 September 1965 malam Aidit bertemu dengan Mayjen Pranoto di rumah Syam Aidit dan Pranoto kemudian di bawa ke rumah sersan Surwadi di Halim Pada pukul 23.00 di tempat itu Aidit mengarahkan seluruh operasi dan menyiapkan penyelesaian politik (pergantian kekuasaan), setelah pembersihan para jenderal dilakukan kemudian di buat persiapan di rumah komodor  Susanto  di Halim untuk membentuk Kabinet Gotong-Royong dan membuat rencana pengunduran diri presiden di karena alasan kesehatan.
Sekitar pukul 01.30 dini hari tanggal 1 Oktober 1965 tujuh kelompok Pasukan Pasopati yang di pimpin oleh  Dul Arief  dan di tugaskan meculik para jenderal meninggalkan Pondok Gede, selanjutnya atas perintah Kolonel Untung pada pukul 04.00 pagi Batalion 454 dan 530 mengepung istana dan ,mengendalikan stasiun RRI Pusat dan Gedung PN Telekomunikasi di Jalan Medan Merdeka Selatan ada enam jenderal yang menjadi korban keganasan G-30S/PKI ialah: Letnan Jenderal Ahmad Yani (Men/Pangad), Mayjen Haryono Mas Tirtodamo (Deputi III Pangad), Mayjen R. Suprapto (Deputi  II Pangad), Mayjen Siswondo Parman (Asisten I Pangad), Brigjen  Donal Izacus Panjaitan ( Asisten IV Pangad), dan Brigjen Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman).
Sementara itu Jenderal Abdul Haris Nasution berhasil lolos dari penculikan akan tetapi putrinya  Ade Irma Suryani  terluka parah karena tertembak oleh penculik dan akhirnya meninggal di rumah sakit, ajudan Nasution menjadi sasaran penculikan Letnan Satu Pierre Andries Tendean, karena wajahnya mirip dengan Jenderal Nasution ketika itu juga di tembak Brigadir Polisi Karel Satsuit Tubun pengawal rumah Waperdam II  Dr. J. Leimena yang rumahnya berdampingan dengan rumah Nasution.
Menurut ke saksian Serka Bungkus pasukan yang bertugas ke rumah D.I.Panjaitan mendapat perlawanan sehingga operasi itu terlambat ketika pasukan pasukan penculik akan membawa jenazah Panjaitan, seorang yang bernama Sukitman lewat sedang menuju posnya sedangkan Komandan Pasukan Cakrabhirawa khawatir dia bisa jadi saksi maka Sukitman kemudian juga di bawa ke Lubang Buaya dan di serahkan kepada Komandan Pasukan Pasopati Dul Arief.
            Dul Arief muncul di Cenko I sekitar pukul 05.50 melaporkan bahwa para jenderal telah "diamankan" dan di masukan ke Lubang Buaya akan tetapi Nasution berhasil lolos, laporan itu di sampaikan kepada Aidit lewat Suyono yang bertindak sbeagai kurir bagi Syam,Aidit, dan Omar Dhani laporan tentang lolosnya Nasution membuat Aidit dan koleganya terkejut karena akan menimbulkan masalah besar, untuk itu lah Suparjo menyatakan agar operasi ini di lakukan sekali lagi Suparjo yakin bahwa tindakan ofensif harus di laksanakan saat itu juga karena musuh selama dua belas jam berada pada keadaan panik. Pada saat berada di istana ia melihat bahwa militer di kota dalam keadaan bingung.
Akan tetapi para pemimpin gerakan saat itu tidak melakukan apa-apa hal itu yang menjadi salah satu penyebab ke hancuran operasi mereka sedangkan di Jawa Tengah gerombolan PKI juga mengadakan pembubuhan terhadap perwira TNI AD Kolonel Katamso komandan korem 072 Kodam VII Diponegoro dan kepala stafnya Letkol Sugionom, menjadi salah satu korban keganasan PKI keduanya di bawah ke kentungan sebelah utara Yogyakarta dan kemudian di bunuh pada 30 September 1965.
