Siska Maulana Putri /SR
Kabupaten Kampar dengan luas lebih kurang 27.908,32 km² merupakan daerah yang terletak antara 1°00'40" Lintang Utara sampai 0°27'00" Lintang Selatan dan 100°28'30" – 101°14'30" Bujur Timur. Batas-batas daerah Kabupaten Kampar adalah sebagai berikut :
-Utara
Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten Bengkalis
-Selatan
Kabupaten Kuantan Singingi
-Barat
Kabupaten Lima Puluh Kota (Provinsi Sumatera Barat)
-Timur
Kabupaten Kampar dilalui oleh dua buah sungai besar dan beberapa sungai kecil, di antaranya Sungai Kampar yang panjangnya ± 413,5 km dengan kedalaman rata-rata 7,7 m dan lebar rata-rata 143 meter. Seluruh bagian sungai ini termasuk dalam Kabupaten Kampar yang meliputi Kecamatan XIII Koto Kampar, Bangkinang, Bangkinang Barat, Kampar, Siak Hulu, dan Kampar Kiri. Kemudian Sungai Siak bagian hulu yakni panjangnya ± 90 km dengan kedalaman rata-rata 8 – 12 m yang melintasi kecamatan Tapung. Sungai-sungai besar yang terdapat di Kabupaten Kampar ini sebagian masih berfungsi baik sebagai sarana perhubungan, sumber air bersih, budi daya ikan, maupun sebagai sumber energi listrik (PLTA Koto Panjang).
Kabupaten Kampar pada umumnya beriklim tropis, suhu minimum terjadi pada bulan November dan Desember yaitu sebesar 21 °C. Suhu maksimum terjadi pada Juli dengan temperatur 35 °C. Jumlah hari hujan pada tahun 2009, yang terbanyak adalah di sekitar Bangkinang Seberang dan Kampar Kiri.[1]
Jumlah penduduk Kampar 191 jiwa/km², 158 jiwa/km², 154 dan 131 jiwa/km². Sedangkan dua kecamatan yang relatif jarang penduduknya yaitu Kecamatan Kampar Kiri Hulu dengan kepadatan 9 jiwa/km² dan Kampar Kiri Hilir dengan 13 jiwa/km². Jumlah penduduk Kabupaten Kampar tahun 2010 tercatat 688,204 orang, yang terdiri dari penduduk laki-laki 354,836 jiwa dan wanita 333,368 jiwa. Ratio jenis kelamin (perbandingan penduduk laki-laki dengan penduduk perempuan) adalah 109. Penduduk Kampar adalah orang Minangkabau yang kerap menyebut diri mereka sebagai Ughang Ocu, tersebar di sebagian besar wilayah Kampar dengan Persukuan Domo, Malayu, Piliong/Piliang, Mandailiong, Putopang, Caniago, Kampai, Bendang, dll. Secara sejarah, etnis, adat istiadat, dan budaya mereka sangat dekat dengan masyarakat Minangkabau.[5] khususnya dengan kawasan Luhak Limopuluah. Hal ini terjadi karena wilayah Kampar baru terpisah dari Ranah Minang sejak masa penjajahan Jepang pada tahun 1942. Menurut H.Takahashi dalam bukunya Japan and Eastern Asia, 1953, Pemerintahan Militer Kaigun di Sumatera memasukkan Kampar ke dalam wilayah Riau Shio sebagai bagian dari strategi pertahanan teritorial militer di pantai Timur Sumatera.
Selanjutnya terdapat juga sedikit etnis Melayu yang pada umumnya bermukim di sekitar perbatasan Timur yang berbatasan dengan Siak dan Pelalawan. Diikuti oleh etnis Jawa yang sebagian telah menetap di Kampar sejak masa penjajahan dan masa kemerdekaan melalui program transmigrasi yang tersebar di sentra-sentra pemukiman transmigrasi. Didapati pula penduduk beretnis Batak dalam jumlah yang cukup besar bekerja sebagai buruh di sektor-sektor perkebunan dan jasa lainnya. Selain itu dalam jumlah yang signifikan para pendatang bersuku Minangkabau lainnya asal Sumatera Barat yang umumnya berprofesi sebagai pedagang dan pengusaha.
