FITRI YANI AMRINA / SIV
Orde Baru memberikan corak baru bagi kebijakan pendidikan Agama Islam, karena beralihnya pengaruh komunisme ke arah pemurnian Pancasila melalui rencana pembangunan nasional berkelanjutan. Masa Orde Baru disebut juga sebagai Orde Konstitusional dan Orde Pembangunan. Yakni bertujuan membangun manusia seutuhnya dan menyeimbangkan antara rohani dan jasmani untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Selain itu, dalam Pelita IV di bidang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa makin dikembangkan. Dengan semakin meningkatnya dan meluasnya pembangunan, maka kehidupan keagamaan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa harus semakin diamalkan baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial kemasyarakatan. Diusahakan supaya terus bertambah sarana-sarana yang diperlukan bagi pengembangan kehidupan keagamaan dan kehidupan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa termasuk pendidikan Agama Islam yang dimasukkan dalam kurikulum sekolah mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan universitas negeri.
Sistem Pendidikan Indonesia Pada Masa Orde Baru 1966-1998, Di tengah-tengah berkobarnya revolusi fisik, pemerintah RI tetap membina pendidikan agama pada khususnya. Pembinaan pendidikan agama itu secara formal institusional dipercayakan kepada Departemen Agama dan Departemen P & K (Dep Dik Bud). Oleh karena itu, dikeluarkanlah peraturan-peraturan bersama antara kedua departemen tersebut untuk mengelola pendidikan agama di sekolah-sekolah umum (negeri dan swasta). Adapun pembinaan pendidikan agama di sekolah ditangani oleh Departemen Agama sendiri. Pendidikan Agama Islam untuk sekolah umum mulai diatur secara resmi oleh pemerintah pada bulan Desember 1946. Sebelum itu pendidikan agama sebagai pengganti pendidikan budi pekerti yang sudah ada sejak zaman Jepang, berjalan sendirisendiri di masing-masing daerah. Pada bulan Desember 1946 dikeluarkan peraturan bersama dua Menteri yaitu Menteri Agama dan Menteri Pendidikan & Pengajaran yang menetapkan bahwa pendidikan agama diberikan mulai kelas IV SR (Sekolah Rakyat=Sekolah Dasar) sampai kelas VI.
Pada masa itu keadaan keamanan di Indonesia belum mantap sehingga SKB Dua Menteri di atas belum dapat berjalan dengan semestinya. Daerah-daerah di luar Jawa masih banyak yang memberikan pendidikan agama mulai kelas 1 SR. Pemerintah membentuk Majelis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam pada tahun 1947 yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara dari Departemen P & K dan Prof. Drs. Abdullah Sigit dari Departemen Agama. Tugasnya adalah untuk mengatur pelaksanaan dan materi pengajaran agama yang diberikan di sekolah umum. Rencana pendidikan agama untuk seluruh wilayah Indonesia makin disempurnakan dengan dibentuknya panitia bersama yang dipimpin oleh Prof. Mahmud Yunus dari Departemen Agama dan Mr. Hadi dari Departemen P&K. Hasil dari panitia itu adalah SKB yang dikeluarkan pada bulan Januari 1951. Isinya ialah:
a. Pendidikan agama diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar).
b. Di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat (misalnya: di Sumatera, Kalimantan, dan lain-lain), pendidikan agama diberikan mulai kelas 1 SR dengan catatan bahwa mutu pengetahuan umumnya tidak boleh berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya diberikan mulai kelas IV.
c. Di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Tingkat Atas (umum dan kejuruan) diberikan pendidikan agama sebanyak 2 jam seminggu.
d. Pendidikan agama diberikan kepada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam satu kelas dan mendapat izin dari orangtua/walinya.