Cara penumpasan G-30S/PKI sesuai dengan tata cara yang berlaku bahwa apabila Men/Pangad berhalangan Pangkostrad Mayor Jenderal Soeharto yang mewakilinya segera melakukan pemetaan terhadap keberadaan Gerakan 30 September 1965, selain di Halim pemberontak menguasai Istana Merdeka , Stasiun RRI, dan Gedung Pusat Telekomunikasi yang semuanya berada di Jl. Medan  Merdeka Soeharto merasa perlu untuk tidak menunjukan reaksi yang berlebihan sampai rencana politik gerakan itu sudah benar-benar terbuka.
Begitu mengetahui dari siaran RRI pada pukul 14.00 Soeharto berkesimpulan bahwa penculikan dan pembunuhan terhadap perwira tinggi AD merupakan bagian dari usaha perebutan kekuasaan (kudeta), Batalion 454/ Diponegoro dan 530/ Brawijaya yang berada di sekitar Medan Merdeka di salah gunakan oleh G-30S/PKI padahal mereka di datangkan ke jakarta dalam rangka persiapan parade Hari Ulang Tahun ABRI tanggal 5 Oktober 1965 kemudian Soeharto segara melakukan operasi-operasi penumpasan.
Operasi militer di lakukan pada sore hari tanggal 1 Oktober 1965 pada pukul 19.15 pasukan RPKAD berhasil menduduki Gedung RRI Pusat dan Gedung Telekomunikasi serta mengamankan seluruh Medan Merdeka tanpa perlawanan, Batalion 328 Kujang/ Siliwangi menguasai Lapangan Banteng untuk pengamanan Markas Kodam V/ Jaya dan sekitarnya, Batalion I Kavaleri berhasil mengamankan BNI dan Percetakan Uang di Kebayoran dalam waktu singkat Jakarta sudah dapat dikuasai kembali oleh ABRI.
Setelah penumpasan G-30S/PKI pada sidang paripurna Kabinet Dwikora pada tanggal 6 Oktober 1965 presiden memutuskan bahwa penyelesaian politik G-30S/PKI akan di tangani langsung oleh presiden namun penyelesaian politik tersebut tidak kunjung tiba sehingga menimbulkan kecemaskan dalam masyarakat bahwa PKI akan di berikan kesempatan untuk menyusun kekuatannya.
Situasi bertambah panas karena memburuknya keadaan ekonomi yang mengakibatkan kesejahteraan rakyat semakin merosot sedangkan laju inflasi mencapai 650% untuk mengatasi tingginya inflasi itu, pada tanggal 13 Oktober 1965 pemerintah mengumumkan kebijakan devaluasi nilai rupiah yaitu Rp.1000,- uang lama turun menjadi Rp.1,- uang baru dan di umumkan pula kenaikan tarif dan jasa sehubungan dengan devaluasi rupiah tersebut puncak ketegangan terjadi tatkala di tetapkan kenaikan harga BBM pada tangga 3 Januari 1966.
Sementara itu tuntutan penyelesaian seadil-adilnya terhadap para pelaku G-30S/PKI semakin meningkat tuntutan itu di pelopori oleh Kesatua Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Pemuda-pemuda (KAPPI), dan Pelajar (KAPI), lalu munculnya pula KABI (Buruh),KASI (Sarjana), KAWI (Wanita), dan KAGI (Guru) pada tanggal 26 Oktober 1965 kesatuan-kesatuan aksi tersebut bergabung dalam satu front yaitu Front Pancasila.
Setelah terbentuknya Front Pancasila gelombang demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI semakin bertambah luas, dengan di pelopori KAMI di mulailah aksi demonstrasi mahasiswa Universitas Indonesia pada tanggal 10 Januari 1966yang terjadi di hampir seluruh jalanan ibu kota selama sekitar satu bulan mereka menyampaikan Tri tuntutan Rakyat (Tritura) yang sering kita kenal sebagai Tiga tuntutan Rakyat kepada pemerintah yaitu isi dari tritura tersebut:
a.       Bubarkan PKI, b. retool Kabinet Dwikora, dan c. turunkan harga / perbaikan ekonomi
DAFTAR PUSTAKA :
Buku sejarah kelas 2 SMA penerbit yudhistira