Kecamatan yang paling padat penduduknya adalah Kecamatan Kampar yaitu 333 jiwa/km², diikuti oleh Kecamatan Kampar Utara 226 jiwa/km². Selain itu lima kecamatan yang agak padat penduduknya berada di Kecamatan Rumbio Jaya, Bangkinang, Bangkinang Barat, Perhentian Raja, dan Kampar Timur, masing –masing 216 jiwa/km²,
Pada awalnya Kampar termasuk sebuah kawasan yang luas, merupakan sebuah kawasan yang dilalui oleh sebuah sungai besar, yang disebut dengan Sungai Kampar. Berkaitan dengan Prasasti Kedukan Bukit, beberapa sejarahwan menafsirkan Minanga Tanvar dapat bermaksud dengan pertemuan dua sungai yang diasumsikan pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Sungai Kampar Kiri. Penafsiran ini didukung dengan penemuan Candi Muara Takus di tepian Sungai Kampar Kanan, yang diperkirakan telah ada pada masa Sriwijaya.[2]
Berdasarkan Sulalatus Salatin, disebutkan adanya keterkaitan Kesultanan Melayu Melaka dengan Kampar. Kemudian juga disebutkan Sultan Melaka terakhir, (Mahmud Shah dari Melaka), Sultan Mahmud Shah setelah jatuhnya Bintan tahun 1526 ke tangan Portugis, melarikan diri ke Kampar, dua tahun berikutnya mangkat dan dimakamkan di Kampar.[3] Dalam catatan Portugal, disebutkan bahwa di Kampar waktu itu telah dipimpim oleh seorang raja, yang juga memiliki hubungan dengan penguasa Minangkabau. Tomas Dias dalam ekspedisinya ke pedalaman Minangkabau tahun 1684, menyebutkan bahwa ia menelusuri Sungai Siak kemudian sampai pada suatu kawasan, pindah dan melanjutkan perjalanan darat menuju Sungai Kampar. Dalam perjalanan tersebut ia berjumpa dengan penguasa setempat dan meminta izin menuju Pagaruyung.
Tidak hanya itu Kampar juga memiliki sejarah panjang dengan Limo kotonya, dimana daerah ini, dulunya adalah bagian dari persukuan Minangkabau di Sumatera Barat, semasa pemerintahan system adat kenegerian yang dipimpin oleh datuk atau ninik mamak, pemerintahan Kampar dikenal dengan sebutan "Andiko 44" yang termasuk kedalam wilayah pemerintahan Andiko 44 adalah XIII Koto Kampar, VIII Koto Setingkai (Kampar Kiri), daerah Limo Koto (Kuok, Bangkinang, Salo, Airtiris dan Rumbio), X Koto di Tapung ( Tapung Kiri VII dan Tapung Kanan III), III Koto Sibalimbiong (Siabu), Rokan IV Koto dan Pintu Rayo. Yang pada awalnya merupakan susunan dari 50 kaum rombongan perpindahan dari Pariangan Padangpanjang menuju Kumbuah Nan Bapayo dilereng Timur menalalui Lasi, Gunung dan Tanjuang Alam sekarang, hingga sampai pada suatu tempat di tengah padang yaitu disebut "Padang Ribu-ribu" di bumbuang baalah panjang.
Bermalam rombongan yang 50 Kaum disitu. Enatah apa sebabnya 5 diantara kaum itu esok paginya hilang dan lama kelamaan rupanya telah membuat tempat kediaman pada 5 tempat pula yaitu di "Kuok", "Bangkinang", "Salo", "Rumbio", dan "Air Tiris". Di daerah Kampar itulah pemukiman 5 kaum itu yang disebut Kaum Datuk Mareko Panjang Jangguik dan Kaum Datuak Mareko Putiah Gigi.[4]
Hal ini membuat Kampar dan Minangkabau memiliki kemiripin dari berbagai hal dari Adat istiadat hingga bahasa sehari-hari (bahasa Ocu) hampir mirip dengan Minangkabau dan demikian pula dengan seni budaya, alat musik tradisional (calempong dan Oguong) dan beberapa kebiasaan lainnya juga memiliki kemiripan dengan kebudayaan dan kebiasaan masyarakat Minang kabau.
