Halaman

Indonesia Masa Demokrasi Terpimpin ( Dekrit Presiden 5 Juli 1959 )


Yedija Yosafat Tarigan / SI V 

Demokrasi terpimpin adalah sebuah sistem demokrasi dimana seluruh keputusan dan pemikiran berpusat pada pemimpin negara. Konsep sistem Demokrasi Terpimpin pertama kali diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam pembukaan sidang konstituante pada tanggal 10 November 1956. Masa demokrasi terpimpin (1957-1965) dimulai dengan tumbangnya  demokrasi parlementer atau demokrasi liberal yang ditandai pengunduran Ali Sastroamidjojo sebagai perdana menteri.

Pelaksanaan sistem Demokrasi Terpimpin, sebenarnya merupakan wujud dari obsesi Presiden Soekarno yang dituangkan dalam Konsepsinya pada tanggal 21 Februari 1957, yang isinya mengenai penggantian sistem Demokrasi Liberal menjadi Demokrasi Terpimpin, pembentukan Kabinet Gotong Royong, dan pembentukan Dewan Nasional.
Ketegangan Ketegangan Politik terjadi pasca Pemilu 1955 membuat situasi politik tidak menentu . Kekacauan politik ini membuat keadaan Negara menjadi dalam keadaan darurat. Hal ini diperparah dengan Dewan konstituante yang mengalami kegagalan dalam menyusun konstitusi baru , sehingga negate Indonesia tidak mempunyai pijakan hokum yang mantap
Pemilu yang pertama diselenggarakan pada masa Kabinet Burhanudin Harahap tahun 1955, di antaranya adalah untuk memilih anggota Konstituante yang bertugas merumuskan UUD baru.  Namun dalam kenyataannya sampai tahun 1959 Konstituante tidak pernah berhasil merumuskan Undang Undang Dasat baru . Keadaan itu mengguncangkan setuasi politik Indonesia pada masa itu. Bahkan,masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuannya tercapai . Oleh sebab itu , sejak tahun 1956 kondisi dan situasi politik negara Indonesia semakin buruk dan kacau . Keadaan yang semakin bertambah kacau ini bias membahayakan dan mengancam keutuhan Negara dan bangsa Indonesia. Suasana semakin bertambah parah panas kerana adanya ketegangan yang diikuti keganjilan keganjilan sikap dari setiap partai politik yang berada di konstituante . Rakyat sudah tidak sabar lagi dan menginginkan agar pemerintah mengambil tindakan yang bijaksana untuk mengatasi sidang Konstituante. Namun, Konstituante tidak dapat diharapkan lagi
Kegagalan Konstituante untuk melaksanakan sidang-sidangnya untuk membuat undang-undang dasar baru ,menyebabkan Negara Indonesia dilanda kekalutan konstitusional . Undang Undang Dasar yang menjadi hokum pelaksanaan pemerintahan Negara belum berhasil dibuat , Sedangkan Undang Undang Dasar Sementara ( UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidaklagi sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia.  Untuk mengatasi situasi yang tidak menentu itu, pada bulan Februari 1957 Presiden Soekarno mengajukan gagasan yang disebut dengan Konsepsi Presiden.
Dalam situasi dan kondisi seperti itu, beberapa tokoh partai politik mengajukan usul kepada Presiden Soekarno agar mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 dan pembubaran Konstituante. Pemberlakuan kembali Undang-undang Dasar 1945 merupakan langkah terbaik untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional. Oleh karena itu, pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang berisi sebagai berikut:
• Pembubaran Konstituante,
• Berlakunya kembali UUD 1945 dan idak berlakunya UUDS 1950
• Pembentukkan MPRS dan DPAS.