Semangat zaman pada masa Orde Baru adalah semangat melawan dan membebaskan. Semangat ini tumbuh dengan kuat, akan tetapi semangat ini diperlemah secara sistematis dan akhirnya menjadi lumpuh sama sekali. Semangat zaman yang ada selama Orde Baru ialah semangat "mengabdi penguasa". Baru setelah muncul suatu "generasi baru" yaitu kelompok mahasiswa yang tidak lagi mau menerima pandangan-pandangan rezim Orde Baru mulailah muncul sikap melawan. Para mahasiswa mendobrak rezim Orde Baru ini dengan memelopori suatu sikap politik yang merupakan ulangan dari sikap para perintis kemerdekaan, yaitu menentang segenap kesewenang-wenangan dan ketidakadilan.
Ahkirnya, kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru mengarah pada penyeragaman, baik cara berpakaian maupun dalam segi pemikiran. Hal ini menyebabkan generasi bangsa kita adalah generasi yang mandul. Maksudnya, miskin ide dan takut terkena sanksi dari pemerintah karena semua tindakan bisabisa dianggap subversif. Tindakan dan kebijakan pemerintah Orde Baru-lah yang paling benar. Semua wadah-wadah organisasi baik yang tunggal maupun yang majemuk dibentuk pada budaya homogen bahkan partai politik pun dibatasi. Hanya tiga partai yang berhak mengikuti Pemilu. Namun, pada waktu itu tidak ada yang berani bicara. Masa itu tidak ada lagi perbedaan pendapat sehingga melahirkan disiplin ilmu yang semu dan melahirkan generasi yang latah dan penakut. Pada masa pemerintahan Orde Baru pertumbuhan ekonomi tidak berakar pada ekonomi rakyat dan sumber daya domestik, melainkan bergantung pada utang luar negeri sehingga menghasilakan sistem pendidikan yang tidak peka terhadap daya saing dan tidak produktif. Pendidikan tidak mempunyai akuntabilitas sosial karena masyarakat tidak diikutsertakan dalam merancang sistem pendidikan karena semua serba terpusat. Dengan demikian, pendidikan pada masa itu mengingkari pluralisme masyarakat sehingga sikap teloransi semakin berkurang, yang ada adalah sikap egoisme. Perkembangan pendidikan Islam masa Orde Baru setahap demi setahap mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Di antaranya lembagalembaga pesantren mulai mendirikan madrasah dalam sistem pendidikannya. Dalam sistem ini jenjang-jenjang pendidikan terbagi menjadi Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah. Sistem madrasah ini mendorong perkembangan pesantren sehingga jumlahnya meningkat pesat. Pada tahun 1958/1959 lahir Madrasah Wajib Belajar yang memiliki hak dan kewajiban seperti sekolah negeri. Selanjutnya, di tahun 1965, berdasarkan rumusan Seminar Pondok Pesantren di Yogyakarta disepakati di pondok pesantren perlu dimasukkan pelajaran keterampilan seperti: pertanian dan pertukangan. Pada masa Orde Baru, pemerintah melakukan pembinaan terhadap pesantren melalui Proyek Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Dana pembinaan pesantren diperoleh dari pemerintahan terkait, dari pemerintahan pusat hingga daerah. Tahun 1975, muncul gagasan untuk mengembangkan pondok pesantren dengan model baru. Lahirlah Pondok Karya Pembangunan, Pondok Modern, Islamic Centre, dan Pondok Pesantren Pembangunan. Kemudian banyak pesantren yang mendirikan sekolah umum dengan kurikulum sekolah umum yang ditetapkan oleh pemerintah. Bahkan, pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri No. 03 Tahun 1975, menetapkan mata pelajaran umum sekurang-kurangnya sebanyak 70 % dari seluruh kurikulum madrasah. Banyak juga madrasah yang mendirikan perguruan tinggi seperti Pesantren Al-Syafi'iyah dan Pesantren Al-Tahiriyah.