Sedangkan Pada zaman Belanda pembagian wilayah secara Administrasi dan Pemerintahan masih berdasarkan persekutuan Hukum Adat, yang meliputi beberapa kelompok wilayah yang sangat luas yakni :
1. Desa Swapraja meliputi : Rokan, Kunto Darussalam, Rambah, Tambusai dan Kepenuhan, yang merupakan suatu landscappen atau Raja-raja dibawah district loofd Pasir Pengaraian yang dikepalai oleh seorang Belanda yang disebut Kontroleur (Kewedanaan) Daerah/Wilayah yang masuk Residensi Riau.
2. Wilayah Bangkinang, membawahi Batu Bersurat, Kuok, Salo, Bangkinang dan Air Tiris termasuk Residensi Sumatera Barat, karena susunan masyarakat hukumnya sama dengan daerah Minang Kabau yaitu Nagari, Koto dan Teratak.
3. Desa Swapraja Senapelan/ Pekanbaru meliputi wilayah Kampar Kiri Senapelan dan Swapraja Gunung Sahilan, Singingi sampai Kenegerian Tapung Kiri dan Tapung Kanan termasuk Kesultanan Siak (Residensi Riau).
4. Desa Swapraja Pelalawan meliputi Bunut, Pangkalan Kuras, Serapung dan Kuala Kampar (Residensi Riau), Situasi genting antara Republik Indonesia dengan Belanda saat itu tidak memungkinkan untuk diresmikannya Kabupaten Kampar oleh Pemerintah Propinsi Sumatera Tengah pada bulan Nopember 1948.
Saat itu guna kepentingan militer, Kabupaten Kampar dijadikan suatu Kabupaten, dengan nama Riau Nishi Bunshu (Kabupaten Riau Barat) yang meliputi wilayah Bangkinang dan wilayah pasir Pengaraian. Dengan menyerahnya Jepang ke pihak sekutu dan setelah proklamasi Kemerdekaan, maka kembali Bangkinang ke status semula, yakni Kabupaten Limapuluh Kota, dengan ketentuan dihapuskannya pembagian Administrasi Pemerintahan berturut-turut seperti : cu (Kecamatan), gun (wilayah), bu (kabupaten), Wilayah Bangkinang dimasukkan ke dalam Pekanbaru bun (Kabupaten) Pekanbaru.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, atas permintaan Komite Nasional Indonesia Pusat wilayah Bangkinang dan pemuka-pemuka Masyarakat wilayah Bangkinang meminta kepada Pemerintah Riau dan Sumatera Barat agar wilayah Bangkinang dikembalikan kepada status semula, yakni termasuk Kabupaten Limapuluh Provinsi Sumatera Barat dan terhitung mulai tanggal 1 Januari 1946 wilayah Bangkinang kembali masuk Kabupaten Limapuluh Provinsi Sumatera Barat. Untuk mempersiapkan pembentukan Pemerintah Propinsi dan Daerahlah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri, maka komisariat pemerintahan pusat di Bukit Tinggi menetapkan peraturan tentang pembentukan Kabupaten dalam Propinsi Sumatera Tengah yang bersifat sementara, dengan pembagian 11 (sebelas) Kabupaten, yakni:
1. Kabupaten Singgalang Pasaman dengan Ibukota Bukit Tinggi.
2. Kabupaten Sinamar dengan Ibu Kota Payakumbuh.
3. Kabupaten Talang dengan Ibu Kota Solok.
4. Kabupaten Samudera dengan Ibu Kota Pariaman.
5. Kabupaten Kerinci/Pesisir Selatan dengan Ibu Kota Sei Penuh.
6. Kabupaten Kampar dengan Ibukota Pekanbaru, meliputi Daerah wilayah Bangkinang, Pekanbaru, kecuali Kecamatan Singingi, Kecamatan Pasir Pengaraian dan Kecamatan Langgam.
7. Kabupaten Indragiri dengan Ibu Kota Rengat.
8. Kabupaten Bengkalis dengan Ibu Kota Bengkalis, meliputi wilayah Bengkalis, Bagan Siapi-api, Selat Panjang, Pelalawan kecuali Kecamatan Langgam dan wilayah Siak.