Sistem Demokrasi Terpimpin
Lima hari setelah Dekrit Presiden, Kabinet Karya dibubarkan dan pada tanggal 09 Juli 1959 digantik dengan Kabinet Kerja. Dalam Kabinet ini Presiden Soekarno bertindak selaku Perdana Menteri, sedangkan Ir. Djuanda menjadi Menteri Pertama dengan dua orang wakilnya Dr. Leimena dan Dr. Subandrio. Program kabinet meliputi penyelenggaraan keamanan dalam negeri, pembebasan Irian Barat, dan melengkapi sandang pangan rakyat.
Setelah terbentuknya kabinet pada 22 Juli 1959, Presiden Soekarno membentuk Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang diketahui oleh Presiden dengan Penpres no. 3 tahun 1959 dengan 45 orang anggota yang terdiri dari 12 wakil golongan politik, 8 orang utusan/ wakil daerah, 24 orang wakil golongan karya, dan 1 orang wakil ketua.
Dewan ini berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah (pasal 16 ayat 2 UUD 19450. Para anggota DPA dilantik pada tanggal 15 Agustus 1959. Pada upacara peringatan hari proklamasi 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno mengucapkan pidato yang bersejarah yamh berjudul " Penemuan kembali revolusi kita" pidato tesebut merupakan penjelasan dan pertanggungjawaban Presiden atas dekrit 5 Juli 1959 serta garis kebijakan Presiden Soekarno dalam mengenalkan sistem demokrasi terpimpin.
            Dalam sidangnya pada bulan September 1959, DPA dengan suara bulat mengusulkan kepada pemerintah agar pidato Presiden Soekarno tersebut dijadikan garis- garis besar haluan negara. Usul DPA itu diterima baik oleh Presiden Soekarno. Rumusan DPA atas pidato tersebut menjadi garis- garis besar haluan negara berjudul "Manifesto politik Republik Indonesia" disingkat Manipol. Selanjutnya dengan penetapan Presiden no.2 tahun 1959 tanggal 31 Desember 1959 dibentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), yang anggota- anggotanya ditunjuk dan diangkat oleh Presiden dengan beberapa persyaratan, yaitu setuju kembali ke UUD 1945, setia kepada perjuangan RI, dan setuju dengan Manifesto Politik. Berdasarkan UUD 1945, keanggotaan MPR terdiri atas anggota- anggota DPR ditambah dengan utusan- utusan dari daerah dan wakil- wakil golongan.
Tindakan Presiden Soekarno selanjutnya dalam menegakkan Demokrasi Terpimpin adalah mendirikan lembaga- lembaga negara baru, yaitu Front Nasional yang dibentuk melalui penetapan Presiden no. 13 tahun1959. Dalam penetapan itu disebutkan, Front Nasional adalah suatu organisasi massa yang memperjuangkan cita- cita proklamasi dan cita- cita yang terkandung dalam UUD 1945. Front Nasional itu diketuai oleh Presiden Soekarno.
Dalam regrouping pertama kabinet yang berdasarkan keputusan Presiden no. 94 tahun 1962, dilakukan pengintergrasian lembaga- lembaga tertinggi negara dengan eksekutif, yaitu MPRS, DPR GR, DPA, MA, dan Dewan Perancang Nasional. Pimpinan lembaga- lembaga negara tersebut diangkat menjadi Menteri dan ikut serta dalam sidang- sidang cabinet tertentu, yang selanjutnya ikut merumuskan dan mengamankan kebijakan pemerintahan dalam lembaga masing- masing.
Selain lembaga- lembaga tersebut, Presiden juga membentuk Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR) berdasarkan penetapan Presiden no. 4 tahun 1962, MPRS beserta stafnya merupakan badan pembantu Pemimpin Besar Revolusi (PBR) dalam mengambil kebijakan khusus dan darurat untuk menyelesaikan revolusi. Keanggotaan MPPR terdiri dari sejumlah Menteri yang mewakili MPRS dan DPR GR, dapertemen, angkatan- angkatan, dan para pemimpin partai politik Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Dalam perkembangan selanjutnya kekuatan politik pada waktu itu terpusat ditangan presiden Soekarno dengan TNI AD dan PKI disampingnya.

Pengaruh Dekrit Presiden

Tindakan yang dilakukan oleh Presiden Soekarno dengan menge­luarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 telah memenuhi harapan rakyat. Namun demikian, harapan itu akhirnya hilang, karena ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. UUD 1945 yang menjadi dasar hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan hanya menjadi slogan-slogan kosong belaka. Hal ini terlihat dengan jelas dari masalah-masalah berikut ini,

Kedudukan Presiden Berdasarkan UUD 1945, kedudukan Presiden berada di bawah MPR. Akan tetapi, pada kenyataannya MPRS tunduk kepada Presiden. Presiden menentukan apa yang harus diputuskan oleh MPRS. Hal ini terlihat dengan jelas dari tindakan presiden ketika mengangkat ketua MPRS yang dirangkap oleh wakil perdana menteri III dan meng­angkat wakil-wakil ketua MPRS yang dipilih dari pimpinan partai-partai besar (PNI, NU, dan PKI) serta wakil ABRI yang masing-masing diberi kedudukan sebagai menteri yang tidak memimpin departemen.

Pembentukan MPRS Presiden Soekarno juga membentuk MPRS ber-dasarkan Penetapan Presiden No. 2 tahun 1959. Tindakan yang dilakukan oleh Presiden Soekarno itu bertentangan dengan UUD 1945, karena dalam UUD 1945 telah ditetapkan bahwa pengangkatan anggota MPR sebagai lembaga tertinggi negara hams melalui pemilihan umum, sehingga partai-partai yang terpilih oleh rakyat memiliki anggota-anggotanya yang duduk di MPR.
Manifesto Politik Republik Indonesia Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1959 berjudul "Penemuan Kembali Revolusi Kita", dikenal dengan Manifesto Politik Republik Indonesia. Atas usulan dari DPA yang bersidang tanggal 23-25 September 1959 agar Manifestio Politik Republik Indoneia itu dijadi-kan Garis-garis Besar Haluan Negara. Inti Manifesto Politik itu adalah USDEK (Undang Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Keperibadian Indonesia).

