Halaman

PERANAN ISDV/PKI PADA MASA PERGERAKAN NASIONAL

NURBANI

 

2.1  Awal terbentuknya ISDV/PKI

Partai ini didirikan atas inisiatif tokoh sosialis Belanda, Henk Sneevliet pada 1914,  dengan nama Indische Social-Democratische Vereeniging (ISDV) (atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda). Anggotaan awal ISDV pada dasarnya terdiri atas 85 anggota dari dua partai sosialis Belanda, yaitu SDAP (Partai Buruh Sosial Demokratis) dan SDP (Partai Sosial Demokratis), yang aktif di Hindia Belanda.

Pada Oktober 1915 ISDV mulai aktif dalam penerbitan dalam bahasa Belanda, "Het Vrije Woord" (Kata yang Merdeka). Pada saat pembentukannya, ISDV tidak menuntut kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu, ISDV mempunyai sekitar 100 orang anggota, dan dari semuanya itu hanya tiga orang yang merupakan warga pribumi Indonesia. Namun demikian, partai ini dengan cepat berkembang menjadi

radikal dan anti kapitalis. Di bawah pimpinan Sneevliet partai ini merasa tidak puas dengan kepemimpinan SDAP di Belanda, dan yang menjauhkan diri darioISDV. Pada 1917, Kelompok reformis dari ISDV memisahkan diri dan membentuk partainya sendiri, yaitu Partai Demokrat Sosial Hindia.

Pada 1917 ISDV mengeluarkan penerbitannya sendiri dalam bahasa Melayu, "Soeara Merdika". Di bawah kepemimpinan Sneevliet, ISDV yakin bahwa Revolusi Oktober Rusia  harus diikuti di Indonesia. Kelompok ini berhasil mendapatkan pengikut di antara tentara-tentara dan pelaut Belanda yang ditempatkan di Hindia Belanda. Dibentuklah "Pengawal Merah" dan dalam waktu tiga bulan jumlah mereka telah mencapai 3.000 orang. Pada akhir 1917, para tentara dan pelaut itu memberontak di Surabaya, sebuah pangkalan angkatan laut utama di Indonesia saat itu, dan membentuk dewan soviet. Para penguasa kolonial menindas dewan-dewan soviet di Surabaya dan ISDV. Para pemimpin ISDV dikirim kembali ke Belanda, termasuk Sneevliet.

Para pemimpin pemberontakan di kalangan militer Belanda dijatuhi hukuman penjara hingga 40 tahun. seperti yang terjadi di ISDV terus melakukan kegiatannya, meskipun dengan cara bergerak di bawah tanah. Organisasi ini kemudian menerbitkan sebuah terbitan yang lain,  Soeara Ra'jat. Setelah sejumlah kader Belanda dikeluarkan dengan paksa, ditambah dengan pekerjaan di kalangan Sarekat Islam, keanggotaan organisasi ini pun mulai berubah dari mayoritas warga Belanda menjadi mayoritas orang Indonesia. Pada 1919, ISDV hanya mempunyai 25 orang Belanda di antara anggotanya, dari jumlah keseluruhan kurang dari 400 orang anggota.

2.2  Dari ISDV ke PKI

Pada bulan Mei 1920,  ISDV menyelenggarakan kongres yang ke-7 dan salah  satu  agendanya  adalah  perubahan  nama  ISDV  menjadi  Perserikatan Komunis  di  Hindia.  Perubahan  nama  ini  dilandasi  bahwa  dalam  rangka mengidentifikasikan  diri  dengan Komintern,  ISDV  perlu memiliki  identitas  dan organisasi yang akan membedakan dengan kelompok sosialis palsu. Pada tanggal 23 Mei 1920, kongres mengesahkan Partai Komunist Hindia  sebagai nama baru ISDV.  Semua  cabang  menyetujui  perubahan  itu,  kecuali  cabang  Surabaya, Bandung,  dan  Ternate  yang  menentang  perubahan  itu.  Semaun  tampil  sebagai ketua,  Darsono  sebagai  wakil  ketua,  Bergsma  sebagai  sekretaris,  dan  Dekkersebagai bendahara.  Pada  bulan  Desember  1920,  namanya  diubah  lagi  menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).

