Halaman

PERJUANGAN LA MADDUKELLENG (1700-1765)

HANA NUR AZIZAH

 

·         Tempat/ Tanggal Lahir            : Wajo, Sulawesi Selatan, 1700

·         Tempat/ Tanggal Wafat          : Wajo, Sulawesi Selatan, 1765

·         SK Presiden                            : No. 109/TK/Tahun 1998, Tanggal 06 November 1998

La Maddukelleng adalah putera dari Arung (Raja) Peneki La Mataesdso To Ma'dettia dan We Tenriang Arung (Raja) Singkang, saudara Arung Matowa Wajo La Salewangeng To Tenrirua (1713-1737). Karena itulah La Maddukelleng sering disebut Arung Singkang dan Arung Peneki. Pada tahun 1713, Raja Bone La Patau Matanna Tikka mengundang Arung Matowa Wajo La Salewangeng untuk menghadiri perayaan pelubangan telinga (pemasangan giwang) puterinya I Wale di Cenrana (daerah kerajaan Bone). La Maddukelleng ditugaskan pamannya (dia putera saudara perempuan La Salawangeng) ikut serta dengan tugas memegang tempat sirirh raja. Sebagaimana lazimnya dilakukan disetiap pesta raja-raja Bugis-Makasar diadakanlah ajang perlombaan perburuan rusa (maddenggeng) dan sambung ayam (mappabbitte).

Pada saat berlangsungnya pesta sambung ayam tersebut, ayam putera Raja Bone mati dikalahkan oleh ayam Arung Matowa Wajo. Kemenangan tersebut tidak diakui oleh orang-orang Bone dan mereka berpendapat bahwa pertarungan tersebut sama kuatnya. Hal tersebutlah yang menyebabkan terjadinya keributan. Pada saat itu La Maddukelleng turut serta dalam perkelahian tersebut yang mengakibatkan korban di pihak Bone lebih banyak dibandingkan korban pihak Wajo. Lontarak Sukunna Wajo menyatakan bahwa pada waktu terjadi perkelahian tersebut, terjadi tikam menikam antara orang-orang Wajo-Bone di Cenrana, saat itu La Maddukelleng baru saja disunat dan belum sembuh lukanya. Melihat kenyataan tersebut (karena mereka di wilayah Kerajaan Bone), maka orang-orang Wajo segeramelarikan diri melalui Sungai Walennae.

Setibanya Arung Matowa Wajo La Salewangeng di Tosora, maka datanglah utusan Raja Bone untuk meminta agar La Maddukelleng diserahkan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya (dianggap bersalah). Arung Matoa Wajo mengatakan bahwa La Maddukelleng tidak kembali ke Wajo sejak peristiwa di Cenrana. Utusan Raja Bone itu kembali sekalipun ia yakin bahwa La Maddukelleng masih berada di dearah Wajo, namun tidak dapat berbuat banyak karena adanya ikrar antara Bone, Soppeng dan Wajo di Timurung pada tahun 1582, bahwa tiga kerajaan itu harus saling mempercayai.

La Maddukelleng datang menghadap dan meminta restu Arung Matoa Wajo dan Dewan Pemerintahan Wajo (arung bentempola) untuk berlayar meninggalkan daerah Wajo. Saat itu bertepatan dengan selesainya pembangunan gedung tempat penyimpanan harta kekayaan di sebelah timur Masjid Tosora srta gedung padi di tiga limpo. Anggota Dewan pemerintah Kerajaan Wajo (La Tenri Wija Daeng Situju) berpesan agar senatiasa mengingat negeri Wajo selama perantauan. Lalu La Maddukelleng ditanya tentang bekal yang akan dibawa, ia menjawab bahwa ada tiga bekal yang akan ia bawa serta yaitu : pertama lemahnya lidahku, kedua tajamnya ujung kerisku dan yang ketiga ujung kelaki-lakianku.