Perkembangan menarik berikutnya adalah dengan terakomodasinya kepentingan-kepentingan pendidikan Islam pada khususnya dan pendidikan agama pada umumnya dalam UU Sisdiknas Tahun 1989. Posisi pendidikan agama dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat dilihat pada pasal 39 ayat 2 yang menyebutkan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat (1) Pendidikan Pancasila, (2) Pendidikan Agama, dan (3) Pendidikan Kewarganegaraan. Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami bahwa pendidikan agama merupakan mata pelajaran wajib bagi setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan mulai prasekolah (TK/RA) sampai dengan pendidikan tinggi (PT).
Kebijakan pemerintah Orde Baru mengenai pendidikan Islam dalam konteks madrasah di indonesia bersifat positif dan konstruktif, khususnya dalam dua dekade terakhir 1980-an sampai dengan 1990-an. Lembaga pendidikan dikembangkan dalam rangka pemerataan kesempatan pendidikan dan peningkatan mutu pendidikan.8 Pada awal-awal masa pemerintahan Orde Baru, kebijakan tentang madrasah bersifat melanjutkan dan meningkatkan kebijakan Orde Lama. Pada tahap ini madrasah belum dipandang sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, tetapi baru sebagai lembaga pendidikan bersifat otonom di bawah pengawasan Menteri Agama.
Dalam dekade 1970-an madrasah terus dikembangkan untuk memperkuat keberadaannya. Namun, di awal-awal tahun 1970–an justru kebijakan pemerintah terkesan berupaya untuk mengisolasi madrasah dari bagian sistem pendidikan nasional. Hal ini terlihat dengan langkah yang ditempuh pemerintah dengan mengeluarkan suatu kebijakan berupa Keputusan Presiden Nomor 34 tanggal 18 April tahun 1972 tentang tanggung jawab fungsional pendidikan dan latihan. Isi keputusan ini mencakup tiga hal:
1. Menteri pendidikan dan kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan umum dan kebijakan.
2. Menteri tenaga kerja bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan dan latihan keahlian dan kejuruan tenaga kerja akan pegawai negeri. 3. Ketua lembaga administrasi negara bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negri. Selanjutnya, Kepres No 34 Tahun 1972 ini dipertegas oleh Inpres No 15 tahun 1974 yang mengatur operasionalnya. Dalam TAP MPRS Nomor XVII Tahun 1966 dijelaskan "agama merupakan salah satu unsur mutlak dalam pencapaian tujuan nasional. Persoalan keagamaan dikelola oleh Departemen Agama, sedangkan madrasah dalam TAP MPRS Nomor 2 Tahun 1960 adalah lembaga pendidikan otonom di bawah pengawasan Menteri Agama". Dari ketentuan ini, Departemen Agama menyelenggarakan pendidikan madrasah tidak saja bersifat keagamaan dan umum, tetapi juga bersifat kejuruan. Dengan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1972 dan Inpres 1974, penyelenggaraan pendidikan dan kejuruan sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab MENDIKBUD. Perkembangan pendidikan agama di Indonesia pada masa Orde Baru ditandai dengan selesainya bangsa Indonesia dalam menumpas G30 S/PKI (1965-1966). Sejak saat itu pula pemerintah Indonesia semakin menunjukkan perhatiannya terhadap pendidikan agama, sebab disadari dengan bermentalkan agama yang kuatlah bangsa Indonesia akan terhindar dari paham komunisme. Untuk merealisasikan cita-cita tersebut, sidang umum MPRS tahun 1966 berhasil menetapkan TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966 yang membahas tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan pasal 1 menjelaskan "Menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah mulai dari sekolah dasar sampai dengan universitas-universitas negeri". Dengan demikian, sejak tahun 1966 pendidikan agama menjadi materi pelajaran wajib dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi Umum Negeri di seluruh Indonesia. TAP MPRS inilah yang menjadi landasan pertama kali bagi penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran agama di seluruh sekolah di Indonesia pada zaman Orde Baru.