Setelah berhasil menyusup dalam tubuh SI, jumlah anggota PKI semakin besar. PKI berkembang pesat. Berikut ini ada beberapa faktor yang menyebabkan PKI berkembang pesat.

a.       Propagandanya yang sangat menarik.

b.      Memiliki pemimpin yang berjiwa kerakyatan.

c.       Pandai merebut massa rakyat yang tergabung dalam partai lain.

d.      Sikapnya yang tegas terhadap pemerintah kolonial dan kapitalis.

e.       Di kalangan rakyat terdapat harapan bahwa PKI bisa menggantikan Ratu Adil.

Organisasi PKI makin kuat ketika pada bulan Februari 1923 Darsono kembali dari Moskow. Ditambah dengan tokoh-tokoh Alimin dan Musso, maka peranan politik PKI semakin luas. Pada tanggal 13 November 1926, Partai Komunis Indonesia mengadakan pemberontakan di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pemberontakan ini sangat sia-sia karena massa sama sekali tidak siap di samping organisasinya masih kacau. PKI telah mengorbankan ribuan orang yang termakan hasutan untuk ikut serta dalam pemberontakan.

Dampak buruk lainnya yang menimpa para pejuang pergerakan di tanah air adalah berupa pengekangan dan penindasan yang luar biasa dari pemerintah Belanda sehingga sama sekali tidak punya ruang gerak. Walaupun PKI dinyatakan sebagai partai terlarang tetapi secara ilegal mereka masih melakukan kegiatan politiknya. Semaun, Darsono, dan Alimin meneruskan propaganda untuk tetap memperjuangkan aksi revolusioner di Indonesia.

2.3  Ideologi dasar garekan ISDV/PKI

Istilah komunisme sering dicampuradukkan dengan komunis internasional. Komunisme atau Marxisme adalah ideologi dasar yang umumnya digunakan oleh partai komunis di seluruh dunia. sedangkan komunis internasional merupakan racikan ideologi ini berasal dari pemikiran Lenin sehingga dapat pula disebut "Marxisme-Leninisme".

Dalam komunisme perubahan sosial harus dimulai dari pengambil alihan alat-alat produksi melalui peran Partai Komunis. Logika secara ringkasnya, perubahan sosial dimulai dari buruh atau yang lebih dikenal dengan proletar, namun pengorganisasian Buruh hanya dapat berhasil dengan melalui perjuangan partai. Partai membutuhkan peran politbiro sebagai think-tank. Dapat diringkas perubahan sosial hanya bisa berhasil jika dicetuskan oleh Politbiro. Inilah yang menyebabkan komunisme menjadi "tumpul" dan tidak lagi diminati karena Korupsi yang dilakukan oleh para pemimpinnya.

Komunisme sebagai anti-kapitalisme menggunakan sistem partai Komunis sebagai alat pengambil alihan kekuasaan dan sangat menentang kepemilikan akumulasi modal atas individu. pada prinsipnya semua adalah direpresentasikan sebagai milik rakyat dan oleh karena itu, seluruh alat-alat produksi harus dikuasai oleh negara guna kemakmuran rakyat secara merata akan tetapi dalam kenyataannya hanya dikelolah serta menguntungkan para elit partai, Komunisme memperkenalkan penggunaan sistim demokrasi keterwakilan yang dilakukan oleh elit-elit partai komunis oleh karena itu sangat membatasi langsung Demokrasi pada rakyat yang bukan merupakan anggota partai komunis karenanya dalam paham komunisme tidak dikenal hak perorangan sebagaimana terdapat pada paham Liberalisme.

Secara umum komunisme berlandasan pada teori Dialektika Materi oleh karenanya tidak bersandarkan pada kepercayaan agama dengan demikian pemberian doktrin pada rakyatnya, dengan prinsip bahwa "agama dianggap candu" yang membuat orang berangan-angan yang membatasi rakyatnya dari pemikiran ideologi lain karena dianggap tidak Nasional serta keluar dari hal yang nyata (kebenaran materi).