Dengan disertai pengikut-pengikut La Maddukelleng berangkat dari Paneki dengan  menggunakan perahu layar menuju Johor. Lontarak sukunna Wajo memberitakan bahwa La Maddukelleng dalam perjalanan bertemu dengan saudaranya bernama Daeng Matekko, seorang saudagar kaya Johor. Hal ini membuktikan bahwa lama sebelumnya orang-orang Wajo sudah merambah jauh negeri orang. La Maddukelleng diperkirakan merantau pada masa akhir pemerinthana Raja Bone La  Patuan Matanna Tikka Nyilinna Walinonoe, yang merangkap sebagai Datu Soppeng dan Ranreng Tuwa Wajo, sekitar tahun 1714.

Sejak muda, La Maddukelleng meninggalkan Wajo dan mengembara di sekitar Malaka. Pengembaraannya sangat sukses dan beliau berhasil merajai Selat Makasar hingga Belanda menjulukinya bajak laut. Beliau kemudian membangun armada yang sering mengganggu kapal dagang Belanda. Pada tahun 1726, beliau pindah ke Kalimantan Timur serta berusaha membebaskan Wajo dan wilayah Sulawesi Selatan lainnya dari kekuasaan Belanda. Pertempuran banyak terjadi di wilayah perairan. Demi mempertahankan Wajo, Belanda bekerja sama dengan pasukan Bone mengerahkan pasukan yang besar. Pertempuran berakhir dengan perjanjian damai antara La Maddukelleng dan pasukan Bone. Setelah melakukan berbagai pertempuran, Belanda menyerah dan Wajo dapat direbut dari kekuasaan Belanda. Pada tahun 1754, La Maddukelleng mengundurkan diri dari jabatan sebagai Arung Matoa Wajo. Setelah meninggal dunia, penduduk Wajo memberinya gelar Petta Pammadekaenggi Wajo ( Tua yang Memerdekakan Wajo).

·         Perjuangan dari Pasir Kembali Ke Wajo

Setelah itu La Maddukkelleng mengumpulkan kekuatan persenjataan dan armada yang berkekuatan perahu jenis bintak, perahu ini sengaja dipilih karena bisa cepat dan laju digerakkan. Perahu yang digunakan tersebut dilengkapi dengan meriam-meriam baru yang dibelinya dari orang-orang Inggris. Anggota pasukan La Maddukkelleng dibagi atas dua kelompok, yaitu pasukan laut (marinir) yang dipimpin oleh La Banna To Assa (kapitang laut) dan pasukan darat dipimpin oleh Panglima Puanna Pabbola dan Panglima Cambang Balolo. Pasukan istimewa tersebut seluruhnya merupakan orang-orang terlatih dan sangat berpengalaman dalam pertempuran laut dan darat di Semenanjung Malaya dan perairan antara Johor dengan Sulawesi. Pasukan ini terdiri atas suku Bugis, Pasir, Kutai, Makassar serta Bugis-Pagatan.

Armada La Maddukkelleng berangkat menuju Makassar melalui Mandar dan kemudian terlebih dahulu mampir di Pulau Sabutung. Dalam Desertasi Noorduyn dipaparkan bahwa dalam perjalanan menuju Makassar, dua kali armada La Maddukkelleng diserang oleh armada Belanda yaitu pada tanggal 8 Maret 1734 dan 12 Maret 1734. Dalam catatan Raja Tallo diberitakan bahwa armada Belanda yang terdiri dari enam buah perahu perang dapat dipukul mundur, perang ini berlangsung selama dua hari.

Lontarak Sukkuna Wajo menyatakan bahwa ketika armada La Maddukkelleng sedang berlayar antara pulau Lae-lae dan Rotterdam, pasukan Belanda yang berada di Benteng tersebut menembakinya dengan meriam-meriam. Armada La Maddukkelleng membalas tembakan meriam itu dengan gencar. Gubernur Makassar, Johan Santijn (1733-1737) mengirim satu pasukan orang-orang Belanda yang ditemani oleh Ancak Baeda Kapitang Melayu menuju pulau Lae-lae. Hampir seluruh pasukan tersebut ditewaskan oleh La Maddukkelleng bersama pasukannya. Melalui pelabuhan Gowa dia diterima oleh kawan seperjuangannya I Mappasempek Daeng Mamaro, Karaeng Bontolangkasa yang sebelumnya sudah dikirimi surat. Lalu kemudian Tumabbicara Butta (Mangkubumi) Kerajaan Gowa, I Megana juga datang menemui La Maddukkelleng. Kemudian diadakanlah pertemuan yang membicarakan rencana strategis dan taktik menghadapi tentara Belanda.