Pembubaran DPR hasil pemilu dan pembentukkan DPR-GR Anggota DPR hasil pemilu tahun 1955 mencoba menjalankan fungsinya dengan menolak RAPBN yang diajukan oleh Presiden. Sebagai akibat dari penolakan itu, DPR hasil pemilu dibubarkan dan diganti dengan pembentukkan DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong). Padahal langkah ini bertentangan dengan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Presiden tidak dapat membubarkan DPR.

Keanggotaan dalam DPR-GR diduduki oleh tokoh-tokoh beberapa partai besar, seperti PNI, NU, dan PKI. Ketiga partai ini dianggap telah mewakili seluruh golongan seperti golongan nasionalis, agama, dan komunis yang sesuai dengan konsep Nasakom. Dalam pidato Presiden Soekarno pada upacara pelantikan DPR-GR pada tanggal 25 Juni 1960 disebutkan tugas DPR-GR adalah melaksanakan Manifesto Politik, me-realisasikan Amanat Penderitaan Rakyat dan melaksanakan Demokrasi Terpimpin. Selanjutnya, untuk menegakkan Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno mendirikan lembaga-lembaga negara lainnya, misalnya Front Nasional yang dibentuk melalui Penetapan Presiden No. 13 tahun 1959.

Masuknya pengaruh PKI Konsep Nasakom memberi peluang kepada PKI untuk memperluas dan mengembangkan pengaruhnya. Secara perlahan dan hati-hati, PKI berusaha untuk menggeser kekuatan-kekuatan yang yang berusaha menghalanginya. Sasaran PKI selanjutnya adalah berusaha menggeser kedudukan Pancasila dan UUD 1945 digantikan menjadi komunis. Setelah itu, PKI mengambil alih kedudukan dan kekuasaan pemerintahan yang sah. Untuk mewujudkan rencananya, PKI memengaruhi sistem Demokrasi Terpimpin. Hal ini terlihat dengan jelas bahwa konsep terpimpin dari Presiden Soekarno yang berporos nasionalis, agama, dan komunis (Nasakom) mendapat dukungan sepenuhnya dari pimpinan PKI, D.N. Aidit. Bahkan melalui Nasakom, PKI berhasil meyakinkan Presiden Soekarno bahwa Presiden Soekarno tanpa PKI akan menjadi lemah terhadap TNI.

Arah politik luar negeri Indonesia terjadi penyimpangan dari politik luar negeri bebas-aktif menjadi condong pada salah satu poros. Pada masa itu diberlakukan politik konfrontasi yang diarahkan pada negara-negara kapitalis, seperti negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Politik konfrontasi dilandasi oleh pandangan tentang Nefo (New Emerging Forces) dan Oldefo (Old Established Forces). Nefo merupakan kekuatan baru yang sedang muncul yaitu negara-negara progresif revolusioner (termasuk Indonesia dan negara-negara kornunis umumnya) yang anti imperialisme dan kolonialisme. Sedangkan Oldefo merupakan kekuatan lama yang telah mapan yakni negara-negara kapitalis yang neokolonialis dan imperialis (Nekolim).

Bentuk perwujudan poros anti imperialis dan kolonialis itu dibentuk poros Jakarta - Phnom Penh - Hanoi - Peking - Pyong Yang. Akibatnya ruang gerak diplomasi Indonesia di forum internasional menjadi sempit, karena berkiblat ke negera-negara komunis. Selain itu, pemerintah juga menjalankan politik konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini disebabkan pemerintah tidak setuju dengan pembentukkan negara federasi Malaysia yang dianggap proyek neokolonialisme Inggris yang membahayakan Indonesia dan negara-negara blok Nefo. Dalam rangka konfrontasi itu, Presiden Soekarno mengumumkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada tanggal 3 Mei 1964 yang isinya sebagai berikut :
•  Perhebat Ketahanan Revolusi Indonesia.
•  Bantu perjuangan rakyat Malaysia untuk membebaskan diri dari Nekolim Inggris.
Pelaksanaan Dwikora itu diawali dengan pembentukan Komando Siaga dipimpin Marsekal Omar Dani. Komando Siaga ini bertugas untuk mengirimkan sukarelawan ke Malaysia Timur dan Barat. Hal ini menunjuk-kan adanya campur-tangan Indonesia pada masalah dalam negeri Malaysia.

DAFTAR PUSTAKA
Poesponegoro , Marwati Djoened . 2008 Sejarah Nasional Indonesia V . Jakarta : Balai Pustaka
Achmadi, Achmad . 2009 Indonesia dari Masa ke Masa . Jakarta : Kompas Gramedia
Abdullah, Taufik. Sejarah Lokal di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 2010

No comments:

Post a Comment