 

2.4  PKI Memecah Serikat Islam (SI)

Diperbolehkannya keanggotaan ganda pada tubuh SI dilihat sebagai kesempaatan besar bagi PKI untuk menyusup ke organisasi tersebut yang kemudian bertujuan umtuk memecahnya. Hal ini dilakukan karena PKI menyadari bahwa pada saat itu SI merupakan sebuah organisasi pergerakan nasional yang besar dan kuat. Sehingga timbul keinginan diantara pimpian PKI untuk menguasainya. Gebrakan-gebrakan yang dilakukan PKI dalam tubuh SI terang saja membuat pimpinan CSI menjadi berang. CSI melihat bahwa tindakan tindakan yan dilakukan oleh PKI telah mengarah kepada sebuah ancaman keutuhan didalam tubuh SI sendiri. CSI kemudian menyadari bahwa yang menjadi penyebab pengaruh PKI begitu kuat dalam tubuh SI adalah karena SI memperbolehkan sistem keanggotaan rangkap, sehingga menjadi sangat mudah untuk disusupi oleh orang-orang yang bersal dari organisasi lain.

Pada bulan Oktober 1921 dilaksanakan kongres SI yang ke VI di Surabaya. Pada saat itu terjadi  suasana panas mewarnai jalannya kongres karena adanya perdebatan yang terjadi diantara fraksi komunis yang diwakili oleh Darsono dan Tan Malaka dengan pimpinan SI pada saat itu Haji Agus  Salim. Pada kongres tersebut kemudian diputuskan bahwa dilarangnya keanggotaan rangkap. Artinya anggota SI tidak lagi boleh menjadi anggota dari organisasi lain, jadi bagi anggota yang selama ini merangkap sebagai anggota dari organisasi lain harus memilih antara SI atau organisasi lainnya tersebut. Keputusan ini sontak mendapat perlawanan dari faksi komunis karena hal tersebut akan sangat merugikan bagi mereka Sadar bahwa keluar dai SI merupakan sesuatu yang akan sangat merugikan bagi kekuatan PKI, maka  Semaun selaku ketua PKI dan SI Semarang pada saat itu menolak keputusan kongres dan justru menghimpun kekuatan didalam tubuh SI.

Semaun kemudian melakukan propaganda dalam tubuh SI dan mengatakan bahwa apa yang telah diputuskan dalam kongres merupakan sebuah sesuatu yang keliru dan oleh sebab itu harus di tinjau kembali keputusannya. Namun, pimpinan SI pada sat itu tetap bersikeras pada apa yang telah diputuskan dalam kongres. Dengan keputusan tersebut maka anggota-anggota SI yang tidak mau keluar dari PKI  dikeluarkan dari tubuh SI. Sekalipun keputusan ini akan mengurangi jumlah anggota, namun pimpinan SI tetap menganggap bahwa keputusan ini merupakan hal terbaik yang harus dilakukan.

Semaun dan para anggota SI yang juga merupakan PKI tidak tinggal diam dengan keputusan ini. Mereka tetap tidak mau menerima hasil kongres dan tidak keluar dari SI. Mereka kemudian membentuk SI tandingan yang di sebut sebagai SI Merah, sedangkan SI yang menerima hasil kongres tersebut dinamakan sebagai SI Putih. SI tandingan ini t idak hanya terjadi ditingkat pusat, melainkan juga samapi ke cabang di daerah-daerah. Pada kongres PKI II di Bandung Maret 1923 dirumuskan secara jelas bahwa mereka menentang secara terang-terangan SI sebagai kekuatan politik, dan mengubah SI merah menjadi Sarekat Rakyat (SR) sebagai organisasi yang berada dibawah PKI. Pemerintah Hindia Belanda melihat bahwa kekuatan komunis sudah mulai berkembang dan semakin menyebabkan ancaman karena aksi yang dilakukan anggotanya. Kemudian pemerintah Hindia Belanda mengusir tokoh-tokoh komunis seperti Muso, Alimin, Darsono dan Semaun. Tokoh-tokoh ini menyebar ke Asia hingga Eropa. Namun tidak lama kemudian pada akhir tahun 1923 tokoh-tokoh komunis tersebut kembali ke Hindia Belanda.