Ketetapan MPRS ini diikuti dengan peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 23 Oktober 1967 ditetapkan bahwa Kelas I dan II SD diberikan mata pelajaran agama 2 jam per minggu, kelas III, 3 jam perminggu, kelas IV sampai VI, 4 jam perminggu. Hal itu berlaku juga pada SMP dan SMA. Ketetapan MPRS tersebut menjadi pijakan bagi penyusunan kurikulum SD, SMP, SMA, sekolah kejuruan dan perguruan tinggi, terutama menyangkut tujuan dan landasan pendidikan di masing-masing jenjang sekolah. Kurikulum SD, SMP, dan SMA yang pertama di zaman Orde Baru adalah kurikulum yang dikeluarkan pada tahun 1968 untuk SD, 1967 untuk SMP, dan SMA tahun 1968. Dalam kurikulum ini, semua mata pelajaran dibagi ke dalam tiga kelompok: Kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila, Kelompok Pembinaan Pengetahuan Dasar, dan Kelompok Pembinaan Kecakapan Khusus. Pendidikan agama untuk SD, SMP, dan SMA masuk dalam Kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila. Materi pendidikan dan pengajaran agama masuk dalam kelompok Pembinaan jiwa Pancasila.
Pada akhir tahun 1970 Menteri Agama berusaha mengubah kurikulum pengajaran agama yang bertujuan agar semua kelas tertentu di SD dan SMP mendapatkan 6 jam pelajaran agama per minggu, akan tetapi usaha ini tidak berhasil karena pihak Departemen Pendidikan dan Pengajaran tidak menyetujuinya. Departemen Agama cukup konsisten dan terus menerus mewujudkan perluasan pendidikan agama di sekolah-sekolah. Pendidikan agama telah menjadi pelajaran wajib, bukan alternatif sebagaimana di zaman Manipol Usdek. Sebagai pelajaran wajib, pendidikan agama juga menjadi bagian dari upaya pemerintah Orde Baru membangun manusia Pancasilais sebagaimana kategorisasi yang memasukkan pendidikan agama dalam 'Kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila'. Setelah pemilu 1973, secara politik pemerintah Orde Baru mengonsolidasikan agenda-agenda pembangunan pendidikan melalui Tap MPRRI No. IV/MPR 1973 yang berbunyi:
1. Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam sekolah dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.
2. Pembangunan di bidang pendidikan didasarkan atas falsafah negara, Pancasila dan diarahkan untuk membentuk manusia-manusia pembangunan yang berpancasila dan untuk membentuk manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohaninya, memiliki pengetahuan dan keterampilan, dapat mengembangkan kreatifitas dan tanggung jawab, dapat menyuburkan sikap demokrasi dan tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam UUD 1945.
Salah satu momentum nasional yang memengaruhi iklim pendidikan nasional, selain ketetapan MPR 1978 dan 1983 adalah keluarnya kebijakan pendidikan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) serta munculnya pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) sejak Taman Kanakkanak sampai Perguruan Tinggi. Kedua ketetapan MPR tersebut sangat memengaruhi iklim politik nasional yang memengaruhi dunia pendidikan. Ketetapan MPR 1983 ini kemudian menjadi landasan munculnya pelajaran baru, yakni Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) sejak SD. Jadi ada beberapa pelajaran baru, di antaranya masuknya pengajaran P4 dalam bentuk penataran di SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi, serta pelajaran PMP dan PSPB dari SD-SMA dengan pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) dan Bahasa Daerah.
Pada awal tahun 1980-an, pernah ada usul agar pemerintah memasukkan kurikulum perbandingan agama untuk di sekolah-sekolah lanjutan atas; SMU dan Madrasah Aliyah, atau yang setingkat. Namun, usul ini diprotes oleh beberapa kalangan Muslim karena dianggap dapat merusak dan melemahkan iman para anak didik. Pendidikan Agama dimasukkan ke dalam program pendidikan inti, sebagai mata pelajaran wajib bagi semua siswa SMA bersamasama dengan 14 mata pelajaran lain: Pendidikan Pancasila, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, Bahasa dan Sastra Indonesia, Geografi, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Pendidikan Kesenian, Pendidikan Keterampilan, Matematika, Biologi, Fisika, Kimia, Sejarah, dan Bahasa Inggris.