Setelah armada VOC tidak dapat mengalahkan armada La Maddukkelleng, mereka melanjutkan pelayaran menuju Bone dan tiba di Ujung Palette. Ratu Bone We Bataru Toja, yang merangkap jabatan Datu Soppeng, sejak tahun 1667 menjadi sekutu Belanda, mengirim pasukan untuk menghadang armada La Maddukkelleng, dan menyampaikan bahwa topasalanna Bone (orang bersalah terhadap Bone) dilarang masuk melalui sungai Cenrana. Suruhan La Maddukkelleng menyampaikan balasan bahwa La Maddukkelleng, Sultan Pasir, menghormati raja perempuan dan tidak akan melalui sungai Cenrana, tetapi melalui Doping (wilayah Wajo) ke Singkang. Dalam Musyawarah dengan Arum Pone (merangkap Datu Soppeng), Arung Matowa Wajo mendapat tekanan dari Raja Bone untuk menyerang dan tidak memberi kesempatan masuk. Arung Matowa Wajo menjawab bahwa berdasarkan perjanjian pemerintahan di Lapaddeppa antara Arung Saotanre La Tiringeng To Taba dengan rakyat Wajo (1476) yang berbunyi Wajo adalah negeri mereka dimana hak-hak asasi rakyat dijamin.

Dengan melalui proses negoisasi dan dengan persiapan yang mantap, La Maddukkelleng dengan pasukannya masuk melalui Doping. Tanggal 24 Mei 1736 ditambah dengan tambahan pasukan 100 (seratus) orang Wajo, sehingga diperkirakan kurang lebih 700 (tujuh ratus) orang ketika tiba di Sengkang. Karena La Maddukkelleng masih menghormati Hukum Adat Tellumpoccoe (persekutuan antara Wajo, Soppeng dan Bone), dia berangkat ke Tosora untuk menghadiri persidangan dengan kawalan 1.000 orang. Tuduhan pun dibacakan yang isinya mengungkap tuduhan perbuatan La Maddukkelleng mulai dari sebab meninggalkan negeri Bugis sampai pertempuran yang dialaminya melawan Belanda. La Maddukkelleng lalu membela diri dengan alasan-alasan rasional dan menyadarkan akan posisi orang Bugis di hadapan Belanda. Karena demikian maka tidak mendapat tanggapan dari Majelis Pengadilan Tellumpoccoe.

La Maddukkelleng kemudian ke Peneki memangku jabatan Arung yang diwariskan ayahnya, namun dalam perjalanan tidak dapat dihindari terjadinya peperangan dengan kekalahan di pihak pasukan Bone. La Maddukkelleng dijuluki "Petta Pamaradekangi Wajona To Wajoe" yang artinya tuan/orang yang memerdekakan tanah Wajo dan rakyatnya. Karena La Salewangeng (pemangku Arung Matowa Wajo) usianya sudah cukup lanjut untuk menyelesaikan segala persoalan, maka melalui suatu mufakat Arung Ennengnge (Dewan Adat), beliau diangkat sebagai Arung Matowa Wajo XXXIV. Pengangkatannya di Paria pada hari Selasa tanggal 8 November 1736. Dalam pemerintahannya, tercatat berhasil menciptakan strategi pemerintahan yang cemerlang yang terus menerus melawan dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari penjajahan diktean Kerajaan Bone, juga keberhasilan memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo.

·         Zaman La Maddukkelleng Sebagai Tokoh Terkemuka Sulawesi Selatan Menggalang Perlawanan Terhadap Belanda