Ternyata kepergian mereka meninggalkan Hindia Belanda telah mengakibatkannya kelemahan dalam kepemimpinan Perserikatan Komunis di Hindia Belanda. Untuk kembali membangkitkan kekuatan komunis tersebut, Semaun dan Darsono mencoba untuk menghimpun kembali kekuatan dengan melakukan  kongres pada Juni 1924 di Jakarta. Pada saat itulah nama Partai Komunis Indonesia (PKI) resmi di gunakan. Kongres tersebut juga memutuskan untuk memindahkan markas besar PKI dari  Semarang ke Batavia (sekarang Jakarta) dan memilih pimpinan baru yaitu Alimin, Musso, Aliarcham, Sardjono dan Winanta. Dalam kongres tersebut juga diputuskan untuk membentuk cabang cabang di Padang, Semarang, dan Surabaya.

Komunisme ternyata telah berhasil memecah bela SI kedalam dua bagian. Bagian pertama adalah mereka yang mempunyai pandangan komunis dalam tubuh SI dan bagian yang kedua adalah mereka yang menentang ajaran komunisme dalam tubuh SI. Sekalipun akibat ulah dari komunisme SI mengalami penurunan dalam jumlah anggotanya, tapi bagi pimpinan SI hal ini harus dilakukan untuk menyelamatkan SI itu sendiri. Atas peristiwa tersebut SI dan PKI pun menjadi dua kekuaan politik yang berdiri sendiri dan saling melakukan persaingan dalam mendapatkan simpati/dukungan dari rakyat.

2.5  Pergerakan PKI Pada Masa PraKemerdekaan.

2.5.1. Pergolakan PKI 1926/1927

Pergolakan yang dilakukan PKI pada tahun 1926 merupakan sebuah bukti bahwa apa yang terjadi pada kongres tahun 1924 di kota gede Yogyakarta tidak mendapatkan kesepakatan bersama dari  pimpinan pimpinan PKI pada saat itu. Setelah dilangsungkannya kongres di Yogyakarta tersebut, PKI memerintahkan untuk mengadakan mogok besar-besaran dikalangan para buruh. Hal ini sontak saja membuat pemerintah Hindia Belanda berang melihat ulah PKI tersebut. Pemerintah Hindia kemudian mengambil tindakan tegas terhadap tokoh-tokoh PKI dan semakin memperketat aktivitas mereka. Pada tahun 1925 Darsono diusir keluar Indonesia, Aliarcham dibuang ke Digul, sedangkan Alimin, Musso dan Tan Malaka terpaksa menyingkir ke luar negeri. Sementara tokoh tokoh PKI yang masih bebas seperti Budisutjitro, Sugono, Suprodjo, dan lainnya mengadakan rapat di Prambanan untuk membicarakan keberadaan PKI yang semakin mengancam keberadaannya karena aktivitasnya telah dibatasi oleh pemerintah Hindia Belanda.

Pada bulan Januari 1926 ternyata beberapa tokoh PKI seperti Alimin, Sanusi, Subakat, Winanta, Musso, Sugono dan Budisutjitro telah berkumpul di Singapura untuk membicarakan keputusan Prambanan. Kemudian mereka memutuskan Alimin untuk menemui Tan Malaka dan membicarakan  mengenai keputusan Prambanan tersebut. Pada bulan Maret 1926, keputusan itu diterima oleh Tan Malaka dari Alimin di Manila. Tan Malaka kemudian menilai bahwa keputusan tersebut terlalu tergesa-gesa untuk dilakukan. Ia menilai bahwa pada saat itu PKI belum  tepat untuk melakukan pemberontakan, dengan alasan PKI belum solid dan basis massa yang belum sepenuhnya sadar dan revolusioner.