9. Kabupaten Kepulauan Riau dengan Ibu Kota Tanjung Pinang.
10. Kabupaten Merangin dengan Ibu Kota Muara Tebo.
11. Kabupaten Batang hari dengan Ibu Kota Jambi.
Berdasarkan pembagian tersebut, diketahui bahwa tanggal 1 Desember 1948 adalah proses yang mendahului pengelompokan wilayah kabupaten Kampar. Pada Tanggal 1 Januari 1950 ditunjuklah Datuk. Wan Abdul Rahman sebagai Bupati Kampar pertama dengan tujuan untuk mengisi kekosongan pemerintah, karena adanya penyerahan kedaulatan Pemerintah Republik Indonesia hasil Konfrensi Bundar. Tanggal 6 Februari 1950 adalah saat terpenuhinya seluruh persyaratan untuk penetapan hari kelahiran, hal ini sesuai ketetapan Gubernur Sumatera Tengah No. : 3/dc/stg/50 tentang penetapan Kabupaten Kampar, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri. Sejak tanggal 6 Februari 1950 tersebut Kabupaten Kampar telah resmi memiliki nama, batas-batas wilayah, dan pemerintahan yang sah dan kemudian dikukuhkan dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1956 tentang pembentukan otonomi daerah Kabupaten Kampar dan lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Tengah.
Secara yuridis dan sesuai persyaratan resmi berdirinya suatu daerah, dasar penetapan hari jadi Kabupaten Kampar adalah pada saat dikeluarkannya Ketetapan Gubernur Sumatera Tengah No. 3/dc/stg/50 Tanggal 6 Februari 1950, yang kemudian ditetapkan dengan peraturan daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Kampar No. : 02 Tahun 1999 tentang hari jadi daerah tingkat II Kampar dan disahkan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingakt I Riau No. : kpts.06/11/1999 Tanggal 4 Februari 1999 serta diundangkan dalam lembaran Daerah Kabupaten Daerah Tinkat. II Kampar Tahun 1999 No. : 01 Tanggal 5 Februari 1999 Dalam perkembangan selanjutnya sesuai dengan perkembangan dan aspirasi masyarakat berdasarkan undang-undang No. 53 Tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Kampar, Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi dan Kota Batam (lembaran Negara tahun 1999 nomor Kampar dimekarkan menjadi 3 (tiga) kabupaten yaitu Kabupaten Kampar, Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Rokan Hulu. Dua Kabupaten baru tersebut yaitu Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten Pelalawan sebelumnya merupakan wilayah pembantu Bupati wilayah I dan Bupati Wilayah II. [4]
Berdasarkan surat keputusan Gubernur Militer Sumatera Tengah Nomor : 10/GM/STE/49 tanggal 9 Nopember 1949, Kabupaten Kampar merupakan salah satu Daerah Tingkat II di Propinsi Riau terdiri dari Kawedanaan Palalawan, Pasir Pangarayan, Bangkinang dan Pekanbaru Luar Kota dengan ibu kota Pekanbaru. Kemudian berdasarkan Undang-undang No. 12 tahun 1956 ibu kota Kabupaten Kampar dipindahkan ke Bangkinang dan baru terlaksana tanggal 6 Juni 1967. Semenjak terbentuk Kabupaten Kampar pada tahun 1949 sampai tahun 2006 sudah 21 kali masa jabatan Bupati Kepala Daerah. Sampai Jabatan Bupati yang keenam (H. Soebrantas S.) ibu kota Kabupaten Kampar dipindahkan ke Bangkinang berdasarkan UU No. 12 tahun 1956. Adapun faktor-faktor yang mendukung pemindahan ibu kota Kabupaten Kampar ke Bangkinang antara lain : Pekanbaru sudah menjadi ibu kota Propinsi Riau. Pekanbaru selain menjadi ibu kota propinsi juga sudah menjadi Kotamadya.
Mengingat luasnya daerah Kabupaten Kampar sudah sewajarnya ibu kota dipindahkan ke Bangkinang guna meningkatkan efisiensi pengurusan pemerintahan dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Prospek masa depan Kabupaten Kampar tidak mungkin lagi dibina dengan baik dari Pekanbaru. Bangkinang terletak di tengah-tengah daerah Kabupaten Kampar, yang dapat dengan mudah untuk melaksanakan pembinaan ke seluruh wilayah kecamatan dan sebaliknya.
KUTIPAN :
[2] Soekmono, R., (1973 5th reprint edition in 1988), Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed., Yogyakarta: Penerbit Kanisius, ISBN 979-4132290X.
[3] Winstedt, R., (1962), A History of Malaya, Marican.
No comments:
Post a Comment