Pasca lahirnya kurikulum 1984 terdapat sejumlah peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, yang berkaitan dengan masa libur sekolah dan pemakaian jilbab di lingkungan siswi-siswi SMA. Menteri Daud Yusuf mengeluarkan keputusan yang menetapkan bulan puasa sebagai waktu belajar dan larangan bagi siswi-siswi menggunakan jilbab ke sekolah. Keputusan yang dikeluarkan melalui SK Menteri P & K No. 0211/U/1978 itu menimbulkan kontroversi karena sebelum itu, bulan puasa adalah libur sebulan penuh. Kontroversi itu makin menghangat ketika Musyawarah Nasional ke-2 MUI akhir Mei 1980 kembali menghimbau Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk meninjau kebijakan libur puasa itu. Ketika mengadakan rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Menteri P & K, Daud Yusuf menegaskan bahwa di dalam bulan puasa sekolah tetap harus melakukan kegiatan belajar mengajar seperti biasa.
Menteri P dan K, Nugroho Notosusanto yang menggantikan Daud Yusuf memberlakukan kebijakan baru berupa keharusan setiap murid baru untuk menandatangani surat pernyataan mengenai pendidikan agama yang akan diikuti. Argumen yang dikemukakan saat itu adalah mengidentifikasi kebutuhan (need assesment) guru agama di masing-masing agama. Kebijakan lainnya adalah menyangkut pakaian jilbab bagi siswi yang beragama Islam. Banyak sekolah yang secara tegas melarang pengenaan pakaian tersebut bagi murid perempuan, seperti yang menimpa 19 siswi kelas I–III SMA I Jakarta pada tahun 1985. Pada awalnya sekolah menjatuhkan sanksi skors terhadap siswi yang mengenakan jilbab dengan alasan melanggar tata tertib sekolah yang telah ditandatangani oleh orangtua murid sewaktu anaknya mau masuk ke sekolah tersebut yakni anaknya akan menaati semua peraturan sekolah termasuk pakaian seragam. Namun, setelah tidak ada kata sepakat dengan orangtua, para siswi itu kemudian dipindahkan ke sekolah lain dan uang seragam mereka pun dikembalikan, mereka harus beli pakaian seragam baru di tempat lain. Ketentuan pakaian seragam itu sendiri didasarkan pada SK Dirjen Dikdasmen No. 052/C/Kep./D.82 yang disusul dengan Peraturan Pelaksanaan No.18306/C/D.83 tentang Pedoman Pakaian Seragam Anak Sekolah (PSAS). Salah satu poin dalam SK tersebut yang kemudian menjadi dasar bagi para kepala sekolah (negeri) untuk mengambil kebijakan di tingkatan sekolah adalah poin yang menyatakan "Pelaksanaan pakaian seragam di sekolah-sekolah, bagi beberapa siswi yang melakukan penyimpangan karena keyakinan agama (bila ada), diberlakukan secara persuasif, edukatif, dan manusiawi".
Kurikulum Pendidikan Islam Pada Masa Orde Baru
Setelah SKB (Surat Keputusan Bersama) Tiga Menteri, selanjutnya dikeluarkannya SKB Menteri P&K No.299/U/1984 dengan Menteri Agama No 45 tahun 1984, tentang pengaturan pembakuan kurikulum sekolah umum dan kurikulum madrasah yang isinya antara lain adalah mengizinkan kepada lulusan madrasah untuk melanjutkan ke sekolah–sekolah umum yang lebih tinggi. SKB Dua Menteri dijiwai oleh TAP MPR No. II /TAP/MPR/1983 tentang perlunya penyesuaian sistem pendidikan sejalan dengan daya kebutuhan bidang bersama, antara lain dilakukan melalui perbaikan kurikulum sebagai salah satu di antara berbagai upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan di sekolah umum dan madrasah.