Kemudian Tan Malaka menjelaskan bahwa keputusan itu tidak  legitimate  karena belum  dibicarakan dalam Komintern. Tan Malaka menjelaskan bahwa PKI merupakan salah satu anggota Komintern, jadi setiap pergerakan yang akan dilakukan harus terlebih dahulu dibahas dalam Komintern. Pada kesempatan itu Tan Malaka lima alasan sebagai nasehat politik, yaitu;

1.      Putusan Prambanan tersebut diambil tergesa gesa, kurang dipertimbangkan secara matang

2.      Putusan semata-mata karena provokasi dari pihak lawan dan tidak seimbang dengan kekuatan sendiri

3.      Putusan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat dan Komintern

4.      Tidak cocok dengan taktik dan strategi komunis, ialah massa aksi

5.      Kalaupun dilaksanakan akibatnya akan sangat banyak merugikan pergerakan rakyat di Indonesia.

Kemudian diantara Alimin dan Tan Malaka pun terjadi dialog mengenai pergerakan yang dilakukan oleh PKI. Namun tetap saja Tan Malaka menolak rencana pemberontakan yang akan dilakukan tersebut. Tan Malaka mengungkapkan ada empat alasan mengapa dia menolak keputusan prambanan tersebut; pertama, Tan Malaka melihat bahwa sebelumnya melakukan sebuah pergolakan hendaknya sebelumnya partai harus dipastikan dalam keadan yang baik, kedua; kekuatan buruh dan tani belum terorganisir dengan baik, ketiga, masih banyak rakyat dan kekuatan lain yang belum terikat dengan PKI, dan keempat, kekuatan imperialis di sekitar Indonesia (Inggris, AS, Prancis) masih terlalu kuat dan bersatu. Dengan kata lain Tan Malaka menolak pemberontakan ini dilakukan. Namun Tan Malaka melihat bahwa Komintern merupakan pihak yang paling mempunyai otoritas dalam hal ini karena PKI merupakan salah satu instrumen Komintern.

 Mendengar penolakan yang dilontarkan oleh Tan Malaka tersebut, maka Alimin kembali lagi ke Singapura untuk membahs kembali Keputusan Prambanan tersebut. Sesampainya di Singapura Alimin menceritakan penolakan beserta alasan yang diberikan Tan Malaka  kepada tokoh-tokoh PKI di Singapura. Alimin tidak menghiraukan saran dari Tan Malaka dan memutuskan untuk pergi ke Moskow bersama Musso untuk meminta pendapat dari Komintern. Salah satu tokoh PKI Sardjono yang masih tinggal di Singapura mengirim surat kepada Tan Malaka dengan pernyataan  menolak saran dari Tan Malaka tersebut dan tetap akan melakukan pemberontakan (Revolusi). Hal ini menjadi tanda bahwa PKI tidak lagi sejalan dengan Tan Malaka. Dan ini menjadi awal lepasnya Tan Malaka dari sebuah partai yang dulu diharapkan dapat menjadi pelopor bagi pembebasan bangsanya dari penjajahan.

Setelah Alimin dan Musso sampai di Moskow mereka langsung mendiskusikan keputusan Prambanan tersebut kepada Stalin dan Trostky. Secara terang-terangan Stalin menolak rencana tersebut karena memang ia menilai hal tersebut merupakan sesuatu yang tergesa-gesa dan tanpa perhitungan yang matang. Stalin pun memerintahkan mereka kembali ke Indonesia. Musso menolak keputusan Stalin tersebut dan berinisiatif untuk tetap melakukan pemberontakan tersebut. Namun sebelum Musso dan Alimin sampai ke Indonesia pergolakan sudah meletus.

Pada saat subuh dan fajar menyingsing tepatnya tanggal 12 Nopember 1926 PKI melancarkan perampasan gedung telepon dan telegraf di Batavia (Jakarta). Namun pada pagi harinya tentara Belanda berhasil merebut kembali bangunan strategis tersebut, dan dalam waktu sepekan saja pemberontakan 1926 tersebut dapat diakhiri.Jelas saja pemberontakan ini dapat dipatahkan dengan mudah, karena kurang perencanaan yang matang dan musuh masih terlalu kuat. Atas pemberontakan ini, pemerintah Hindia Belanada semakin mengawasi gerak-gerik para tokoh-tokoh komunis dan bahkan Belanda menangkap sebanyak 13.000 aktivis kiri pada saat itu dan menahan sebagian dari mereka sesuai dengan  undang-undang yang melarang adanya pemberontakan. Sedangkan tokoh-tokoh PKI menjadi buronan bagi pemerintah Hindia Belanda sehingga banyak dari mereka harus melarikan diri ke luar negeri.