PERKEMBANGAN POLITIK DAN PERUBAHAN MASYARAKAT INDONESIA DALAM UPAYA MENGISI KEMERDEKAAN

EKO ADI PUTRA/PIS

A.    Masa Demokrasi Liberal (1950-1959)
Beberapa peristiwa  penting yang menandai kehidupan politik dan pemerintahan  Indonesia masa demokrasi liberal adalah sebagai berikut:
1.      Perjuangan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia
2.      Instibilitas politik nasional yang ditandai dengan:
a.       Silih bergantinya kabinet
b.      Terjadinya disharmoni hubungan pusat-daerah yang berujung pada munculnya pemberontakan-pemberontakan yang bersifat separatis
c.       Berlarut-larutnya penyelesaian masalah Irian Barat
3.      Pemilu 1955
4.      Keluarnya Konsepsi Presiden
5.      Dekrit Presiden 5 Juli 1959

1.      Perjuangan Kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Persiapan dalam upaya kembali ke negara kesatuan  sudah dilakukan beberapa bulan sebelumnya. Rakyat di negara bagian menuntut negara RIS dibubarkan dan kembali ke Negara Kesatuan.
a.      Persetujuan 19 Mei 1950
Kesempatan kembali ke negara kesatuan tercapai ketika diadakan pertemuan antara Hatta, Sukawati, dan Mansur, masing-masing mewakili RIS, NIT dan Sumatra Timur. Mereka setuju untuk membentuk NKRI.
b.      Sistem Ketatanegaraan RI Pasca RIS
Menurut UUDS 1950, NKRI adalah negara yang berdasarkan Pancasila, dengan bentuk kesatuan bukan negara federal atau serikat. Daerah dalam NKRI dibagi dalam daerah-daerah otonom atau swatantra dan bukan dalam negara-negara bagian.

2.      Instabilitas Politik Nasional
Instabilitas politik nasional masa demokrasi liberal yang ditandai oleh:

a.      Silih bergantinya kabinet
Salah satu hal yang menandai kehidupan politik Indonesia masa demokrasi liberal adalah silih bergantinya kabinet.
Terdapat 7 kabinet yang memerintah Indonesia selama masa pelaksanaan demokrasi liberal.




1.      Kabinet Natsir (6 September 1950-21 Maret 1951)
Kabinet Natsir adalah kabinet pertama kali yang memerintah Indonesia masa demokrasi liberal. Disebut sebagai kabinet Natsir, karena yang menjabat sebagai perdana mentrinya adalah Mohammad Natsir yang juga ketua umum Masyumi sekaligus mantan mentri Penerangan.

2.      Kabinet Sukiman (27 April 1951- 3 April 1952)
Kabinet Sukiman merupakan kabinet hasil koalisi Masyumi dan PNI serta beberapa partai kecil lain.

3.      Kabinet Wilopo (3 April 1952 - 3 Juni 1953)
Pada tanggal 30 Maret 1952 Wilopo mengajukan nama-nama kabinetnya yang disetujui presiden. Kabinet baru itu terdiri dari PNI (4 orang), Masyumi (4 orang), PSI (2 orang), PKRI, Parkindo, Parindra, Partai Buruh, dan PSII masing-masing 1 orang serta 3 orang dari non partai.

4.      Kabinet Ali-Wongso atau Kabinet Ali I (31 Juli 1953 - 12 Agustus 1955)
Kabinet ini merupakan kabinet yang mayoritas anggotanya berasal dari PNI. Masyumi sebagai partai terbesar kedua tidak ikut serta dalam pemerintahan, sebagai gantinya Nahdlatul Ulama (NU) muncul sebagai kekuatan  politik baru yang memiliki pengaruh dan massa besar.

5.      Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 - 3 Maret 1956)
Kabinet ini beranggotakan 23 menteri yang didominasi oleh Masyumi. PNI sebagai partai terbesar kedua pada waktu itu tidak bersedia bergabung. Dalam masa pemerintahan kabinet inilah pemilu pertama Indonesia diselenggarakan.

6.      Kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956 - 4 Maret 1957)
Untuk kedua kalinya Ali Sastroamidjojo dipercaya menjadi perdana menteri. Dilihat dari komposisi orang-orang yang duduk dalam kabinet, pemerintahan Ali II ini merupakan pemerintahan yang kuat, karena merupakan kabinet koalisi di mana ketiga partai besar hasil pemilu 1955 (PNI, Masyumi dan NU) mendudukan orang-orangnya dalam kabinet.

7.      Kabinet Djuanda atau Kabinet Karya (9 April 1957 - 5 Juli 1959)
Pembentukan Kabinet Karya yang dilakukan sendiri oleh presiden Soekarno pada awalnya mendapat tantangan dari berbagai pihak. Masyumi melihat apa yang dilakukan Soekarno sebagai tindakan yang inkonstitusional. Sebagai bentuk penentagannya  Masyumi kemudian memecat salah satu anggotanya yang masuk dalam anggota kabinet karya.



DAFTAR PUSTAKA
Booth, Anne, 1988. Perdagangan, Pertumbuhan dan Perkembangan perekonomian Kolonial. Dalam Anne Booth, J. O William Malley, Anna Weideman (ed), Sejarah Ekonomi Indonesia, Jakarta, LP3ES, hal. 363-398
Wayan,I Badrika.2006.sejarah untuk SMA jilid 3 kelas XII program ips.jakarta.penerbit erlangga