Dalam pelayaran lanjut La Maddukkelleng singgah di Gowa menemui Tomabbicara Butta Gowa La Mappasappe Kareng Bonto Langkasa. Ketika itu yang menjadi raja Gowa adalah Sultan Sirajuddin yang tidak disukai oleh kalangan Batesalapan dan para anak bangsawan, karena sultan ini banyak melakukan tindakan-tindakan yang merugikan Butta Gowa. Mangkubumi Butta Gowa (Tomabbicara Butta ) La Mappesappe karaeng Bonto Langkasa termasuk pembesar Butta Gowa yang tidak menyukai Sultan Sirajuddin. Ketika La Maddukkelleng melakukan pembicaraan di Gowa maka disepakati bersama antara Mangkubuni Karaeng Bonto Langkasa, Arung Kaju (suami batari toja dengan La Maddukkelleng untuk menggalang kekuatan mempersiapkan perang melawan Belanda. Tetapi sebelum itu mereka sepakat berusaha untuk menurunkan dari Tahta Butta Gowa Sultan Sirajuddin dan Arung Pone Batari Toja dari tahta tanah Bone, karena mereka diketahui sudah amat akrab dengan kekuasaan belanda di Makassar.

Dalam bulan Mei 1734 La Maddukkelleng dengan pengikut-pengikutnya mendarat di Doping, ketangannya disambut dengan meriah oleh rakyat setempat. Dari tempat itulah La Maddukkelleng mulai melakukan konsulidasi membentuk pasukan untuk persiapan perang dan mempersiapkan persenjataan sememadai mungkin. Dengan pasukan yang datang bersamanya dari pengembaraan bersama rakyart Doping bersedia bergabung menjadi laskar bergerak menuju sengkang. Ketika La Maddukkelleng bertemu dengan arung matoa La Salewangeng, La Maddukkelleng dan Laksarnya ditugasi membebaskan negeri Peneki, negeri bawahan tanah Wajo yang sejak lama diduduki oleh orang Bone. Setiba di Peneki orang Bone segera meninggalkan tana Peneki tanpa perlawanan terhadap laskar Wajo yang dipimpin oleh La Maddukkelleng yang sudah amat terkenal keunggulannya dalam berbagai peperangan.

La Maddukkelleng diangkat mennjadi kepala negeri di Peneki dengan gelar Arung Peneki, tidak berapa lama kemudian terjadilah perang antara tana  Wajo melawan Tanah Bone yang dibantu oleh Belanda. Peneki dikepung oleh Laskar Bone dengan bantuan pasukan tentara Belanda, dalam bulan juli 1736 ketika itu yang menjadi arung pone adalah Batari Toja yang kurang disukai oleh La Maddukkelleng karena penobantannya menjadi arung pone atas prakarsa Belanda karena itu maka La Maddukkelleng bersama Karaeng Bonto Langkasa tomabbicara Butta Gowa berusaha menurunkannya dari kedudukannya sebagai arung pone.

Peristiwa perang Wajo-Bone dan kepungan atas negeri Peneki sampai beritanya di Gowa maka La Mappaseppe Karaeng Bonto Langkasa Tomabbicara Butta Gowa bersama arung Paju bergerak dengan pasukannya melalui Maros melewati pengunungan Camba untuk seterusnya ke Wajo. Untuk membantu laskar Wajo yang dipimpin oleh La Maddukkelleng. Tetapi pasukan Gowa dicegak oleh pasukan Belanda di maros yang dikuasai sepenuhnya oleh Belanda. pasukan Gowa diserang habis-habisan sehingga tidak mampu menembus kepungan pasukan Belanda. perang Wajo-Bone berkobar bertambah besar karena Bone dibantu juga oleh pasukan-pasukan dari Luwu menghadapi laskar Wajo. Tak lama kemudian balabantuan belanda berupa pasukan perang yang berhasil mengkocar-kacirkan pasukan Gowa di Maros tiba di Bone memberikan bantuan kekuatan tempur untuk menyerang Wajo. Serangan pasukan gabungan Belanda – Bone dan Luwu menghujani tosora ibu negeri tana Wajo. Denga tembakan-tembakan meriam dari Lagosi Pammana. Ketika itu Arung matoa Lasalewangeng mengundurkan diri dari jabatan Arung matoa di Wajo atas kesepakatan dewan negeri tana Wao (Arung Ennengnge) menetapkan La maddukkelleng menjadi arung matoa ke-34 penobatannya dilakukan di paria tanggal 8 November 1736.