2.5.2 Pergolakan PKI 1928 (Gerakan PKI Ilegal)

Setelah pemberontakan yang dilakukan PKI pada tahun 1926/1927 gagal, para tokoh tokoh komunis pun semakin rawan keberadaannya di Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda pada saat itu memerintahkan secara khusus Polisi Pengawasan Politik untuk menangkap para kader PKI. Hal tersebut jelas membuat PKI menjadi tercerai-berai karena mereka selalu mendapat pengawasan ketat dari pemerintah Hindia Belanda pada saat itu. Para pimpinan PKI pun hanya dapat melakukan pertemuan di luar negeri saja, sehingga kekuatan yang mereka susun tidak terbangun secara optimal.

Kebangkitan PKI mulai terlihat setelah di laksanakannya kongres keenam Komintern pada bulan Agustus 1928 di Moskow. Agenda yang dibahas paada saat itu masih seputar mengenai kegagalan kudeta yang dilakukan di Indonesia. Tokoh tokoh PKI yang hadir pada saaat itu seperti Musso, Tan Malaka dan Semaun mengalami perselisihan sepanjang jalannya kongres. Hal ini tidak terlepas dari pembahasan mengenai tindakan dari keputusan Prambnan tersebut. Perselisihan ini membuat kepemimpinan didalam tubuh PKI menjadi terpecah.

Karena telah mencoba untuk melakukan pemberontakan, pemerintah Hindia Belanda menjadi sangat anti dengan nama komunisme. Gerakan yang dilakukan PKI baru mulai nampak ketika terbentuknya Sarekat Kaum Buruh Indonesia (SKBI).  Namun aktivitas mereka di curigai, dan beberapa tokoh SKBI ditangkap oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1932 mereka bangkit kembali dengan membentuk komite persatuan  yang di sistemnya lebih dikenal dengan nama Organisasi Sel. Komite ini terus menerus melakukan tuntutan revolusionernya antara lain menuntut pembebasan bagi tahanan-tahanan politik yang selama ini ditangkap oleh pemerintah Hindia Belanda.

Pada tahun 30-an muncul kekutan baru didunia yang dipelopori oleh Musolini di Italia dan Hitler di Jerman. Kedua kekutan ini bergerak dbawah bendera yang sama yaitu fasisme. Kekutan fasisme pada saat itu begitu kuat, sehingga Stalin menyadari bahwa kekuatan yang dimiliki oleh fasisme jauh lebih berbahaya daripada kapitalisme. Untuk itu komunisme mengambil langkah untuk menghentikan sementara perlawaannya terhadap kapitalisme dan sebaliknya justru menggalang kekuatan bersama kaum kapitalis yang anti fasis untuk kemudian melawan kekuatam fasis tersebut. Perubahan sikap ini tidak terlepas dari terpilihnya pimpinan baru komintern yaitu Dimitrov pada tahun 1935.

Komunisme telah mempunyai garis perjuangan yang berbeda, sehingga tokoh komunis yang pada saat itu masih berada di Moskow dikirim pulang ke negaranya masing masing. Musso diperintahkan oleh Komintern untuk pulang ke Indonesia dan menjelaskan perubahan garis perjuangan komunisme tersebut. Pada tahun yang sama, Musso sudah sampai di Surabaya, dan menggalang kekuatan bersama tokoh tokoh PKI yang masih melakukan pergerakan dibawah tanah seperti Sudjono, Pemudji, Sukindar dan lain lain. Musso kemudian membentuk Central Comite (CC) PKI baru pada tahun 1935. Kelompok ini bertugas untuk membina tokoh-tokoh muda menjadi orang yang mempunyai pemikiran revolusioner. Tokoh yang kemudian dapat dijaring oleh kelompok ini adalah Tan Liang Djie dan Mr. Amir Sjarifuddin.