Upaya dalam pengaturan dan pembaruan kurikulum madrasah dikembangkan dengan menyusun kurikulum sesuai dengan konsensus yang ditetapkan. Khusus untuk MA, waktu untuk setiap mata pelajaran berlangsung 45 menit dan memakai semester. Sementara itu, jenis program pendidikan dalam kurikulum madrasah terdiri dari program inti dan program pilihan. Pengembangan kedua program kurikulum ini terbagi menjadi dua bagian yaitu: pendidikan agama, terdiri atas: Al-Quran Hadits, Aqidah Akhlak, Fikih, SKI, dan Bahasa Arab, dan pendidikan umum antara lain: PMP, PSPB, Bahasa dan Sastra Indonesia, Pengetahuan Sains, Olahraga dan Kesehatan, Matematika, Pendidikan Seni, Pendidikan Keterampilan, Bahasa Inggris (MTS dan MA), Geografi (MA), Biologi (MA), Fisika (MA) dan kimia (MA).
1. Kurikulum sekolah dan madrasah terdiri atas program inti dan program pilihan. 2. Program inti dalam rangka memenuhi tujuan pendidikan sekolah umum dan madrasah, dan program inti sekolah umum dan madrasah secara kualitatif sama. 3. Proram khusus (pilihan) diadakan untuk memberikan bekal kemampuan siswa yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi bagi Sekolah Menengah Atas / Madrasah Aliyah. 4. Pengaturan pelaksanaan kurikulum sekolah umum dan madrasah mengenai sistem kredit semester, bimbingan karir, ketuntasan belajar. 5. Hal-hal yang berhubungan dengan tenaga guru dan sarana pendidikan dalam rangka keberhasilan pelaksanaan kurikulum akan diatur bersama oleh kedua departemen yang bersangkutan.
Di antara rumusan kurikulum 1984 memuat hal strategis sebagai berikut:
1. Program kegiatan kurikulum madrasah ( MI, MTS dan MA) tahun 1984 dilakukan melalui kegiatan interkurikuler, kokuler, dan ekstrakurikuler, baik dalam program inti maupun program pilihan. 2. Proses belajar mengajar dilaksanakan dengan memerhatikan keserasian antara cara seseorang belajar dengan apa yang dipelajarinya. 3. Penilaian dilakukan secara berkesinambungan dan menyeluruh untuk peningkatan proses dan hasil belajar, serta pengelolaan program.
Secara formal, madrasah sudah menjadi sekolah umum yang menjadikan agama sebagai ciri khas kelembagaannya. Di satu pihak materi pengetahuan umum bagi madrasah secara kuantitas dan kualitas mengalami peningkatan, tetapi di pihak lain penguasaan murid terhadap pengetahuan agama menjadi serba tanggung. Menyadari kondisi seperti itu muncul keinginan pemerintah untuk mendirikan MA yang bersifat khusus yang kemudian dikenal dengan Madrasah Aliah Program Khusus (MAPK).
Daftar Pustaka
1. Nursyirwan. Perkembangan Pendidikan Islam Di Indonesia Setelah Kemerdekaan. Didaktika Jurnal Kependidikan Vol. 4 No. 2 November 2009.
2. Zuhairini. 2006. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta Bumi Aksara.
Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional. [online]. Tersedia: http://istanailmu.com/2011/04/08/pendidikan-islam-dalam-sistempendidikan nasional/html.
Rosi.Pendidikan Islam Masa Orde Baru. [online]. Tersedia: http://coretanrossi.blogspot.com/2011/06/pendidikan-islam-masa-orde-baru.html.
4. Sistem Pendidikan Indonesia Pada Masa Orde Baru 1966-1998. [online]. Tersedia: http://ranggambojoarea.blogspot.com/2011/06/sistempendidikan-indonesia-pada-masa.html.
No comments:
Post a Comment