Kekuatan perang Wajo yang mulai dibina oleh arung matoa La Salewangeng ditambah dengan kekuatan yang dibina oleh arung matoa La Maddukkelleng cukup mengetarkan musuh-musuhnya sehingga belanda dan sekutunya meminta gencatan senjata. Dalam bulan februari 1737 La maddukkelleng dengan pasukannya berhasil menduduki kembali Tosora, dan dalam Bulan Agustus 1737 barulah dapat terwujud gencatan senjata. Setelah pasukan Belanda dan Bone terpukul mundur dari daerah pertempuran.

Setelah itu La Maddukkelleng yang sudah menjadi Arung matoa Wajo melanjutkan kegiatan-kegiatannya meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memperkuat peralatan pertahanan dan kemampuan laskar tana Wajo untuk melakukan peperangan.

Daerah-daerah atau negeri-negeri sekitar tana Wajo seperti bahagian terbesar Bone Utara. Mario Riawa sawitto, dan Massepe, Enrekang, dan Duri menempatkan diri dalam perlindungan tana Wajo dengan negeri-negeri Luwu dan mandar digalangnya hubungan persahabatan dengan Tana Wajo. Lambat laung tana Bone dan Soppeng menunjukkan ketaatannya kepada gagasan Arung Matoa La Maddukkelleng yang mencapai puncak kemasyuran sebagai tokoh yang paling di utamakan di Sulawesi Selatan dalam abad ke-28 kurang lbih menyamai pengaruh dan kemasyuran La tenri tatta arung Palakka dalam abad ke-27.

Setelah menjadi perhatian dan kesadaran para penguasa negeri di Sulawesi Selatan bahwa segala sesuatu yang diperbuat La Maddukkelleng sebelum dan sekarang sebagai arung matoa ri Wajo dengan menghimpun kekuatan perlawanan dan pertahanan pada hakekatnya untuk mempersatukan dan menggerakkan dunia bugis makassar yang oleh La Tenri Tatta arung palakka dalam  abad ke-27 disebut sempung ogi atau sempu lolota dapat dipandang sebagai tingkat pencapaian kesadaran territorial Sulawesi Selatan mengatasi persekutuan kaum berdasar hubungan genealogis yang menjadi akar kehidupan kerajaan-kerajaan local kesukuan di Sulawesi Selatan.

Kesadaran ediologi sempung ogi sempung lolota dengan kesadaran territorial sulawesi Selatan itu dikobarkan kembali oleh La Maddukelleng untuk mengusir Belanda dari Sulawesi Selatan. Tegasan itu dinyatakan terbuka oleh La Maddukkelleng dalam kedudukanannya sebagi arung matoa ri Wajo, dalam pertemuan Mattellumpocoe ( Tiga negeri puncak Bone, Soppeng Wajo) di Timurun dalam bulan Oktober 1737. arung matoa ri Wajo La Maddukkelleng berkata kepada rekan-rekannya Wajo menghendaki supaya engkau orang Bone mengusir orang belanda pergi karena selama mereka itu ada maka Mattellumpocoe rusak.

Rencana untuk menurunkan dari tahta masing-masing raja Gowa Sultan Sirajuddin dan Arung Pone Batari Toja seperti disepakati di Gowa dengan karaeng Bonto Langkasa dan Arung kaju karena mereka amat dikuasai dan dikendalikan oleh Belanda, kini La Maddukkelleng menjadikan rencana untuk menurunkan Batari Toja dari kedudukannya sebagai arung pone.

Dalam bulan September 1737, Arunpone Bataritoja digulingkan dari kedudukannya oleh datu Tanete,merangkap DATU Soppeng yang bernama Latenri oddang alias Sultan Fahruddin. Bataritoja menyingkirke Makassar di bawah perlindungan Belanda.La Tenrioddang di nobatkan oleh rakyat Bone menjadi arungpone pada tanggal 8 Novembeer 1737.Tuju hari kemudian Latenrioddang berangkatke Gowa untuk mengajak raja Gowa Sultan Sirajuddin memerangi dan mengusir belanda dari Makassar.Maksud La tenrioddang itu tidak tercapai,karena raja Gowa tidak mengakuinya sebagai arungpone.maka diapun kembali ke Tanete dengan penuh kekecewaan.Rakyat bone mengangkat penggantinya yaitu ; I Denradatu sitti napisa (saudara perempuan raja gowa I nalawangangan gau ) I denradatu di dukung penobatannya oleh Arung matoa wajo dan melindunginya di Tosora ketika Bone masih kacau.Beberapa bulan kemudian I Denradatu kembali ke Bone melakukan jabatannya sebagai Arumpone.Tetapi datang lagi Gangguan dari La Tenri oddang karena itu La Maddukelleng Arung Matoa Wajo mengerahkan pasukan mengusir Latenri Oddang dari Bone dan dipaksa mengembalikan regalia Tanah Bone yang dirampasnya ketika menggulingkan Wa Bataritoja