Pergerakan PKI mengalami perubahan sejak kembalinya Musso dari Moskow. Kader kader PKI justru disarankan untuk masuk kedalam Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), sebuah gerakan yang terbentuk pada tahun 1937 dan memiliki azas kooperasi dengan pemerintah Belanda. Hal ini dikarenakan sikap Gerindo yang dengan tegas anti-fasis sehingga menarik perhatian dari kader-kader PKI. Didalam Gerindo inilah kemudian kader-kader PKI (terutama kader muda) di berikan  pemahaman mendalam mengenai doktrin komunisme. Pemuda pemuda yang terkader pada saat itu antara lain adalah Wikana, D.N. Aidit, Sudisman, Anwar Kadir, Tjugito dan Mr. Joseph.

PKI melihat bahwa kekuatan fasisime telah sampai ke Asia yang dibawah oleh jepang. Jepang mulai menaruh perhatiannya ke Indonesia yang pada saat itu masih berada dibawah pimpinan pemerintah Hindia Belanda. Para tokoh PKI telah melihat situasi tersebut dan memutuskan untuk membentuk gerakan anti fasis (Geraf). Geraf dipimpin langsung oleh Amir Sjarifuddin, Pamudji dan Sukayat dan menempatkan dr. Tjipto Mangunkusumo sebagai dewan penasehatnya. Apa yang telah menjadi kekhawatiran PKI selama ini ternyata menjadi kenyataan. Kekuatan fasis Jepang berhasil mengalahkan Belanda dan menjadi penguasa baru di Indonesia.

Setelah Jepang berhasil menguasai Indonesia, Amir Sjarifuddin mulai melakukan perlawanan bersama kelompoknya. Namun gerakan yang dilakukan lebih sering bersifat organisai bawah tanah. Namun pada Februari 1943 ia bersama 300 anggota kelompoknya berhasil ditangkap oleh Jepang. Amir Sjarifuddin dan pimpinan Geraf lainnya seperti Sukayat, Pamudji, Abdulrachim, dan Abdul Azis dijatuhi hukuman mati oleh pemerintahan Jepang. Atas permintahan Soekarno-Hatta hukuman Amir Sjarifuddin diubah  menjadi hukuman seumur hidup. Sementara pimpinan Geraf lainnya tetap menjalani hukuman mati.

Memasuki era pemerintahan yang dikuasai oleh Jepang, gerakan komunisme di Indonesia jelas terang-terangan telah berubah haluan. Komunis yang sebelumnya selalu melakukan perlawanan terhadap kapitalis pemerintah Hindia Belanda kini justru menempatkan Jepang sebagai musuh baru dalam perjuangan politiknya. Hal ini tidak terlepas dari apa yang terjadi di eropa saat itu, dimana Moskow sebagai pusat kekuatan komunis di dunia mulai merasa terancam dengan keberadaan Italia dan Jerman yang bersatu dalam kekuatan fasis. Hal ini membuat Komintern mengambil kebijakan untuk memerintahkan seluruh anggotanya (termasuk PKI) untuk melakukan perlawanan terhadap fasisme. Bahkan Komunisme menjalin kerjasama dengan kapitalisme yang anti-fasis untuk melawan kekuatan fasisme itu sendiri. Hal ini disebabkan, karena tokoh Komitern di Moskow menganggap bahwa kekuatan fasisme jauh lebih berbahaya dari kekuatan kapitalisme itu sendiri, sehingga perlawanan terhadap fasisime tersebut harus diperoritaskan terlebih dahuluh.

 

DAFTAR PUSTAKA

Pringgodigdo SH, A. K , 1994, "Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia", Jakarta: Dian Rakyat Anggota IKAPI..

Kartodirdjo, Sartono, 1993,  Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme Jilid II. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Indra, Muhammad Ridwan Dr, 1987 , "Peristiwa Peristiwa Di Sekitar Proklamasi 17-8-1945", Sinar Grafika.

P.D Marwati dan Nugroho Notosusanto, 1993, "Sejarah Indonesia V", Balai Pustaka: Jakarta.

Suwondo, Bambang, "Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Kebangkitan Jawa Timur" 2007, Depdiknas.

No comments:

Post a Comment