·         Arung Matoa Wajo La Maddukelleng Menggalang Kekuatan Melawan Kekuatan Belanda Di Makassar

Setelah mengamankan kedudukan I Denradatu menjadi arung pone, dan di Gowa sultan Sirajuddin sudah tersingkir maka tibalah masanya bagi La Maddukkelleng melaksanakan kesepakatannya dengan Tomabbicara Butaa Gowa karaeng Bonto langkasa untuk mengusir belanda dari Makkassar. Dalam bulan April 1739 arung matoa Wajo La maddukkelleng dengan laskarnya bergerak ke Gowa. Di Gowa beliau mengajak raja Gowa I mallawnageng gau (yang masih berusia 12 tahun) untuk menyerang dan mengusir Belanda dari Makassar akan tetapi Raja Gowa yang masih amat muda itu dan beberapa orang pembesar Butta Gowa tidak berani melakukan rencana itu. Untuk menyelamatkan diri maka raja Gowa bersama orang pembesarnya menyingkir masuk ke kota Makassar meminta perlundungan Belanda, merekapun masuk ke Kota Makassar.

Pertempuran-pertempuran dalam kota Makassar melawan tentara Belanda yang kemudian dibantu oleh laskar Bone pengikut Webataritoja berlangsung berhari-hari lamanya istana arungpone di bontoala dibumi hanguskan oleh laskar Wajo karena kekuatan laskar Wajo dan Gowa semakin menurun. Akhirnya La Maddukkelleng dan Karaeng Bonto Langkasa mengundurkan pasukannya di daerah pertahanan Gowa. Karaeng Bonto Langkasa oleh peluruh kesasar dari pasukannya sendiri menyebabkan beliau tewas pada tanggal 8 September 1739. arung matoa La Maddukkelleng meninggalkan Gowa dan bersama pasukannya kembali ke Wajo. Setiba di Wajo mulailah beliau kembali menata kekuatan perangnya dan memulihkan segala kekurangan yang terjadi pada peperangan di Makassar.

Pada bulan Desember 1740 yaitu kira-kira berselam setengah tahun setelah perang di Makassar maka tibalah di Cenrana Armada Belanda yang mengangkut balatentara untuk melakukan serangan balasan kepada tana Wajo. Armada itu diperlengkapi dengan 42 pucuk meriam dan sejumlah mortil pelontar geranat. Kekuatan pertahanan tana Wajo belumlah sampai pada puncak kesiapan untuk menghadapi persenjataan berat. Mengetahui kedatangan balatentara belanda maka para pemimpin pasukan sepakat untuk mencegah pasukan Belanda sehingga tidak dapat melalui sungai Walennae untuk menyerang Tosora secara langsung. Maka dikerahkan sebanyak mungkin penduduk tana Wajo.

 

DAFTAR PUSTAKA

Asril,M.Pd, 2017, Sejarah Indonesia Zaman Penjajahan Eropa

Luyo Anugrah, 2014, Biografi La Maddukelleng, http://luyokita.blogspot.co.id/2014/05/biografi-la-madukelleng.html

Lihin Om, 2012, Pelajaran dari Sepak Terjang La Maddukelleng Arung Matoa Wajo, https://www.kompasiana.com/mushlihin/pelajaran-dari-sepak-terjang-la-maddukkelleng-arung-matoa-wajo_5529ecaef17e619f3bd623be

Jamil25, 2012, La Maddukelleng, Arung Sengkang, Arung Peneki, https://jamil25.wordpress.com/2012/10/23/lamaddukkelleng-arung-sengkang-arung-peneki/

 

No comments:

Post a Comment